Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Three Words

$
0
0

Three Words

Title : Three Words

Author: Esca

Main Cast (s) : Kim Jong Kin (Kai) | Jung Soo Jung (Krystal)

Genre : Romance | slight!angst

Length : Oneshot (4.676 words)

Rating : PG-13

Summary : Saat berumur lima tahun, Krystal belum dapat merasakan sifat magis dari sebuah rangkaian kata. Hingga akhirnya Kai datang dan membuat gadis itu mengerti bahwa terkadang, ada kata-kata yang terucap untuk menjadi penanda sebuah masa.

 

 

Masa perkuliahan dilalui Krystal dengan gemilang tanpa cela. Ia lulus dengan predikat sangat memuaskan dan sukses menjalin hubungan dengan beberapa pria. Namun, anehnya selalu terasa ruang kosong di hatinya. Masih ada sepucuk surat yang tak pernah dikirim tersimpan rapat di laci meja kamarnya. Surat yang ia tulis dengan susah payah untuk yang begitu saja menghilang dari kehidupannya, tanpa ada pesan apapun. Tanpa ada nomor yang dapat dihubungi maupun alamat yang dapat dikirimi pos.

Waktu terus berlalu hingga akhirnya tiba saatnya bagi Krystal untuk melingkari jari manisnya dengan cincin. JinKi merupakan pria yang akhirnya ia pilih untuk melakukan hal tersebut. Ya, ia akan menikah dengan pria aneh di masa SMA dulu yang kini telah menjadi lelaki humoris dan bekerja di sebuah perusahaan elektronik ternama. Semua berawal ketika ternyata mereka berada di universitas yang sama. Pria itu tersebut kembali mendekatinya dan berkali-kali ia tolak hingga akhirnya mereka memutuskan hanya mencoba menjadi sahabat. Krystal tetap menutup diri dari JinKi. Ia sebenarnya tak ingin lagi berhubungan dengan seseorang yang memiliki keterikatan akan masa-masa SMA-nya. Masa dimana dia sempat menyangkal perasaan cinta terbesar yang pernah ia miliki. Namun, seperti pada SMA dulu, JinKi tetap menjadi seseorang yang berani melakukan hal pertama bagi Krystal. Ia menjadi teman terdekat dalam menghadapi berbagai tugas kelas. Orang yang bersikeras untuk menemani Krystal saat ia sedang sedih. Membantu Krystal mengerjai pria yang sempat mencampakkan dirinya. Punggung pertama yang menopang berat tubuh Krystal saat gadis itu mengalami mabuk berat. Dan akhirnya, pria pertama yang menyatakan cinta dengan tulus seraya membuka sebuah kotak cincin.

Krystal mengalami kebahagiaan ketika bersama JinKi. Memang, terkadang ada beberapa perasaan masa lalu yang menyergap dirinya ketika melihat siswa-siswa SMP berjalan di depannya dengan tas hitam. Ya, ia dengan sangat aneh merasa memiliki ikatan rindu tersendiri dengan tas ransel hitam. Sebuah penanda bahwa ada sedikit dari bagian hatinya yang terkunci dan hanya bisa dibuka oleh seseorang yang kini tak lagi berada di dekatnya.

“Sudah sampai!” seru JinKi gembira. Ia bertepuk gembira. Mereka akan datang ke sebuah pameran lukisan yang sedang diadakan di Seoul. Pameran tersebut merupakan kerja sama dari Korea Selatan – Cina – Jepang. JinKi memang seorang penggemar lukisan.

“Ramai juga ya…” ujar Krystal.

“Iya, soalnya ada pelukis baru yang juga turut mengisi galeri. Ia fokus menggambar hal-hal sederhana namun selalu seperti ada rindu yang besar di gambarnya. Dia bahkan pernah hanya menggambar sebuah buku dan kotak cokelat di atas meja, tetapi orang yang melihat bisa mendadak merasakan rindu. Ditambah lagi dia sampai sekarang belum pernah memperlihatkan dirinya di khalayak. Aneh ya? Seperti penyihir saja,” JinKi menyerocos dengan bersemangat. Krystal tersenyum lebar. Dia selalu suka dengan sifat ceria JinKi. Terutama jika dia sedang menunjukkan rasa antusiasnya terhadap lukisan.

Krystal berjalan seraya bergandengan tangan dengan JinKi. Saat mereka masuk ke dalam galeri, pandangan Krystal langsung menancap pada pilinan garis yang akhirnya membentuk sebuah gambar yang utuh. Gambar yang membangkitkan memorinya akan masa yang terlewat. Sebuah perasaan hangat menjalar di tubuh Krystal. Ia tak menyangka akan menemukan lukisan seorang gadis yang mendekap setelah tujuh tahun berlalu. Dan saat membaca judul dari lukisan tersebut, Krystal merasakan ada yang membuka kotak usang dalam hatinya. Kotak berisi kenangan-kenangan yang seharusnya tak pernah ada.

***

Chung-Ang, 12 Juni 1990

 

“Halo, namaku Krystal. Aku berasal dari California. Salam kenal.” Seorang gadis kecil dengan rambut lurus sebahu memperkenalkan dirinya dengan lantang dan penuh percaya diri. Dia masih berumur lima tahun. Masih berada di tingkat pendidikan Taman Kanak-kanak. Namun, caranya bertutur dan bersikap sudah tak seperti bocah lagi.

Semua anak di dalam kelas tersebut menatap gadis tersebut kagum. Apalagi begitu mendengar gadis itu mengucapkan kata ‘California’ dengan fasih –terkesan begitu keren dengan aksen yang tak bisa mereka tiru. Aksen yang hanya anak-anak di kelas itu dengar kala menonton film animasi atau kartun dari negeri seberang.

Gadis kecil bernama Krystal itu pun dituntun oleh sang guru untuk duduk di sebuah lingkaran dengan nama kelompok ‘semangka’. Saat itu mereka sedang belajar mewarnai dan membaca. Nama-nama buah digunakan untuk menamai kelompok sekaligus sebagai penentu objek gambar. Krystal duduk dengan gaya yang anggun di kursi yang ditunjuk oleh ChaeKyeong-nim. Ia menegakkan badannya dan melipat kedua tangannya di atas kedua lututnya. Memberi senyum lebar kepada teman sekelompoknya bak seorang putri.

“Kamu benar-benar dari California?” ujar seorang dari kelompok tersebut. Ia mengeja California seperti suara berkumur yang malah terdengar seperti ‘keliponya’. Krystal menatap anak yang bertanya tersebut. Seorang bocah laki-laki seusianya dengan kulit yang agak gelap. Tidak putih pucat seperti orang korea kebanyakan. Bocah tersebut menatapnya dengan mata berbinar penuh penasaran. Krystal mengangguk singkat.

“California itu di Amerika?”

Krystal mengangguk lagi.

“Berarti kau pintar berbahasa Inggris dong?” tanya bocah itu lagi. Kali ini suaranya terdengar begitu bersemangat.

“Bisa dibilang begitu,” jawab Krystal tanpa meninggalkan tata aturan berbicara yang ibunya ajarkan – perlahan namun tegas. Anak-anak yang lain berbisik-bisik membicarakan dirinya.

“Aku juga bisa berbicara bahasa Inggris. Ibuku baru saja mengajariku kemarin,” cerita bocah itu dengan semangat.

“Oh ya?” Krystal menampilkan mimik wajah terkejut meski sebenarnya dia tidak berniat untuk melanjutkan pembicaraan dengan anak ini.

“Iya, dia mengajariku sebuah ungkapan.”

“Apa?”

Bocah laki-laki itu menarik napas. Dia melihat Krystal dengan tatapan serius seakan-akan dia ingin memberitahukan sebuah rahasia besar. Krystal memperhatikan setiap gerak-gerik bocah tersebut hingga akhirnya kata-kata yang hendak diungkapkan itu terucap. “I love you. Ibu mengajari itu. I love you. Kau tahu artinya?”

Krystal hanya diam. Saat berumur lima tahun, Krystal belum dapat merasakan betapa magisnya tiga kata tersebut.

***

“Kaaaaaaaai! Jangan kabur! Kau kan piket!” Krystal berteriak seraya mengacung-acungkan kemoceng yang ia pegang untuk membersihkan rak. Kai hanya terkekeh geli seraya berdiri di depan pintu mendengar lengkingan suara Krystal. Di belakangnya sudah berdiri dua anak lelaki lainnya yang saat itu memang merupakan teman bermain – juga komplotan – dari gang miliknya.

“Krys-ssi, kau kan tahu aku ada jadwal bermain bola,” jawab Kai santai.

Krystal berjengit ketika mendengar panggilan aneh yang Kai berikan untuknya. Krys-ssi. Dia memberikan panggilan itu sejak mereka kelas satu SD. Sekarang mereka sudah berada di kelas enam. Krystal masih merasa aneh dengan panggilan itu meski ia sudah terbiasa.

“Tidak bisa. SeHun saja masih piket meski dia ada latihan sepak bola.”

“Oh ya? Mana dia?” Kai melihat ke sekeliling kelas yang hanya diisi oleh Krystal dan seorang siswi lainnya. Saat itu memang murid-murid yang lain sudah malas untuk menasehati Kai agar melaksanakan tugasnya karena dia memang terkenal tidak mau mendengarkan apalagi mematuhi perkataan orang lain.

“Dia sedang mengambil air untuk mengepel lantai,” jawab Krystal. “Lebih baik sekarang kau membantunya sana!” perintah gadis tersebut seraya mengibas-ngibaskan tangannya pertanda menyuruh Kai untuk segera menyusul SeHun.

“Tidak mau.”

“Kai!”

“Krys-ssiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii.”

Krystal mendengus. Kai memang susah untuk diberi tahu. Bahkan ketika SeHun dengan kesusahan membawa air ke dalam kelas, Kai hanya memberikan jalan masuk namun tidak berniat untuk membantu bocah tersebut mengangkat ember.

“Sudah ya Krystal.” Kai berbalik pergi bersama kedua orang temannya. Krystal mengejar pria tersebut dan berteriak kencang memanggil namanya. Muka gadis itu terlihat masam melihat punggung Kai yang mulai menjauh.

“Kai awas yaa! Akan aku adukan kau ke Joong Soon-ssi!!”

Kai berhenti kemudian berbalik.

“Kau pasti tidak akan melakukan hal itu.”

“Tentu saja aku akan melakukannya.”

“Pasti tidak. Kau kan sahabatku yang paling baik. Ya Kan? Dadah, Krys-ssi. I love you!” Kai tersenyum lebar kemudian pergi menjauh.

Saat itu, Krystal tidak pernah bisa membalas segala perkataan Kai. Entah mengapa dia tidak bisa menggerakkan mulutnya ketika ketiga kata terakhir itu keluar dari mulut Kai.

***

“Kau selalu saja mengurus Kai seperti ini. Memangnya kau ibunya?” Sulli melihat Krystal yang tengah membereskan peralatan sekolah Kai yang tergeletak berantakan di atas meja dengan tatapan tak percaya. Kelas telah berakhir. Saat ini tinggal ia dan Krystal yang berada di dalam kelas. Sedangkan, si empunya barang-barang tersebut malah keberadaannya entah ada di mana. Paling dia sedang menendang bola di lapangan atau hanya sibuk bermain game hingga sore nanti.

“Aku sudah mengenalnya sejak TK. Jadi ya… ya begitulah.” Krystal tak bisa menemukan alasan yang tepat untuk menjadi dasar dari kerelaannya merapikan perlengkapan sekolah Kai yang ditinggalkan begitu saja di kelas. Gadis itu entah mengapa berbuat seolah-olah pekerjaan merapikan tersebut merupakan hobinya. Setelah selesai merapikan nanti, Krystal akan mengantar tas sekolah tersebut ke rumah Kai. Kakak Kai, Taemin, bahkan menjuluki Krystal sebagai ‘Si Gadis Tas’.

“Tapi kan kita sekarang sudah SMP, masa dia masih bertindak kekanakan seperti ini? Kau sih selalu melakukan hal ini. Makanya dia jadi melunjak dan jadi sering meninggalkan barang-barangnya ini. Kita tinggalkan saja deh di sini. Paling tidak ada yang mau mencuri. Siapa coba yang mau mengambil catatan dan peralatan tulis?”

“Siapa saja,” tandas Krystal. Ia memasukkan barang-barang milik Kai ke dalam tas dengan rapi. Setelah itu, gadis tersebut segera mendekap tas tersebut dan berjalan ke luar kelas. Sulli mengikuti temannya tersebut seraya tak berhenti mengomel atas kelakuan Krystal yang ia anggap sedikit… bodoh.

“Kau suka padanya ya?” tuding Sulli penuh prasangka. Krystal seketika menghentikan langkahnya. Mata gadis itu membelalak kaget. Lalu, ia menatap Sulli dengan kening mengernyit.

“Kau jangan berpikiran yang aneh-aneh,” sergahnya seraya kembali meneruskan langkah kakinya. Irama kakinya kini lebih cepat dan tak teratur. Sulli menatap punggung Krystal yang mulai menjauh darinya dengan mulut mengerucut. Ia heran melihat reaksi temannya ini. Penuh dengan penyangkalan padahal semuanya sudah terlihat jelas. Siapa sih yang mau repot-repot membereskan sesuatu tak penting yang seharusnya bisa dikerjakan sendiri oleh pemilik barang tersebut? Sulli bergegas mengejar Krystal dan menyamakan langkah cepat temannya itu.

“Kau bersikap seperti ini malah menambah kecurigaanku.”

“Tapi – “ Krystal ingin membantah lagi. Namun, ia masih bingung memikirkan alasan yang tepat untuk menepis tuduhan Sulli.

“Sudahlah, nanti saja beralasannya. Lebih baik kita cepat keluar dari sekolah. Sudah sore begini aku jadi merasa sedikit seram.” Sulli dalam sepersekian detik mengubah topik pembicaraan seraya menarik lengan Krystal untuk semakin mempercepat gerak mereka. Begitu sampai di jalanan depan sekolah, Sulli baru memperlambat laju kaki mereka. Warna oranye sudah mulai menggantikan paduan warna putih dan biru langit siang. Bayangan mulai mengikuti Sulli dan Krystal dengan patuh – menemani kedua gadis itu menerobos sore dengan kepala yang dipenuhi pikiran-pikiran aneh khas remaja tanggung.

“Sudah ya, hati-hati Krys!” Sulli dan Krystal berpisah di pertigaan jalan dekat kompleks rumah Sulli. Krystal meneruskan perjalanannya. Rumah Sulli dan Kai tidak terlalu jauh. Hanya terpaut dua blok yang dapat ditempuh dalam waktu sekitar lima belas menit. Sebenarnya rutinitas mengantar tas ini jika dipikirkan Krystal secara jernih merupakan sebuah kegiatan menghabiskan waktu dengan sia-sia. Untuk menuju rumahnya, Krystal masih harus menempuh perjalanan lumayan jauh dengan bus. Biasanya ketika ia sampai di rumah, warna oranye sudah terganti oleh langit gelap dengan pendar bintang. Namun, ia sangat menyukai rutinitas mengantar tas milik Kai. Ia senang melewati jalanan menuju rumah Kai yang menanjak dan diapit dengan bebukitan rumah bercat pastel. Sebuah kompleks yang lucu dan jarang ia temui di Chung-Ang. Berbeda dengan daerah rumahnya yang tradisional dan didominasi warna cokelat ataupun gading.

“Krys-ssi!”

Krystal menoleh ke belakang. Kai tengah berlari ke arahnya. Baju sekolah bocah tersebut tampak berantakan. Peluh membasahi wajahnya namun parasnya tetap terlihat segar. Blazer hitam ciri khas sekolah mereka tersampir lunglai di pundaknya. Krystal terdiam menanti Kai untuk mendekat ke arahnya. Begitu mereka berhadapan, Krystal langsung menganjurkan tas milik Kai.

“Terima kasih!” Kai membalas kebaikan Krystal itu dengan sebuah senyuman lebar.

“Sekarang kau mau pulang?”

“Ya tentu saja. Mau apa lagi?” ujar Krystal sekenanya. “Sudah ya, aku pulang dulu.” Saat Krystal berjalan menjauh mendadak ransel gadis tersebut ditarik oleh Kai hingga tubuhnya juga ikut condong ke arah belakang.

“Aku temani.” Kai menyejajarkan posisi mereka berdua kemudian mulai berjalan pelan. Krystal terperangah sesaat namun kemudian memutuskan untuk tidak ambil pusing dan berjalan berdampingan dengan Kai.

“Kau tidak sebal harus mengantar tas terus? Dalam seminggu kau bisa menjadi kurir tas sebanyak tiga kali.” Kai membuka percakapan dengan pertanyaan yang telah timbul di benaknya sejak Krystal mengantar tasnya ke rumah.

“Anehnya, tidak.” Krystal memainkan kedua tali ransel miliknya. Pandangannya tertunduk.

“Kau tahu, Krys, orang-orang bisa mengira kau suka padaku kalau kau terus begitu memperhatikanku.”

Krystal tersentak. Matanya menyipit ke arah Kai. “Jangan besar kepala. Siapa yang suka padamu?” Krystal membalas ucapan Kai dengan nada tak senang. “Memangnya salah ya kalau kita perhatian dengan teman?” ujarnya.

“Tidak salah. Tapi… cara yang kau gunakan itu…”

Krystal berhenti melangkah. Ia menatap Kai dengan kaget. “Kau menganggap aku aneh?”

Kai balas menatap Krystal. Mulatnya sedikit terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu namun akhirnya tak bersuara. Krystal makin menatapnya tajam. Kai menghela napas. Ekspresi wajahnya tak terbaca. Seakan-akan semua jenis ekspresi bercampur aduk menelusur parasnya. Menyimpul sebuah respon atas emosi maupun rentetan pemikiran yang tak terdefinisi.

Kai melanjutkan langkahnya. “Orang bisa salah sangka, Krys. Seumuran kita ini, banyak yang suka menciptakan gosip dari perhatian kecil. Apalagi dari perhatian yang intens.”

Transisi dari oranye pekat menuju hitam lega menjadi latar sosok Kai yang tengah menatap Krystal. Mereka berdua kini saling memandang dengan didampingi suasana senja yang dramatis. Hal termasuk menjadi padanan yang cocok dengan kekalutan Krystal. Ia sendiri masih berusaha mencerna perkataan Kai. Jadi, selama ini dia tidak suka tasnya diantarkan? Mengapa tidak bilang saja?

“Ya sudah, kalau kau memang tidak suka aku mengantarkan tasmu, aku tidak akan melakukannya lagi.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut. Krystal segera berjalan cepat menjauhi Kai. Hatinya kini dipenuhi emosi yang entah berwujud kekecewaan atau kekesalan. Bahkan ada sedikit rasa sakit yang menggelitik perasaannya ketika ia merasakan ia dan Kai kini tak jalan berdampingan.

“Krys-ssi, bukan itu maksudku. Kau ini suka sensitif di saat yang tidak tepat, tapi tidak pernah sensitif saat seharusnya kau peka.”

Terdengar derap langkah mendekat ke arah Krystal.

“Jangan menyusulku!” teriak Krystal.

Derap langkah itu kemudian terdengar memelan, tetapi tak menghilang. Ada jarak konstan di antara langkah-langkah kecil mereka. “Krys-ssi, kau marah dengan alasan tak jelas seperti ini?”

Krystal tak menjawab. Ia sebenarnya juga bingung kenapa dia jadi marah tak jelas seperti ini. Memangnya apa yang tadi Kai katakan salah? Masa hanya karena tas kau jadi bertengkar dengan temanmu? Hati kecil Krystal sudah seperti meraung untuk berbalik dan mengakui ketidakstabilan emosinya saat itu, namun ego lebih menguasainya sehingga mengungkung rasa bersalah itu. Gadis itu tetap berjalan tanpa sedikitpun menoleh ke belakang. Ketika sampai di halte, bus jurusan ke daerah rumahnya belum tiba. Krystal menunggu di bawah kanopi dan Kai segera menempatkan diri di samping gadis tersebut.

“Hei, gadis California, kau masih marah?”

Krystal tak bergeming. Namun, sedetik kemudian ia merasa lengannya ditusuk-tusuk pelan oleh telunjuk Kai. “Ayolah, Krys. Jangan ngambek seperti itu. Kau tahu kan aku tidak suka kalau Pemberi Perhatian nomor satuku mendadak jadi cuek seperti ini,” celoteh Kai dengan tatapan memelas yang dibuat-buat. Krystal merasa sedikit luluh dengan tatapan memelas seperti bocah itu, namun entah kenapa memang ada alasan lain yang membuatnya marah terhadap Kai. Anehnya, ia masih bingung apa yang membuatnya marah.

Tak lama kemudian, sorot lampu bus menerpa mereka. Krystal segera bersiap untuk pulang. Begitu ia ingin naik ke bus, Kai menahan lengannya. “Jangan marah Krys-ssi. Kau tahu kan kau sahabat ‘California’ terbaikku. Dan… I love you.” Tiga kata itu selalu dengan mudah meluncur dari bibir Kai. Entah diucapkan dengan penuh makna atau hanya sesederhana kata-kata tanpa afeksi.

Kai melepaskan cengkramannya. Hati Krystal mencelos saat pintu bus tertutup. Ia berjalan gontai ke kursi yang berada dekat dengan jendela. Ia melihat ke luar jendela. Kai melambaikan tangan dan membentuk tanda love dengan kedua telunjuk dan jempol miliknya lalu melambai.

Krystal memperhatikan sosok Kai yang perlahan menghilang ditelan malam. Kepingan-kepingan puzzle perasaannya mulai menyusun menjadi sebuah bentuk yang utuh. Belum selesai, namun Krystal memiliki firasat yang jelas gambar apa yang akan tercipta dari kepingan-kepingan tersebut. Tiga kata itu mulai merekontruksi diri menjadi sesuatu yang lebih pelik dan pedih.

 

***

“Argh, lihat, sahabat lamamu itu berganti pacar lagi.”

Krystal menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh JiYoung dengan menelengkan kepalanya sedikit ke kanan. Tampai Kai sedang berjalan berdampingan dengan SoHee, murid kelas 3-3 yang populer. Krystal hanya mendengus kemudian melanjutkan membaca buku yang sudah seminggu ini berusaha ia selesaikan.

“Padahal, KiYeong masih patah hati berat setelah Kai putus dengannya. Tapi malah cowok itu sudah menggandeng perempuan lain. Baru dua bulan loh mereka putusnya!” JiYoung berujar dengan berapi-api. Bekal nasi miliknya ia aduk-aduk asal dengan sumpitnya. Dasar kotak bekal dan ujung sumpit beradu memilin alunan nada pengiring kegeraman gadis berkepang dua tersebut. Krystal melirik sekilas ke arah JiYoung. Ia memilih untuk tidak berkomentar apapun tentang sepak terjang hubungan Kai. Semenjak masuk SMA, hubungan ia dan Kai mulai merenggang. Kai memilih masuk ke dalam klub sepak bola dan dalam sekejap menjadi populer. Sedangkan Krystal, ia lebih memilih menyibukkan diri dalam klub biologi dan radio sekolah. Ia dan Kai mendadak memiliki sekat yang memisahkan dunia yang mereka tekuni. Bahkan mendadak mereka merasa canggung untuk sekedar bertegur sapa. Kai selalu dikelilingi oleh teman-teman dan penggemarnya. Sedangkan, Krystal sibuk ditemani oleh jadwal les serta lomba yang ia ikuti. Ditambah dengan jadwal siaran radio sekolah, Krystal semakin menjauh dari Kai.

“Dari dulu dia memang sudah banyak disukai kok,” ucap Krystal terdengar tidak acuh.

“Dan berganti-ganti pacar seperti itu?”

Krystal menutup bukunya dan meletakkannya di atas meja. Ia menatap JiYoung dengan sedikit heran. “Dia itu bukannya cuma baru pacaran tiga kali ya selama masa SMA ini? Rekor ChanYeol lebih banyak dibanding dirinya.”

“Tapi, jumlah gadis yang sudah didekati Kai itu jauh lebih banyak dari jumlah pacar ChanYeol.”

“Sudahlah, mungkin saja kan gadis-gadis yang mendekati dirinya.”

“Tetap saja, dia tidak seharusnya memberi harapan pada gadis-gadis tersebut.” JiYoung bersikeras atas teorinya tentang ‘kejahatan cinta’ yang dilakukan Kai.

“Dari dulu aku mengenalnya, dia memang tipe yang ramah ke semua orang. Meski nakalnya minta ampun. Padahal tipe nakal tapi perhatian itu kan sedang menjadi tren remaja putri saat ini. Pastilah banyak yang menyukai dia.” Krystal memberikan penjelasan – sekaligus pembelaan – atas perilaku Kai.

“Kau selalu membelanya.”

“Kau selalu mencercanya.” Krystal menyerang balik.

“Entahlah, Krys. Kau tahu kan, aku masih sakit hati ketika sepupuku dipermainkan dia. Ya, meski kau suka menceritakan kebaikannya dia, tetap saja kan hati sepupuku mana bisa sembuh. Hhh… orang seperti dia itu, aku yakin nanti pasti kena karmanya deh.”

Krystal terhenyak. Dia sering mendengar tentang gadis-gadis yang sakit hati setelah harapannya yang telah dibumbungkan oleh Kai pada akhirnya dibiarkan jatuh begitu saja menghempas tanah. Ia tak pernah lagi berbincang dengan bocah itu. Mereka tak pernah lagi sekelas di masa SMA ini. Krystal merasakan hubungan mereka memang telah berubah 180 derajat. Ia sudah tak pernah lagi mendengar teriakan ‘Krys-ssi’. Tak ada lagi yang mengelak dari cecaran emosi miliknya karena mangkir dari piket atau tugas kelompok. Tak ada lagi tas yang harus ia antarkan ke rumah.

            Hentikan Krystal! Krystal memarahi dirinya di dalam hati. Curhatan JiYoung malah membangkitkan memorinya akan Kai. Dia sudah lama membiarkan kenangan-kenangan miliknya tersudut di pojok pikirannya. Seperti mainan berdebu yang sudah usang dan dibiarkan melapuk di loteng rumah.

“Sampai jumpa istirahat nanti, kkamjong!” Krystal dan JiYoung sontak menoleh ke pemilik suara tersebut. SoHee dan Kai sedang berdiri di pintu kelas 3-3 – kelas Krystal dan JiYoung juga SoHee. Sesaat Krystal merasa tatapan Kai sempat tertuju kepadanya.

“Tentu saja, princess.” Krystal berusaha menahan mual mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Kai. “I love you!” Kai berjalan meninggalkan kelas tersebut. Ketiga kata itu menggaung dan membuat waktu terasa berhenti. Mendadak Krystal merasakan gejolak aneh di hatinya. Seakan ada gelembung kekecewaan yang merangsek masuk. Ia membatu. Saat itu, Krystal merasakan pedih ketika ketiga kata magis yang sempat menjadi miliknya kini tak lagi ditujukan padanya.

***

“Selamat, Krys!” JiYoung memeluk Krystal erat. Dia membalas pelukan JiYoung dengan kencang. Akhirnya bulan-bulan penuh perjuangan telah berakhir. Malam-malam dengan tumpukan materi serta latihan soal, waktu tidur yang berkurang, dan kegelisahan tak berujung, telah berakhir. Ia dan ratusan siswa sekolah lainnya resmi lulus dari sekolah yang telah mengisi kehidupan mereka selama tiga tahun ini. Raut wajah sumringah mendominasi Senin pagi yang cerah. Tak ada kelabu yang menyergap. Suasana mereka semua saat itu persis seperti campuran warna pelangi yang menghias hari setelah rintik hujan menghunjam bumi.

Krystal dan teman-temannya sibuk berpelukan dan bertukar ucapan ‘selamat’. Setidaknya mereka harus menikmati hari kelulusan ini sebelum nanti harus menghadapi kehidupan universitas yang jauh lebih berat dan rumit.

Krystal dan JiYoung sekali lagi berpelukan sebelum akhirnya berpisah menuju keluarga masing-masing. Ayah, ibu, serta adik lelaki Krystal telah menunggu manis di dekat kursi-kursi yang kini sudah tak lagi tersusun beraturan.

“Kita jadi ‘kan merayakannya di restoran Bibi Shin?” ujar Krystal dengan penuh semangat.

“Tentu saja. Ayo cepat. Bibi Shin bilang dia sudah memasakkan masakan istimewa untuk merayakan kelulusanmu ini.”

“Benarkah? Asyik!” Krystal melompat kecil kegirangan. “Ah, aku mau menelepon Bibi Shin langsung ah untuk memastikan itu.” Krystal merogoh sakunya namun tangannya tak meraih apapun. Wajahnya berubah menjadi bingung. Ayah dan ibunya memperhatikan perubahan raut wajah putrinya itu.

“Ada apa?”

“Ponselku, Yah….” ujar Krystal menggantung. “Ya ampun, aku lupa menaruh ponselku. Yah, Bu, sebentar ya, aku ke kelas dulu. Aku meninggalkan ponselku di sana.” Krystal buru-buru berlari meninggalkan aula. Samar-samar ia mendengar ayahnya berteriak ‘kami tunggu di mobil’. Ia bergegas menaiki tangga untuk ke kelasnya. Ia sampai di kelas dengan terengah-engah. Dengan cepat gadis tersebut masuk ke kelasnya dan berjalan menuju mejanya. Ia merunduk untuk melihat laci meja dan ponsel lipat warna merah miliknya ada di sana – di samping sebuah kantong plastik hitam. Tadi dia dan JiYoung sempat bernostalgia di kelas sebelum mengikuti upacara kelulusan. Dia sibuk bercanda seraya menghabiskan snack seperti kebiasaannya saat masa sekolah dan dia ingat memeragakan gaya temannya – MyungSoo – jika kepergok sedang bermain game di kelas – merunduk dengan tampang serius sementara jemarinya masih dengan lincah menekan tombol-tombol ponsel yang disenderkan di ujung bawah laci.

Krystal keluar kelas menuju ke arah tangga untuk turun. Matanya tertuju pada kelas 3-3 yang pintunya sedikit terbuka. Entah mengapa, Krystal merasa ada yang menarik dirinya untuk membuka pintu kelas tersebut. Begitu ia membuka, tak ada satupun murid berada dalam kelas tersebut. Namun, pandangannya mengarah pada meja yang di atasnya terdapat barang-barang yang tergeletak begitu saja. Perlahan, Krystal mendekati meja tersebut. Dua buah pensil, topi hitam, sekotak susu cokelat, dan sebuah buku sketsa. Krystal membuka buku sketsa tersebut. Ia membeliak ketika melihat gambar yang mengisi lembaran putih itu. Bentuk-bentuk kartun aneh yang ia tahu merupakan favorit dari seseorang yang ia kenal sejak TK dahulu. Secara otomatis, tangan gadis tersebut mulai menyusun barang-barang tersebut. Ia hendak memasukkannya ke dalam tas namun baru sadar bahwa tak ada tas di bangku meja tersebut. Krystal celingukan namun tak melihat ada tas di kelas itu.

“Krys?”

Krystal berputar ke belakang. Tampak Kai sedang mematung di depan pintu kelas seraya memegang tas ransel miliknya yang meneteskan air ke lantai. “Kau sedang apa?” tanya Kai heran. Ia berjalan mendekat. Perut Krystal langsung melilit tak karuan. Jantungnya juga ikut berdegub kencang. Ia benci dengan respon tubuhnya saat Kai berada di dekatnya. Kini mereka hanya berjarak satu meter. Krystal terlihat sedikit panik; sedangkan Kai hanya terdiam menunggu jawaban dari Krystal. Tetapi, begitu melihat tangan Krystal yang tengah menggengam barang-barang miliknya, sebuah senyum mengembang di wajah Kai.

“Ah, kebiasaan lamamu muncul lagi ya?”

Krystal menatap barang-barang yang ia genggam. Ia sontak menyorongkan ke arah Kai. Lelaki itu menerimanya dan memasukkannya ke dalam tasnya sementara susu cokelat ia biarkan berada dalam genggaman Krystal.

“Tadi terpaksa harus mencuci tas gara-gara ketumpahan ini.” Kai mengetuk-ngetuk kotak susu tersebut lalu mengambilnya dari genggaman Krystal. Kai sudah bersiap-siap untuk keluar kelas, tetapi Krystal masih terpaku di tempat. “Hei, kau tidak mau pulang?”

Krystal terkesiap. “Eh? Oh. Ya.”

Mereka berdua berjalan beriringan menelusuri lorong ke arah tangga. Hanya suara sepatu mereka yang beradu dengan lantai yang menjadi pengisi keheningan di antara mereka.

“Apa kabar, Krys?” Kai akhirnya memecah kecanggungan di antara mereka.

“Hm?”

Kai tertawa kecil. “Rasanya aneh menanyakan kabar kepadamu. Tapi yah… aku merasa memang selama SMA ini tak pernah menanyai kabarmu. Meski aku bisa begitu saja tahu tentang kabarmu.”

“Maksudmu?” tanya Krystal bingung. Mereka kini tengah menuruni undakan tangga dengan pelan. Satu per satu dengan perlahan, tanpa ada keinginan untuk buru-buru menginjak tiap anak tangga dengan cepat.

“Yah… dari awal masuk sekolah saja kau sudah menjadi perwakilan angkatan. Lalu, setelahnya aku mendengar kabar kau menjadi wakil sekolah untuk olimpiade. Setelahnya, aku mendengar kau menjadi juara kelas 3-1. Lalu, aku juga mendengar namamu disebut-sebut di antara murid pria. Yang paling heboh sih waktu kau berpacaran dengan siapa itu, si jago matematika yang ada di kelas 2-1?”

“JinKi?”

“Nah iya, dia. Wah, kan murid-murid pria sempat heboh saat tahu itu.”

Krystal merasa sedikit tertarik.

“Masa? Kenapa?”

“Kau kan punya banyak fans, Krys.”

“Eh? Bukannya gadis-gadis yang punya banyak fans itu adalah gadis-gadis yang kau pacari.”

“Hm? Iya sih. Tapi ya tidak semua juga sih.”

Krystal tertawa. Saat ini mereka sedang berada di lobi lantai dua. Suara riuh dari depan gedung pertama mulai terdengar. Mendadak Kai berhenti. “Hei, kau tahu tidak Krys, sebenarnya aku juga penasaran kenapa kau bisa suka dengan JinKi. Dia kan aneh dan tidak terlalu tampan. Masih tampan aku kemana-mana. Apa karena dia jago matematika?”

Krystal terhenyak. Hm… kenapa ya dulu dia bisa berpacaran dengan JinKi? “Ya, bagaimana. Dia menyatakan cinta padaku. Saat itu aku butuh pacar. Jadi ya sudah diterima saja.”

“Cuma karena itu?” Kai terbelalak dan terkesan kaget.

“Iya. Aku kan waktu itu sudah lima belas tahun. Aku sudah merasa waktunya untuk mencoba memulai berpacaran. Dan waktu itu yang menyatakan cinta padaku cuma JinKi. Ya sudah deh, aku pacaran saja dengan dia.” Krystal terlihat menerawang. Lalu, gadis itu menoleh ke arah Kai. “Seharusnya, kau beritahu aku kalau banyak yang ngefans denganku. Atau suruh mereka menyatakan cinta padaku, jadinya kan aku tidak harus merasakan keanehan JinKi selama empat bulan,” seloroh Krystal seraya melanjutkan berjalan perlahan.

Kai masih terdiam di belakang Krystal. Tak lama kemudian dia mengikuti Krystal. “Masa cuma gara-gara dia orang yang pertama menyatakan cinta kepadamu. Kalau menyatakan cinta sih – “ Kai terdiam.

“Menyatakan cinta kenapa?”

“Tidak. Tidak apa-apa.” Kai dan Krystal kembali berjalan menuruni tangga. Rasanya mereka berdua mengukur-ngulur waktu dengan melangkah dengan sangat lambat. Krystal tidak mau menanyakan hal itu kepada Kai. Ia tetap menuruni tangga dengan pelan.

“Kau habis ini akan kuliah di mana Krys?” tanya Kai.

“Aku akan ke Seoul. Kau?”

“Jepang.”

Deg. Krystal merasa ada sesuatu yang menampar dirinya. “  Jepang?” Ia berusaha memastikan. Tak pelak lagi ia berharap ia telah salah mendengar jawaban Kai.

“Iya, Jepang. Kakek dan nenekku dari pihak ayahku sudah sakit-sakitan. Jadi, ayah memutuskan agar keluargaku pindah setelah aku lulus.”

“Oh ya…? Kapan kau berangkat ke sana?” suara Krystal terdengar sedikit bergetar.

“Besok lusa.” Kai sedikit ragu mengucapkannya.

Krystal terdiam. Dia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Dari tiga tahun yang berlalu, ini merupakan salah satu momen di mana ia berbincang sedekat ini dengan Kai. Sama seperti masa-masa SD dan SMP mereka. Jepang terdengar begitu jauh. Ia bukan tempat yang bisa begitu saja dihampiri dengan bus atau pun kereta. Jarak itu seperti membangun sebuah batas lebar antar antara Krystal dan Kai. Bahwa mereka adalah teman lama yang hanya dapat hadir dalam kenangan masing-masing. Tanpa ada kenangan lain yang bisa diukir.

Kini mereka telah berada di lobi lantai satu. Begitu mereka keluar dari gedung kelas, gerombolan siswa dan orangtua masih memenuhi lapangan sekolah.

“Ah, tidak menyangka masa SMA ini sudah selesai,” ujar Kai tiba-tiba. Krystal memalingkan muka ke arahnya. Mereka saling bertatapan. Perlahan senyum Kai merekah, meski terlihat amat menyedihkan. Sorot matanya memandang Krystal seakan seperti sedang berusaha menuliskan sebuah eulogi. “Hei, Krys-ssi, meski masa SMA-ku tak ditemani dirimu. Tapi, jujur saja, kau selalu menghiasi hari-hari SMA-ku loh.”

Lidah Krystal terasa kelu. Ia tak tahu harus menjawab apa.

Ponsel Krystal bergetar. Ia melihat tulisan ‘Ayah’ di layar ponselnya. Kai melihat hal tersebut.

“Ah, ayahmu sudah menunggumu.”

Krystal mengangguk pelan.

“Kalau begitu… sampai jumpa ya, Kai.” Krystal berusaha menahan rasa sedih yang mendadak menerpanya.

“Ya, sampai jumpa.” Ada nada kesedihan tersirat dari suara Kai.

“Sampaikan salamku pada Taemin,” ujar Krystal.

“Tentu saja. Dia tidak pernah lupa dengan Si Gadis Tas.”

Krystal tertawa.

“Ah, rasanya sudah lama sekali ia tidak mengetuk pintu rumah Kai, menyodorkan tas ke Taemin, lalu melambai pulang yang selalu pada akhirnya berpas-pasan dengan Kai yang terkadang malah mengantarkan dia hingga ke halte.

“Baiklah, sampai jumpa sahabat California-ku.”

Krystal tersenyum dan kemudian berjalan menjauh dari Kai. Ketika baru beberapa langkah, Kai sudah berteriak memanggil nama Krystal. Krystal membalikkan badan. Kai seperti hendak mengatakan sesuatu namun akhirnya ia diam. Ia hanya melambai. Krystal membalas lambaian itu dan kembali berjalan. Saat Krystal menoleh ke belakang, punggung Kai sudah menjauh. Berbaur dengan keriuhan dan kerumunan orang-orang pada saat itu. Bocah lelaki itu pada akhirnya nanti menghilang dan hanya akan menjelma menjadi sebuah nama yang pernah diingat, sosok yang pernah dikenang, dan kata yang tak pernah terucap.

 

***

Twitter : @escatheory

Q&A : ask.fm/escatheory

 



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles