Black Magic
Chapter 1
Title : BLACK MAGIC (Chapter 1)
Cast : Kim Jong In (EXO, Kai) as Pangeran Jongin
Gong Chan Shik (B1A4, Gongchan) as Kim Chan Shik – Pangeran Chanshik
Kim Min Seok (EXO, Xiumin) as Raja Minseok
Choi Min Hyo (OC) as Ratu Minhyo
Wu Yi Fan (EXO, Kris) as Wufan – Penyihir Wu
Wu Jae Won (OC) as Wu Jae Won
Wu Ni Chan (OC) as Wu Ni Chan
Genre : Fantasy, Romance, Family
Rating : Teenage
Length : Multichapter
Author : @ririnovi
Chapter 1 ini konfliknya emang belum jelas sih, masih dalam tahap pengenalan tokoh sama latarnya. Terus nantinya di selanjut-selanjutnya kemungkinan bakal nambah cast nya lagi selain diatas. Gak banyak-banyak kok tapi paling beberapa orang cameo dan beberapa pemain utama juga.Lagi lagi pake cast Jongin karena emang kena pelet dia yang super dan susah lepas. Dan entah kenapa juga dapet mimpi Jongin ini jadi pangeran, yang namanya KEREN YA KEREN BANGET JONGIN DIDANDANIN ALA PANGERAN PANGERAN DI EROPA GITU. Hahay maafkan kalo berlebihan dan banyak omong ya, semoga menikmati ceritanya^^Oya sebelum ini ada prolog nya, jadi mohon dibaca dulu prolognya hehe
*
CHAPTER 1
Agak terburu-buru, Pangeran Jongin mengenakan pakaian kerajaannya. Hari ini istana akan kedatangan tamu lagi. Setelah memastikan rambutnya tertata dengan rapi, Pangeran Jongin mulai berjalan menuruni tangga menuju ruang utama. Pandangannya tertuju pada sebuah lukisan di dinding. Sebenarnya ia sudah sangat sering melihatnya, tapi entah perasaannya saja, atau memang lukisan itu terlihat semakin memudar? Bukan warna. Warnanya masih sama seperti saat pertama kali Pangeran Jongin melihatnya. Tapi ukiran kayu yang menjadi bingkai pada lukisan itu.
Sangat ia ingat, ayahnya pertama kali menunjukkan lukisan ini saat ia masih berumur 6 tahun. Entah kenapa, Jongin kecil saat itu sangat tertarik dengan cerita yang diberikan oleh Raja Minseok.
Ayahnya yang tak lain adalah Raja Minseok mendapatkan lukisan itu dari seorang seniman jalanan yang nekat masuk ke istana hanya untuk bertemu dengannya. Pelukis jalanan tersebut mengaku sangat kagum atas kepemimpinan Raja Minseok yang dinilainya sempurna dan berhasil. Saat itu keadaan istana sangat riuh. Si pelukis jalanan terus memaksa masuk meski sekumpulan prajurit menghalaunya dengan perisai yang mereka miliki. Melihat keadaan tersebut, Raja Minseok langsung bertindak.
“Tidak ada yang boleh melukai rakyatku.”, ucapnya dengan bijaksana. Membuat prajurit menurunkan perisainya. Secepat kilat pelukis jalanan itu menerobos kedalam dan berlutut dihadapan Raja Minseok.
“Ireona. Aku ada disini bukan untuk disembah. Cukup hormati aku seperti kau menghormati kawanmu sendiri.”, ujar Raja Minseok pada seniman yang umurnya mungkin tidak terpaut jauh darinya saat itu.
Seniman jalanan menurut dan segera memberikan bungkusan berbentuk persegi panjang yang cukup besar pada raja.
“Hamba mohon dengan segala hormat, sekiranya Baginda Raja mau menerima hasil karya hamba yang tak seberapa berharganya. Lukisan ini sebuah wujud penghargaan seorang seniman pada pemimpin yang mampu memperbaiki kerusakan di Negeri Pyeonghwa, hingga kini seluruh rakyat Negeri Pyeonghwa bisa bernapas dengan lega.”, ucapnya panjang lebar.
Raja menerima hadiah tersebut dengan tangannya sendiri. Pelayan kerajaan mencoba mengambil alih hadiahnya, takut-takut terdapat hal berbahaya yang tersembunyi. Namun, Raja Minseok kukuh ingin memegangnya secara pribadi.
“Siapa namamu?”, tanya Raja Minseok.
“Shin Daehyun.”, jawab si seniman tanpa menatap raja. Yang dilakukannya hanya menunduk tanda hormat.
“Indah sekali lukisan ini.”, puji sang raja.
Pujian itu bukan hanya omong kosong untuk menyenangkan hati seniman, tapi lukisannya memang benar-benar menakjubkan. Padanan warna yang menarik mata. Susunan gambar yang terlihat cocok dipandang. Belum lagi ukiran kayu yang membingkai lukisan tersebut. Benar-benar detail yang sempurna.
“Terimakasih, Baginda Raja. Sebuah penghormatan bagi hamba jika Baginda berkenan menerimanya.”
“Aku akan memasangnya di istana ini. Yang membuatku tertarik adalah ukiran kayunya. Apa kau memahatnya sendiri?”, tanya Raja Minseok masih menatap dalam pada lukisan.
“Benar, Baginda. Hamba sendiri yang membuatnya. Suatu saat Baginda pasti akan mengerti apa maksud ukiran kayu ini.”, ucap seniman memberi senyum hangat pada Raja Minseok.
Raja mengerutkan kening. “Apa ini sesuatu hal yang harus kupecahkan?”
“Hanya butuh waktu sampai Baginda mengerti.”
“Jongin-ah! Sedang apa kau disini? Ayo kita turun!”, ajak Pangeran Chanshik. Pangeran Jongin yang semula serius memperhatikan lukisan tersebut kini harus kembali ke dunianya.
“Ah ya, ayo kita turun bersama hyung!”
*
“Eomma, apa kita akan terus menunggu disini?”, tanya Nichan pada eomma-nya. Sudah beberapa kali ia menggerutu meminta pintu dihadapannya agar segera terbuka. Namun sama sekali tak membuahkan hasil.
“Sabarlah, beberapa menit lagi gerbangnya akan dibuka.”, jawab Wu Yi Fan, ayah Nichan.
“Tapi lama sekali. Apa orang-orang kerajaan itu sengaja tidak membukakan pintu untuk kita?”, gerutu Nichan.
“Bisa saja. Lebih baik kita pulang sekarang.”, ajak Wu Jae Won, kakak laki-laki Nichan.
“Tunggulah sebentar lagi, mungkin para prajurit kerajaan sedang meminta tugas pada raja.”, ujar eomma Nichan.
Keluarga Wu. Keluarga kecil yang terdiri dari 4 orang anggota. Kepala keluarga bernama Wu Yi Fan, pemuda dengan darah China dan sedikit campuran Korea dari neneknya. Istrinya yang asli rakyat Negeri Pyeonghwa memiliki nama asli Park Eunra. Namun berubah saat ia diperistri oleh Wufan, menjadi Wu Eunra. Kehidupan berkeluarga mereka telah dikaruniai dua orang anak. Anak pertama diberi nama Wu Jaewon. Seorang namja dengan kepribadian yang sulit ditebak. Kadang bisa bersikap sangat cerah, namun terkadang sikapnya berubah galak dan tegas. Anak kedua bernama Wu Nichan. Yeoja berparas manis yang saat ini sedang mempelajari ilmu sihir dari ayahnya.
Diantara mereka, yang memiliki kekuatan sihir paling kuat adalah Wufan. Tentu saja karena nenek moyangnya adalah seorang penyihir juga. Sedangkan Eunra dan Jaewon hanya memiliki kekuatan sihir yang lemah. Itu dikarenakan dalam darah mereka tidak mengalir darah sihir. Hanya sedikit ilmu yanng bisa mereka terapkan, itu pun karena pengajaran dari Wufan. Sedangkan Nichan, dia masih dalam tahap pembelajaran. Sehingga belum dapat dipastikan, apakah dia mempunyai darah sihir atau tidak. Sihir yang mereka kuasai adalah bentuk sihir putih. Yaitu sihir yang digunakan untuk membantu orang-orang banyak. Sudah bukan hal aneh lagi jika keluarga Wu diminta untuk menyelesaikan sebuah masalah dengan sihirnya. Meskipun memang banyak juga orang iri yang mengatakan bahwa keluarga ini menganut ilmu sihir hitam. Sihir kejahatan.
Kemarin pagi beberapa orang prajurit kerajaan mendatangi kediaman mereka. Salah satunya mengatakan bahwa raja mengundang mereka untuk tinggal di istana selama beberapa waktu. Raja meminta pertolongan keluarga penyihir ini untuk menghalau kemungkinan sihir hitam yang masuk ke istana. Karena bukan tidak mungkin, Negeri Hwanggyu mengirim kembali penyihir ke daerah Pyeonghwa untuk meluluh lantakkan kehidupan yang sudah tentram. Dari kabar yang beredar, Negeri Hwanggyu masih memiliki dendam tersendiri pada Negeri Pyeonghwa.
Tak berapa lama, pintu gerbang kerajaan terbuka dengan perlahan. Beberapa sulur menggantung di kanan dan kiri gerbang menyambut kedatangan siapapun yang memasuki pintu tersebut. Halaman dengan rerumputan hijau seluas mata memandang terlihat anggun dengan blok-blok yang terisi berbagai macam bunga. Mulai dari bunga mawar, bunga gladiol, bunga tulip, bunga lotus, bunga matahari dan lainnya.
Keluarga Wu mengikuti jalan yang ditunjukkan prajurit kerajaan. Tidak melemparkan sepatah katapun meski banyak yang ingin mereka tanyakan. Semua pertanyaan itu luruh ketika melihat keindahan halaman istana yang membuat mereka takjub. Pertama kalinya menginjakan kaki di istana dan rasanya mereka akan betah berlama-lama disini.
Tibalah mereka di sebuah bangunan disamping gedung utama istana. Dinding yang terbuat dari bongkahan-bongkahan batu besar terlihat kokoh. Rumah yang tidak besar bila dibandingkan dengan istana, namun cukup besar untuk keluarga dengan jumlah anggota empat orang.
“Raja sudah menyiapkan tempat ini secara khusus, mudah-mudahan kalian nyaman. Beristirahatlah sejenak, karena raja akan segera memanggil kalian ke istana.”, ucap seorang prajurit yang mengantar mereka.
“Gamsahamnida.”, jawab Wufan singkat.
*
Pangeran Chanshik dan Pangeran Jongin sudah berkumpul bersama orangtuanya di ruang utama kerajaan. Mereka akan segera diperkenalkan dengan penghuni baru istana. Desas desus yang beredar, mereka bukan orang biasa. Mereka orang dengan kemampuan khusus yang dipercaya bisa membuat hal yang tak mungkin menjadi mungkin. Namun, kedua pangeran tampan itu tidak serta merta mempercayai rumor yang belum tentu kebenarannya bisa dibuktikan.
“Bawa mereka masuk.”, perintah Raja Minseok.
Tanpa banyak berkomentar, prajurit membukakan pintu besar istana yang cukup berat. Munculah beberapa bayangan manusia yang semakin lama semakin jelas bentuk rupanya. Keempat orang tersebut menunduk hormat sebelum berjalan dengan hati-hati di atas karpet merah menuju singgasana raja.
Pangeran Chanshik dan Pangeran Jongin bersikap tenang meski mereka tampak keheranan. Menerka-nerka sebenarnya siapa 4 makhluk yang sepertinya berada dalam keluarga yang sama. Tentu, karena wajah mereka memiliki beberapa kemiripan.
“Chanshik, Jongin, mereka adalah penghuni baru di rumah kita.”, ucap Raja Minseok pada kedua anaknya.
Keduanya mengangguk paham.
“Mereka adalah keluarga penyihir dengan aliran sihir putih. Sebelumnya aku akan menceritakan beberapa hal. Apa kalian pernah mendengar mitos penyihir jahat yang telah menghancurkan Negeri Pyeonghwa?”
“Aku pernah mendengarnya, Abeonim.”, jawab Pangeran Chanshik. Ia memang terkenal sebagai anak raja yang menelusuri berbagai sejarah, khususnya sejarah di Negeri Pyeonghwa.
“Coba ceritakan pada kami, hal apa saja yang kau tahu mengenai mitos itu.”, titah Raja Minseok.
“Algesseumnida, Abeonim. Dahulu terjadi peperangan antara Negeri Hwanggyu dan Negeri Pyeonghwa karena dasar perebutan daerah kekuasaan. Peperangan yang panjang itu dimenangkan oleh Negeri Pyeonghwa. Karena tidak terima, akhirnya Negeri Hwanggyu mengirim seorang penyihir dengan ilmu sihir hitam dan membuat kerusakan di kalangan rakyat Pyeonghwa.”, tutur Pangeran Chanshik.
“Benar sekali. Biar kutambahkan, saat itu keadaan di Negeri Pyeonghwa sangatlah tidak kondusif. Kejadian itu terjadi saat masa pemerintahan kakek kalian, Raja Joonmyeon. Membuat beliau kalang kabut hingga depresi dan berbagai penyakit mendera tubuhnya. Beliau kemudian meninggal dan meninggalkan permasalahan negara yang harus diselesaikan pada masa pemerintahanku. Dan akhirnya kalian lihatlah sekarang, Negeri Pyeonghwa sudah aman dan tentram. Tapi semua itu pasti ada penyebabnya, bukan?”, tanya Raja Minseok memancing pertanyaan dari yang lain.
“Lalu apa penyebabnya, Abeonim? Apa karena Abeonim mempunyai strategi kepemimpinan yang baik?”, tanya Pangeran Jongin.
“Strategi tentu harus dibuat. Namun bukan hanya itu. Saat bulan-bulan awal menjabat sebagai raja, aku juga merasa sangat tertekan melihat keadaan rakyat Pyeonghwa yang hancur. Sampai seorang penyihir beraliran sihir putih memberitahuku untuk pergi ke sebuah gunung di daerah utara Pyeonghwa dan membawa sebuah formula dari air Danau Manji. Dipercaya, air dari Danau Manji jika disatukan dengan air kolam istana, maka akan membuat suatu kesatuan yang utuh. Filosofi dari persatuan dan kesatuan yang secara perlahan akan tumbuh di masyarakat. Karena saat itu tak ada jalan lain, maka aku melakukannya. Dan terbukti, dalam jarak dua tahun, keadaan Pyeonghwa berangsur membaik.”, jelas Raja Minseok diiringi senyum diakhir penjelasannya.
“Sekarang, perkenalkanlah diri kalian terlebih dahulu.”, titah Ratu Minhyo pada keluarga Wu.
Mereka membungkuk sedalam 90 derajat.
“Hamba adalah kepala dari keluarga ini. Wu Yi Fan. Orang-orang sering memanggil hamba dengan sebutan Wufan.”, jelasnya. “Dan ini istri dan kedua anak hamba. Park Eunra, Wu Nichan, serta Wu Jaewon.”, lanjutnya.
“Mereka adalah keluarga yang memiliki kemampuan khusus di bidang sihir putih. Kekuatan dari air Danau Manji hanya bertahan sekitar 40 tahun saja. Dan sekarang sudah hampir genap 40 tahun sejak aku mengambilnya dari sana. Maka, kita membutuhkan kekuatan lebih sebagai alat pertahanan. Mungkin sekarang keadaan tetap stabil, tapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi saat pergantian tahta dariku pada Pangeran Jongin.”, ungkap Raja Minseok.
“Lalu kapan pergantian tahta akan dilakukan, Abeonim?”, tanya Pangeran Chanshik.
“Selambat-lambatnya dua bulan setelah kau menikah, Jongin harus menemukan seorang puteri yang akan menjadi pendampingnya kelak.”, jawab Raja Minseok.
Pangeran Jongin mengangguk paham. Bukan hal yang sulit bagi seorang putera raja yang tampan untuk menemukan pendamping hidup. Banyak puteri-puteri dari kerajaan ternama yang cantik rupawan serta berkasta sama dengannya. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, sebenarnya Pangeran Jongin sudah menemukan seorang yeoja yang bisa menarik hatinya. Namun, persyaratan yang diajukan Raja Minseok terlalu tinggi untuk menjadikannya seorang calon ratu di Negeri Pyeonghwa. Maka dari itu, banyak rencana yang dipersiapkannya. Bagaimanapun, ia hanya ingin menikahi seseorang yang benar-benar pilihannya. Sesuai kriterianya dan bukan paksaan dari orang lain.
“Apa kalian sudah mempersiapkan sebuah rencana untuk memperkuat pertahanan di Negeri Pyeonghwa?”, tanya Raja Minseok pada Wufan.
“Sejujurnya kami belum mempersiapkan apapun, Baginda. Tapi sebelumnya, kami ingin meminta izin untuk menyisir setiap bagian-bagian dari istana.”, pinta Wufan sopan.
“Silakan. Apa perlu kami kosongkan istana untuk sementara waktu agar kau bisa memeriksanya lebih detail?”, tanya Raja Minseok.
“Tidak perlu, Baginda. Akan lebih baik apabila aktivitas dilakukan seperti biasa.”, jawab Wufan.
*
Dengan segera, berita tentang pemeriksaan yang akan dilakukan Penyihir Wu ke seluruh istana menyebar. Seluruh pelayan, pengawal, dan prajurit kerajaan membicarakan tentang hal ini. Mereka sama sekali tidak diberitahu kapan Penyihir Wu akan mengadakan pemeriksaan tersebut. Ini sama halnya seperti inspeksi dadakan karena Raja akan ikut menemani Penyihir Wu berkeliling.
“Oppa!”, teriak Nichan dari dalam kamarnya. Setelah itu terdengar suara jerit kesakitan dari seorang namja.
“Ya! Ya! Kau ingin aku cepat mati, huh? Hajima! Ya geumanhae!”, teriak namja tadi.
“Kenapa oppa tidak bisa berhenti mengganggu hidupku, huh?!”, kesal si yeoja. Ia menggerutu sembari berjalan meninggalkan kamarnya.
“Ada keributan apa ini? Apa kalian tidak bisa meninggalkan penyakit lama kalian itu? Selalu saja bertengkar.”, ujar Eunra, eomma dari kedua pelaku keributan tadi.
“Oppa yang duluan menggangguku, eomma. Lihat apa yang dia lakukan! Dia masuk ke kamarku dan mengambil makananku seenaknya tanpa izin. Menyebalkan sekali dia!”, keluh Nichan.
Jaewon keluar dari kamar Nichan sembari mengelus-elus kepalanya. Bantal di kerajaan ternyata sama sakitnya dengan bantal di rumah jika yang memukul adalah Nichan.
“Jaewon, kau harus mengerti. Keadaan disini berbeda dengan di rumah kita. Disini kita harus lebih menjaga sikap. Jika tidak, kita akan diusir dan nama baik keluarga kita akan rusak.”, nasihat Wufan yang juga mendengar keributan barusan.
Jaewon diam. Ia paling tak bisa untuk tidak menurut pada ayahnya. Alasannya, Wufan akan terus menceramahinya jika ia tidak mau menurut. Dan itu adalah hal yang paling membuat Jaewon bosan. Kadang ia bertanya-tanya kenapa ia dilahirkan mempunyai ayah yang cerewet seperti itu. Namun, kadang ia bersyukur karena ayahnya yang cerewet itu selalu memberikan petuah yang benar. Maka dari itu, ia sangat hormat pada Wufan.
“Sekarang kalian bersiaplah, kita akan segera berkeliling istana. Kita tidak boleh membuat raja menunggu. Ada beberapa hal yang sepertinya salah di istana ini.”
*
Tibalah saatnya berkeliling istana. Wufan meminta izin meneliti setiap sudut yang ada di istana untuk memastikan langkah apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Dimulai dari taman istana. Raja berjalan didepan. Memberi arah pada Wufan yang belum paham betul denah istana. Tidak ada hal aneh disini.
“Bunga itu tampak layu.”, tunjuk Nichan pada sebuah bunga mawar berwarna keunguan.
“Ah, bagaimana bisa? Padahal tukang kebun istana selalu merawat dan menjaganya dengan baik.”, ujar Raja yang masih tidak mempercayai ada bunga layu di halaman. Itu adalah bunga layu pertama yang pernah raja lihat di istana selama berpuluh-puluh tahun ia tinggal.
“Bertindak sopanlah di hadapan Raja.”, bisik Wufan pada anaknya.
“Akan lebih baik jika kau memberitahukanku bila ada bunga-bunga layu lain di sekitar sini.”, ucap Raja sembari tersenyum ramah pada Nichan. Nichan hanya menunduk.
Di area kiri istana, terdapat beberapa lapangan olahraga dan tempat latihan prajurit. Ada lapangan bola sepak tempat biasanya diadakan pertandingan antar pegawai-pegawai istana dan akan menjadi tontonan menarik bagi pejabat-pejabat kerajaan. Juga ada sebuah lapangan baseball. Berbeda dengan lapangan bola sepak, lapangan baseball ini lebih sering digunakan oleh anak-anak raja. Selain bermain baseball tentunya, mereka juga biasanya berolahraga pagi dan melakukan aktivitas permainan olahraga lain.
Beberapa meter dari lapangan baseball, terdapat sebuah lapangan tembak. Bisa digunakan sebagai area menembak ataupun area panahan. Tergantung kepentingan saat itu. Seperti saat ini, Pangeran Jongin dan Pangeran Chanshik sedang berlatih panahan bersama dua orang prajurit istana.
Mereka menghentikan aktivitasnya sejenak dan memberi hormat pada raja beserta rombongannya.
“Kemampuan kalian sudah meningkat pesat. Aku sudah tidak akan ragu lagi memberikan pemerintahan kerajaan pada kalian.”, puji Raja Minseok pada kedua anaknya.
Sejenak Raja Minseok melirik kebelakang. Kedua anak Wufan masih mengikuti perjalanan dengan setia.
“Jaewon-ssi, apa kau mau berlatih memanah bersama Jongin dan Chanshik? Kurasa kalian memiliki umur yang tak terpaut jauh.”, usul Raja Minseok.
Jaewon menundukkan kepalanya sejenak sebelum menjawab tawaran Raja Minseok.
“Hamba akan sangat terhormat bila mendapatkan kesempatan itu, Baginda.”
Setelahnya, Jaewon menghampiri Pangeran Jongin dan Pangeran Chanshik yang menyambutnya dengan hangat. Masih ada rasa canggung dalam diri Jaewon, karena ia sedang berhadapan dengan putera raja. Namun sikap hangat yang ditunjukkan kedua putera raja itu mampu melelehkan segenap rasa canggung yang mendera dirinya.
Nichan masih setia mengikuti Raja Minseok dan ayahnya untuk berkeliling istana. Sepertinya lebih menarik menjelajah daripada diam dan memperhatikan tiga namja berlatih panahan. Itu tentu akan sangat membosankan.
Beralih ke halaman belakang istana. Disana terdapat sebuah peternakan kuda. Kuda yang akan digunakan untuk kendaraan prajurit dan ada pula kuda yang dipelihara oleh Pangeran Chanshik. Setiap sore ia selalu datang ke peternakan ini sekedar untuk menengok kuda kesayangannya. Terkadang memberinya makan dan menungganginya di area tunggang kuda yang tersedia.
“Baginda, mengapa kuda itu terlihat sangat lemah? Apa dia memang selalu seperti itu setiap hari?”, tanya Nichan pada sebuah kuda perang berwarna hitam.
Raja kembali terkejut karena ditemukan seekor kuda yang sakit. Segeralah ia memanggil seorang pengurus ternak untuk mengatasi masalah ini. Kemudian mereka melanjutkan kembali acara touring-nya. Pikiran Raja Minseok mulai menerawang pada gadis yang sedang berjalan dibelakangnya itu. Anak kecil itu pasti memiliki suatu keistimewaan. Sebenarnya hal tersebut bukan sesuatu yang aneh, mengingat dia dilahirkan dalam sebuah keluarga penyihir. Namun, entah kenapa anak itu memiliki aura yang berbeda. Bahkan lebih kuat dari aura ayahnya yang sudah jelas memiliki kekuatan sihir yang lebih besar daripadanya.
Mereka tidak menelusuri halaman istana bagian kanan karena disanalah tempat tinggal Wufan dan keluarga. Ia sudah meneliti sisi istana itu sebelum memulai perjalanan ini. Akhirnya mereka masuk ke ruang utama. Tempat singgasana dengan gagahnya dibangun sebagai tanda bahwa hanya penguasa Negeri saja yang boleh duduk di tempat tersebut. Disampingnya dibangun juga beberapa singgasana yang tidak begitu besar jika dibandingkan dengan singgasana utama. Tempat bagi para putera raja dan tentunya ratu. Karpet merah terjulur mulai dari mulut ruangan hingga tangga setinggi 20 sentimeter yang menjadi pembatas antara lantai ruangan dengan singgasana.
Jika raja kedatangan tamu dari kerajaan lain, biasanya akan disediakan beberapa meja dan kursi tamu yang tak kalah mewah dengan singgasana. Juga akan ada prajurit-prajurit berpakaian besi yang berjajar membentuk sebuah barisan pertahanan bagi ruangan tersebut.
Tak ada hal aneh juga di ruangan ini, maka dari itu dilanjutkan dengan menelusuri ruang makan istana. Meja makan sepanjang sepuluh meter membentang dengan delapan kursi di masing-masing sisinya. Berarti, idealnya meja makan ini digunakan oleh enam belas orang. Walau pada kenyataan, hanya raja, ratu, dan anaknya saja yang menggunakan. Tidak sampai lima orang.
Sebuah mangkuk berisi berbagai jenis buah-buahan menghiasi meja yang sedang tak berpenghuni tersebut.
“Sebelumnya hamba mohon maaf Baginda, tapi bisakah pelayan anda menyingkirkan buah anggur itu? Tidak enak jika ada tamu istana yang datang, dan melihat buah dalam keadaan setengah membusuk.”
Hal yang tak terduga oleh pelayan istana. Langsung saja ia mengganti buah-buahan tersebut dengan yang baru. Tentu yang lebih segar. Raja Minseok tidak banyak bicara. Ia masih memperhatikan anak itu dengan seksama. Pasti, dia pasti mempunyai kekuatan lebih dibanding ayahnya. Gadis manis ini mungkin suatu saat bisa menjadi aset penting di wilayah kerajaan. Ia harus meneliti kemampuan Nichan bagaimanapun caranya. Wufan memandang kearah anaknya. Anak ini masih terlalu muda, belum saatnya, pikirnya.
Puas menelusuri ruang makan, mereka beranjak naik ke lantai dua. Lantai dua merupakan ruangan khusus untuk keluarga kerajaan. Kamar-kamar dan ruangan pribadi lain. Sejenak Wufan memperhatikan lukisan-lukisan yang menempel di dinding dari mulai anak tangga pertama hingga anak tangga paling atas.
“Apa kau juga ingin memeriksa kamar-kamar pribadi kami?”, tanya Raja Minseok menawarkan.
“Hamba tidak akan melakukan hal yang tidak sopan. Hamba hanya memeriksa ruangan-ruangan umum di istana ini, itu sudah lebih dari cukup.”, jawab Wufan meluruskan.
Raja mengerti dan kembali berjalan ke lantai bawah.
“Maaf, Baginda. Apa lukisan ini merupakan barang yang sangat berharga bagi anda?”, tanya Wufan merujuk pada sebuah lukisan klasik dengan gambar panorama desa yang tentram dan damai.
“Tentu saja. Jongin sangat menyukai lukisan itu. Ada apa?”, tanya Raja Minseok penasaran.
“Sebelumnya maaf jika hamba lancang. Tapi, hamba menyarankan untuk memindahkan lukisan ini ke tempat yang tidak terlihat oleh anggota kerajaan.”, pinta Wufan sopan.
“Memang ada apa dengan lukisan ini? Ada yang salah?”, Raja Minseok semakin penasaran.
“Ini bukan lukisan biasa. Demi keselamatan seluruh anggota kerajaan, sekali lagi hamba mohon dengan hormat untuk memindahkan lukisan ini. Atau jika perlu, hamba sendiri yang akan memindahkannya ke tempat lain.”, pinta Wufan kedua kalinya.
“Lakukan saja yang terbaik.”, ujar Raja Minseok yang masih keheranan. Tingkah Wufan memang berbeda saat melihat lukisan itu. Dirinya seperti terhisap oleh rasa keingintahuan yang tinggi. Hanya karena sebuah lukisan yang disebutnya tidak biasa. Maka, ia melepas lukisan itu dari dinding dan menjinjingnya dengan kedua tangannya sendiri.
“Abeoji, aku sepertinya pernah melihat lukisan itu.”, bisik Nichan.
“Kau memang pernah melihatnya. Tapi kita tidak perlu membicarakannya disini. Kau ingat, kita harus bersikap sopan pada Raja.”, nasihat Wufan. Dan Nichan mengerti.
Saatnya menuju tujuan terakhir. Dapur istana. Dapur istana terletak disudut, dekat dengan gudang-gudang serta tempat tinggal pegawai kerajaan. Dapur kerajaan terlihat sangat bersih dan rapi. Berbeda dengan dapur-dapur di rumah rakyat biasa yang terkesan kotor dan berantakan. Terkadang, hobi memasak ratu sering ia tumpahkan disini. Ratu Minhyo memang terkenal sebagai ratu yang down to earth. Ia tidak sungkan untuk bergaul dengan rakyat biasa meski ada beberapa peraturan kerajaan yang melarangnya. Tentu saja demi keamanan anggota kerajaan.
Seperti saat ini. Saat ditemui, beberapa juru masak kerajaan sedang memasakan menu makan siang bersama sang ratu. Dengan pakaian yang lebih sederhana, Ratu Minhyo masih terlihat anggun seperti biasa. Darah bangsawan yang mengalir dari ayahnya menjadikan ia tetap bisa menonjolkan kharismanya disaat apapun.
“Nichan-ssi, apa kau juga bisa memasak?”, tanya Ratu Minhyo.
“Tentu saja, Baginda.”, jawab Nichan pasti.
“Kalau begitu, bagaimana jika kau membantuku memasak untuk makan siang hari ini?”, tawar Ratu Minhyo.
Dengan wajah berseri-seri, Nichan menerima tawaran tersebut. Selain karena perasaan tak enak jika ia menolak, Nichan juga senang memasak. Suatu pekerjaan yang selalu ia lakukan di waktu senggang. Saat ia sedang tidak belajar atau berlatih ilmu sihir dengan ayahnya.
Raja Minseok meninggalkan ruangan tersebut diikuti Wufan. Tangan Wufan masih memegang erat lukisan yang ia anggap tak biasa tadi. Ia berencana meneliti kembali lukisan yang bagi makhluk biasa terlihat sama saja sebagaimana lukisan pada umumnya. Tidak bagi Wufan. Lukisan indah itu memancarkan aura sihir yang sangat kuat. Ia belum bisa memastikan dari golongan mana sihir itu terbentuk. Mungkin dari sihir putih, atau bahkan sihir hitam.
*
“Aku sangat senang dengan kedatangan keluarga Wu. Selama ini aku memimpikan mempunyai seorang anak perempuan. Dan anak mereka adalah anak perempuan yang manis.”, cerita Ratu Minhyo saat mereka berkumpul bersama di ruang makan istana.
“Bukankah kurang dari sebulan lagi eommonim akan memiliki seorang anak perempuan?”, tanya Pangeran Jongin sembari melirik pada Pangeran Chanshik.
Pangeran Chanshik hanya tersenyum dengan sindiran adiknya tersebut.
“Oya, bagaimana dengan kabar puteri dari Sangmyeon itu? Mereka jadi berkunjung akhir minggu ini, bukan?”, tanya Ratu Minhyo pada Pangeran Chanshik.
“Tentu saja eommonim. Keluarga Raja Nam tidak pernah melanggar janjinya.”, terang Pangeran Chanshik.
“Aku tidak sabar menunggu kedatangan puteri itu. Apa eommonim tahu? Chanshik hyungnim selalu membanggakannya dihadapanku.”, ujar Pangeran Jongin.
“Kau hanya iri, Jongin. Lekas cari seorang puteri agar kau juga bisa membanggakannya pada hyungmu.”
Pangeran Jongin hanya tersenyum kikuk. Pembahasan mengenai calon pendampingnya selalu membuat ia mati kutu. Tak tahu apa yang akan dikatakan pada eommonim dan abeonim-nya.
Pangeran Chanshik menangkap aura lain dibalik kebahagiaan dua orang anggota keluarganya. Raja Minseok melahap makanannya dengan fokus. Hanya beberapa kali matanya melirik pada pembicaraan yang terjadi, namun tidak berniat masuk kedalamnya. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu yang berat.
“Abeonim, apa yang..”
“Tenang saja. Semua akan baik seperti seharusnya.”
TO BE CONTINUED
