Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

My Lady

$
0
0

My Lady

by doujingxiu (@dokyugnsoo) | oneshot | hurt/comfort | pg
kai (exo) x soyeon (oc), broken!d.o. (exo) x soyeon (oc)
disclaimer: alut, plot, cerita, adegan, oc milik author kecuali exo.
a/n:
-
huruf yang dicetak miring berarti flashback
- kalo ada yang ngebingungin bisa tanya aja, silahkan nn
- give me review juseyooo. soalnya pertama kali ngepost di wp ;;;w;;
- udah pernah di post di wp author sebelumnya (http://doujingxiu.wordpress.com/) nn

 

mylady

 

“Tidak… tidak mungkin!”

Seru sendu Lee Soyeon menggema di ruang rawat itu. Air mata mengalir deras dari matanya, melewati pipinya dan menetes di ujung dagunya. Isakan tangisnya semakin menjadi-jadi saat tim medis menutup jenazah di hadapannya dengan selimut rumah sakit.

Ia menarik salah satu kru dan memegang kasar bahunya, “Katakan padaku, berapa banyak kalian dibayar untuk melakukan semua ini?! Berapa banyak kalian dibayar untuk berpura-pura—dan, dan—”

Tuduhannya terhenti saat ada sepasang lengan yang menariknya lembut, menenangkannya. Sepasang lengan itu bukan lengan kekasihnya—karena yang ini lebih kuat dan panjang, tapi ia merasakan kedamaian yang sama. “Tenangkan dirimu, Soyeon. Aku ada di sini, tenang saja,” bisik orang itu. Dan benar saja, setelah itu otot-otot Soyeon yang tegang pun rileks, meski hatinya masih tidak tenang.

Beberapa menit kemudian, seorang dokter bedah memasuki ruangan dan mengecek identitas pasiennya yang memang benar-benar sudah meninggal dunia. “Do Kyungsoo, 22 tahun, 10 Januari 2015, jam tujuh lima belas,” ujar sang dokter dan asistennya dengan sigap menulis detail-detail tersebut.

Salah. Kini, kedua kaki Soyeon mulai bergetar lagi setelah mendengar itu semua. Tidak benar. Buliran demi buliran air mata kembali meluncur dari kedua matanya. Kekasihnya, Do Kyungsoo, tidak boleh mati.

Seiring dengan kembalinya rasa panik Soyeon, sepasang lengan yang sedari tadi mendekapnya pun semakin erat.

 

 

 

Mereka duduk di sebuah kafe pada suatu senja, beberapa jam setelah meninggalnya Kyungsoo. Hujan dengan deras mengguyur Seoul seakan ikut berduka atas kejadian yang menimpa Soyeon.

“Aku Kim Jongin,” ujar pemuda itu. Soyeon, yang hanya melamun dengan matanya yang sembap dan merah, mengangguk pelan. “Aku teman Kyungsoo. Aku juga sedih mengetahui kabar ini. Dan selain itu… Kyungsoo hyung juga menitipkan sesuatu yang sangat penting padaku.”

Soyeon refleks menoleh ke arah lawan bicaranya.

“Dan sesuatu, eh lebih tepatnya seseorang itu adalah… Kau.” Jongin menghela nafas dan kembali menatap gadis di depannya. Soyeon memang manis, terlihat sederhana dan memiliki aura seperti magnet; tipe Kyungsoo.

Tak ada perubahan pada air muka Soyeon, hanya jari-jarinya saja yang mulai bergerak tak beraturan di atas meja. Mengetuk-ngetuk dengan sebuah ritme yang tidak jelas;  mungkin menggambarkan suasana hatinya yang semakin kacau. “Jadi, ini semua direncanakan?” tanya Soyeon pelan.

Karena suara Soyeon yang bergetar, Jongin hampir tidak mendengarnya. “Di… direncanakan—?”

“Kematian Kyungsoo direncanakan? Karena semua terlihat seperti disengaja… terutama saat kau datang.” Wajahnya yang memang sudah pucat, kalau mungkin memang bisa, menjadi lebih pucat. Ekspresinya terlihat kaku, dan seakan-akan akan menyakitkan jika ia menggerakkan meski hanya satu otot wajahnya.

Dari air muka Soyeon, Jongin tau ia menahan duka, perih dan sakit hatinya mengingat kembali orang yang dicintainya.

“Aku tidak tau, Soyeon,” bisik Jongin. Tangannya meraih tangan Soyeon yang sedari tadi tidak berhenti bergerak di atas meja. Dengan lembut, ia mengelus tangan gadis itu. Matanya menyorotkan kehangatan pada Soyeon. Seakan mengusir segala kekhawatirannya untuk menjauh. “Aku tidak tau.”

 

 

 

Selang beberapa hari kepergian Kyungsoo, Soyeon baru menyadari betapa kehilangannya ditinggalkan oleh seorang Do Kyungsoo. Kini ia selalu menangis hingga ia tertidur di setiap malam; karena Kyungsoo. Tanpa diinginkannya, kenangan bersama mendiang kekasihnya terus saja menggentayangi seperti hantu. Bagaimana ia bisa menatap ke depan dan menghadapi masa depan, ketika rencana masa depannya hanya terisi oleh Kyungsoo, Kyungsoo, Kyungsoo… dan menikah dengan Kyungsoo.

 

Myungdong pada sore hari tidak lagi panas. Wajah-wajah dan postur tubuh yang tak ia kenal berlalu-lalang di trotoar. Ia berlari-lari kecil dan berbelok ke sebuah toko kosmetik.

Wajahnya menjadi cerah saat melihat wajah familiar beberapa meter di depannya. Lee Soyeon. Ia menyerukan nama itu dan seketika sang gadis menoleh. Soyeon tersenyum dan menghampirinya.

“Kyungsoo!” serunya, seceria wajahnya. Soyeon mencium pipinya dan menjalin jari mereka. Ia mengucapkan salam kepada rekan-rekan kerjanya sebelum keluar dari toko tersebut bersama Kyungsoo.

Kyungsoo hanya diam seribu bahasa, tak mengatakan apapun, bahkan ekspresinya tak menunjukkan apapun. Netral. Soyeon selalu tau bahwa pasti ada yang ia sembunyikan jika ia mulai bertingkah seperti ini.

“Hei,” panggil Soyeon lembut. Saat Kyungsoo melihatnya—dengan ekspresi datar yang sama—ia seketika cemberut. “Aku ada di sini, tau. Jangan abaikan aku.”

Kyungsoo tersenyum geli dan menepuk pipi Soyeon. “Iya, aku tau kau di sini.”

Muka asam Soyeon dalam sekejap digantikan dengan senyum jahilnya, “Aku tau kau menyembunyikan sesuatu. Jangan coba-coba menipuku.” Ia menggoyangkan kedua alisnya. Wajahnya hampir seperti ekspresi Spongebob saat ia tau Squidward menyukai krabby patty.

Sang lelaki hanya tergelak melihat sisi kekanak-kanakan kekasihnya yang susah sekali dihilangkan. “Baiklah, aku kalah,” Kyungsoo tersenyum dan menyelipkan tangannya ke dalam saku celananya. “Aku memang menyembukan sesuatu.”

Dalam hitungan beberapa detik, sudah ada sebuah kotak cincin tepat di depan hidung Soyeon.

Ini yang aku sembunyikan,” ucap Kyungsoo sungguh-sungguh dengan senyum yakin. Keterkejutan di raut wajah Soyeon tak dapat disembunyikan, dan belum kunjung hilang meski saat Kyungsoo menariknya ke teras sebuah sembarang kafe.

Kyungsoo penuh dengan senyum bahagia dan sedikit aura kegugupan. Matanya berkilauan dalam harap dan kegirangan, juga cinta. Ia menyodorkan kotak cincin itu kepada Soyeon yang duduk berlawanan dengannya. Dengan perlahan, sang lelaki membuka kotak itu tanpa melepaskan pandangannya dari Soyeon.

“Maukah kau…” ia memulai dengan sedikit terbelit dalam melisankan kata-katanya, namun kalimat selanjutnya meluncur dengan yakin dan mantap, “Maukah kau menikah denganku? Menjadi istriku? Pendampingku?”

Memang rasanya tidak romantis mengajukan lamarannya di teras kafe seperti ini, tapi segalanya tak lagi berarti untuk Kyungsoo. Hanya jawaban Soyeon yang benar-benar ia antisipasi saat ini.

Hampir saja Kyungsoo tak mendengar hembusan nafas Soyeon yang mengucapkan “ya” dengan sangat pelan. Ia pun meminta Soyeon mengulang lagi, dan kali ini dengan lantang, Soyeon menjawab, “Ya, aku bersedia.”

 

Semua bayangan indahnya akan masa depan bersama seorang Do Kyungsoo, menjadi seorang Do Soyeon, melahirkan dan merawat anak-anak dari Kyungsoo, semuanya pupus sudah. Kini calon suaminya sudah tak lagi hidup di dunia dan mendampinginya.

Jikalau Kyungsoo masih hidup, pasti mereka berdua sekarang sedang sibuk mencari pakaian pengantin, menyusun acara-acara di pernikahan mereka kelak, menentukan jadwal pada acara pernikahan mereka. Tapi nyatanya, sekarang mereka telah terpisahkan di dunia yang berbeda. Soyeon berpijak pada tanah dan Kyungsoo melayang di langit, di tempat yang lebih baik, tanpa Soyeon.

Semua terasa tidak adil.

Di saat Soyeon berpikir bahwa Kyungsoo adalah miliknya untuk selamanya, Tuhan mengambil Kyungsoo darinya. Tuhan memang begitu egois padaku, geramnya dalam hati.

Pikiran-pikiran itu pun segera tersapukan saat ia merasakan ada sebuah tangan hangat diletakkan di atas punggung tangannya. Tangan itu tak seperti tangan Kyungsoo yang jauh lebih mungil tapi tak semungil tangannya, tangan itu tak selembut telapak tangan Kyungsoo yang nyaman, tidak sama seperti Kyungsoo. Karena pemilik tangan itu bukan Kyungsoo.

Yang ia inginkan saat ini, hanya Kyungsoo.

Kyungsoo. Kyungsoo. Do Kyungsoo.

“Soyeon…” panggil sebuah suara, membuat Soyeon terbuyar dari kenangannya akan Kyungsoo.

Jongin.

Jongin masih di sana, tetap ada di sisi Soyeon meski sang gadis tak benar-benar menghargai keberadaannya. “Mari pulang… kafenya sudah mau tutup.” Suara Jongin seakan-akan memiliki daya untuk menenangkan Soyeon yang masih saja terpuruk dalam kesedihannya.

Sang gadis menghela nafas lelah dan berdiri dengan lemas. Akhir-akhir ini, ia menghabiskan waktunya mengenang Kyungsoo di kafe tempat Kyungsoo melamarnya. Dan selalu ada Jongin yang mengantar jemputnya. Ia baru menyadari sudah berjam-jam mereka habiskan di kafe hari ini dengan Jongin yang selalu setia memperhatikan gerak-gerik Soyeon tanpa merasa bosan ataupun jenuh.

Janjinya tentang menjaga Soyeon ternyata bukan main-main.

 

 

 

Soyeon belum pernah benar-benar memperhatikan Jongin, sampai suatu saat ia tidak sengaja melihat Jongin tertidur di atas sofa di kamarnya. Ia hanya berniat mengambil air minum saat ia menyadari Jongin sedang lelap meski posisi tidurnya tak terlihat nyaman.

Saat itu, ia mendekati Jongin perlahan. Ia baru menyadari Jongin tampan. Wajahnya memiliki karakter dewasa tapi kekanak-kanakan masih tersirat di wajahnya. Begitu lugu.

Tanpa sadar, tangannya sudah membelai pipi Jongin, membuat sang pemuda mendengkur halus tapi tak terbangun. Ia tak merasa bersalah, ia merasa memang begini harusnya. Ada satu rasa aneh yang ia rasakan… bahwa Jongin miliknya, dan ia adalah milik Jongin. Jadi, bagaimana dengan Kyungsoo?

Ia tidak tau.

 

 

 

Jongin terbangun pada suatu pagi yang cerah, disambut dengan rasa nyeri pada pundak dan tengkuknya. Ia mengernyitkan dahinya. Efek dari tidur di sofa. Sebuah aroma khas mengusik indra penciumnya yang baru saja berfungsi. Aroma sarapan pagi.

“Um, Jongin,” panggil sebuah suara dari luar pintu yang terbuka sedikit. Suara itu sudah mulai familiar baginya, meski Jongin baru mendengar suara itu berbicara beberapa kali. “Mari sarapan.”

Mendengar Soyeon, wajahnya langsung segar dan segala macam rasa sakit yang beberapa menit lalu ia rasakan pun hilang. “Oh, ya, tunggu!” Jongin menyahut dan buru-buru ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya.

Saat keluar dari kamar, orang yang Jongin cari sedang di dapur, menghadap kompor. Aroma pancake begitu kental di udara, membuat Jongin semakin sadar akan rasa laparnya. Tak hanya itu, ada juga rasa di sekujur tubuhnya yang seakan-akan melayang karena ia tau Soyeon memasak sarapan untuk mereka. Berdua.

Tapi rasa bahagia itu berangsur menghilang saat tatapannya jatuh pada sebuah figura yang membingkai sebuah foto Soyeon bersama Kyungsoo. Lokasinya terlihat tak asing, tapi Jongin tidak terlalu ingat tentang tempat di mana foto itu ambil. Jongin merasa bersalah pada Kyungsoo yang hanya memintanya  untuk sekedar menjaga Soyeon, bukan untuk menggantikan posisi Kyungsoo di hidup Soyeon.

“Jongin, mengapa kau melamun di situ? Ayo makan!” ajak Soyeon. Masih tersirat duka di matanya, tapi tertutup oleh senyum hangat dan ucapan manisnya. Jongin menoleh ke arah foto itu sekali lagi dan berjalan ke meja makan.

Setidaknya, untuk sesaat Jongin dapat menyingkirkan rasa bersalah itu.

 

 

Bau harum kue-kue melekat di penciumannya. Soyeon tersenyum dan melihat cupcake-cupcake yang dipajang di sana sebagai jualan. Semuanya terlihat enak, dan ia yakin rasanya juga melebihi enak.

Saat ada dehaman di belakangnya, Soyeon berbalik. Wajahnya bersinar saat melihat Kyungsoo dengan baju kemeja kotak-kotaknya. Sekilas, sang pria tak terlihat seperti chef karena pakaiannya yang kurang formal untuk seorang chef.

“Aku belum pernah benar-benar melihatmu memakai baju chef,” komentar Soyeon datar. Itu lah yang selalu ia katakan setiap berkunjung ke toko bakery keluarga Do.

“Memangnya harus?” Lengan Kyungsoo mulai menjalar ke pinggang Soyeon, dan sang gadis langsung menepuk punggung tangannya. Ia tertawa geli.

“Ya, harus, karena itu adalah permintaanku,” tegas Soyeon, tapi Kyungsoo tau Soyeon hanya bercanda. “Oh, iya, aku seharusnya tidak boleh lama-lama di sini. Aku hanya ingin mengecek keadaanmu. Semangat, ya, kerjanya. Sampai jumpa, sayang.” Dengan itu, ia mengecup pipi Kyungsoo dan melambaikan tangan.

Soyeon pergi lagi.

 

Ia menghirup udara di toko bakery itu. Baunya masih lengket dan bau manisan, tapi ada yang kurang. Tak ada lagi sosok laki-laki dewasa berbadan mungil yang ia cintai berlalu lalang di belakang konter. Tak ada lagi sosok yang menghampirinya setiap ia datang dan mengucap kata-kata manis untuknya. Tak ada lagi sosok chef yang selalu mengenakan kemeja kotak-kotak.

Soyeon semakin merindukan Kyungsoo. Setengah nyawanya seakan hilang bersama Kyungsoo yang telah pergi. Perih di hatinya tak mau pergi, apalagi kini ia malah mengunjungi tempat di mana banyak memori bersama Kyungsoo terukir. Kakinya selalu mengarah kesini setiap ia tersesat, untuk mencari peneduh hati. Tapi kini peneduh hatinya tak lagi ada.

 

 

 

Beberapa hari ini Jongin tak mengunjunginya lagi. Mungkin terlalu sibuk hingga lupa akan Soyeon. Kesepian yang Soyeon rasakan semakin menjadi-jadi dari waktu ke waktu. Tak lupa juga rindunya kepada Kyungsoo. Suara merdu Kyungsoo, tingkah konyol Kyungsoo, bijak dan dewasanya Kyungsoo—segala tentang Kyungsoo… terutama rasa nyaman yang ia rasakan ketika bersama Kyungsoo.

Semuanya hilang—direnggut secara tiba-tiba.

Tak terpikirkan.

Tak terduga.

Soyeon merasa semuanya salah. Tak ada keadilan untuknya.

Basah merayapi pori-pori wajahnya. Soyeon menangis. Isaknya tak kunjung berhenti saat kenangan bersama Kyungsoo berkelebat di benaknya. Ada sesuatu yang memuntir di dadanya, bergerak tak nyaman dan menyesakkan.

Berkali-kali Soyeon memukul-mukul dimana ia merasakan sakit itu, tapi tak kunjung hilang. Ia mengerang. Apa yang dapat ia harapkan di saat ia hanya tinggal sendirian di sebuah apartemen kelas menengah? Tak ada yang mendengarnya, tak ada yang akan menenangkannya dengan pelukan dan kecupan-kecupan hangat, tak ada yang akan berada di sisinya menghadapi kerapuhannya.

Tak akan ada lagi orang yang akan melindunginya, memperhatikannya, mencintainya seperti Kyungsoo.

 

 

 

Sudah dua minggu semenjak meninggalnya Kyungsoo, dan semenjak itu lah Soyeon lebih mengenal sosok Kim Jongin, yang kini juga ikut menghilang. Tanpa ada kabar.

Tuhan sepertinya benar-benar membenci Soyeon hingga membatasi kebahagiaannya. Terkadang Soyeon berpikir apa dosa besar yang pernah ia perbuat sehingga ia tak pantas bahagia bersama orang yang ia cintai.

Soyeon terlahir sebagai anak tunggal, dan kini hidup sendirian di kota besar bernama Seoul. Ibunya tinggal di kota lain dengan ayahnya yang lumpuh, membuatnya menjadi tulang punggung keluarga dikarenakan umur orangtuanya yang sudah sepuh. Kini setelah ia memantapkan jalan hidupnya, Tuhan menghancurkan rencananya. Merenggut Kyungsoo dari sisinya.

Banyak yang mengatakan bahwa ia seharusnya merelakan apa yang sudah pergi. Tapi ia tidak mau. Ia masih membutuhkan kehangatan Kyungsoo di sampingnya setiap waktu. Ia masih membutuhkan dukungan Kyungsoo di hari-hari dimana ia terjatuh dan susah untuk kembali bangkit. Ia masih membutuhkan kasih sayang Kyungsoo yang memberinya kekuatan tanpa tau batasan apapun.

Tapi di saat Kyungsoo kini tak lagi ada, ia lumpuh. Hatinya hancur. Mungkin waktu pun tak dapat menyembuhkan lukanya yang begitu dalam.

Otaknya pun tak mau berhenti mengingat kenangan-kenangan bersama Kyungsoo. Yang semakin menyiksanya seiring waktu berjalan. Bahkan ingatan tentang orangtuanya yang menderita tak mampu membuatnya meraih kembali semangat hidupnya.

 

 

 

Brakk!!

Suara tubrukan antara benda padat terhadap benda padat yang lain itu begitu nyaring, membuat orang-orang di sekitar menoleh ke sumber suara.

Kim Jongin.

Jongin membungkukkan badannya hingga sempurna 90 derajat, meminta maaf karena kerusuhan yang ia buat. Ia segera membereskan kemasan-kemasan kosmetik yang ia jatuhkan saat terlalu terburu-buru masuk ke toko.

Langkah seseorang yang mendekatinya tak terlalu diindahkan, Jongin masih menahan malunya karena begitu ceroboh di depan umum. Setelah memastikan barang-barang jualan itu tak ada yang cacat, ia akhirnya membalikkan tubuhnya.

“O-oh, Soyeon!” Jongin langsung meluruskan badannya, memperbaiki rambutnya tanpa benar-benar ia sadari. “Hai!”

Soyeon hanya menatapnya geli, tapi tak memojokkannya. Tatapan itu membuat Jongin melayang ke langit ke-7. “Hai,” sahut Soyeon datar.

Sang laki-laki sempat melongo beberapa saat sebelum teringat akan tujuannya datang ke toko kosmetik ini. “Eh, itu… Soyeon—” ucap Jongin terbata, ‘ya?’ jawab Soyeon, “—aku kesini—aku datang kesini untuk menjemputmu. Jadi, eh… maukah kau pulang… eh, bersamaku? Um, hehe.” Tatapan Jongin begitu memelas, mungkin karena ia menyadari betapa konyolnya pertanyaan yang ia tuturkan kepada Soyeon. Sebagai tambahan, ia memasang aegyo-nya yang tak begitu pantas bagi wajahnya yang dewasa.

Yang ditanya hanya melengos entah kemana, meninggalkan Jongin dengan pertanyaan mengambang di udara dan ditemani juga oleh tatapan-tatapan dari pekerja-pekerja lain di sana. Jongin memang sangat memalukan.

Tapi tak lama setelah itu, sudah ada yang menggamit lengan Jongin dengan lembut.

Soyeon.

Debar jantung Jongin terus berdegup lebih cepat dan cepat. Jongin tak pernah menduga tindakan agresif seperti ini dari seorang Lee Soyeon. Namun, rasa penasarannya berangsur terjawab saat ia mendengar sayup-sayup percakapan pekerja di sana, “Aku senang Soyeon sudah mulai bisa menerima kenyataan bahwa Kyungsoo-sshi sudah tidak ada, bla bla bla,” atau yang menjurus ke hal itu.

Saat Jongin menoleh ke arah Soyeon, sang gadis terlihat mengeraskan rahangnya. Wajahnya memerah tapi tak terlalu kentara. Matanya berkaca-kaca tapi ia terus mengedipkan matanya untuk menahan air matanya jatuh. Karena Jongin tau, Soyeon tak akan bisa berhenti sekali ia menangis.

“Jongin…” bisik Soyeon lirih, menyandarkan kepalanya di bahu Jongin, tepat di saat mereka sudah di luar toko. Meskipun banyak orang, mereka tau bahwa orang-orang itu sudah biasa dengan adegan-adegan seperti ini di depan umum.

Tubuh Jongin menegang saat ia merasakan tubuh Soyeon yang bergetar. Ia langsung menggenggam tangan Soyeon yang hampir membeku. “Jangan khawatir… aku di sini.” Hanya kata-kata itu yang dapat Jongin gumamkan beberapa kali, terus menerus sampai Soyeon bisa mengambil alih kendali dirinya.

“Pulang sekarang?” tanya Jongin, kini lembut dan tulus. Senyumnya pun begitu hangat, hampir menggetarkan dunia Soyeon. Hampir. Pertanyaan singkat itu hanya terbalas dengan anggukan kecil.

Kedua insan itu pun menyusuri lautan manusia menuju rumah. Bergandengan tangan tak lepas.

 

 

 

Apartemen itu sepi. Hanya suara hembusan angin menggerakkan tirai jendela yang terdengar. Jendela terbuka sedikit, membiarkan angin dan cahaya dari luar masuk melalui celah tersebut. Matahari sudah mulai tenggelam, menyinari Seoul dengan warna oranye kemerahan.

Jongin dan Soyeon ada di sana. Tepatnya di dapur—Jongin sibuk berlalu lalang dan Soyeon hanya duduk termangu. Keadaan saat itu sangat kontras dengan drama-drama dimana sang perempuan lah yang sibuk di dapur membuat makanan untuk lelakinya.

“Minum,” perintah Jongin, menyodorkan segelas air putih yang segera diminum oleh Soyeon. Setelah memastikan Soyeon meminumnya tanpa tersedak, Jongin segera kembali ke depan kompor.

Tangannya dengan gesit menggenggam gagang wajan dan satu lagi mengaduk-aduk masakannya. Memang sederhana—hanya spaghetti instan. Tapi Jongin membuatnya dengan kerja yang lumayan keras karena ia belum pernah benar-benar memasak. Setelah selesai dan memindahkan spaghetti-nya ke atas piring, Jongin mengusap peluhnya. Hanya seperti itu sudah menguras tenaga Jongin.

Soyeon yang memang hanya termenung sejak menit pertama mereka memasuki dapur, tidak terlalu memperhatikan Jongin. Pikirannya masih mengulang kata-kata teman-teman sepekerjanya. “Aku senang Soyeon sudah menyadari bahwa Kyungsoo-sshi memang sudah tidak ada.” Mungkin mereka memang benar. Mungkin memang seharusnya ia berhenti terbayang oleh Kyungsoo yang sudah pergi. Ia bisa menyimpan kenangan bersama Kyungsoo tanpa harus menginginkan semua terjadi lagi. Dan meski Soyeon sudah tidak lagi menunggu Kyungsoo yang jelas tak akan kembali, setidaknya ia masih memiliki ruang khusus untuk Do Kyungsoo.

Sang gadis mendongak. Ditatapnya punggung Jongin yang lebar. Postur tubuhnya bagus. Jongin terlihat sangat tinggi—atau mungkin itu hanya karena Soyeon baru menyadarinya. Ia berdiri dan perlahan mendekati laki-laki itu. Kedua lengannya menjulur ke sisi tubuh sang laki-laki dan ia memeluknya.

Hangat.

Aman.

Tentram.

Itu yang Soyeon rasakan saat tubuhnya bersentuhan dengan punggung Jongin. Rasa itu sama dengan di saat Soyeon bersama Kyungsoo dulu.

Pelukan tiba-tiba yang Soyeon berikan, membuat Jongin menghentikan aktivitasnya. Kompor langsung dimatikannya. Jongin membalikkan badannya, menatap Soyeon yang beberapa inci lebih pendek darinya. Gadis itu langsung membenamkan wajahnya di dada Jongin. Pelukannya erat di pinggang Jongin, tapi tak menyesakkan. Jongin mengakui ia menyukai ini.

Soyeon menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Jongin yang penasaran memintanya mengulang lagi.

“Biarkan seperti ini,” gumamnya tapi lebih jelas sekarang. “Jangan lepaskan.”

Sang lelaki hanya mengangguk, lengannya merangkul Soyeon. Tangannya mengelus rambut Soyeon yang tergerai. Ia ingin melindungi Soyeon—kali ini dari keinginannya sendiri. Bukan karena pesan mendiang Kyungsoo atau apa.

Tapi mungkin karena ia mencintai Soyeon.

 

 

 

1 bulan terlewati. Soyeon mampu menjalani sebulan itu dengan cukup tabah selama ada Jongin di sampingnya. Tapi memang tidak bisa dipungkiri, rasa rindu itu semakin menyesakkan. Kehadiran Jongin sangat berbeda dengan kehadiran Kyungsoo.

Dan di saat-saat seperti ini lah, di mana Soyeon paling merindukan Do Kyungsoo.

Soyeon merindukan belaian-belaian kasih sayang dari mendiang kekasihnya itu; Soyeon merindukan cara Kyungsoo berbicara, berjalan, tersenyum, menangis, cemberut; Soyeon merindukan bisikan-bisikan lembut yang Kyungsoo lontarkan setiap mereka terbangun di pagi hari; Soyeon merindukan bibir Kyungsoo yang penuh, mengecup keningnya lama; Soyeon merindukan tingkah Kyungsoo yang memang kurang romantis dan agak kaku namun manis; Soyeon merindukan rasa di mana hatinya berdesir di saat Kyungsoo menjalin jari-jari mereka. Soyeon merindukan Kyungsoo—dan salahkah itu?

“Kyungsoo…” bisiknya lirih. Nada dari suaranya seakan-akan menyatakan bahwa ia menginginkan Kyungsoo ada di depannya saat ini. Ia terisak. “Mengapa terlalu cepat…”

Sang gadis mengepalkan tangannya—erat. Tak peduli sedang berada di ruang ganti karyawan, ia menangis sesenggukan. Kedua kakinya lemas dan gravitasi menarik  tubuhnya ke bawah. Dunia seakan berputar. Perutnya terasa mual. Kepalanya seakan mau pecah. Matanya panas. Tenggorokannya kering.

Soyeon merasa ini semua sudah melampaui titik batas tertinggi ketegarannya. Tatapannya langsung jatuh pada gunting yang berada beberapa meter di depannya. Mungkin ia bisa mendapatkan ketenangan jika ia bergabung dengan Kyungsoo saja di dunia yang berbeda. Ia menyeka air matanya kasar, tak peduli bahwa ujung kukunya menggores pipinya sendiri. Dengan langkah bergetar, ia berjalan tertatih-tatih menuju gunting yang ada di atas meja itu.

Saat jemarinya beranjak meraih gunting itu, sebuah tangan menghentikannya. Tangannya itu menahan lengannya yang hendak mengambil gunting. Soyeon menatap pemilik sang tangan—tepat di matanya yang tajam dan berkilat bahaya.

Jongin.

“Kau pikir kau sedang apa sekarang,” geramnya, tak bernada seperti pertanyaan tapi Jongin memang bertanya pada Soyeon. “Kau kira aku akan membiarkanmu berakhir seperti itu saja?”

Perlahan pegangannya pada lengan Soyeon merenggang, dan ia mulai bicara. “Aku tau aku bukan Kyungsoo, Soyeon. Tapi aku tidak akan pernah membiarkanmu sendirian dalam balutan gelap duka.”

Ini bukan lah kali pertama Jongin memeluk Soyeon, tapi perasaan itu masih sama  sejak pertama kali mereka saling berdekapan. Anehnya, Soyeon juga merasakan hal yang sama.

Mungkin kini Kyungsoo hanya sebuah kenangan kelam yang tertanam dalam hati Soyeon. Yang mungkin akan dapat membuat Soyeon keluar dari dunianya yang selalu berkabung. Yang mungkin akan menjadi penyemangat bagi Soyeon untuk meraih kembali kebahagiaannya yang pernah hilang.

 

 

 

Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan terlewati. Masih ada setitik duka yang Kyungsoo tinggalkan di hidup Soyeon.

Tak peduli sekeras apapun Soyeon mencoba, ia tak bisa. Bahkan dengan bantuan Jongin, bahkan dengan dorongan prinsipnya sendiri yaitu; “Jangan biarkan apa yang sudah mati menghancurkan yang masih hidup.”

Cintanya pada Kyungsoo terus saja menghantuinya. Terutama di hari ini.

21 Desember 2015.

Tanggal di saat seharusnya mereka menikah. Tanggal di saat seharusnya mereka mengucap janji sehidup semati. Tanggal di saat seharusnya mereka berbahagia.

Tetapi, yang terjadi justru Soyeon hanya bisa terus saja membiarkan air matanya mengalir hingga ia tak sanggup menangis lagi. Yang terjadi justru Kyungsoo pergi dan tidak kembali lagi. Yang terjadi justru semua gagal terjadi.

Kamarnya terkunci rapat. Jongin yang sedari tadi setia menunggunya di balik pintu kamar tak lagi mengganggunya. Tangisnya meledak untuk ke sekian kalinya. Rasa sesak di dadanya itu muncul lagi. Ribuan ‘mengapa’ meluncur dari bibirnya. Seluruh tubuhnya bergetar, kepalanya begitu berat, semua kata-kata tercekat oleh isakannya.

Soyeon hancur.

 

 

 

1:41 AM.

Hari telah berganti.

Soyeon kini terlelap dalam dekapan Jongin yang hangat. Jongin tetap terjaga, tak terasa kantuk olehnya. Hatinya masih begitu nyeri melihat betapa hancurnya Soyeon, betapa frustasinya Soyeon hanya karena seorang Do Kyungsoo yang sudah mati.

Kyungsoo tak akan lagi bisa memberikan Soyeon kebahagiaan, tak akan lagi bisa membuat hari-hari Soyeon menjadi indah, tak akan lagi bisa melihat Soyeon tersenyum untuknya. Jongin lah yang kini bisa melakukan itu. Karena Jongin masih hidup, Soyeon masih hidup; ia bisa membahagiakan Soyeon, tapi Kyungsoo, Kyungsoo sudah mati.

Maafkan aku, Kyungsoo hyung. Aku juga mencintai Soyeon. Dan aku yakin, aku bisa mencintai Soyeon lebih dari yang kau mampu. Aku bisa membahagiakan Soyeon karena kini kau tak akan lagi bisa melakukan itu. Aku berjanji akan terus mengukir senyumnya mulai dari hari ini. Karena dari itu, hyung, relakan dia. Berikan ia padaku. Buatlah dia melupakanmu, hyung. Itu yang terus saja Jongin tuturkan di dalam hatinya. Seakan-akan dengan begitu, Kyungsoo dapat mendengarnya, mengerti dan mematuhinya.

Jemari Jongin meraih rahang Soyeon, mengusap pipinya lembut dan menyingsingkan helaian rambutnya ke belakang telinga. Soyeon begitu indah. Dan akan lebih indah bila bayangan hitam yang melingkari matanya, guratan-guratan kesedihan di wajahnya, dan kehampaan di air mukanya, hilang. Soyeon akan terlihat paling indah jika ia terlihat bahagia.

Dan keinginan Jongin saat itu hanyalah satu: menjadi orang yang dapat membahagiakan Soyeon setelah kesedihannya yang berkepanjangan.

Jongin akan menjadikan Soyeon wanitanya, tak peduli apapun.

 

 

 

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Soyeon kembali terbangun dalam dekapan seseorang.

Tetapi bukan Kyungsoo.

Rasa yang dihantarkan pelukan itu sama seperti pelukan Kyungsoo, tapi tetap saja berbeda. Sama, namun berbeda. Membingungkan, namun menenangkan.

Sinar matahari menyisip lewat tirai jendela, membuat Soyeon sempat mengerjapkan matanya. Aroma tubuh Jongin berbeda dengan Kyungsoo tetapi Soyeon merasa begitu aman dan segalanya terasa begitu… tepat.

Dengan setitik keberanian, Soyeon mengulurkan tangannya, memeluk pinggang Jongin. Sang lelaki masih terlelap, begitu pulas dan dengkuran halusnya membuat Soyeon semakin ingin memeluknya lebih erat dan erat. Wajahnya begitu lugu dan damai, dengan guratan-guratan lelah yang tak terlalu kentara. Jongin terlihat seperti anak kecil yang terjebak di dunia orang dewasa.

Soyeon terenyuh, merasa tersentuh. Meskipun Jongin masih muda dan masih punya banyak waktu untuk berkarya dan mewujudkan mimpinya, Jongin lebih memilih menyia-nyiakan itu semua demi Soyeon. Menjaga, merawat, memperhatikan… menyayangi Soyeon.

Menyayangi, Soyeon tersenyum sinis sembari mengulang kata itu, hanya sekedar menyayangi, bukan mencintai. Mungkin aku tak pantas dicintai. Apalagi oleh seseorang seperti Jongin.

 

 

 

Hari itu dimulai dengan Jongin terbangun dalam keadaan Soyeon memeluknya begitu erat. Hangatnya matahari tak sehangat hatinya saat semuanya terasa begitu nyata. Soyeon… memeluknya.

Meski terbersit pikiran tentang nafas pagi harinya, tapi Jongin tetap mengecup singkat kening Soyeon. Sang gadis sudah terbangun, Jongin tau benar itu. Ia tersenyum, Soyeon melakukan ini di alam sadarnya.

Terasa wajah Soyeon semakin dibenamkan pada dada Jongin yang bidang. Sang lelaki membiarkannya karena sudah merasa terlalu nyaman. Semua ini jauh lebih bermakna daripada sekedar ucapan ungkapan cinta yang sering didasari oleh dusta. Seakan-akan, mereka berdua dapat merasakan cinta mereka terhadap satu sama lain. Seakan-akan, ada pemancar yang menyiarkan sinyal cinta mereka tanpa mereka harus berucap.

Soyeon mengakui ia jatuh cinta pada Jongin.

Kejadian itu tak membuat mereka canggung, namun membuat mereka semakin banyak menggunakam telepati. Membuat mereka semakin dekat meski mereka belum resmi dalam hubungan apapun. Mereka lebih banyak berkomunikasi menggunakan bahasa tubuh dibandingkan dengan berbicara biasa seperti orang-orang pada umumnya.

Pagi berganti siang. Mereka mulai sibuk dengan aktvitas masing-masing. Soyeon bekerja seperti biasa di toko kosmetik di Myungdong, dan Jongin pergi ke studio untuk latihan dance bersama rekan-rekannya.

Waktu terasa begitu berbeda di saat mereka terpisah. Terasa begitu lama dan menyakitkan, perlahan menggerogoti mereka dengan perasaan rindu yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Terutama untuk Jongin yang belum pernah jatuh cinta.

Jam-jam sore, waktu pulang kerja, di saat itu lah mereka semakin gelisah ingin bertemu. Bahkan di saat kedua dari mereka sudah sampai di gedung apartemen.

Jongin datang lebih dulu. Musik yang sengaja ia setel tak mampu membuatnya melupakan bahkan sedikit rasa rindunya pada Soyeon. Dan bahkan, musik dengan volume penuh itu masih tak dapat menutupi suara menderik terbukanya pintu apartemen.

Soyeon berjalan menyusuri lorong pintu dan segera ke ruang tengah dimana Jongin sudah menunggu sembari berdiri. Tubuhnya terlihat lesu dan lemas tapi wajahnya langsung kembali bercahaya melihat pengisi hatinya. Ada keinginan untuk memberikan kecupan di pipi Soyeon sebagai tanda selamat datang, tapi itu semua terlalu berlebihan. Hanya seulas senyum yang Jongin tunjukkan pada Soyeon.

Kaku. Itulah kesan di benak mereka berdua. Tapi ada sesuatu yang lebih dari itu semua. Mereka tau ada sesuatu di balik kekakuan mereka. “Aku pulang.” Soyeon membalas senyum sang lelaki.

Jongin berseri-seri dan menunjuk pintu kamar mandi dengan dagunya, “Mandi dulu. Nanti istirahat.”

Soyeon hanya tersenyum dan masuk ke dalam kamarnya. Terkadang ia berpikir, hubungan apa yang ia miliki dengan Jongin—karena semua yang mereka lalui begitu intim. Bahkan—terkadang—lebih manis daripada masa-masa yang Soyeon lewati bersama Kyungsoo. Soyeon merebahkan dirinya di atas ranjang. Ia menatap langit-langit kamar dan memikirkan semua kemungkinan jika ia serius menjalani hubungan dengan Jongin. Tetapi, jika dipikir-pikir, Jongin belum pernah benar-benar menyatakan perasaannya.

Apakah mungkin Jongin merasakan hal yang sama dengan Soyeon? Dengan semua keakraban dan kenyamanan yang Jongin berikan?

Apakah mungkin tersirat cinta dalam kata-kata dan perbuatan Jongin? Terutama tatapannya kepada Soyeon?

Soyeon hanya bisa berharap, semua itu bukanlah sekedar mimpi.

 

 

 

Musim panas tiba. Orang-orang mulai mengambil waktu liburan mereka untuk bersantai. Tak terasa beberapa bulan telah lewat. Soyeon tak menyadarinya, begitu pula dengan Jongin. Tanggal menakutkan itu tak lagi begitu mempengaruhi Soyeon. Kyungsoo masih ada di hatinya, rasa rindu itu pun masih ada meski mulai berdenyut lemah.

Jongin yang sedang duduk di meja kerjanya melihat kalender. Sudah memasuki bulan Juni; yang berarti sudah menandai bulan ke-17 Jongin mengenal Soyeon, dan selama itu juga ia mencintai Soyeon. Perasaannya terus saja ditarik-ulur oleh dirinya sendiri karena ia takut, sangat takut bila kenyataannya Soyeon tak bisa membalas cintanya. Meski umurnya sudah dewasa, hatinya masih rapuh dan belum siap untuk dihancurkan.

Di musim panas ini, Jongin berencana untuk menghabiskan liburannya bersama Soyeon. Dan di saat itu lah ia akan melamar Soyeon. Persiapannya memang tidak matang—ia tidak butuh semua itu, ia hanya butuh keberanian. Jika ia membutuhkan waktu yang tepat, waktu itu tidak akan pernah datang karena ia tau dirinya tak akan pernah siap.

Modalnya kali ini hanyalah cinta.

 

 

 

Pagi yang cerah untuk kedua insan yang sedang jatuh cinta. Kedua insan itu sedang berbaring di ranjang, kulit mereka tertimpa cahaya matahari. Mata mereka terpejam, tapi mereka tak sedang tertidur. Tangan mereka terjalin longgar, tapi getaran rasa dari sentuhan itu begitu kuat.

“Soyeon,” satu dari mereka, Jongin, memanggil sang gadis. Yang dipanggil hanya mengangguk, tak berniat mengeluarkan suaranya. Jongin pun melanjutkan, “Aku ingin ke pantai.”

Mata Soyeon mengerjap terbuka perlahan. Wajahnya tak berekspresi, tapi dari matanya terbaca bahwa seakan-akan ia sedang memikirkan banyak hal. “Silahkan,” sahutnya dengan suara serak karena tenggorokannya yang kering. Jongin cemberut—sisi manjanya sudah mulai terlihat lagi.

“Maksudku denganmu, Soyeon,” jelas Jongin. Bibir Soyeon membentuk sebuah senyuman, matanya terpejam lagi seraya ia merasakan sensasi sinar matahari pagi yang menyisip ke bawah pori-pori kulitnya. Soyeon menghela nafas tanpa menjawab, dan beberapa menit kemudian, ia kembali ke alam bawah sadarnya.

Jongin yang dongkol memelototi sang gadis yang dengan tenangnya menarik dan menghela nafasnya. Ia mendesau dan mendekatkan tubuhnya ke tubuh Soyeon. Jarak tubuh mereka semakin dekat, tapi entah mengapa Soyeon terasa sangat jauh darinya. Selalu ada saja hal yang membuat Soyeon jauh dari gapaiannya, terutama di saat ia sudah merasa bahwa Soyeon miliknya.

Mungkin hal itu Kyungsoo, tapi Jongin tak mau lagi menatap ke belakang, dan Soyeon juga seharusnya begitu. Seharusnya. Tetapi, mungkin saja Tuhan belum berkehendak memberikan apa yang Jongin inginkan. Mungkin saja Jongin harus lebih bersabar, sedikit lagi.

Sabar? Sampai kapan terus bersabar? Sudah setahun lebih sejak meninggalnya Kyungsoo dan Soyeon masih mencintai lelaki yang sudah meninggal itu?

Sisi negatif dalam pikiran Jongin kini muncul, dan ia mencoba memeranginya. Ia terlihat bodoh, berdebat dengan dirinya sendiri, tapi ia bisa apa?

Cinta tak mengenal waktu.

Tak mengenal waktu? Iyakah? Tidakkah kau sadar pengorbananmu untuk Soyeon seperti sia-sia?

Suara itu sangat mengganggu, Jongin mengakui itu. Tapi jika tidak ia lawan, ia dapat kehilangan kontrol dan menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam sisi negatifnya itu. Bukan itu yang ia inginkan.

Ia menarik nafas dan memejamkan matanya, erat.

Bukan cinta jika kau perhitungan. Aku tidak pernah menganggap apa yang sudah kulakukan untuk Soyeon adalah pengorbanan.

Beberapa menit berlalu. Tak ada lagi suara mengganggu itu. Kini, Jongin pun tenang. Mungkin, hanya mungkin, ia bisa mempertimbangkan lagi apa yang sisi negatifnya bicarakan. Tetapi rasa cintanya mengalahkan semua itu.

Mencintai Soyeon bukan hal yang salah, dan ia tidak mau membuat hal itu menjadi salah.

 

 

 

Panas.

Di pagi yang cerah itu, cuaca sudah terasa panas di pinggir pantai. Sinar matahari mengecup lembut kulit para pengunjung dan angin yang hilang-timbul tak terlalu terasa.

Beberapa dari pengunjung itu memilih menggelar tikar dan berteduh di bawah pohon, salah satu dari mereka adalah Jongin dan Soyeon. Ya, pada akhirnya Soyeon mau tak mau menuruti keinginan Jongin untuk pergi ke pantai.

Jongin merenung sambil berbaring dan tatapannya melayang ke atas, entah kemana. Soyeon, dengan matanya yang terpejam, duduk bersila seraya menopang dagunya, sikunya bertumpu pada lututnya.

Udara pantai terasa lengket bagi mereka, tapi entah mengapa, ada perasaan yang tak asing di tempat ini. Padahal kedua dari mereka tak pernah begitu menyukai atau sering mengunjungi pantai. Hawa pantai mengingatkan mereka pada seseorang.

Do Kyungsoo.

Pantai berkesan ramai dan ramah, juga hangat; tempat untuk bersantai. Lautnya yang luas begitu misterius dan tenang, begitu menghanyutkan. Tetapi di saat yang sama, dapat menyebabkan kehancuran karena ombaknya yang suatu saat dapat tak terkendali. Mengibaskan apa yang ada di tepian dan menyapu habis semuanya.

Persis seperti Kyungsoo.

“Jongin,” bisik Soyeon.

“Ya, aku tau,” sahut Jongin tak kalah pelan. Mereka telah memahami isi pikiran masing-masing bahwa ada satu nama yang muncul di kepala mereka sejak pertama mereka menginjak pasir pantai.

Sebuah telapak tangan meraba lengan Jongin, mencari-cari telapak tangan Jongin, lalu mengaitkan jari-jari mereka. Digenggamnya erat tangan Soyeon oleh Jongin, karena hanya itu satu-satunya hal yang dapat ia lakukan untuk menguatkan Soyeon.

Hawa panas yang lembab memang membuat mereka cukup risih, tapi entah mengapa mereka sangat betah berada di pantai. Banyak hal yang mengingatkan mereka tentang Kyungsoo; bukan hanya buruknya, tetapi juga baiknya. Semua itu membuat mereka kembali pada masa lalu. Dan semua kejadian lampau di ingatan mereka datang, memutar semua rinci kejadian hingga terasa nyata.

Jongin yang pertama keluar dari kilas balik tentang masa lalunya. Ia tidak bisa terus terkurung dalam kebimbangannya. Genggamannya pada tangan Soyeon masih belum terlepas, dan ia memanfaatkan itu untuk membuyarkan lamunan Soyeon dengan menariknya berdiri.

Soyeon, di sisi lain, terkejut saat merasakan tangannya ditarik ke atas. Secara otomatis kelopak matanya terbuka lebar. Ia menoleh ke arah Jongin dengan heran, “Untuk apa itu?” Kernyitan di dahinya tak terlalu dalam namun menunjukkan bahwa ia tidak begitu suka perlakuan Jongin.

Saat mereka berdua sudah berdiri, Jongin mulai membereskan barang-barang bawaan mereka. “Aku sudah bosan hanya diam di sini, ayo kita jalan-jalan saja,” jelas Jongin sedikit tidak jelas. Soyeon mengerjap dan mengangkat bahunya. Sang gadis menurut apa saja yang Jongin inginkan karena ia sendiri juga tidak punya tujuan lain.

Setelah mereka selesai beres-beres, mereka langsung beranjak menuju entah kemana menggunakan van milik Jongin.

 

 

 

Satu jam terlewati, Jongin dan Soyeon masih berjalan-jalan tanpa tujuan. Mereka masih di daerah pantai, tapi kali ini mereka memasuki bagian yang sepi dengan jumlah pengunjung yang semakin menipis. Tetapi, justru di daerah pantai ini lah yang memiliki pemandangan paling indah dan banyak bukit karang. Jongin terus menyetir van-nya, mengikuti arah jalan. Soyeon melamun memandangi pantai itu.

Waktu terasa begitu cepat, karena jam yang ada di dasbor mobil telah menunjukkan pukul 3 lebih 45 sore. Pasangan itu masih di dalam mobil, mencari-cari tempat parkir yang setidaknya tidak akan menghalangi jalan untuk pengendara lain. Kini mereka ada di bagian pantai yang sama sekali tak terlihat pengunjung—mungkin terkecuali mereka—dan hanya terisi oleh mercusuar dan bukit-bukit karang.

Soyeon turun dari van lebih dahulu, pengelihatannya menyapu pemandangan pantai yang indah. Ombak bergulung dari tengah ke pinggir pantai. Udara begitu sejuk tak seperti pantai yang sebelumnya mereka kunjungi. Kicauan burung yang terlihat seperti saling mengejar di udara terdengar merdu.

Di sini surga.

Aroma seperti garam merayapi indra penciuman Soyeon. Sang gadis melangkah cepat—hampir berlari—ke area pantai itu. Jongin hanya mengikutinya dari belakang, memperhatikannya.

Soyeon memang lebih menyukai suasana pantai yang tenang seperti ini. Tidak ada keramaian atau keriuhan yang mengganggu kenyamanannya. Tidak ada pula panas yang lembab yang membuatnya risih dan gerah berlebihan. Ia merasa dalam kedamaian.

“Tempat ini seperti surga,” gumam Soyeon pada dirinya sendiri. Mengingatkanku pada Kyungsoo.

Jongin berada beberapa meter di belakang Soyeon. Tangannya menggenggam sebuah kotak cincin berwarna merah yang ada di dalam saku celananya. Ia belum terlalu mempersiapkan semuanya, tapi ia berharap ini adalah sebuah kejutan yang spesial untuk sang gadis.

“Hei,” panggil Jongin seraya berjalan lebih dekat kepada Soyeon. Soyeon yang merasakan keberadaan Jongin di belakangnya hanya menghela nafas. Jongin bergeser sedikit ke samping Soyeon, sebelah tangannya meraih tangan Soyeon. “Aku… aku…” gumam Jongin tak yakin.

Soyeon menoleh heran. Tanda tanya menghiasi ekspresinya. Jongin yang salah tingkah langsung mengalihkan arah pembicaraannya. “Eh, a-aku ingin mengajakmu ke bukit karang yang itu!” seru Jongin dan dengan asal menunjuk entah kemana. “Ayo!” Jongin pun langsung menarik Soyeon dan menuntunnya ke bukit karang terdekat.

Sang gadis memang sudah sedikit curiga dengan gelagat Jongin, tapi ia mengabaikan itu semua. Ia menaiki bukit karang itu dengan hati-hati meskipun sudah memakai alas kaki yang terbilang aman. Pegangan Jongin pada pinggangnya cukup erat untuk mendorongnya ke atas. Akhirnya dengan sedikit merangkak dan terpeleset beberapa kali, mereka berada di puncak bukit itu. Cukup tinggi dari permukaan laut namun pemandangannya dapat mengalihkan rasa takut Soyeon akan terjatuh ke dalam air.

Lautan begitu luas, begitu biru, langit pun seakan-akan melengkapi itu semua. Sinar matahari sore hilang-timbul di balik awan yang menggumpal seperti kapas. Soyeon meregangkan kedua lengannya. Angin sepoi-sepoi begitu lembut tertiup, mengibarkan beberapa helai rambutnya. Jongin yang dibelakangi oleh Soyeon terus menggenggam erat kotak cincin itu.

Sang lelaki memberanikan diri; ia melangkahkan kakinya ke sisi Soyeon. Ia menyebut nama sang gadis dengan nada yang penuh makna. Soyeon pun berbalik dan membuka matanya. Untuk kesekian kalinya di hari ini, Jongin membuatnya heran.

Dengan tekad yang bulat, Jongin berlutut dengan bertumpu pada salah satu lututnya. Awalnya ia belum berani menatap ke atas dan bertemu dengan pandangan Soyeon yang mungkin menunjukkan amarah, keterkejutan atau apa lah. Namun karena ini adalah pilihannya—menjadi suami dari Soyeon—ia pun mendongak.

Ekspresi Soyeon tak seperti yang ia bayangkan. Bukan terkejut, bahagia, sedih ataupun marah. Namun ekspresi ini lah yang justru paling Jongin takuti.

Kosong.

Tatapan mata Soyeon kosong, seakan-akan ia tidak bisa melihat. Jongin hampir saja menitikkan air matanya, namun Jongin tak mau menunjukkan rasa sakit hatinya di depan Soyeon.

“Lee Soyeon…” Jongin memulai, “Let me make you my lady. Would you marry me?

Dengan kata-kata lamaran itu, Jongin pun mempersembahkan kotak cincin merah yang ia sembunyikan sedari tadi di depan Soyeon. Jongin menelan ludahnya, memalingkan wajahnya dari Soyeon karena ia belum siap kalau saja Soyeon menolaknya.

Cairan entah darimana jatuh di atas kulit tangan Jongin yang memegang kotak cincin itu. Jongin langsung panik dan berpikir sudah gerimis. Tetapi, saat Jongin hendak berdiri, cairan itu bukan berasal dari langit. Tetapi mata Soyeon. Bukan hujan, melainkan air mata Soyeon. Kedua mata Jongin melebar. “Soyeon, jangan menangis…” Sang lelaki berdiri dan dalam waktu singkat Soyeon sudah berada di dalam pelukannya.

Butuh beberapa waktu untuk menenangkan Soyeon, dan di saat itu lah Jongin merasakan berat di dadanya. Seakan-akan ada yang tenggelam dan Jongin ingin sekali meledakkan tangisannya. Ia tidak kuat melihat Soyeon menangis. Tarik nafas, hembuskan, tarik, hembuskan, gumam Jongin berulang-ulang dalam hatinya.

“Jongin,” panggil sang gadis lemah. Ia menyematkan jarinya dengan jari Jongin, wajahnya terbenam di dada Jongin. Nafasnya yang masih tak beraturan dapat Jongin rasakan. “Let me be your lady, Jongin. And yes, I would marry you.”

Kata-kata yang terucap dari bibir Soyeon masih terasa tidak nyata untuk Jongin. Terutama di saat bibirnya bertemu dengan bibir Soyeon. Semuanya seakan-akan surealis. Bahkan rasa shocknya belum hilang sampai di saat Soyeon berhenti menciumnya. Beberapa detik kemudian, Jongin akhirnya keluar dari kebimbangannya dan percaya bahwa semua ini nyata dan bukan hanya bayangannya.

Jongin langsung mengecup kening Soyeon. Tak ada lagi suara yang mereka keluarkan bahkan hingga matahari terbenam. Yang ada hanyalah senyuman yang menghiasi wajah mereka. Hari itu adalah hari paling bahagia untuk mereka. Cincin yang sengaja Jongin pesan untuk melamar Soyeon telah terpakai di jari manis Soyeon. Rasanya tak akan ada lagi hari sebahagia ini bagi seorang Kim Jongin.

Hari di mana Soyeon telah benar-benar menjadi wanitanya.

 

fin.



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles