Judul : The last Phone box.
Author : Ailes Lee
Genre : gaul, lumayan bercucuran air mata (?)
Tokoh : Luhan; Juno (OC);
Note : semoga suka, mungkin agak membosankan, tapi aku buatnya tulus dari hati. RCL oke maaan? Bisa kunjungi aku di @sehyeon93. Selamat menyikmacyii~
~~OoO~~
Luhan menggeleng kecil. “aku tau betul dia tuli, tapi itu tidak mengurangi presentase rasa tertarikku padanya.”
Sehun menyeruput habis sisa bubble tea di tangannya. “apa yang hyung suka darinya?”
Luhan kembali menggeleng pelan. “sulit dijabarkan…” Lalu Luhan menatap dongsaeng kesayangannya itu dengan tatapan lembut. “dia…”
“Han?” Juno menarik lengan baju Luhan pelan, memotong topik antara Sehun dan Luhan.
Luhan tidak melanjutkan kalimatnya, membuat Sehun penasaran setengah mati dan meruntuk kesal dalam hati.
“telat lagi?” Luhan menatap Juno lembut.
Juno mengerucutkan bibirnya. “mianhae~ aku tadi main kejar-kejaran dulu sama dosen pembimbing.”
“main kejar-kejaran?” ulang Sehun.
Juno mangut-mangut kecil. “ya. Aku ke ruang dosen, dosennya ke ruang kelas lantai 2. Aku ke kelas itu, eeeeh~ dosennya udah di ruang dosen. Aku balik lagi, ternyata dosennya udah pulang. Itu bisa disebut kejar-kejaran, kan?”
Luhan tertawa kecil sedangkan Sehun rolling eyes seraya melengos kecil.
“kenapa alat bantu dengarnya cuma sebelah?” Luhan menyentuh pelan telinga kiri Juno yang polos tanpa alat bantu dengar.
Juno mengerucutkan bibirnya. “tadi pagi rusak. Ini juga yang kanan agak rusak, aku harus cepet beli lagi tapi uangnya belum kumpul.”
Luhan menyentuh kecil ujung hidung Juno dengan segenap rasa gemas yang kini tengah membludak dihatinya. “ayo kita beli?”
Sehun segera menarik tangan Luhan begitu mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Luhan pada Juno. “hyung, kita kan mau ke Lotte world. Hyung lupa?”
Juno tertawa mengejek melihat tingkah Sehun. Selalu seperti itu. “kamu pulang! Aku mau pacaran sama Luhan.”
Sehun manyun semanyun-manyunnya. “andwae. Kamu yang pulang! Nenek sihir.”
Juno mencibir kecil lalu mehrong pada Sehun yang menyambutnya dengan mehrong juga.
Luhan mengelus kecil puncak kepala dongsaengnya itu, mengakhiri pertengkaran antara Juno dan Sehun. “boleh aku tunda Lotte world-nya?” tanyanya tulus pada Sehun.
Sehun menatap Luhan kecewa sedangkan Juno menatap Sehun dengan tatapan penuh kemenangan. Akhirnya dia bisa jalan berdua dengan Luhan, hanya berdua. Dirinya dan Luhan. Tanpa bocah ingusan bernama Sehun diantara mereka.
“hyung…” rengek Sehun.
Juno mencubit kecil kedua pipi Sehun. “dedek bayi, pulang cendili yaaaa… hyungnya nuna pinjam dulu… muah~muah~”
Sehun menepis tangan Juno, murka. “nuna? Bahkan aku lebih tinggi darimu! Harusnya kamu panggil aku oppa.”
“ih, kamu setahun lebih muda dariku! Kamu panggil aku nuna.”
Sehun mencibir pelan. Luhan hanya tersenyum menonton pertengkaran rutin yang selalu terjadi antara dongsaeng dan yeochinnya itu.
“udah ah~ aku capek nanggepin doger monyet ini.” Sehun menunjuk hidung Juno seraya melirik Luhan. “hyung, hutangmu bertambah! Lotter world dan makan besar, semua hyung yang teraktir, ottae?”
Luhan tersenyum lebar, mengiyakan ucapan Sehun.
“dadah~ nenek sihir.” Pamit Sehun pada Juno yang menatap Sehun jijik.
“kaja?” Luhan menarik tangan Juno. “kita pacaran.” Ajaknya genit.
Juno nyengir lebar. “kaja!”
-
“kapan-kapan ajak aku pulang ke China sana~” Juno menatap Luhan lembut. “aku ingin ketemu dengan ibu dan ayah kamu, tapi sebelumnya ajarin aku bahasa mandarin.”
Luhan tertawa kecil. “bertemu dengan ibu dan ayah?” sekarang mereka berdua sedang berdiri tegap di dalam box telepon umum, berteduh dari hujan deras yang mengguyur kota Seoul sore ini.
Juno mangut-mangut semangat. “kalo jodoh kan… kita bisa nikah.” Ujarnya pelan sebari tertunduk.
Luhan menarik tubuh mungil yeoja disampingnya itu kedalam dekapannya. Ia tidak tahu harus menjawab iya atau tidak, mengingat ibu dan ayahnya adalah orang tua perfeksionis yang mengharapkan perempuan berkelas dengan gaya tinggi dan yang terpenting adalah tidak cacat. Ia tidak ingin mendengar penolakan dari mulut orang tuanya. Penolakan atas Juno yang tidak sempurna.
“Han?” suara Juno mengembalikan pikiran Luhan yang sempat melayang jauh.
“hm?”
Juno mendorong tubuh Luhan lalu menggenggam erat kedua telapak tangannya. “apa ibu dan ayahmu oke dengan keadaanku?”
Luhan menatap Juno dengan tatapan yang tidak dapat diartikan secara reflek tetapi Juno mengerti betul arti dari tatapan namja dihadapannya kini.
Juno menarik kedua garis bibirnya seraya melepas genggaman tangannya dan berbalik memunggungi Luhan, memilih menatap jalanan luas yang basah yang menjadi saksi bisu percakapan mereka sore ini. “orang tua mana yang tidak mau menantu sempurna. Aku ngerti itu.”
Luhan cekikikan pelan. “apa aku berkata ibu dan ayahku akan menolak hubungan kita?”
Juno menggeleng kecil. “Sehun aja menolak hubungan kita—hahaha, apalagi orang tuamu.” Juno kembali membalikkan tubuhnya menghadap Luhan. “sepertinya pembicaraan kita terlalu jauh.”
Luhan mengelus pipi Juno lembut. “terlalu jauh?” ulangnya pelan.
“hm… terlalu jauh.” Juno meraih tangan Luhan dipipinya lalu menciumnya lembut. “aku pernah mimpi nikah dengan kamu dan sampai saat ini mimpi itu masih menduduki tangga mimpi pertama di dream-chartku. Itu adalah mimpi terindah yang pernah nyangkut di otakku. Aku. Kamu. Altar. Bunga. Pernikahan.”
“udah bosen pacaran ya? Kamu kan masih 20.” Luhan menjambak kecil ujung rambut Juno.
Juno menggeleng pelan. “bukan gitu~ kata papa, ketika kita menemukan namja yang mengerti kita, menyayangi kita, membuat kita merasa nyaman… jaga dia agar selalu seperti itu dan bersama kita. Aku hanya ingin mengaplikasikan kata-kata papa kepadamu.”
Luhan tertegun untuk beberapa saat. Ia tidak tahu bahwa Juno serius dengan perkataannya.
NGIIK~ pip. Sekarang alat bantu dengar Juno, resmi rusak.
“aaaaaah!! Aku tidak bisa dengar apapun.” Juno melepas alat bantu dengarnya lalu menatap Luhan miris. “ottoke?”
Luhan menatap Juno dengan tatapan aneh. Ia membelai pelan kedua telinga Juno. “aku akan menjadi telingamu, sampai kita beli alat bantu yang baru.” Ujarnya pelan, dengan bahasa China.
Juno mengerutkan kedua alisnya. “mwoya? Kamu bicara apa?”
Luhan menggeleng kecil lalu menggerakkan tangannya membentuk bahasa isyarat untuk Juno yang berarti “aku akan mendengar untukmu.” Dengan susah payah.
Juno tersenyum kecil. “xie xie.”
Keadaan hening. Juno berdiri memunggungi Luhan, asik dengan pikirannya sendiri. Luhan menatap punggung mungil yeojanya itu dengan tatapan sendu. Ia masih memikirkan permintaan Juno tadi. Juno ingin menikah dengannya dan Luhan menyukai itu. Ia juga ingin menikah dengan Juno, hidup bahagia dengan 3 orang anak mengelilingi mereka. Tapi… ia tidak bisa pungkiri kenyataan yang berkata lain bahwa sebenarnya, ia sudah dijodohkan dengan anak teman ayahnya di China sana. Pernikahan akan berlangsung 2 minggu lagi, Sehun mengetahuinya dan mengutuknya jika sampai ia menyakiti Juno atas perjodohan konyol orang tuanya itu.
“Ju,” panggilnya pelan. Juno tidak merespon. Luhan melanjutkan perkataannya. “Ju, aku mencintaimu. Sangat. Setiap malam bermimpi menjadi suamimu, menjadi telingamu, menjadi lampumu dimalam hari… hanya bermimpi. Aku tidak bisa menjadi yang terbaik untukmu, aku tidak bisa terus menjadi telingamu dan berada disampingmu. Mengertilah. Orang tuaku, jauh dari perkiraanmu. Mereka… menyebalkan. Aku dijodohkan secara paksa, aku tidak bisa menolak.” Luhan menatap kosong punggung mungil yang sama seiring dengan air mata terbendung disudut matanya. “Ju, maafkan aku. Mungkin ini yang terakhir, Ju.”
Juno membalikkan tubuhnya dan tersentak kaget ketika melihat Luhan menangis sesegukan. “kenapa?” tanya Juno panik.
Luhan menghapus air matanya lalu tersenyum. “gwaenchanayo.” Ujarnya tanpa suara.
Juno menyandarkan kepala Luhan dibahunya seakan mengerti arti tangis Luhan. “uljima~”
Luhan memeluk tubuh mungil Juno dengan segenap rasa campur aduk yang dirasakannya. Ia sungguh tidak ingin meninggalkan gadis ini. Gadis yang membuatnya tersenyum setiap waktu, gadis yang konyol, manja, pemalas… masakannya, suara tawanya, caranya ketika kesal mendengarkan Luhan yang terus berbicara… semuanya. Luhan sangat, begitu mabuk dalam mencintainya.
Hujan berangsur-angsur berhenti.
Mata Luhan memerah, menatap Juno sendu. “saranghae~” ujarnya pelan.
Juno menatap Luhan dengan tatapan bingung. Mulut Luhan bergerak kecil, membuatnya tidak bisa meraba-raba kata yang Luhan ucapkan. “mwo?”
Luhan menggeleng kecil lalu tersenyum. “kaja, hujan sudah berhenti.” Katanya dengan bahasa isyarat.
“ne, kaja.” Juno membalas senyuman Luhan seraya menarik tangan namchinnya itu untuk beranjak meninggalkan phone box.
Juno berjalan pelan beberapa langkah didepan Luhan sebari tertunduk dan beberapa kali melirik kebelakang, melirik Luhan dengan wajah bingung.
“waeyo?” tanya Luhan tanpa suara.
Juno menggerakkan tangannya membentuk bahasa isyarat yang mengatakan “aku tidak enak hati. Aku tidak nyaman dengan perasaanku sekarang.”
Luhan menarik tangan Juno agar berjalan sejajar dengannya. “tidak perlu khawatir, aku disini menjagamu.” Balasnya dengan bahasa isyarat.
Mereka berjalan bergandengan tangan. Seberkas cahaya menyorot mereka dari belakang, membuahkan bayangan hitam berbentuk seekor kupu-kupu dijalanan sebagai pantulan dari tubuh mereka.
“AWAAAAAS—” beberapa orang berteriak keras kearah Juno dan Luhan.
Juno menoleh kebelakang karena cahaya yang menyorot mereka semakin lama semakin dekat dan semakin terang.
“WHOA~”
BUK~ reflek Juno mendorong Luhan menjauh darinya. Menyelamatkannya dari bis lalai yang hampir merengut nyawanya, nyawa Luhan.
Kejadian itu singkat. Luhan tidak percaya dengan penglihatannya. Ia baru saja menyaksikan seekor bis melaju dengan kecepatan penuh, menerobos trotoar dan… menghantam tubuh kecil Juno.
Luhan bangkit dan berjalan pelan mendekati sosok mungil yang meringkuk dengan darah segar mengalir mewarnai sekujur tubuhnya.
“Ju?” Luhan terduduk disamping Juno yang tampak masih bernafas dan sadar. Ia, secara perlahan, mendekap tubuh Juno dan mengangkatnya keatas pangkuannya. “Ju?”
Juno membuka kedua matanya. “gwaenchanha?” tanyanya pelan.
Luhan menatap Juno sendu, air matanya berangsur-angsur keluar mewakili perasaannya. “i’m okay.”
Juno tersenyum. “syukurlah. Kalo begitu aku pulang duluan ya?”
Luhan mengecup lembut ujung hidung Juno. “jangan lupakan aku.”
Juno tersenyum. “i love you.”
Detak jantung itu pun hilang. 08.08pm. Deretan angka yang tidak akan pernah Luhan lupakan.
Orang-orang mulai berkumpul mengelilingi Luhan dan Juno. Tak berapa lama, ambulan pun datang bermaksud untuk menyelamatkan Juno yang telah tiada.
***
“hyung, aku ingin pesan bubble tea lagi ya?” Sehun menatap Luhan polos.
Luhan menatap Sehun datar. “kamu udah minum 4 gelas, Hun.”
“hyung, dulu Juno nuna bilang kalo aku merindukannya minumlah bubble tea sebanyak yang aku mau, tentu saja harus Luhan hyung yang membayarkannya.” Rengek Sehun berhasil mengalihkan perhatian Luhan sepenuhnya.
“kapan Juno mengatakannya?”
Sehun mengulum bibirnya seraya mendengung panjang. “3 hari sebelum kecelakaan, Juno nuna memintaku untuk mengantarnya belanja bulanan karena hyung sedang sibuk dan nuna tidak ingin mengganggu hyung. Nah, selesai mengantarnya nuna bilang itu padaku.”
“jadi kamu merindukannya?”
Sehun mengangguk cepat. “bagaimanapun ceritanya, nenek sihir itu benar-benar seperti nunaku.”
Luhan menatap Sehun lembut. Ia masih punya satu orang yang harus ia lindungi setelah Juno dan istrinya sekarang. Sehun. Bocah panti asuhan yang tidak pernah mengetahui arti sebuah keluarga.
“ayo kita pesan bubble tea 10 gelas lagi.” Luhan tertawa kecil.
Sehun tersenyum lebar. “aku pesankan, hyung.”
