Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Ephemeral (Chapter 1)

$
0
0

Ephemeral

Chapter 1

wpid-redo-el-ephemeral

“Ephemeral”

By : EL

 

Main Cast: Xi Luhan, Ryu Junghee (OC), Oh Sehun, Others (find it by yourself) || Genre: Romance, Fantasy || Rating: G || Lenght: Two Shot || (A/N)FF ini sekuel dari Ohjii 365 :D Big thanks for your fabulous poster Jungryu14 ;) Happy reading all, hope you like it~

 

+++

 

“Sehun! Oh Sehun!” Pemuda itu mendengarnya, nama lengkapnya telah dipanggil berulang kali oleh sunbaenim-nya.

Dengan berat hati, sang pemilik nama mengindahkan panggilan itu. Ia meninggalkan Ryu Junghee untuk menemui sunbaenim yang sudah menunggunya dengan kesal.

“Ada apa, Kai hyung?” Tanya Sehun dengan wajah yang jauh dari kata senang kepada sunbaenim yang bernama Kai. Panggilannya hanya Kai; karena Kai sendiri lupa nama apa yang ia gunakan saat masih hidup di bumi.

“Kau lupa dengan peraturan disini?”

Sehun diam. Ia tak membuka suara hingga Kai kembali berkata dengan emosi yang tertahan, “Jangan pura-pura lupa.”

Sehun menundukkan kepalanya dengan lemas.

“Kau atau siapapun disini pasti ingat. Dilarang menunjukkan dirimu di hadapan manusia yang sama lebih dari 4 kali.”

Sehun menghela nafas pasrah. Ia sebenarnya ingat semua itu. Bahkan ia tahu hukuman apa yang akan terjadi jika melanggar peraturan itu.

Ada dua pilihan; jiwa yang dihapuskan, atau jiwa yang diperangkap ke dalam sebuah benda mati.Bagi Sehun, keduanya tidak ada yang bisa diharapkan. Dan mau tidak mau, Sehun harus menerima salah satunya.

 

+++

 

Ryu Junghee menepati janjinya untuk ikut bersama adiknya—Junmyeon dan Eunsoo ke taman hiburan. Panasnya terik matahari di akhir musim panas membuat mood Junghee sangat buruk.

“Aigoo, aku mau istirahat. Kalian main berdua saja.” Gerutu Junghee setelah mereka turun dari roller coaster. Bayangkan saja bagaimana panasnya pukul 12 siang, saat dimana Junghee berada di puncak tertinggi permainan itu.

“Noona, jangan marah dong. ‘Kan jarang-jarang kita bermain seperti ini,” bujuk Junmyeon; penyebab utama kenapa Junghee kesal. Liburan akhir musim panas membuat harga tiket taman hiburan dipotong, tetapi Junmyeon tetap saja menyuruh Junghee yang membayar semuanya.

“Aish!” umpat Junghee seraya mendelik ke arah Junmyeon lalu meneguk minuman untuk mendinginkan kepalanya.

“Onnie, masuk rumah hantu saja yuk? Disana pasti tidak panas,” sahut Eunsoo.

“Mwo? Rumah hantu?” Junghee tampak berpikir sejenak. “—Ah, shirreo,” lanjutnya dengan suara pelan.

“Baiklah kalau begitu kita istirahat dulu di bawah pohon itu. Aku mau beli es krim untuk kalian,” sahut Junmyeon lalu melenggang pergi.

Junghee dan Eunsoo langsung duduk di kursi yang sudah dipersiapkan oleh pemilik taman hiburan itu untuk beristirahat di bawah pohon yang sejuk.

“Ah, akhirnya sejuk juga.” ucap Junghee.

Eunsoo memberikan tissue untuk membersihkan bulir-bulir keringat Junghee. Lalu ia mengipasi wajah Junghee yang merah karena kepanasan.

“Sudah-sudah,” pinta Junghee untuk menghentikan aksi Eunsoo. Tapi Eunsoo tetap saja melakukannya. Memang sikapnya seperti itu. Terkadang ingin sekali rasanya Junghee punya adik yaitu Eunsoo, bukannya Junmyeon. Apalagi Eunsoo ‘kan perempuan, bisa mengerti seluk beluk perasaannya.

“Onnie, sampai kapan single terus?” tanya Eunsoo tiba-tiba. Ia benar-benar ‘mengerti’ perasaan Junghee.

Karena pertanyaan yang begitu menusuk, Junghee tidak menjawab. Ia mencoba menahan umpatan yang ada di dalam pikirannya.

“Jangan-jangan onnie masih suka sama Luhan?” tanya Eunsoo lagi.

Deg. Jantung Junghee langsung main pump dadakan mendengar ucapan Eunsoo. Ia sensitif dengan hal itu. Dan juga ada ‘hal’ lain yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Dan yang pasti membuat dada Junghee terasa sakit, bahkan lebih sakit daripada saat naik roller coaster tadi.

Terlihat Junmyeon dari tempatnya berdiri melambai-lambaikan tangannya, sepertinya memanggil salah satu dari mereka. Tidak mungkin Junghee mau melakukannya.

“Oh, aku kesana dulu onnie,” ucap Eunsoo.

Junghee langsung mengangguk. Syukurlah Eunsoo pergi, karena ia tidak perlu menjawab pertanyaannya. Jadi, sekarang ia duduk sendiri di kursi itu. Karena tidak ada yang bisa diajak bicara, ia mengeluarkan ponselnya untuk menghilangkan rasa kesendirian. Ia melihat kalender, memastikan deadline pengumpulan skripsinya.

Trrt. Ponselnya tiba-tiba bergetar, membuat Junghee terkejut, terutama ketika melihat sederetan angka yang tertera di layarnya. Siapa yang menelepon. Nomor tak dikenal. Bahkan nomornya sangat asing, bukan kode nomor penduduk korea.

Junghee ragu untuk mengangkatnya. Tapi, entah kenapa jarinya menyentuh tombol hijau. Tidak sesuai dengan apa yang diinginkan lubuk hatinya.

Ia dekatkan ponselnya ke telinga. Dan seketika tangan Junghee bergetar hebat. Terdengar suara yang tidak begitu asing. Suara yang sudah lama tidak ia dengar. Pemilik suara yang sangat dirindukan Junghee.

“Yoboseyo, Junghee.”

 

+++

 

Ternyata alasan Junmyeon memanggil tadi adalah untuk membawakan salah satu es krim yang dibelinya; karena jumlah es krimnya ada tiga. Eunsoo langsung memakan es krimnya dan hendak kembali ke tempat duduk tadi. Belum sampai ke tempat tujuan, Eunsoo menghentikan langkahnya. Dari tempatnya berdiri, ia melihat Junghee yang sedang menelepon. Junmyeon menyusul di sebelahnya sembarimembawa 2 cone es krim—yangsatu untuk dirinya, yang satu untuk Junghee. Tak berapa lama kemudian, Junghee pergi dengan langkah cepat menuju gerbang keluar taman hiburan.

“Ya! Noona mau kemana?” Tanya Junmyeon dengan suara keras, tapi tidakterdengar oleh Junghee.

Sementara Eunsoo hanya tersenyum. Senyum yang sulit diartikan oleh Junmyeon.

“Makan saja es krimnya. Junghee onnie punya urusan lain yang lebih penting.”

 

+++

 

Junghee semakin mempercepat langkahnya. Ia segera pergi ke toko bunga langganannya. Ia memilih bunga kesukaan Sehun. Bunga akasia berwarna kuning yang memiliki makna cinta rahasia.

“Junghee-ssi, kau datang lagi. Harganya 5.000 won.”

Junghee memberikan seulas senyum pada ahjumma yang berbicara padanya, kemudian membayarnya, dan segera meninggalkan tempat itu agar ia bisa cepat-cepat bertemu dengan si penelepon tadi. Ia sangat merindukannya. Ia penasaran bagaimana kabarnya, apakah tingginya bertambah, dan apakah ia masih tampan seperti dulu. Begitu banyak pertanyaan yang muncul di benak Junghee setelah 4 tahun tidak pernah bertemu.

Akhirnya Junghee sampai di tempat tujuan. Tempat dimana mereka bersepakat untuk bertemu. Tempat dimana raga Sehun beristirahat dengan tenang.

“Sudah lama sekali. Kau berubah banyak ya setelah kelulusan SMA,” ucap Luhan ketika mendapati Junghee yang sudah datang untuk menjenguk peristirahatan Sehun bersama-sama.

 

+++

 

“Sehun-ah—bagaimana keadaanmu? Sudah 5 tahun semenjak kau pergi,” ucap Luhan seraya menghela nafas.

Junghee meletakkan buket bunga akasia yang ia beli tadi dan meletakkannya di tempat yang sama dengan bunga-bunga sebelumnya.

“Junghee, kau sering kesini?” tanya Luhan saat melihat banyaknya bunga disana, yang sama persis seperti bunga yang dibawa Junghee.

“Ne,” jawabnya dengan sedikit anggukan.

Luhan kemudian ikut meletakkan bunga miliknya di sebelah bunga akasia kuning itu. Merasa sudah selesai, Luhan mengajak Junghee ke suatu tempat.

“Apakah kau sudah makan siang? Aku belum, jadi kau harus menemaniku.” Ucap Luhan tanpa memberi kesempatan Junghee untuk menjawab.

 

+++

 

Luhan memakan makanannya dengan lahap. Cara makannya itu seperti orang yang 3 hari belum makan sama sekali.

“Aku sangat merindukan masakan korea,” ucapnya sambil terkekeh. Padahal, masih ada makanan di dalam mulutnya.

Junghee berusaha untuk tidak mempermasalahkan itu. “Memang 4 tahun ini kau kemana?”

“Maaf ya, waktu itu aku tidak sempat memberitahumu termasuk teman-teman yang lain. Aku kuliah di Jerman karena disana aku menemukan universitas hukum dengan biaya murah. Aku baru saja diwisuda 4 bulan yang lalu, baru minggu ini aku bisa kembali ke Korea. Oh iya, nomor yang kugunakan untuk meneleponmu tadi masih menggunakan nomor Jerman.” Jelas Luhan panjang lebar.

Junghee terkagum-kagum mendengar jawaban Luhan, berarti hanya 3,5 tahun Luhan sudah lulus menjadi seorang sarjana, apalagi di Jerman itu sangat bergengsi. Dan itulah mengapa nomor Luhan sangat asing.

“Lalu bagaimana denganmu? Maksudku, kuliahmu?” tanya Luhan.

“Aku masih dalam proses menyusun skripsi yang sebentar lagi selesai, aku tertarik dengan seni jadi—”

“Kau masuk jurusan fotografi?” potong Luhan.

“Ani.” Jawab Junghee cepat. “Aku—masuk jurusan desain interior.” lanjutnya.

“Tapi, bukankah fotografi adalah hobimu? Saat SMA kau selalu membawa kamera—”

“Kameraku sudah kuberikan kepada adikku karena ia mengikuti khursusnya,”

“Ahh, begitu. Hmm, kalau kau sudah lulus, bisakah aku memintamu untuk mendesain ruangan di rumahku?”

“Ne, tentu saja,”

“Oh iya, kau tahu, setelah masuk hukum aku baru sadar kalau kelakuanku saat SMA dulu bisa dipidanakan. Untung saja kau menyadarkanku. Sekali lagi gomawo!”

Junghee hanya mengangguk seraya tersenyum karena bingung harus menjawab apa. Ia kemudian menyuruh Luhan untuk segera melanjutkan makannya. Daritadi Luhan terus saja bercerita, sangat berbeda dengan Luhan yang dulu.

 

+++

 

“Terima kasih sudah mengantarku pulang,” ucap Junghee setelah turun dari motor Luhan.

Luhan tersenyum sebagai jawaban. Kemudian Junghee pamit dan hendak masuk ke dalam apartemennya karena ingin cepat-cepat istirahat. Tiba-tiba Luhan teringat akan sesuatu.

“Tunggu!” panggilnya.

Junghee menoleh dengan ekspresi bingung. Semakin bingung ketika melihat Luhan yang menyodorkan sesuatu padanya. “Ini untukmu,” ucap Luhan.

Junghee menerimanya dengan gugup.

“Itu cincin yang kubeli di Jerman,” lanjut Luhan.

Junghee mengerjap bingung, beralih menatap cincin polos itu dan mematung beberapa saat. Degub jantung yang tidak karuan semakin parah saja setelah Luhan mengatakan, “Saat aku melihatnya, entah kenapa aku mengingatmu,”

Belum sempat Junghee mengangkat bicara, Luhan sudah lebih dulu menancapkan gas motornya. “Sudah ya! Sampai jumpa minggu depan!” ucap Luhan sebelum benar-benar pergi.

Apa maksud dari semua itu? Kenapa Luhan memberinya cincin? Harus ia apakan cincin itu? Apakah ia harus menyimpannya atau memakainya? Atau bahkan memamerkannya pada Eunsoo? Dan kenapa Luhan berkata ‘sampai jumpa minggu depan’? Oh, kepala Junghee pening seketika.

 

+++

 

“Noona sekarang ada dimana?” Tanya Junmyeon dari seberang telepon.

“Aku sudah di apartemen,” jawab Junghee.

“Oh baiklah kalau noona sudah pulang. Tadi, kenapa noona buru-buru pergi? Apa ada sesuatu?”

“Aku sedang marah denganmu.”

“Aigoo, noona, jebal,”

“Hahaha, aku bercanda. Sesuatu itu urusan pribadi. Nan gwaenchana. Kututup ya.” Junghee menutup telponnya secara sepihak karena ia memang sedang tidak dalam mood yang baik untuk berbincang-bincang dengan Junmyeon.

Semenjak pertemuannya dengan Luhan, Junghee jadi semakin dilema. Apakah benar ia masih menyukai Luhan? Perasaan Junghee sulit dijelaskan dengan kata-kata. Junghee pun selalu gelisah setiap melihat cincin itu. Apa yang membuat Luhan ingat akan dirinya ketika melihat cincin polos berwarna perak itu? Tidak ada apapun yang menghiasinya kecuali sebuah tulisan di bagian dalam yang baru Junghee sadari. “Oholat” Tulisan yang cukup aneh.

Sebelum dirinya yang menjadi aneh karena kebingungan akan sebuah cincin, ia memutuskan untuk memakainya saja. Lalu ia melanjutkan pembuatan skripsinya yang sempat tertunda.

Jam masih menunjukkan pukul setengah delapan malam, tapi rasanya kepala Junghee sangat berat. Ia tidak tahu kenapa, apakah mungkin karena terlalu lama bekerja di depan laptopnya? Tapi menurutnya ia belum bekerja lebih dari 2 jam. Tanpa banyak berpikir lagi, ia segera tidur di ranjangnya.

 

+++

 

Junghee membuka matanya perlahan. Dirasakannya tubuhnya yang meriang. Ia tidak tahu jam berapa saat itu. Ia masih berusaha membiasakan cahaya yang masuk ke fovea matanya. Ternyata ia tertidur dengan lampu kamar yang masih menyala.

Ia bangun dari tidurnya walau harus menahan pusing di kepalanya. Sayup-sayup terdengar suara yang gaduh dari luar kamarnya.

“Junmyeon?” Gumam Junghee seraya turun dari ranjangnya untuk memastikan.

Deg. Saat ia berada di depan pintu kamarnya yang masih tertutup, ia baru sadar bahwa ia sedang tidak berada di rumah, melainkan di apartemen yang ia tinggali sendiri karena lokasinya dekat dengan universitas.

Perasaan takut mulai membuncah. Ia melihat jam, pukul 1 lebih 55 menit dini hari. Ia langsung kembali ke ranjangnya dan berusaha tidur kembali, ia berusaha untuk tidak menghiraukan suara gaduh itu. Dan akhirnya, tepat pukul 2 pagi, suara-suara itu lenyap. Tidak ada lagi suara-suara yang membuatnya gelisah.

 

+++

 

Paginya, Junghee ke kampus dengan wajah lesu; bahkan kantung matanya menghitam. Kim Jongdae, teman kampus yang tak sengaja dilewatinya terkejut.

“Junghee, kau kenapa?” Tanya Jongdae.

“Aku kenapa? Haha, nan jeongmal gwaenchana,” balas Junghee lalu hendak pergi dari tempat itu.

“Hey, tunggu! Ada yang harus kubicarakan denganmu.”

 

+++

 

Junghee benar-benar seperti zombie berjalan. Ia mengikuti Jongdae yang terus saja membicarakan hal yang langsung keluar dari telinganya.

“Jadi, kutunggu besok ya!” Ucap Jongdae.

Junghee terbelalak, “Hah? Kau bicara apa tadi?” Ia benar-benar tidak menyimak apa yang dibicarakan temannya itu. Dania baru sadar; Jongdae sudah berlalu meninggalkannya.

“Ada apa denganku? Kenapa aku jadi tidak punya semangat sama sekali?” Ucap Junghee dalam hati. “Lalu, apa yang dikatakan Jongdae tadi? Apakah penting? Aku jadi merasa bersalah padanya,”

“Jongdae memintamu untuk mengembalikan buku yang kau pinjam.”

“Oh, begi—tu,” jawab Junghee yang sempat menggantungkan kata-katanya karena ia tidak tahu siapa yang memberi tahunya.

Ia menoleh ke belakang, siapa tahu orang itu ada di belakangnya. Tapi, ternyata tidak ada siapapun kecuali bayangan seseorang yang terbentuk di lantai pertigaan koridor. Bayangan itu berasal dari jalan yang ia lewati bersama Jongdae tadi; belokan dari pertigaan koridor.

Tidak mungkin seseorang bisa berjalan secepat itu, kecuali dengan berlari. Tapi, berlari tanpa menimbulkan suara itu yang mengganjal pikiran Junghee.

Apa mungkin Junghee salah dengar? Toh, dia masih meriang semenjak tadi malam. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke kantin karena jam makan siang sudah terlewat selama satu jam lebih.

 

+++

 

Junghee masuk ke dalam apartemen minimalisnya. Karena dia merupakan mahasiswi jurusan desain interior, apartemen yang seharusnya kecil menjadi tampak luas. Setelah membuka pintu apartemen, akan terlihat sebuah sofa ukuran sedang yang menghadap televisi 18 inch. Rak berkonsep unik yang diisi dengan buku-bukunya ia jadikan sebagai sekat antara ruang tv dan ruang makan. Di sebelah kanan ruang dapurnya, terdapat dua pintu; kamar tidur dan kamar mandi.

Ia masuk dan mendapati sesuatu yang janggal. Lampu dapur yang seharusnya tidak menyala di siang hari itu ternyata hidup. Apakah Junghee lupa untuk mematikan saklar lampunya tadi pagi? Ia pun hendak mematikan saklarnya. Baru beberapa langkah, tiba-tiba lampu itu mati dengan sendirinya tanpa ada bunyi apapun.

Junghee membelalakkan matanya, dan tiba-tiba saja bulu kuduknya berdiri. Ia pun tak ambil pusing dengan beranggapan mungkin listriknya sedang korslet, lalu ia segera masuk ke dalam kamarnya.

 

+++

 

Junghee berada di depan laptopnya. Ia mengetik dan mengetik. Tanpa ia sadari, keringat menetes dengan deras mulai dari pelipisnya. Mungkin ia benar-benar tidak tahu kalau dia sedang sakit—sangat membutuhkan istirahat saat itu juga. Pintu kamarnya ia biarkan terbuka, karena ia merasa suhu di dalam kamarnya sangat panas.

Ia menoleh ke arah lain; ke luar kamarnya. Ia melihat sesuatu yang aneh. Sebuah bayangan yang terbentuk di lantai dapurnya.

“Apa itu..” gumamnya sangat pelan; seperti bisikan.

Bayangan itu tidak begitu jelas. Yang pasti bukan bayangan dari perabotannya, karena itu bergerak; walau hanya sedikit.

Ia berusaha kembali fokus pada layar laptopnya, tapi ia merasa ada yang aneh. Ia tidak bisa berhenti untuk melirik ke bayangan itu. Tubuhnya semakin meriang, nafas yang dihembuskannya terasa panas. Dan seketika ruangannya begitu dingin.

Dan saat itu juga ia berlari keluar apartemen dan segera menguncinya. Dengan hanya membawa ponsel, ia pergi menjauh dari apartemennya. Bahkan ia meninggalkan laptopnya dalam keadaan hidup. Ia hanya berpikir untuk segera pergi dari sana. Mau bagaimana lagi, ia hanya takut. Ia takut jika perasaan takut yang sangat ia takuti kembali menimpanya.

 

+++

 

“Onnie? Ada apa ke sini?” Eunsoo terheran-heran ketika mendapati Junghee yang sudah berada di depan pintu rumahnya.

Junghee belum bisa menjawab, ia masih terengah-engah, seiring dengan keringatnya yang terus mengalir di sekujur tubuhnya.

“Onnie, gwaenchana?” Eunsoo langsung mendekap bahu Junghee yang lemas dan memeriksa dahinya. “Omo, panas sekali! Onnie demam?”

“Tidak, aku tidak demam, ada sesuatu yang ingin kuberitahu atau mungkin kutanyakan padamu.”

“Onnie jangan bercanda, onnie jalan kaki ke rumahku dari apartemen? Apa onnie sudah membeli obat? Onnie lebih baik pulang ke rumah saja, biar aku antar. Atau kita mau ke rumah sakit?”

“Tidak. Kau ikut aku ke apartemen. Kita harus pergi ke apartemenku.”

 

+++

 

“Nah, sudah. Onnie harus benar-benar istirahat sekarang. Sebelumnya minum dulu obat ini,” ucap Eunsoo panjang lebar setelah mereka sudah berada di apartemen milik Junghee.

“Gomawo, Eunsoo-ya.” Keadaan Junghee mulai membaik setelah mendapat penanganan dari Eunsoo.

“Kalau begitu, aku pulang dulu ya,”

“Kajima!”

Eunsoo kembali heran. “Wae, onnie?”

“Se-sebenarnya, aku memintamu kesini karena..” Junghee menggantungkan kalimatnya.

“Huh?”

“Sepertinya ada sesuatu yang aneh dengan apartemen ini.. Mungkin kau—bisa mencari tahu..”

“Untuk hal itu.. Kurasa tidak ada yang salah dengan apartemen ini, onnie.”

“Be-benarkah? Berarti, memang karena aku yang tidak enak badan..”

“Hmm, yeah, mungkin. Apakah ada sesuatu yang mengganggu onnie?”

“Oh, ani. Hanya perasaan saja.”

“Hmm, baiklah, aku akan disini sampai onnie sembuh,” ucap Eunsoo lalu bangkit dari kursi belajar milik Junghee. “Hey, apa itu?” lanjutnya ketika melihat sesuatu yang berkilau tengah melingkar di jari manis Junghee.

Junghee terkejut di atas ranjangnya ketika Eunsoo menanyakan hal itu. “Ini cincin—pemberian Luhan,” jawabnya agak malu.

Normalnya, Eunsoo terkejut karena ikut senang, atau mungkin meledek Junghee karena wajahnya yang bersemu merah. Tapi, reaksi Eunsoo justru mematung di tempat dan pandangannya yang sangat serius itu tak beralih dari cincin itu.

“Kurasa, sesuatu yang aneh justru terletak pada cincin itu..”

 

+++

 

“Apakah aku bisa memilih sendiri hukuman apa yang akan kuterima?” tanya pemuda itu dengan tatapan kosong.

“Menurutmu?” jawab seseorang di sebelahnya dengan ketus.

“Yehet. Aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Jika aku bisa memilih, jiwa yang terperangkap dalam sebuah benda mati lebih baik.”

“Keduanya punya kekurangan dan kelebihan.”

“Pilihanku ini dua kali lipat lebih baik. Walaupun di perangkap, jika benda itu dialirkan kehangatan, maka jiwa itu bisa keluar walau hanya seperenam hari.”

“Ya, jiwa tanpa ingatan. Sama saja tidak hidup.”

“Maksudmu?”

“Kau tidak akan mengingat apa-apa ketika kau keluar dari benda mati itu..”

 

+++

 

“Yoboseyo, Junghee!” sapa seseorang dari seberang telepon. “Ini aku, Luhan.”

“Oh, ini nomor barumu?” entah kenapa wajah Junghee yang semula cemberut menjadi merekah ketika mendengar suara pria itu.

“Ne, ini nomor yang kugunakan di Korea. Kau ada dimana sekarang? Ah, apa hari ini kau sibuk? Dan soal cincin yang kuberikan minggu lalu—apa kau memakainya?” tanya Luhan tanpa henti. Sebenarnya, dari nadanya, Luhan terdengar kikuk, karena itulah ia melontarkan pertanyaan yang banyak agar bisa menutupinya.

Junghee terdiam beberapa saat seraya memandang jari manisnya yang kosong. Sejak perkataan Eunsoo waktu itu, ia melepasnya walau dengan perasaan bimbang. Dan, keanehan yang ia alami benar-benar sirna begitu saja. “A-aku sibuk hari ini.. Besok aku tidak sibuk..” jawab Junghee.

“Ah, gurae. Besok jam 7 malam, ku jemput di apartemenmu. Dan, aku ingin melihatmu menggunakan cincin besok. Jadi, kalau kau belum memakainya, kau harus memakainya sekarang juga. Gurae, besok, jangan lupa!”

Luhan segera menutup telponnya. Setelah itu ia menghembuskan nafas dengan sedikit kasar. Ia merasakan detak jantungnya yang tidak stabil. Ekspresi wajahnya bahkan terlalu senang. Ia mengatakan sesuatu dalam hati. Aku pasti bisa melakukannya.

 

+++

 

Keesokan harinya, jam 6 sore. Junghee bersiap-siap karena satu jam lagi Luhan akan datang; walaupun sebenarnya Junghee tidak tahu kemana Luhan akan mengajaknya pergi. Ia merasa agak aneh dengan Luhan. Bagaimana bisa Luhan tidak memiliki rasa canggung sama sekali setelah bertahun-tahun tidak pernah berkomunikasi dengannya. “Ah, cincin itu,” gumam Junghee.

Cincin yang masih diselubungi tanda tanya besar. Ia masih tidak tahu alasan Luhan memberikan cincin itu. Mungkinkah Luhan menyimpan perasaan padanya? Ia segera menghapus pemikiran itu. Karena ia tidak mau menjadi korban pemberi-harapan-palsu.

“Apakah aku harus memakainya?” tanya Junghee dalam hati. Takut. Itulah yang ia rasakan. Tapi, mau bagaimana lagi. Luhan yang memintanya.

Akhirnya, ia memakainya. Tepat di jari manis tangan kirinya.

“Argh!” Seketika ia limbung ke lantai di kamarnya. Ia memegangi kepalanya yang sakit secara tiba-tiba. Ia merintih kesakitan.

Ia membuka matanya perlahan. Dilihatnya siluet seorang pria dengan postur tubuh yang kurus-tinggi. Jantung Junghee langsung berdetak dengan cepat. Seluruh tubuhnya bergetar dan airmatanya yang keluar tidak bisa ia hindari.

Siluet yang sangat mirip dengan seseorang.

“S-Se.. Sehun..

Kaukah itu..?”

 

+++Bersambung di saat yang tidak tepat+++

 

(A/N) Maaf ceritanya kurang seru, banyak typo, absurd, dan mungkin kurang jelas. Fyi, beberapa peristiwa horror yg ada di dlm cerita berdasarkan kisah nyata. Author minta maaf sekali lagi kalo ff ini masih banyak kekurangannya, author udah berusaha semaksimal mungkin utk bikin sekuel ini :’( kalau ada yang kurang jelas bisa ditanyakan lewat komen. Jeongmal gomawo buat para readers tercinta yang udah mau baca ^^



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles