Title: Bitter Flashback
Genre: romance, fluff, angst
Rating: PG-13
Character: Byun Baekhyun (EXO), Lee Sungra (OC); one anonymous boy.
written by leesungra
Hujan itu menyenangkan –meski kadang dinginnya menggigit, tapi tidak ada yang bisa menandingi sensasi menggelitik yang muncul ketika impuls-impuls penciuman dihasilkan oleh ujung akseptor di dalam mukosa hidung, membuat otak –bukan hidung– merasakan aroma khas hujan. Kau tahu, campuran tanah dengan air yang tercium segar.
Benarnya sekolah sudah sepi sore begini. Kegiatan belajar-mengajar sudah berakhir dua jam yang lalu dan hari ini tidak ada latihan rutin kegiatan ekstrakurikuler manapun. Maklum, akhir pekan. Tidak ada kesepakatan tertulis tapi hampir semua klub sepakat untuk mengosongkan akhir pekan dari agenda latihan. Pantas saja di hari lain sekolah ini seolah tetap hidup hingga malam hari, semua berebut menjejalkan jadwal kegiatan tambahan dalam satu kali dua puluh empat jam waktu yang tersedia. Ungkapan lain –kalau bisa satu hari tidak hanya terdiri dari dua puluh empat jam. Terlalu singkat.
Jika disebut hampir, maka pasti ada satu atau dua partikel benda yang membuat tidak jadi munculnya frase ‘semua’. Partikel pengganggu itu adalah klub olahraga cabang basket yang mendapat jatah waktu sisa, hari yang dihindari semua orang untuk berkegiatan tambahan. Tapi toh kenyataan itu tidak mengurangi peminat klub basket yang kian meningkat saja tiap tahunnya. Klise, masalah prestise. Siapa sih yang tidak mengagumi para-anggota-klub-basket-yang-terkenal-populer-di-kalangan-para-siswa?
Ternyata ada.
Makhluk abnormal itu adalah seorang gadis. Selalu menatap dengan wajah tak tertarik tiap ada kehebohan yang muncul di koridor depan kelasnya saat manusia-manusia -yang mengaku- populer itu lewat. Lebih suka memasang earphone ke telinga saat terdengar ribut-ribut yang tidak teredam pintu kelas. Tak peduli. Indifferent.
Dan itu membuat satu orang tertarik. One particular person suddenly got attached to her.
Oh, baiklah. Belum waktunya masuk dalam komedi romantis picisan. Kembali ke awal cerita.
Kita membicarakan orang-yang-tertarik-pada-si-indifferent. Seorang laki-laki tulen, umur enam belas tahun. Anak kelas dua SMA yang kebetulan masuk dalam kategori populer tadi. Gadis itu sendiri adalah teman sekelasnya, anak yang acuh tak acuh pada lingkungan. Mungkin lebih tepat dideskripsikan sebagai manusia yang memegang teguh prinsip ‘Urusi urusanmu sendiri’. Dan kenapa ia bisa tertarik pada orang yang sama sekali tak mencolok begitu? Entahlah. Hanya Tuhan yang tahu, mungkin. Karena Tuhan jugalah yang telah menggerakkan benang-benang nasibnya agar menyinggung benang nasib gadis itu meski kelihatannya hanya sedikit yang bersentuhan.
Sore itu latihan basket baru saja selesai, tidak dipercepat meski hujan tiba-tiba mengguyur karena tidak berpengaruh sama sekali pada latihan yang dipusatkan di dalam gedung olahraga. Ia memutuskan untuk kembali ke kelas sejenak ketika menyadari bahwa ada barangnya yang tertinggal –tak terlalu penting, beberapa catatan saja. Hanya memang ada sesuatu yang sedikit penting di sana, catatan password apartemennya, berhubung dia manusia pelupa. Tidak lucu jika ia terpaksa harus menunggu hingga larut malam atau sampai salah satu dari kedua orang tuanya pulang untuk bisa masuk ke rumah.
Koridor bisa dibilang kosong, lampu-lampunya telah dinyalakan ajusshi penjaga sekolah. Ditambah udara dingin karena hujan membuatnya melangkah cepat karena ingin segera pulang dan menghangatkan diri di rumah. Lampu kelas-kelas tidak dinyalakan, tapi kenapa ada biasan cahaya yang muncul dari arah kelasnya? Ia melambatkan langkah, menajamkan telinga. Apa masih ada orang di kelas? Jam segini? Untuk apa?
Toh akhirnya ia kembali berjalan. Mengintip sedikit dari pintu dan melihat seseorang –yeoja– sedang duduk di salah satu kursi yang ada, wajahnya menghadap ke jendela. Yeoja itu hanya ditemani satu tas… ah, tas itu. Ia mengenalinya, diam-diam menghapalkan. Gadis yang itu.
Laki-laki tadi diam sejenak. Ragu memasuki kelas dan ragu menyapa. “Um… hai?”
“Ng?” yeoja tadi menoleh. Memang gadis itu. Ia mencoba tersenyum, memaksakan diri agar tak terlihat aneh. “H-hei, itu… kau tidak pulang?” sial. Seumur hidupnya tak pernah barang sekali saja ia merasa gugup ketika bicara dengan orang lain, bahkan dengan orang yang ia takuti sekalipun ia masih bisa mengatur suaranya agar tak gemetaran. Sekarang? Satu lirikan singkat sudah lebih dari cukup untuk membuatnya menderita.
“Hujan belum reda. Aku tidak mau hujan-hujanan.” gumam gadis itu sambil menatap ke luar jendela lagi. Memang benar, hujan sama sekali belum bisa dibilang reda, tapi tidak tampak sama sekali tanda bahwa ia kesal atau apa, yang ada justru senyum kecil di bibirnya. Tanda ia menyukai apa yang sedang ia lihat, bukan?
Laki-laki itu menggeleng perlahan lalu menghampiri mejanya yang terletak agak jauh dari tempat gadis tadi duduk. Ia mengambil beberapa lembar kertas dari laci, memeriksa ulang isinya, lalu menjejalkannya dalam tas yang terlihat penuh. Begitu tasnya kembali tersandang rapi di punggung, ia terdiam sejenak. Matanya melirik ke gadis yang masih bertahan di tempatnya, apa yang harus ia lakukan sekarang? Langsung pulang begitu saja dan menyia-nyiakan kesempatan seperti ini? Sangat bukan dia.
Ia melepaskan jaket yang ia kenakan. Ragu sejenak sebelum kemudian bergegas menyampirkan benda itu di pundak gadis yang tengah mengamati keadaan di luar jendela, membuatnya terkesiap kaget. “M, mwoya?”
“Kutemani sampai hujan reda.” katanya. Gadis itu mengerutkan kening, “Untuk apa? Tidak usah, lagipula aku juga tidak minta ditemani. Pulang saja, sudah sore.”
“Kalau begitu, biar kuantarkan kau pulang. Tidak baik kalau yeoja berkeliaran sendirian di jalan sore begini. Bagaimana?” ia tak percaya ia telah melontarkan alasan klise itu. Gadis itu menoleh, menatapnya tak percaya –matanya yang tiba-tiba membulat itu membuatnya kelihatan lebih manis.
“Ada apa ini? Lalu, tumben kau bicara denganku, pakai menawari pulang segala. Kenapa?” nada sengak itu lagi. Ia mengerutkan ujung hidungnya, menahan diri untuk tidak mencubit pipi gadis itu gemas. “Tidak apa-apa, hanya ingin saja. Kau keberatan?”
“Memangnya ada apa? Kau… tidak akan mengerjaiku, kan?” gadis itu menatapnya curiga. Sial, kenapa sulit sekali meyakinkannya, sih?
“Ya bukan begitu, hanya… seperti yang sudah aku katakan tadi, ingin saja.”
“Tapi—”
“Banyak tanya! Cepatlah!” laki-laki itu menarik pergelangan tangan gadis tadi hingga ia terpaksa berdiri. Tak menghiraukan sama sekali pemberontakan-pemberontakan kecil yang dilakukannya maupun omelan tak bermutu yang dilontarkan.
“Lepas! Jangan seenaknya memegang tanganku begitu!”
“Diam!”
“Ya! Bisa-bisa aku dibunuh penggemar gilamu itu!”
“Biar saja! Tidak ada yang lihat!”
“Berhenti! Aku akan pulang sendiri, tidak usah ikut campur urusanku!”
Ia berhenti, berbalik, menatap tajam gadis itu tepat di manik mata. “Berhenti berontak. Kau urusanku, selesai. Kaja.”
——
Hari hujan yang lain.
Seiring dengan deras hujan yang tumbuh makin cepat, tumbuh pula sesuatu yang berbeda di antara mereka berdua. Mungkin lebih dirasakan oleh laki-laki itu karena toh si gadis tetap saja menjadi manusia indifferent layaknya biasanya.
Setidaknya bisa sedikit lebih dekat dengannya cukup membuatnya senang.
Laki-laki itu tak tahu lagi harus mulai dari mana. Pengalamannya dalam mendekati yeoja memang sudah cukup banyak –bahkan kadang ia tak perlu repot-repot mendekati– tapi dengan yeoja seperti ini? Nol besar.
Ia tak paham apa saja yang disukai gadis itu. Apa makanan favoritnya? Apa dia suka mendengarkan lagu pop, atau mungkin jazz? Apa yang ia lamunkan tiap pelajaran sejarah? Apa yang ia lakukan dengan pensil dan kertas coret-coretan di depannya? Saat inilah ia baru sadar bahwa ia benar-benar tidak punya bekal apapun untuk mendekati gadis itu. Sial. Harus bagaimana?
“Hei. Ayo kerjakan tugasnya, cepat, aku ingin pulang!”
Laki-laki itu tersadar dari lamunannya. Yang ia temukan adalah wajah gadis itu yang sedang mengomel di depannya, terpisahkan oleh meja perpustakaan yang lebar. Hanya ada mereka berdua di perpustakaan yang relatif sepi ini –tunggu, ini bukan kencan. Ada tugas kelompok dan kebetulan –betapa ia menyukai kebetulan yang satu ini!– mereka berada di kelompok yang sama, mendapat jatah pekerjaan yang sama pula. Mau tak mau mereka harus mengerjakannya bersama dan gadis itu lebih memilih mengerjakan sekarang dengan alasan agar tidak terburu-buru, syukur kalau bisa langsung selesai. Meski awalnya sempat berkeras untuk mengerjakan sendiri –karena hari ini ada latihan basket– tapi toh gadis itu akhirnya pasrah saja setelah laki-laki tadi memaksa habis-habisan. Dan ia harus setengah mati menahan diri agar tidak terlalu menunjukkan euforianya.
“Ng, aku sedang mengerjakan.”
“Lambat, sama saja.”
“Daripada kau mengerjakan sendiri? Ayolah, semua orang juga tahu kalau dua orang itu lebih baik dari satu!”
“Tidak kalau denganmu. Ck, sudahlah…” ia menyilangkan kakinya, memasang pose superior sambil menatap laki-laki itu yang masih terdiam di depannya. “Kenapa diam? Tidak bisa mengerjakan lagi?”
“Aish~ daripada mengerjakan bagaimana kalau kita jalan-jalan saja?” gadis itu membulatkan matanya. Apa laki-laki ini sudah gila? Jelas-jelas ia menyuruhnya memngerjakan tugas!
“Shireo. Ini hujan, bodoh. Malas jalan-jalan.”
“Setahuku kau suka hujan, kan?”
“Ya, tapi tidak dengan hujan-hujanan. Sudahlah, kerjakan saja, atau kalau kau bosan kau bisa pulang sekarang.” dan ia terbelalak saat tiba-tiba laki-laki tadi menutup buku-buku yang ada di depannya. “Ya! Aku belum selesai!”
“Besok saja, lagipula masih ada waktu, kan?” laki-laki itu menumpukkan buku-buku tebal tadi di satu sisi meja. “Nah, selesai. Kaja! Kau bisa pakai jaketku agar tidak kebasahan, selesai, kan?”
Lalu siapa yang mengira bahwa setelah acara jalan-jalan mendadak itu terjadi sesuatu di antara mereka? Tak ada yang tahu. Bahkan tak pernah terpikir dalam benak laki-laki itu bahwa di semi-kencan mereka berdua yang kedua ia akan mengungkapkan perasaannya dengan begitu saja –setidaknya berhasil, meski sempat membuat gadis itu histeris sesaat karena salah tingkah.
At least things work out well later.
Romantisme ala anak SMA yang makin hari makin serius. Tidak ada yang mengira bahwa hubungan mereka akan jadi sejauh itu –bukan jauh dalam konteks negatif, tapi yang positif. Bertahan lama dan cenderung aman-aman saja. Jarang ada pertengkaran, bahkan meski banyak yang mengganggu –contoh saja, para penggemar gila laki-laki itu di sekolah. Seolah memang telah ada yang mengatur dan menyengajakan semua itu –Tuhan, tentu saja. Cenderung monoton tapi toh tak ada yang protes. Tidak ada yang mengeluh bosan dan mengajukan tuntutan untuk berpisah. Mungkin memang sudah jalannya harus seperti ini.
Hingga lima tahun berlalu, hubungan mereka masih baik-baik saja. Dan laki-laki itu bersyukur karenanya.
——
“Kau lihat? Hari ini hujan. Favoritmu, kan?” namja itu menunjuk ke luar.
“Ng? Mana? Ma– a! Iya! Hujan~ boleh aku buka jendelanya sedikit?” benar saja, titik-titik air mulai menghiasi kaca depan dan samping mobil yang sedang menyusuri perlahan jalanan kota Seoul itu. “Silakan, tuan putri~” kata si namja sambil menahan tawa, telah cukup mafhum dengan tingkah gadis yang duduk di kursi penumpang mobilnya.
“Gomawo~ uwa~ bau tanah basah~” gadis itu menghirup napas dalam, membiarkan aroma tanah basah memenuhi rongga hidung hingga paru-parunya. Bau natural paling menyenangkan yang pernah ia temukan di dunia selama ia hidup.
Tetesan air makin deras turun dan gadis itu segera menaikkan kembali jendela mobil tanpa perlu diperintah. Hawa dingin mulai terasa –karena hujan dan ditambah pula karena AC yang mungkin dinyalakan dalam suhu yang terlampau rendah. Gadis itu memeluk tas tangan yang ia bawa –meski tak begitu membantu, setidaknya bisa sedikit membuatnya merasa lebih hangat. Terburu namja itu mengambil jaket yang ia sampirkan di sandaran kepala kursi penumpang, “Pakai dulu, ara?”
Tak ada jawaban lisan, hanya isyarat anggukan dan senyum yang menjadi balasan. Suasana kembali tenang. Hanya terdengar alunan pelan lagu dari speaker ditingkahi suara hujan yang menghujam kap mobil. Mereka berdua sibuk dalam pikiran masing-masing dan tidak ada yang mencoba memulai pembicaraan.
“Mm… ada cafe di sana, mau coba? Sambil menunggu hujan reda, hehe.”
“Ng?” masih ekspresi blank yang sama. Selalu begitu kalau gadis itu tak paham apa yang baru saja dikatakan orang.
Dan ia, masih menyukainya sejauh ini. Ekspresi itu selalu bisa membantunya menenangkan diri ketika sedang banyak pikiran, seperti sekarang.
“Cafe, sayang. Latte lagi?”
——
Seorang pelayan datang dengan membawa dua cangkir. Asap tipis menguar lamat-lamat, membawa aroma khas latte hingga menyebar di udara. Gadis itu menghentikan obrolannya dan –seperti biasa– mengamati latte art yang ada di permukaan cangkir. “Aku tidak pesan bentuk apa-apa kan tadi?”
Laki-laki itu menggeleng pelan. “Seingatku tidak. Memangnya kenapa?”
“Gambarnya hati. Tidak mungkin kan barista di sini jatuh cinta padaku?” gadis itu bertanya polos. Namja di depannya tergelak, “Tentu saja tidak mungkin! Lagipula kalau ia berani jatuh cinta padamu maka dia harus melewatiku dulu, ingat?” ia tersenyum dan meraih telapak tangan gadis itu, merangkum jemarinya. “Tidak ada yang boleh berada di dekatmu selain aku. Yang mengisi pikiranmu, kecuali aku. Yang menggenggam tanganmu seperti ini. Mengerti?”
Pipi gadis itu memerah karena apa yang dilakukan oleh kekasihnya. Ia memalingkan wajah ke samping, ganti memperhatikan bayangannya yang sedikit terpantul di kaca. Selebihnya menunjukkan jalanan yang basah kuyup oleh tetesan air hujan. Mengamati keadaan di luar hingga ia merasakan sesuatu terselip di jari tangannya, dingin dan… berbeda.
Yang ia dapati adalah sebentuk tipis cincin perak.
“Pas! Bagus sekali! Aku jadi tidak sabar menunggu hingga minggu depan~”
Pipinya kembali bersemu. Ia menatap cincin itu dengan seksama, mengagumi kilauan perak di sana. Perasaan senang segera menghantamnya, hangat.
Seminggu menjelang pernikahannya dan rasanya perutnya seperti diaduk-aduk terus-menerus dari hari ke hari. Begitu senangnya suasana hatinya hingga ia sering tak menangkap perubahan air muka di wajah laki-laki itu ketika menatapnya, seperti… seperti ada beban berat yang menghantuinya dan membuatnya tidak bisa hidup dengan tenang.
Gadis itu tak perlu tahu, pikir laki-laki itu sambil memainkan jemari tangannya.
Gadis itu tak perlu tahu. Aku tak ingin ia khawatir. Aku tak ingin merasakan sesuatu yang bernama kehilangan dirinya dari hadapanku.
“Gwaenchanhayo?” gadis itu tiba-tiba bertanya. Laki-laki di depannya tersentak, tatapannya bertemu dengan gadis itu yang terlihat khawatir. “Kau tidak apa-apa?” tanya gadis itu lagi. Laki-laki itu menggeleng sembari melebarkan senyum, memastikan pada gadis itu bahwa ia tak apa-apa.
“Ne, nan gwaenchanha. Ah, mana cincinnya? Simpan lagi di sini, harusya kau baru boleh memakainya setelah pernikahan kita, bodoh~”
“Hanya tinggal seminggu lagi, apa bedanya? Ah~ cincin ini cantik~ aku saaaaaangat suka~ gomawo~”
“Ng? Untuk?”
“Sudah memilihkan yang terbaik untukku, hehe. Terima kasih~”
Karena senyumnya adalah hal paling berharga untuknya di dunia ini.
——
Ia tak bisa mengingat dengan jelas –lebih tepatnya, ia menolak untuk mengingat.
Ia hanya ingat bahwa ia mengenakan gaun putih panjang beraksen mawar imitasi di dada, sementara laki-laki itu bertuksedo biru muda hampir putih, warna yang ia pilihkan setelah mereka selesai mengurus gaunnya. Ia tidak ingat di mana mereka memilih tempat untuk menggelar upacara pernikahannya. Ia bahkan tak ingat jalan menuju ke sana karena ia terbiasa tidak memperhatikan jalanan, lagipula kan menghapal-hapal rute bukan tugasnya.
Yang ia ingat hanya… satu, perasaannya ketika berjalan sepanjang virgin road menuju altar. Lancar tanpa hambatan. Kedua, meski menyakitkan, ia masih mengingat senyum laki-laki itu saat mengucapkan janji di depan pendeta. Ketiga…
Satu orang yang menyela ketika ia akan berganti mengucapkan janji dan menghancurkan segalanya. Tepat ketika hujan menderu di luar.
Saat itulah ia berbalik membenci hujan. Semakin benci seiring dengan hatinya yang retak lalu hancur ketika mendengar apa yang dikatakan oleh si penyela sialan itu. Asanya meluruh bersama air hujan yang mengalir turun dari atap… dan air matanya yang membasahi pipi, mencetak berkas sungai kecil di sana. Masa depannya… ke mana lagi ia harus berpegang? Tak ada pegangan lain selain laki-laki itu baginya. Siapa lagi yang bisa menahan gejolak emosinya? Tidak ada. Tidak ada lagi.
Buktinya ia tak perlu berpikir dua kali sebelum mengangkat sebelah tangan dan menampar laki-laki itu keras. Padahal baru dua hari sebelumnya ia bermanja padanya, dan sekarang… ia dengan cepat memutuskan untuk membatalkan pernikahan yang sudah mereka rancang berbulan-bulan sebelumnya. Tidak memedulikan lagi suara ratap memohon yang diumbar laki-laki itu –seenaknya, dia pikir ia gadis murahan?
Sebenarnya di detik inilah segala macam kilas balik di otaknya berujung. Muara dari sungai memorinya dengan namja itu, goresan-goresan kecil yang memenuhi sebagian besar otaknya, berisi refleksi-refleksi apa yang pernah mereka lalui bersama. Dari awal hingga akhir. Pertengkaran-pertengkaran kecil, saling ledek yang berujung pelukan-pelukan singkat, interaksi dan afeksi yang menyenangkan, tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi saat berkencan. Semuanya terputar balik, semua isi buku tua kecil yang telah ia letakkan di sudut kosong benaknya, tak ingin ia sentuh lagi setelah seseorang menumpahkan tinta hitam di halaman dengan cerita terbaik yang telah ia tulis bertahun-tahun lamanya.
Lebih baik membiarkan halaman buku itu memudar dimakan usia dan menulis ulang buku baru yang telah ia siapkan sekarang.
——
Sudah lima menit ia mematung di situ. Diam saja. Membuat kerusuhan tiba-tiba terjadi di kapel kecil itu. Time-warping sepertinya memang bekerja saat otak sedang tenggelam dalam flashback di benaknya.
Berkali-kali appanya dan Jangmi melambaikan tangan di depan wajahnya. Keponakan kecilnya sesekali menarik ujung buket yang ia bawa, kebingungan. Sementara dengungan di baris demi baris tempat duduk terdengar makin rapat, gelisah. Suara-suara mengganggu yang membuat Sungra diam tadi juga bertambah keras, cenderung makin frontal. Apa kulit wajah mereka sudah sebegitu tebal hingga tak sadar bahwa mereka telah merusak sebuah upacara?
Dan Baekhyun… masih terdiam di depan altar. Meremas kedua belah telapak tangannya gelisah — kenapa lagi? Ada apa di sana? Kenapa Sungra tak juga beranjak dari tempatnya? Kenapa ia diam?
“Ada apa?” Chanyeol bertanya. Baekhyun menggeleng tanda sama tak tahunya. Ia bisa saja segera beranjak ke sana, tapi…
“Jangan nakal dengan nuna!”
–to be continued
