Tittle : FALLEN | PART 5A: LINGKARAN ORANG DALAM
Author : @dearmydeer_
Main Cast : • Xi Lu Han a.k.a EXO-M Lu Han
• Wu Yi Fan a.k.a EXO-M Kris
• Park Gi Eun (OC)
• Amber Josephine Liu a.k.a f(x) Amber
• Kim Hyun Jin —Miss Kim (OC)
• Lee Sun Kyu a.k.a SNSD Sunny
Support Cast : • Kim Joon-myun a.k.a EXO-K SuHo
• Park Chan Yeol a.k.a EXO-K Chanyeol
• Lee Hyori (OC)
• Choi Jin Hee (OC)
• Roland Sparks (OC)
• Jun Ji Hyun (OC)
Genre : Paranormal Romance, Supernatural Romance, Young Adult Fiction, Fantasy, Western-Life
Sumber : FALLEN karya Lauren Kate
“Mulai” adalah kata yang penuh kekuatan. Cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu adalah, “mulai”.
Tapi juga mengherankan, pekerjaan apa yang dapat kita selesaikan
jika kita hanya memulainya
― Clifford Warren
CHAPTER 5A:
LINGKARAN ORANG DALAM
______________________________________
“Jangan pernah menakutiku seperti ini lagi!” Ji Hyun mengomeli Gi Eun pada Rabu sore.
Saat itu tepat sebelum matahari terbenam dan Gi Eun meringkuk di dalam bilik telepon Sword & Cross, bilik kecil berwarna kream di tengah ruang penerimaan tamu. Tempat ini tidak memiliki privasi, tapi setidaknya tak ada satu orang pun berkeliaran di dekatnya. Kedua lengannya masih pegal akibat pekerjaannya di pekuburan saat menjalani hukuman kemarin, harga dirinya masuh terluka akibat Luhan pergi begitu saja ketika ketika mereka ditarik keluar dari bawah patung. Tapi selama lima belas menit, Gi Eun berusaha keras menghilangkan semua pikiran itu dari benaknya, menyerap setiap kata panic menyenangkan yang disemburkan sahabat karibnya dalam waktu terbatas ini. Rasanya gembira sekali bisa mendengar suara melengking Ji Hyun sehingga Gi Eun nyaris tidak peduli ia dimarahi.
“Kita sudah berjanji takkan melwatkan waktu satu jam pun tanpa bergosip,” Ji Hyun meneruskan dengan nada mencela. “Kupikir ada yang menelanmu hidup-hidup! Atau mungkin mereka mengurungmu sendiri, memakaikan kau jaket orang gila yang membuatmu tidak bisa menggaruk wajah. Setahuku, kau bisa saja terjatuh ke lingkaran kesembilan—“
“Oke, Mom,” kata Gi Eun, tergelak dan memulai perannya sebagai pelatih pernapasan Ji Hyun. “Tenang.” Selama sepersekian detik, ia merasa bersalah karena tidak menggunakan satu kesempatan menelepon ini untuk menghubungi ibunya yang asli. Tapi ia tahu Ji Hyun akan mengamuk jika tahu Gi Eun tidak menggunakan kesempatan pertama untuk menghubunginya. Dan anehnya, mendengar suara Ji Hyun yang histeris selalu terasa menyejukkan. Itu slaah stau dari sekian banyak alas an kenapa keduanya benar-benar cocok pada satu sama lain: Sifat panaroid sahabat karibnya yang melebihi batas normal seharusnya mempunyai pengaruh yang menenangkan bagi Gi Eun. Gi Eun bisa membayangkan Ji Hyun di kamar asrama Dover, mondari-mandir di karpet orange menyala, dengan masker Oxy dibalurkan di bagian “T” wajahnya dan busa pedikur memisahkan jemari kakinya yang berlapis cat kuku merah muda yang masih basah.
“Jangan panggil aku Mom!” Ji Hyun mendengus. “Mulailah bercerita. Seperti apa murid-murid lain? Apa mereka semua menakutkan dan makan obat pencahar terus seperti dalam film? Bagaimana dengan pelajaranmu? Bagaimana dengan makanannya?”
Lewat telepon, Gi Eun bisa mendengar film Roman Holiday diputar di televise kecil Ji Hyun. Adegan favorit Gi Eun adalah saat Audrey Hepburn terjaga di kamar Gregory Peck, masih penuh keyakinan bahwa kejadian malam sebelumnya hanyalah mimpi. Gi Eun memejamkan mata dan mencoba membayangkan adegan itu. Meniru bisikan mengantuk Audrey, ia mengutip kalimat yang ia tahu akan dikenali Ji Hyun: “Ada lelaki, ia sangat jahat padaku. Asyik sekali.”
“Oke, Putri, kehidupanmu yang ingin aku dengar,” goda Ji Hyun.
Sayangnya, tak ada satu hal pun dari Sword & Cross yang dianggap Gi Eun menyenangkan. Saat memikirkan Luhan untuk, oh, yang ke delapan belas kalinya hari I I, ia menyadari satu-satunya persamaan antara kehidupannya dengan Roman Holiday adalah ia dan Audrey sama-sama bertemu lelaki yang sangat kasar dan sedikitpun tidak tertarik pada mereka. Gi Eun menyandarkan kepala ke dinding kayu bilik telepon yang berwarna krem. Ada yang menuliskan kata-kata MENUNGGU WAKTUKU. Dalam keadaan biasa, inilah saat Gi Eun menumpahkan segala tentang Luhan kepada Ji Hyun.
Tetapi, entah mengapa, ia tidak melakukannya.
Apapun yang mungkin ingin diceritakannya tentang Luhan takkan berdasarkan apa yang betul-betul terjadi di antara mereka. Dan Ji Hyun menjunjung tinggi pendapat bahwa para pria harus berusaha keras untuk menunjukkan mereka pantas bagimu. Ji Hyun akan ingin mendengar hal-hal sperti berapa sering ptia itu membukakan pintu bagi Gi Eun, atau apakah ia menyadari betapa bagus logat Perancis Gi Eun. Ji Hyun tidak merasa ada yang salah jika pria menuliskan puisi cinta gombal yang tidak pernah dianggap serius oleh Gi Eun. Gi Eun akan kekurangan bahan jika bercerita tentang Luhan. Sebenarnya, Ji Hyun akan lebih tertarik mendengar tentang orang seperti Kris.
“Yah, memang ada pria disini,” Gi Eun berbisik ke pesawat telepon.
“Sudah kuduga!” Ji Hyun memekik. “Nama.”
Luhan. Luhan. Gi Eun berdehem. “Kris.”
“Tepat sasaran, tidak rumit. Aku mengerti. Mulai dari awal.”
“Yah, belum ada yang benar-benar terjadi.”
“Ia menganggapmu cantik, blab la bla. Sudah kubilang potongan rambut pendekmu membuatmu mirip Audrey. Langsung sajalah ke hal-hal yang menyenangkan.”
“Yah—“ Gi Eun berhenti bicara. Suara langkah kaki di lobi membuatnya terdiam. Ia bersandar ke sisi bilik telepon dan memanjangkan leher untuk melihat siapa yang mengganggu lima belas menitnya yang paling berharga selama tiga hari belakangan ini.
Kris berjalan ke arahnya.
Panjang umut. Ia menelan kalimat noraknya yang sudah berada di ujung lidah: pria itu memberikan pick gitarnya padaku. Gi Eun masih menyimpannya di saku.
Sikap Krism biasa saja, seakan sangat kebetulan pria itu tidak mendengar apa yang baru saja dikatakan Gi Eun. Sepertinya pria tersebut satu-satunya murid Sword & Cross yang tidak mengganti seragam sekolah begitu jam pelajaran berakhir. Tapi gaya pakaian serba hitam cocok dengannya, menyebabkan pakaian Gi Eun membuatnya terlihat seperti gadis kasir toserba.
Kris memutar-mutar jam saku berwarna emas di rantai panjang yang dilingkarkan pada jari tengah pria itu. Gi Eun mengikuti ayunan jam saku yang cemerlang tersebut sesaat, nyaris terhipnotis, hingga Kris menangkap dan menggenggam jam sakunya. Ia melihat jam itu, lalu mendngak menatap Gi Eun.
“Maaf.” Bibir pria itu berkerut bingung. “Ku piker jadwalku menerim telepon pukul tujuh tepat.” Ia mengangkat bahu. “Tapi kurasa aku salah menulis jadwalnya.”
Gi Eun kecewa melirik jam tangannya sendiri. Rasanya ia dan Ji Hyun bahkan belum sempat mengucapkan lima belas kata—bagaimana bisa waktu lima belas menitnya sudah berlalu?
“Gi Eun? Halo?” Ji Hyun kedengaran tidak sabar di ujung telepon. “Kau aneh sekali. Apa ada yang tidak kauceritakan padaku? Apa kau sudah mengganti aku dengan seseorang di sekolah anak nakal? Bagaimana dengan pria itu?”
“Ssst,” Gi Eun mendesisi ke gagang telepon. “Kris, tunggu!” ia berseru, menjauhkan gagang telepon dari mulut. Kris sudah setengah keluar dari pintu. “Tunggu sebentar, aku sudah” —Gi Eun menelan ludah—“aku sudah selesai.”
Kris memasukkan jam saku ke kantong depan jaket hitamnya dan berjalan kembali kea rah Gi Eun. Pria itu mengangkat alis dan tertawa ketika mendengar suara Ji Hyun yang makin nyaring di gagang telepon. “Jangan coba-cba memutuskan telepon,” Ji Hyun memprotes. “Kau belum menceritakan apa-apa. Tidak satupun!”
“Aku tidak mau membuat siapa pun marah,” Kris bercanda, mengisyaratkan kea rah gagang telepon yang mengeluarkan suara gaduh. “Ambil saja jatahku, kau bisa menggantinya lain waktu”
“Tidak,” Gi Eun berkata cepat. Walaupun snagat ingin tetap mengobrol bersama Ji Hyun, ia membayangkan Kris pasti punya keinginan yang sama dengan siapapun yang ingin diteleponnya di sini. Dan tidak seperti kebanyakan orang di sekolah ini, Kris sangat baik padanya. Ia tidak mau membuat pria itu menyerahkan gilirannya menerima telepon, terutama saat ini, saat Gi EUn sudah terlalu gugup untuk bergosip dengan Ji Hyun tentang dirinya.
“Ji Hyun,” Gi Eun berkata, menghela napas ke gagang telepon. “Aku harus pergi. Aku akan menelepon lagi secepatnya begitu—“ tapi saat itu hanya terdengar dengungan samar nada putus di telinganya. Sekarang ia baru melihat penunjuk waktu yang berkedip pada angka 0:00 di bagian bawah telepon. Mereka bahkan belum sempat mengucapkan selamat tinggal dan kini ia harus menunggu selama satu minggu penuh untuk meneleponnya lagi. Waktu terbantang dalam benak Gi Eun seperti jurang yang tak berujung.
“Sohib?” Tanya Kris, bersandar ke dinding bilik telepon di samping Gi Eun. Alisnya masih terangkat. “Aku punya tiga adik perempuan, aku bisa mencium bau sohib.” Pria itu membungkukkan ke depan seakan hendak mengendus Gi Eun, sehingga Gi Eun terkekeh… lalu diam membeku. Kedekatan pria itu yang tidak disangkanya membuat jantung Gi Eun berdebar.
“Coba kutebak.” Kris meluruskan tubuh dan mengangkat dagu. “Ia mau tahu segalanya tentang pria-pria bengak di sekolah anak nakal?”
“Tidak!” Gi Eun menggeleng untuk menyangkal keras bahwa hanya pria yang ada dalam benaknya… hingga ia menyadari bahwa Kris hanya bercanda. Ia merona dan memutuskan balas bercanda. “Maksudku, aku mengatakan padanya tak ada satupun pria keren disini.”
Kris mengerjap. “Dan itulah yang membuat tempat ini mengasyikkan. Ya kan?” Pria itu bisa berdiri tak bergerak, membuat Gi Eun berdiri tak bergerak sedikitpun, membuat suara detak jam saku Kris di dalam jaketnya terdengar lebih nyaring daripada seharusnya.
Gi Eun membeku di dekat Kris, tiba-tiba bergidik saat sesuatu berwarna hitam meluncru ke dalam aula. Bayangan itu seakan mengendap-endap sepanjang papan langit-langit dengan perlahan dan hati-hati, menggelapkan sat bagian papan lalu yang berikutnya dna berikutnya lagi. Sial. Bukanlah situasi yang bagus jika ia berduaan dengan seseorang—terutama orang yang focus pada dirinya seperti Kris saat ini— ketika bayangan-bayangan itu muncul. Ia merasakan tubuhnya mengang, mencoba kelihatan tenang ketika kegelapan itu menari berputar mengelilingi kipas angin di langit-langit. Jika hanya itu ia bisa mengatasinya. Mungkin. Tapi bayangan itu juga mengeluarkan suara-suaranya yang mengerikan, mirip dengan yang didengar Gi Eun ketika ia menyasikkan anak burung hantu terjatuh dari pohon palem dan tercekik hingga mati. Ia berharap Kris berhenti menatapnya. Ia berharap terjadi sesuatu untuk mengusik perhatian pria itu. Ia berharap—
Coba Xi Luhan melangkah masuk.
Dan pria itu memang benar-benar masuk. Diselamatkan pria tampan yang mengenakan celana jins berlubang dan kaus oblong putih yang lebih berlubang. Ia tidak tampak seperti penyelamat—terbungkuk membawa beban berat buku-buku perpustakaan, kantong mata kelabu di bawah mata kelabu. Sebenarnya Luhan terlihat acak-acakan. Rambut pirangnya tergerai ke depan mata, dan ketika ia menatap Gi Eun dan Kris, Gi Eun melihatnya menyipit. Gi Eun terlalu sibuk memikirkan apa lagi perbuatannya yang membuat Luhan kesal kali ini sehingga nyaris tidak menyadari sesuatu: Saat sebelum pintu lobi tertutup di belakang Luhan, bayangan tadi menyelinap melalui pintu dan keluar menuju malam. Seakan ada yang menyalakan mesin pengisap debu dan menyedot semua kotoran di aulan.
Luhn hanya mengangguk kea rah mereka dan tidak memperlambat langkah ketika melewati mereka.
Ketikan Gi Eun menatap Kris, pria itu memperhatikan Luhan. Ia berpaling pada Gi Eun dan berkata, lebih nyaring daripada sewajarnya, “Aku hampir lupa memberitahumu. Aku mengadakan pesta kecil di kamarku mala mini setelah Sosial. Aku senang sekali jika kau bisa dating.”
Luhan masih bisa mendnegar pembicaraan mereka. Gi Eun sama sekali tidak tahu apa yang dimaksud dengan Sosia, tapi ia sudah berjanji bertemu dengan Sunny sebelumnya. Mereka sepakat untuk pergi kesana bersama-sama.
Kedua mata Gi Eun terpaku pada bagian belakang kepala Luhan, ia tahu harus menjawab undangan pesta Kris, dan mestinya tidak sesulit ini, tapi ketika Luhan menoleh ke belakang dan balas memandangnya dengan tatapan yang Gi Eun berani bersumpah kelihatan begitu sedih, telepon di belakangnya mulai bordering, dan Kris meraihnya sambil berkata, “Aku harus mengangkat ini, Gi Eun. Kau akan dating?”
Nyaris tidak kelihatan, Gi Eun mengangguk.
“Ya,” Gi Eun berkata pada Kris. “Ya.”
To Be Continue
Buat yang udah baca chapter ini jangan lupa tinggalin comment ya…
Don’t be a silent readers
Gomawo ^^
