Author: xianhyuk
Title: Everytime
Cast:
- Han Saejin (OC)
- Wu Yi Fan / Kris
Genre:
Length: Oneshot
^^
Love is not about what we should have from them or what they can buy for us. Love is about the pure, heart, and the fact not the fake.
- Everytime -
Drap. Drap. Drap.
Suara derap sepatu yang bersentuhan dengan lantai terdengar begitu jelas. Sebuah siluet terbentuk membuat gadis yang bersender pada dinding pojok itu bergetar hebat. Mata samuderanya terus mengawasi jalannya jarum jam yang terus bergerak seiring kepanikkannya muncul. “Kau harus ikut denganku, Han Saejin.” Suara dinginnya membuat gadis bernama Saejin itu sedikit bergidik. Antara perasaannya senang akan kedatangan lelaki itu atau takut akan ucapannya yang lebih terdengar seperti ultimatum.
“Aku tidak akan pulang denganmu, Kris,” tentang Saejin sambil bergetar sementara keringatnya terus menetes seiring memutarnya jarum detik yang membuat jam hidup selama ini. Derap langkah itu terdengar berhenti tepat di dekat tempat Han Saejin sedang duduk sambil memeluk kakinya yang gemetaran. “Just forget it all,” lanjutnya.
Saejin segera menatap Kris penuh harap. “Kris, leave me alone,” pintanya lalu membuang mukanya ke samping. Kaki panjang Kris mulai menekuk untuk menyamakan kedudukannya dengan wanita cantik di sebelahnya. Kris membelai rambut Saejin dan kemudiam merapikannya ke belakang telinga Saejin. Kris menyentuh pipi mulus itu dengan lembut dan langsung menjauhkan tangannya. “Ayahmu pasti akan mengamuk, Han Saejin,” ucapnya dengan nada datar yang terkesan betapa tidak pedulinya Kris terhadap Saejin yang bernotabe sebagai istrinya.
Saejin segera menengok ke arah Kris dan memandang mata Kris dengan lurus. Saejin tahu Kris menginginkannya kembali agar Kris dapat menggunakan Saejin sebagai bidak keberuntungan untuk mendapatkan kekuasaan penuh atas Han Seven Seas. “Aku tidak suka ide gila mu, Wu Yi Fan,” tukas Saejin tajam tepat di depan bola mata Kris.
Perlahan, seringaian jahat mulai menginterupsi keadaan yang dirasakan Saejin. Mata elang Kris semakin tajam menatap Saejin dan siap membuat gadis itu jera. “Jangan pernah memanggilku dengan nama itu!” perintah Kris. “Kenapa? Itu nama aslimu, kan? Apa kau takut orang lain tahu identitasmu?” Kris mengencangkan kepalan tangan kanannya hingga urat-uratnya terlihat.
Ia mengangkat tangan itu setinggi mungkin, melepas kepalannya dan menampar Saejin dengan keras sehingga menimbulkan suara tepukan keras. “Jangan main-main denganku,” tegas Kris dengan emosi yang bergejolak. Segera tangan Saejin tertarik dan tubuhnya terseret oleh Kris yang tiba-tiba menariknya.
Saejin menatap Kris kesal dan dengan kasar ia melepaskan genggaman Kris. “Kau hanya seorang penjahat yang menginginkan kekuasaan dengan cara yang salah.” Kris tertawa sekencang-kencangnya. Ciri khas tawa dinginnya begitu jelas dibalik air hujan yang mengguyur deras berikut petir yang menggelegar. Kris terus menyeret tubuh Saejin untuk keluar dari lorong gelap itu.
Kris menariknya hingga cahaya di ruang tengah mulai mencahayai mereka berdua. Tubuh Saejin terduduk di lantai dengan wajah yang sengaja di tundukkan ke bawah. Untung saja Alvin Han, ayah Saejin, sedang berada di Venezuela untuk mengurusi perusahaan pertambangan minyaknya. Jika saja Alvin berada di rumahnya sendiri dan menyaksikan ini semua terjadi, habislah Kris.
Pasalnya, Alvin tidak segan-segan mengebom satu kota hanya demi melindungi anak perempuan semata wayangnya. Lagipula, Kris tidak akan melakukan semua kejadian hari ini seperti menampar Saejin atau bahkan menyeretnya atau bahkan menyiksanya dengan hal lain. Karena, Kris sangat pintar membuat mertuanya memberikan kepercayaan lebih terhadap dirinya.
Biasanya, Kris akan bersikap mesra di depan mertuanya demi memenangkan hatinya. Kenapa? Itu semua disebabkan oleh perusahaan keluarga terbesar milik Alvin Han yaitu Han Seven Seas yang memotori bidang pertambangan minyak. Kris sangat terobsesi untuk bisa mendapatkan Han Seven Seas untuk menyatukannya dengan Duizhang Sky’s Wings.
Ia menikahi putri kesayangan Alvin yang disebut-sebut akan menjadi pewaris tunggal perusahaan itu. “Lihat aku, Han Saejin,” titah Kris. Hati Saejin benar-benar kesal. Ia segera mengangkat kepalanya ke atas untuk melihat wajah Kris yang begitu emotionless. Wajah Kris terlihat begitu kaget ketika melihat wajah Saejin.
Ujung bibir Saejin terlihat luka dan berdarah. Sementara pipinya merah karena tamparan Kris yang begitu membekas. Oh, ya, habislah Kris. Kris bahkan tidak menyangka istrinya terlihat begitu…menyedihkan. “Bibirmu.” Saejin segera meraba bibirnya dan mendapati rasa perih yang dirasakannya.
“Ini semua karena obsesimu, Kris,” ujar Saejin sambil berusaha berdiri dan merapikan bajunya yang sedikit berantakan. Kris tersenyum sinis tanpa melihat Saejin. “Can you imagine how the greatest families company, Han Seven Seas and the biggest sky airlines, Duizhang Sky’s Wings unite?” Saejin menggeleng pelan. “There’s no such thing like that,” bantahnya santai.
Kris segera menatap Saejin dengan pandangan yang sulit diartikan. “Aku mungkin harusnya membunuhmu sejak awal.” Saejin tertawa lepas. “Dan, jika aku meninggal, apa yang akan kau lakukan, Kris?” tanya Saejin meminta pendapat Kris. Kris melipat tangannya di depan dadanya. “Just praying to God, can Saejin reach the seven seas and go back to the sky?” jawab Kris. “Dan jika aku mati?” tanya Kris balik.
Saejin memilih untuk tersenyum sebentar dan menghempaskan napasnya pelan. “I will cry a lot, of course. I will regret what I’ve been say to you all time we spend together. I will pray to God if He would put Kris to the better place in the heaven. And, I’m always remember you,” jawabnya panjang. Kris memandang Saejin dengan tatapan yang meremehkan. “Child’s words,” ejeknya.
Saejin segera saja berjalan menuju kamarnya. Tapi, ia segera berhenti. Ia berbalik dan menatap Kris dengan lurus. “Are you thinking this all funny? No. Just blow your mind and think again. I’m never kidding with my words. And you know? I love you, Wu Yi Fan. Even if you don’t like it neither, Kris.” Saejin segera berputar lagi dan masuk ke kamarnya kemudian menguncinya rapat.
Kris menatap pintu itu nanar. “Just, goodnight, Han Saejin.”
-
-
-
Yi xing memperhatikan sekeliling rumah Alvin Han yang megah. Ia heran, rumah sebesar itu masih sepi hingga jam delapan pagi sekarang. Yi xing berjalan ke lantai atas dan mendapati tuan Kwon, kepala pelayan di rumah megah itu sedang mengelap beberapa bercak darah di lantai dekat lorong gelap. Hampir semua pelayan mengerubungi tuan Kwon yang sudah biasa dengan hal ini.
“Apa yang terjadi, tuan Kwon?” tanya Yi xing dengan heran. Tuan Kwon segera berdiri dan menatap Yi xing dengan tatapan bosannya akan ini. “Entahlah, bercak darah ditemukkan lagi. Nanti sore tuan Han akan segera kembali dari Venezuela. Kuharap mereka tidak bertengkar lagi.” Yi xing mengangkat alisnya heran. “Bertengkar?”
“Ya, setiap hari selalu begitu,” jawab tuan Kwon dengan tenang dan segera membuang tisu yang dipakai untuk mengelap bercak darah tadi. “Dan…Tuan Han pastinya mengamuk, bukan?” Tuan Kwon menggeleng pelan dan mempersilahkan Yi xing untuk duduk di kursi. “Tidak. Dia tidak pernah tahu apa yang sering terjadi di rumah ini selama ia pergi. Kau tahu, Han Saejin pergi kemari karena ingin bertemu ayahnya. Tapi, Tuan Han memang sedang tidak ada. Kemudian Kris muncul dan semua jadi berantakan.”
“Bukannya…itu sedikit berdampak pada kalian semua?” tanya Yi xing. Sekali lagi, tuan Kwon mengangguk. “Ya. Tapi, mereka tidak membawa masalah mereka sampai besoknya. Jadi, mereka akan lupa dengan apa yang mereka bicarakan kemarin.”
“Hebat. Tapi mereka belum bangun?” tuan Kwon melirik ke arah kamar Han Saejin dan Kris di sebelahnya. “Belum, seperti yang kau lihat.” Yi xing mengangguk. “Tuan Kwon, tolong sampaikan pada Kris bahwa ia harus segera pergi ke Seoul lusa karena akan diadakan konferensi penerbangan,” tutup Yi xing dan kemudian pamit.
Segera setelah Yi xing pulang, Alvin Han kembali dan melihat keadaan rumah yang begitu sepi. “Mr. Kwon, where are they?” tanya Alvin. Tuan Kwon terlihat bingung akan menjawab apa. Pasalnya, Saejin dan Kris tidak tidur satu kamar. “Mungkin mereka masih tidur, Tuan. Apa tuan Han akan sarapan?” Sesaat, pikiran Alvin teralihkan ke sarapan. Ia mengangguk dan menaruh tas kerja nya di atas meja.
“Tuan tidak jadi pulang sore?” Alvin menggeleng pelan sambil meneguk segelas air putih dingin. “Tidak. Kudengar Saejin menangis di telepon tadi malam. Jadi, aku putuskan untuk segera pulang,” jawab Alvin. “Apa Saejin baik-baik saja, tuan Kwon?” Tangan tuan Kwon sedikit kaku dan bingung untuk menjawab apa.
Apa benar nona kesayangan seluruh pelayan disitu menangis? Atau bahkan dia menangis setiap malam? “Kupikir begitu, tuan Han.” Alvin mengangguk lagi dan mengiris smoked beef yang disajikan tuan Kwon. “Tapi, Saejin tidak pernah menelpon ku dengan suara yang sangat parau seperti tadi malam.”
Sial. Tuan Kwon tidak bisa menanggapi percakapan ini. “Tuan Kwon?” Tuan Kwon segera menggelengkan kepalanya pelan dan berusaha tersenyum. “Ya?” responnya. “Saejin baik-baik saja, kan?” tanya Alvin sekali lagi. Tuan Kwon dengan ragu mengangguk. “Syukurlah, dia baik-baik saja.”
Krek. Pintu kamar atas terdengar terbuka. Saejin baru saja bangun dan segera turun ke bawah. “Daddy!” teriaknya senang. Alvin terseyum dan menunjuk kursi di sebelahnya untuk menyuruh Saejin duduk disitu. “When do you come?” tanya Saejin tak percaya. Alvin baru saja akan menjawab, tapi matanya menangkap sesuatu.
Ia melihat luka di ujung bibir Saejin. Dahi Alvin mengerut dan tangannya menyentuh luka itu. Saejin sedikit meringis, tapi ia berusaha untuk tetap biasa saja agar Alvin tidak mencurigainya. “Kau luka. Ada apa semalam?” tanya Alvin curiga. Saejin dengan santainya mengambil satu lembar smoked beef dan mengirisnya. “Tidak. Semua berjalan baik,” jawabnya sambil mengunyah.
“Mana Kris? Kau tak membangunkannya?” Saejin sedikit melamun dan kemudia ia melanjutkan makannya. “Tidak. Dad, kau tahu kan, Kris terlalu lelah. Jadi, aku biarkan saja.” Alvin mengangguk karena percaya dengan Saejin. “Ok, baiklah.”
“Dad,” ucap Saejin tiba-tiba. “Hmm?” respon Alvin. Saejin menarik napasnya dalam dan menghembuskannya. “Apa kau bangga memiliki anak sepertiku?”
“Tentu saja, sayang. Menurutku, kau adalah segalanya.”
“Bagaimana jika orang lain berpendapat beda?”
“Maksudmu?”
“Bagaimana jika orang lain tidak menganggapku special, segalanya, atau bahkan yang terpenting di bagian hidup mereka.” Wajah Alvin sedikit mengerut. Ia makin curiga. “Terkadang, semua orang bisa menyukai kita dan juga membenci kita. Tinggal, apakah orang tersebut yang termasuk menyukai kita atau bukan.”
Saejin melamun. Ia bahkan tidak bisa focus sekarang. Mengingat kejadian kemarin, ia begitu syok. Belum pernah Kris menamparnya hingga ujung bibirnya berdarah. Ia ingat, tadi malam ia menelpon Alvin untuk menanyakan bagaimana keadaanya di sana. Tapi, air matanya begitu mendorongnya untuk terisak.
“Saejin.” Suara dingin itu terdengar lagi. Ya, Kris ternyata sudah bangun. “Hei, Kris!” sapa Alvin dan disambut baik oleh Kris. “Tuan Han, maaf aku tidak bisa menyambut,” ucap Kris sambil membungkuk. Alvin tersenyum dan memakan potongan smoked beef yang selanjutnya. “Ya, Saejin bilang kau sangat lelah.”
“Bagaimana dengan Duizhang Sky’s Wings?” tanya Alvin. “Baik-baik saja,” jawab Kris singkat sambil memerhatikan tangan mulus Saejin yang sedang memotong smoked beef untuknya. “Enough?” Kris mengangguk sedikit dan mulai memakannya perlahan. “Kris, ada apa dengan Saejin semalam?”
Mata Kris membulat dan menatap Saejin juga Alvin secara bergantian. Saejin terlihat sangat santai. Kena kau, bisik Saejin dalam hati. Kris terbatuk-batuk kemudian segera meminum air putih yang diberikan Saejin. “Kukira.—“
“It’s nothing, Dad, of course. I just miss my Kris,” potong Saejin. Kris menoleh sebentar, dan ia juga berpikir bahwa ini adalah kesekian kalinya ia diselamatkan oleh Saejin. “Oh yeah? Kris, you know, My Saejin always need you,” tanggap Alvin sambil tertawa. Kris nyegir kaku sambil menatap Saejin tak percaya.
“Saejin semalam menangis, kau tahu kan Kris? Kupikir ia tersiksa karena jauh dari kampung halamannya, tapi ternyata ada yang lain, Kris.” Kris berusaha tetap tersenyum dan dengan senang hati ia mau menanggapi kalimat Alvin. “Kenapa Anda bisa tahu?” Alvin tersenyum lalu mengelap bibirnya dengan tisu.
“Karena, aku orangtua. Aku bisa merasakan Saejin-ku merasa kesusahan. Jadi, aku mohon kau mau membantunya meringankan masalahnya.” Kris lagi-lagi hanya bisa tersenyum kaku.
Bisa habis dirinya jika Saejin mengatakan kebenaran yang ada.
-
-
-
Kris melihat Saejin yang sedang menyisir rambutnya di depan cermin. Ia bahkan tidak tahu rambut istrinya sekarang sudah sepanjang bahu. Padahal, seingatnya, rambut Saejin hanya sepanjang atas bahunya. Bukan hanya rambutnya saja yang memanjang, tapi…perutnya? Apa ia semakin gendut? “Rambutmu jadi panjang.” Saejin cekikikan begitu mendengar gumaman Kris.
“Kau baru tahu? Ah, ya, kau hanya ingat potongan rambutku tiga bulan yang lalu,” ucap Saejin lalu menaruh sisirnya di meja rias. Kris terus menatap gerak-gerik Saejin dengan teliti tanpa mengedipkan matanya yang hampir kering. “Untuk apa mengawasiku, tuan Wu? Aku tidak akan membunuhmu diam-diam.”
Kris segera menggelengkan kepalanya dan mengedipkan matanya yang mulai terasa perih. “Tidak. Dan jangan kau memanggilku dengan nama asli,” ancam Kris yang lalu berdiri dari kasur dan menuju pintu kamar. “Ah, ya. Bagaimana Alvin tahu kau menangis tadi malam?” tanya Kris yang tidak jadi keluar.
“Karena aku menelponnya. Dan, kenapa kau tahu aku menangis tadi malam? Bukannya kau tak peduli?” serang Saejin. Kris kembali mengepalkan tangannya kuat. Tapi, kali ini dia tidak akan menampar Saejin atas serangannya. Ia sedang bimbang. Antara jika ia lakukan itu dia akan di usir oleh Alvin atau bahkan di bunuh karena menampar anaknya, dan atau…ia merasa amarahnya mulai bisa dipendam karena ia menyayangi Saejin.
“Han Saejin.—“
“Tidak, Kris. Aku tidak menceritakannya,” potong Saejin. Kris terkejut. Ia segera melepas kepalan tangannya dan menatap Saejin aneh. Ya, aneh. Ia merasa aneh karena setelah banyak kejadian yang ia lewati bersama Saejin, wanita itu tak pernah menceritakan kekesalan, kesakitan, dan kesedihannya pada Alvin. “Kenapa?”
Saejin segera mengalihkan tatapannya pada Kris. “Karena itu akan membuatmu hancur dan tidak berhasil mendapatkan Han Seven Seas,” jawab Saejin santai. Kris kembali terkejut. Kenapa sosok Han Saejin yang biasanya tidak peduli dengan keadaannya yang berjuang mati-matian mendapatkan Han Seven Seas yang menurutnya sangat berharga itu bisa jadi peduli?
“Kenapa? Bukannya kau selalu tak peduli akan itu?” Saejin tersenyum tipis sampai-sampai suaminya tak menyadari bahwa Saejin sedang tersenyum. “Aku memang tidak peduli akan itu. Tapi, aku peduli akan kau. Kau tahu, aku mencintaimu Kris, walaupun kau tidak suka akan kenyataan itu. Aku mulai peduli karena jika kau tidak berhasil, kau mungkin saja akan melukai ayahku dan diriku. Atau, kemungkinan terparahnya, kau akan pergi dari kehidupanku selamanya.”
Kris, ia mungkin akan menghentikan detak jantungnya yang sekarang sedang berdetak sangat kencang. “Kalau kau tidak mau pulang sekarang ke Amerika, kau tinggal boleh tinggal di sini,” ucap Kris mengalihkan pembicaraan. “Baiklah,” sahut Saejin santai.
Baiklah? Han Saejin bilang ‘baiklah’? Kali ini, Kris benar-benar benci dengan tanggapan Han Saejin. Berarti, ia akan tinggal di Amerika sendirian sementara istri anehnya ini tinggal di London. Dan, ia tidak bisa bertemu dengan Saejin kalau-kalau ia membutuhkan Saejin dalam pelukannya saat tidur. Atau, tidak ada yang mengomelinya untuk memakai kemeja biru dibandingkan dengan yang merah.
“Tapi, Kris, aku sedikit khawatir kau akan menyusahkan orang-orang di Amerika karena kau tidak bisa tidur tanpa memeluk seseorang untuk memastikan kau masih tetap hidup.” Sial, wanita itu tahu segalanya. Bahkan, tanpa Kris mengucapkannya atau bertanya. “Jadi, Kris, apa menurutmu? Kau akan tetap tinggal atau kau akan pulang ke Amerika?”
“Berikan waktu setidaknya sampai lusa,” jawab Kris sambil melamun. Saejin mengangguk dan memutuskan untuk keluar kamar. “Aku sangat membutuhkanmu, Han Saejin. Sangat,” gumam Kris yang masih diam di dalam kamar.
-
-
-
Tuan Kwon menunggu Kris untuk segera keluar dari kamarnya. Tuan Kwon ingin memberitahukan Kris kalau lusa ia harus segera pergi ke Seoul. Bukannya Kris yang keluar, tapi Saejin yang keluar. “Tuan Kwon? Ada apa?” tanya Saejin ramah. Tuan Kwon membungkuk lalu membalas senyuman Saejin. “Tidak, Nona. Hanya mencari Tuan Kris,” jawab Tuan Kwon. Saejin sedikit mengintip ke dalam kamar. “Tuan Kwon, Kris kelihatannya sedang tidak ingin diganggu.”
Tuan Kwon tersenyum lagi. “Tak apa, Nona. Saya akan menunggu di sini.” Saejin mengangguk mengerti dan segera pergi ke ruang tengah. Setelah setengah jam Tuan Kwon menunggu, Kris keluar dari kamarnya dengan wajah lelah. Hal pertama yang Tuan Kwon segera membungkuk. “Tuan, Tuan Yi xing tadi datang.—“
“Apa katanya?” potong Kris cepat. “Tuan Yi xing bilang, lusa anda harus segera pergi ke Seoul karena ada konferensi penerbangan International,” jawab Tuan Kwon sabar. Kris mengangguk. “Baiklah. Terima kasih, Tuan Kwon,” ucap Kris langsung pergi. Tuan Kwon sedikit terkesima dengan tingkah laku Kris tadi. Karena, baru kali ini ia mengucapkan kata ‘terima kasih’.
Di lain tempat, Alvin Han sedang terduduk di ruang kerjanya sambil meminum wine tahun 1979 kesukaannya sambil memandangi suatu lukisan wanita yang sedang memegang kameranya untuk membidik sasaran potretnya.
“Dad, kuharap, suatu saat nanti aku bisa mengunjungi bintang.”
“Dad, kuharap, Mom tidak marah lagi dengan Dad.”
“Dad, kenapa Mom tidak pernah datang ke acara ulang tahunku?”
“Dad, kenapa Mom tidak memberikan harapan ulang tahun?”
“Dad, kuharap, Mom mau menonton pertunjukan baletku.”
“Dad, tolong bilang ke Mom kalau dia harus menyaksikan aku bertanding Softball.”
Alvin teringat beberapa ucapan Saejin ketika kecil. Alvin tersenyum kecil mengingat itu. Dan, lukisan wanita itu adalah lukisan Saejin. Saejin kecil yang melukiskan imajinasinya tentang ibunya yang sedang memotret bintang-bintang yang bertaburan di langit malam.
Alvin bahkan masih ingat ketika ulang tahun Saejin yang ke 5 tahun, ia memaksa mantan istrinya untuk menghadiri acara ulang tahun Saejin. Tapi, ketika dia datang, dia bahkan tidak mau memberikan ucapan selamat atau memberikan kado.
“Mulai sekarang, aku tidak ingin menjadi ibumu lagi. Dan ingat, aku bukanlah istri ayahmu yang brengsek itu lagi.”
Saejin kecil hanya memeluk kakinya di bawah meja sambil memerhatikan gemericik hujan yang lebat di luar. Ia sama sekali tidak menangis.
“Dad, kenapa Mom membenciku?”
Terkadang, Alvin merasa ia adalah orang yang bodoh ketika ia mengingat pertanyaan itu. Ia sendiri sering bertanya pada dirinya, apa ia adalah ayah yang berhasil? Apa ia ayah yang berhasil mendidik anaknya? Apa ia ayah yang terbaik bagi putri semata wayangnya? Apa ia sudah cukup memberikan kasih sayangnya pada Saejin?
Alvin menaruh gelas wine-nya di meja kaca sebelahnya dan meraba lukisan yang masih terlihat lukisan anak kelas 2 SD. “I won’t let anybody hurt my Saejin, I promise.” Ia mengatakan itu setelah ingat akan luka ujung bibir Saejin tadi pagi. Kemudian, Alvin segera mengambil ponselnya yang tadi berdering. Ya, dia adalah orang sibuk, dan ia harus mengangkat satu persatu telepon yang datang.
Alvin segera keluar, meninggalkan sisa wine yang tinggal sepertiganya lagi.
-
-
-
“Han Saejin.”
Han Saejin segera menoleh ke ruang makan dari ruang tengah. “Ya?” Kris segera meminum susunya cepat dan berjalan ke arah Saejin. “Alvin dimana?” Saejin melihat ke sekeliling. “Ia ada rapat.” Kris mengangguk. “Perutmu… Kau bertambah berat badan?” Wajah Saejin terlihat menyembunyikan sesuatu karena ia terlihat panic. “Tidak.—maksudku iya!” Kris mengagguk lagi.
“Kris.”
“Yap?”
“Apa kau sudah melupakan kejadian yang kemarin?”
“Saat aku menamparmu?”
“Ya.”
“Tentu sudah,” jawab Kris cepat. Saejin mengangguk. “Bagaimana jika Dad tahu?” Kris menoleh. “Selama kau tidak melaporkannya.—“
“Bagaimana jika Dad tahu sendiri?” Kris menatap Saejin sedikit panic. “Aku punya firasat buruk, Kris,” ucap Saejin. Kris hanya menatap kosong. Ya, seperti yang selama ini ia prediksi, Alvin mungkin akan membunuhnya dengan tangannya sendiri. “Alvin mungkin akan membunuhku.”
“Tidak, Kris.” Kris menatap Saejin tajam. “Kenapa?”
“Menurutku.—“ Tiba-tiba ponsel Kris berdering. Ada telpon masuk dan Kris segera mengangkatnya.
“Menurutku, Dad mencoba memisahkan kita dari takdir, Kris,” lanjut Saejin getir tanpa Kris mendengarkannya.
-
-
-
Alvin Han masuk ke rumah mewahnya dengan jalan santai. Ia melihat sekeliling rumah dengan bosan. Ya, pasalnya, rumahnya terlalu sepi. Tapi, matanya segera menangkap sesuatu. Ia melihat Tuan Kwon yang panic bersama semua pelayan yang lain menyaksikan Nona Han kesayangan mereka jatuh terduduk di lantai dengan pipi yang sangat merah dan ujung bibirnya luka lagi. Alvin segera mengikuti pelayan-pelayannya menuju pusat keributan.
Betapa terkejutnya Alvin melihat putri kesayangannya merintih kesakitan sambil memegang ujung bibirnya yang berdarah. Kris, ia menatap tangannya yang bergetar. Ia telah menampar istrinya lagi. “Kris.” Suara dingin Alvin yang penuh emosi dan amarah menginterupsi keadaan panic di rumahnya. Kris segera menoleh dan mendapati Alvin yang menatap Kris tak percaya.
Flashback
Before the tragedy
“Kris, kau harus segera membawa Saejin pulang ke Amerika. Kau tahu, kita hanya perlu Han Seven Seas! Jangan sampai kau jatuh cinta pada gadis itu.”
Kris berteriak frustasi. Baru saja ia mendapat telpon dari ayahnya. Ia segera menjambak rambutnya sendiri. Ini gila. Ini sangat gila. Ia tahu maksud dari ayahnya. Ia harus menculik Saejin, dan membunuhnya agar Alvin memberikan apa saja demi menyelamatkan putrinya. Tapi yang lebih parah adalah, ia telah jatuh cinta pada Saejin. Itulah sebabnya kelakuannya kadang menjadi sangat kasar, dan juga lembut.
“Kris?”
Suara lembut itu menambah pikiran Kris kacau. “Apa lagi?!” bentak Kris. Saejin tak bergerak, ia hanya membeku. “Kau ada masalah?” tanya Saejin lagi yang makin membuat pikiran Kris teracak sehingga ia hampir kehilangan akal sehatnya. “Iya!” Saejin masih diam di tempatnya. “Kenapa?”
“KAU!”
“Kenapa aku?”
“Karena kau…Aku mendapat tugas ini! Aku harus mendapatkan Han Seven Seas dengan cara menikahimu! Kau tahu? Aku hanya menambahkan dosa pada diriku. Mana mungkin aku menculikmu dan membunuhmu?!,” amuk Kris tak terkendali. Saejin masih diam. “Kalau begitu.—“
“BISA KAU DIAM?!” Plak. Kris menampar Saejin keras hingga Saejin jatuh. Suara tamparannya membuat semua berlarian untuk mendatangi lokasi mereka. Tangan Kris segera bergetar hebat. Ia tahu ia salah. Ia pasti akan langsung di pancung oleh Alvin.
Present.
“Kris.” Suara dingin Alvin yang penuh emosi dan amarah menginterupsi keadaan panic di rumahnya. Kris segera menoleh dan mendapati Alvin yang menatapnya tak percaya. “KAU APAKAN ANAKKU?!” bentak Alvin sambil menarik kerah baju Kris dan menampar Kris keras. “JADI INI SEBABNYA SAEJIN MENANGIS KEMARIN? JADI INI SEBABNYA UJUNG BIBIR SAEJIN LUKA? JADI INI KRIS? TAPI KENAPA SAEJIN YANG HARUS KAU TAMPAR, BRENGSEK?!” amuk Alvin.
Kris diam sambil menutup matanya. Ia tahu ia salah. Ia sangat salah. Sekarang, ia terancam akan di depak dari kehidupan Saejin.
“NONA SAEJIN!” teriak Tuan Kwon yang menyebabkan semua orang langsung menoleh kepadanya. Han Saejin, ia pingsan dengan darah yang keluar dari selangkangannya, ujung bibir, dan juga hidungnya. Alvin Han segera melepas kerah Kris dan menggendong Saejin panic ke dalam mobil. Sekarang, bagi Alvin, yang terpenting anaknya selamat.
-
-
-
“Nona Saejin kehilangan bayi-nya yang berumur satu bulan. Lalu, Nona Saejin sekarang mengalami koma. Kita hanya bisa berdoa agar Nona Saejin bisa selamat.”
Kata-kata dokter itu terngiang di pikirannya. Saejin hamil? Ia bahkan tak tahu. Ah, ia baru teringat tentang tadi pagi. Ia melihat perut Saejin yang semakin besar. Tapi sekarang, Kris memijat pelipisnya kasar. Ia hanya bisa mengharapkan yang terbaik bagi Saejin. Perlahan, air matanya jatuh. Ini pertama kalinya seorang Kris menangis karena cinta.
Drap. Drap.
Suara derap kaki Alvin Han terdengar di seluruh penjuru lorong. Kris segera menoleh ke sumber suara dan berdiri. Alvin Han menatap Kris dingin dan sinis. Ia sangat marah. Jelas, ia terlihat sangat melindungi anaknya. “Dia hamil. Apa kau tahu, Kris?” tanya Alvin dingin tanpa melihat Kris yang tertunduk.
Kris menggeleng pelan dan disambut oleh tawa sinis Alvin. “Kau suaminya bahkan tak tahu?”
“Sungguh keterlaluan,” lanjut Alvin. Alvin segera mendekati Kris dan menamparnya keras hingga Kris jatuh ke lantai. Sekarang, ia meringis kesakitan saat ia menyentuh ujung bibirnya yang robek kecil. “Itulah rasa sakit Saejin saat ia menerima tamparanmu,” sindir Alvin.
Kris berusaha untuk bangun dan berdiri. Alvin menatap Kris dengan tatapan meremehkan. “Asal kau tahu, tadi adalah saat terakhir kau bertemu dengan Saejin.” Kris membulatkan matanya terkejut dan menatap Alvin tak percaya. “A-apa?”
“Ya. Aku sudah hapuskan semua ingatannya akan masa lalunya denganmu dan sekarang, namamu akan terhapus selamanya dari ingatannya.” Kris merasakan hatinya sakit. Sangat sakit. Bahkan mengalahkan rasa sakit di ujung bibirnya. “Dan, mustahil untuk dia mengingatmu. Aku akan berusaha untuk menjauhkanmu dengan malaikatku. Maka dari itu, segera pulang ke China,” tutup Alvin kejam.
Alvin segera mengangkat kakinya dari lorong sepi itu. Ia meninggalkan Kris sendiri yang sedang termenung dan menyesal. Kris meninju tembok rumah sakit dengan keras hingga tangannya berdarah. Pasti itu sakit. Tapi, tak bisa mengalahkan rasa sakit hatinya.
Besok, malaikat hidupnya tak akan pernah mengingat namanya, saat-saat bersamanya, atau bahkan rasa cintanya pada Kris. Besok, matahari hidupnya tak akan pernah muncul lagi di depan matanya. Besok, nafas hidupnya tak akan pernah lagi memberikan pelukan hangat baginya. Selamanya, ia takkan pernah mendengar teriakan protes Saejin akan kemeja yang harus dipakai Kris setiap ia pergi ke kantor.
Ya, mulai besok, Kris akan berada di kampung halamannya. Berusaha untuk tidak mengusik kehidupan yang baru bagi Han Saejin. Kris melihat tubuh Saejin yang tertidur nyenyak di ruangan itu dari kaca bening di pintu. “Goodbye, Han Saejin. Forever goodbye.”
Epilog
One week before the tragedy
Han Saejin’s Diary
I love Kris. I love everything about him. Even he does not love me; I just want him to stay beside me. Even he doesn’t like to marry me. Even he doesn’t show his smile to me. I love him. I love Kris. I love Wu Yi Fan.
Han Saejin, 13 October 2013
Kris tersenyum membaca diary Saejin pada hari itu. Saat itu, Saejin sedang menonton acara kesukaannya di tv. “I love you too, Han Saejin. And always be like that.” Kris segera menoleh ke arah Saejin di ruang tv. Ia tersenyum walaupun Saejin tak melihatnya. “Han Saejin, everytime, I always loving you. Always”
“And you know it’s too late. Too late to realize what you’ve done. Too late to realize what was your feel. And, too late to stop the things who’s go wrong.”
- Everytime –
-end-
Note: helooooo! Aku mencoba peruntungan di dunia per-ff-an exo nih teman teman! Aku, xianhyuk(siapa tau kalian pernah tau), mencoba bikin ff dengan bias utama di exo yaitu…..KRIS! tau ga sih, aku rada ngebut nyelesainnya! Jadi, maaf ya kalau gejeL kalian bisa ngasih kritik dan saran atas ff absurd aku ini! Aku sangat berterima kasih pada kalian yang berani nge-kritik aku! Dan untuk sarannya, aku minta saran apa sebaiknya aku bikin sequel atau nggak. Dan, kalian bisa visit wordpress pribadi aku di: haeloveskyu.wordpress.com (karena bias aku gacuma Kris doang, dan aku suka kyu dan hae:p). aku coba bikin sequelnya dan mungkin akan di post di blog pribadi (karena kalau di send ke exoff mungkin bakal lamaL)
Thanks for reading!
Love from me,
Xianhyuk<3
