Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Cinta Dua Keyakinan

$
0
0

cdk poster

Title : Cinta Dua Keyakinan

Author : Fioppiall

Main Cast : Sarah Fazilla, Xi Luhan

Genre : Romance, Sad Story

Lenght : Chaptered

Hallo. Ff ini sudah pernah dipublish di web sebelah, dan yg disini sudah ada yg saya edit. Saya bukan penggemar EXO dan saya tak terlalu tau tentang mereka. Cerita murni milik saya. Poster milik @aurrpsy. Happy reading guys ^^

Cahaya bulan yang mulai memudar

perlahan menerobos masuk. Menembus jendela kamar yang hanya ditutupi oleh selembar kain tipis berwarna putih. Mencetak gambar abstrak dilangit-langit kamar tanpa izin penghuninya. Seolah ingin menunjukkan pada dunia bahwa ia masih mampu untuk bersinar walau hari sudah mulai menerang. Tak ingin ketinggalan, bintang-bintang kecil pun masih berkelap-kelip terang, seoah ingin menyapa matahari yang perlahan mulai menampakkan dirinya.

Aku menggeliat. Dengan mata yang masih terpejam aku berusaha untuk mengumpulkan seluruh nyawaku. Perlahan aku bangkit dari tidurku. Duduk sesaat untuk merasakan aliran darah menjalar diseluruh tubuhku.

Aku melihat kearah jam yang tergantung dihadapanku. Dengan bantuan cahaya dari luar kamarku, nampak jam menunjukkan pukul setengah 6 pagi.

Dengan keadaan setengah sadar aku berjalan menuju pintu kamarku. Mataku belum mampu terbuka sempurna karena rasa ngantuk masih menguasai diriku. Maklum saja, aku baru tidur saat jarum pendek di jam dinding kamarku berada diangka 2.

Aku berjalan kearah dapur dan meneguk segelas air untuk membasahi tenggorokanku yang terasa sangat kering. Saat aku sedang berusaha memindahkan seluruh air dari gelas ke dalam mulutku, ujung mataku menangkap sebuah piring dan gelas yang tergeletak begitu saja dibak cucian piring kotor.

Aku teringat itu adalah piring dan gelas yang digunakan oleh seorang pria yang semalam berada di kostku. Luhan. Itulah namanya, jika aku tak salah ingat.

Aku terlalu lelah untuk mencuci piring dan gelas tersebut setelah ia pulang. Aku lebih memilih untuk menuruti nafsu ngantukku, mengingat dia baru pergi dari kostku pukul 2 pagi.

Walau dia berada cukup lama disini, namun tak banyak interaksi yang terjadi diantara kami. Aku lebih memilih berada dikamarku dan dia yang berada diruang tamu menunggui handphone-nya yang sedang di-charger.

Sebenarnya aku begitu penasaran padanya. Banyak hal yang ingin kutanyakan padanya. Namun, rasa takutku akan situasi saat itu memerintahkanku untuk mengunci diriku dikamar.

Dari dalam kamar aku bisa mendengar pria itu sibuk berbicara dengan seseorang diujung telepon, yang kuyakini adalah kakaknya. Dia sibuk menjelaskan alamat tempat ini, yang sebelumnya telah ditanyakannya padaku, kepada orang tersebut.

Tak lama berselang setelah pria itu mengakhiri percakapannya di telepon, ia pun pamit pulang dan mengucapkan terima kasih kepadaku.

Kuletakkan gelas yang barusan kugunakan untuk minum disamping piring kotor tersebut dan mulai mencucinya. Setelah selesai, aku pun mulai bersiap-siap untuk berangkat ke kampus.

*****

“Cepatlah kemari, halmeoni sudah menyiapkan makanan untukmu,” perintah nenek Yuran ketika aku baru saja masuk kerumahnya.

“Halmeoni masak apa? Baunya harum sekali. Kelihatannya enak,” ucapku menghampiri meja makan berbentuk persegi yang berada ditengah dapur.

Walau terhitung baru beberapa hari aku tinggal dirumah nenek Yuran, namun aku berani mengatakan jika aku sudah sangat akrab dengannya. Mungkin karena sikap nenek yang welcome sehingga membuatku merasa nyaman terhadapnya. Terlebih lagi dia memperlakukanku sudah seperti anaknya sendiri. Tak jarang aku merasa seperti sedang bersama mamaku ketika bersama dengannya.

“Hanya sop ikan,” jawab nenek Yuran yang sibuk menyendokkan nasi kemangkuk berukuran kecil ditangannya, “Apa kau mau kimchi?” tanyanya.

“Anniyo.”

“Kalau begitu cepatlah makan sebelum kau terlambat ke kampus.”

“Ne. Jal meokgessseumnida,” kataku seraya menyendokkan nasi ke mulutku.

“Kau pulang jam berapa tadi malam?” tanya nenek ditengah-tengah sarapan kami.

“Kalau tidak salah jam 12, halmeoni. Aku harus menunggu kyosunim pulang terlebih dahulu,” jawabku.

Di Korea sudah merupakan sebuah kewajiban bagi seorang mahasiswa untuk datang sebelum professor mereka tiba dikelas. Dan pulang sesudah professor mereka pulang. Jadi, apabila sang professor pulang sampai jam 11 malam, maka para mahasiswa akan dengan setia menunggu sampai beliau pulang.

Sebenarnya itu adalah aturan tidak tertulis yang diterapkan oleh kebanyakan professor di Korea. Begitu pula untuk akhir pekan. Ada sebagian professor yang datang pada akhir pekan dan menyuruh mahasiswa-mahasiswanya untuk datang juga.

Di Korea seorang professor akan menjadi seperti dewa bagi mahasiswanya, karena setiap apa yang dikatakannya selalu benar. Tidak ada yang berani membantah perkataan seorang professor. Sehingga jarang sekali ditemukan perdebatan antara professor dan mahasiswanya.

Itulah salah satu hal mengenai tradisi dikampus Korea yang kuketahui dari Minjung dihari pertamaku kuliah kemarin.

“Kau tak takut pulang sendirian tengah malam begitu?” tanya nenek Yuran.

“Takut, tapi aku tak pulang sendiri. Aku pulang bersama teman sekelasku yang rumahnya searah denganku, halmeoni.”

“Kau sudah punya teman pulang dihari pertamamu?”

Aku hanya menganggukkan kepalaku menjawab pertanyaan nenek Yuran.

“Sepertinya kau cepat beradaptasi. Baguslah kalau begitu.”

Aku tersenyum menanggapi perkataan nenek, “Ne, halmeoni.”

Jika kau melihat nenek Yuran, kau tak akan menyangka jika umurnya sudah menginjak kepala lima. Mukanya nampak seperti wanita yang masih berusia 40 tahun. Badannya juga terlihat sehat dan bugar. Tak heran nenek mampu mengangkat sekarung beras yang beratnya mencapai 25 kg seorang diri, seperti yang kulihat pertama kali ketika aku tiba dirumah ini.

Dari cerita Kak Mira, aku mengetahui jika ternyata nenek Yuran sudah lima tahun menempati rumah yang cukup besar ini seorang diri. Dari Kak Mira jugalah aku mengetahui jika suami dan anak perempuan nenek meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat lima tahun lalu. Saat kecelakaan tersebut terjadi, anak perempuan nenek baru berusia 20 tahun.

Setelah peristiwa tersebut, nenek memilih menutup diri dari lingkungan luar dan lebih memilih untuk menghabiskan hari-harinya dengan mengurung diri dirumah. Padahal sebelum peristiwa itu terjadi, nenek dikenal sebagai sosok yang baik dan ramah terhadap orang.

Hal itu terus berlangsung selama hampir empat tahun sebelum akhirnya nenek kembali menjadi dirinya yang dulu, sebelum peristiwa yang merenggut nyawa suami dan anak semata wayangnya itu terjadi.

Aku melirik jam tanganku dan bergegas menyelesaikan sarapanku karena aku sudah janji dengan Minjung akan bertemu di persimpangan jalan, tempat kami berpisah semalam, untuk berangkat ke kampus bersama.

“Aku sudah selesai. Harus kuakui masakan halmeoni enak sekali,” ucapku sembari mengacungkan jempolku kearah nenek Yuran.

Nenek Yuran tersenyum menanggapi kicauanku, “Kau ini selain pintar beradaptasi, pintar memuji juga ya.”

“Hahaa… Halmeoni bisa saja.” Aku segera mengambil tasku yang tergeletak disampingku lalu menghampiri nenek Yuran yang duduk didepanku, “Salam..,” kataku menyodorkan tangan kananku kepadanya.

Nenek Yuran terkejut sesaat, “Kau ini! Sudah halmeoni bilang kau tak perlu melakukan hal ini. Ini di Korea bukan di Indonesia,” jelasnya memandangku dan tangan kananku yang berada dihadapannya bergantian.

“Arrasseo. Tapi, rasanya ada yang kurang ketika aku pergi tanpa bersalaman dengan orang yang lebih tua denganku,” ucapku dengan wajah memelas.

Nenek Yuran menatapku ragu, “Baiklah. Kau boleh melakukannya padaku. Tapi ingat, jangan lakukan ini dengan orang lain diluar sana karena mereka akan salah paham terhadapmu,” ujar nenek sembari mengulurkan tangannya.

“Ne, halmeoni,” aku mengambil tangan nenek Yuran dan menciumnya seperti yang biasa aku lakukan di Indonesia, ” Baiklah aku berangkat. Danyeo ogessemnida, halmeoni,” pamitku.

“Hati-hati di jalan.”

“Ne…”

*****

Ramai. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan suasana kantin sore hari ini. Letaknya yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar ini sukses membuatnya tak pernah sepi pengunjung karena suasananya yang sejuk mampu menarik setiap orang yang lewat untuk sekedar mampir, walau hanya sebentar.

Kantin ini sungguh besar. Bahkan lebih besar dari ruangan kelasku. Tak heran, kantin ini mampu menampung ratusan mahasiwa yang berasal dari lintas fakultas dan jurusan yang berbeda-beda.

Jika aku tak salah ingat, aku sudah berada dikantin ini bersama Minjung dan Elli lebih dari satu jam Dan selama itu pulalah kursi panjang yang tengah kududuki bersama Elli saat ini penuh dengan berbagai macam mahasiswa yang datang silih berganti.

Aku mengedarkan pandanganku keseluruh penjuru kantin. Dari tempatku duduk sekarang, aku dapat dengan jelas melihat setiap orang yang hendak memasuki kantin ini. Aku juga dapat melihat barisan-barisan mahasiswa yang sedang mengantri untuk memesan makanan mereka. Maklum saja posisi kursi yang sedang kududuki berada tepat ditengah-tengah kantin.

“Sepertinya kepalaku benar-benar mau pecah,” ujar Elli yang sejak tiba dikantin tak henti-hentinya mengeluh.

“Jinjja? Tapi, kepalamu terlihat baik-baik saja..,” ujar Minjung menanggapi.

“Yaaa, kau tak bisa melihatnya. Tidakkah kau merasa kepalamu juga akan pecah?”

“Maksudnya?” tanya Minjung bingung, “Kepalaku baik-baik saja, kenapa harus pecah?”

“Oh come on, Minjung-ah. Maksudku tidakkah kepalamu pusing memikirkan banyaknya tugas yang diberikan kyosunim-kyosunim itu diawal perkuliahan kita? Ini bahkan baru berjalan dua hari. Rasanya sangat berbeda dibanding S1 dulu,” keluh Elli sembari mengaduk-aduk minumannya malas.

“Namanya juga kita sudah S2 ya pasti berbedalah. Kau ini aneh-aneh saja. Kalau tak mau dapat banyak tugas ya tak usah kuliah saja sekalian,” timpal Minjung kesal.

Aku hanya tersenyum melihat perdebatan kecil diantara kedua teman baruku tersebut. “Sudah-sudah. Sebaiknya kita kembali ke kelas karena sebentar lagi kuliah Kim kyosunim akan segera dimulai,” ajakku.

“Ne, kau benar Sarah-ya. Sebaiknya kita segera pergi dari sini. Kupingku juga sudah panas mendengar Elli yang dari tadi mengeluh terus.”

“Aku tak mengeluh. Aku hanya mengatakan apa yang aku pikirkan.”

“Itu sama saja..,”

“Yaaa!!”

“Sudahlah. Ayo kita pergi,” ujarku menengahi sembari beranjak darI tempat dudukku.

Selama dua hari bersama-sama dengan Elli dan Minjung, aku bisa melihat jika Elli dan Minjung memiliki karakter yang bertolak belakang.

Elli merupakan gadis yang sedikit tomboy, suka berteriak, namun sangat ramah dan cepat akrab dengan orang. Mungkin karena sikapnya yang gampang bergaul itulah yang akhirnya membuat Elli bisa mengenal hampir seluruh teman dikelas kami hanya dalam jangka waktu satu hari dengan mudah. Ya, Elli mengenal semua teman dikelas kami dihari pertama kami kuliah.

Sedangkan Minjung kebalikannya. Minjung merupakan tipe gadis yang sangat memperhatikan penampilannya. Tak heran jika dia sedikit-sedikit bercermin untuk merapikan make up-nya. Namun, untuk masalah pelajaran, jangan pernah memandangnya sebelah mata. Dia sangat pintar. Dia mampu mengerti apa yang diajarkan oleh professor kami hanya dengan sekali penjelasan.

Walau mereka memiliki karakter yang bertolak belakang dan sering terlibat pertengkaran kecil, namun aku dapat melihat bahwa keduanya saling menyayangi satu sama lain.

Elli bangkit dari duduknya dan segera memakai tasnya, “Minjung-ah sebaiknya kau berterima kasih pada Sarah. Jika bukan karena dia, dapat kupastikan tanganku ini sudah mendarat dengan mulus dikepalamu itu,” ujar Elli melotot pada Minjung.

Sementara Minjung yang dipelototin hanya mampu memandang Elli kesal dengan bibir yang sedikit dimajukan.

Aku tertawa melihat tingkah keduanya, “Kalian ini seperti anak kecil saja,” lalu menarik lengan Elli dan Minjung agar segera berjalan meninggalkan kantin.

*****

Detik berganti menjadi menit. Menit berganti menjadi jam. Jam berganti menjadi hari. Dan hari berganti menjadi minggu. Tak terasa aku sudah tinggal di Seoul selama hampir dua minggu. Kesibukanku yang tak pernah berkurang setiap harinya membuatku tak menyadari pergantian waktu yang terasa begitu cepat.

Tubuhku juga sudah seperti robot yang dirancang untuk melakukan semua hal tepat waktu. Rutinitasku yang hanya bolak-balik dari kost ke kampus setiap harinya menjadikanku hafal luar kepala akan rute perjalanannya. Namun, membuatku sedikit menyesal jika mengingat hanya rute perjalanan dari kost ke kampus dan sebaliknyalah yang ku ketahui sampai detik ini.

Selama berada di Seoul, tak pernah sekalipun aku pergi jalan-jalan. Bahkan area perbelanjaan di sepanjang jalan Myeongdong yang terletak disamping kampusku pun tak pernah kusinggahi. Begitu pula dengan icon kota Seoul, Namsan Tower, yang berada tepat di atas kampusku, tak pernah sekalipun aku berkunjung kesana. Tugas kuliah yang begitu banyak membuatku lebih memilih menghabiskan waktuku dikampus dan dikost, sehingga membuatku harus mengesampingkan keinginanku untuk berjalan-jalan.

Saat ini aku sedang berada di dalam bus menuju tempat tinggalku. Kali ini aku hanya sendiri karena sepulang kuliah tadi pacar Minjung sudah menunggu Minjung di gerbang kampus untuk mengantarkannya pulang. Keadaan di dalam bus cukup ramai walau sekarang sudah hampir tengah malam.

Selama kuliah di Dongguk University, tak pernah sekalipun aku pulang dibawah jam 11 malam. Aku selalu saja tiba dikost diatas jam 11 malam. Awalnya aku merasa tidak nyaman selalu pulang tengah malam mengingat di Indonesia aku tak pernah pulang diatas jam 10 malam, terlebih lagi aku seorang perempuan.

Di Indonesia anak perempuan dilarang masih kelayapan diluar rumah diatas jam 10 malam. Tidak baik. Itulah kata yang selalu aku dengar dari orang tuaku. Namun, semenjak berada di Korea hal itu menjadi tak berlaku. Mahasiswa pulang tengah malam adalah hal yang sangat wajar terjadi disini. Bahkan tak jarang ada juga mahasiswa yang baru pulang subuh hari, mengingat banyaknya tugas yang diberikan oleh professor mereka dan harus segera diselesaikan.

Bus berhenti tepat di pemberhentian bus yang berada tak jauh dari gang kostku. Aku pun bergegas turun ketika pintu bus sudah terbuka sempurna. Jalanan disekitar daerah menuju gang kostku tidak terlalu sepi. Nampak beberapa toko dan warung kaki lima yang masih terbuka.

Aku melambatkan langkahku menikmati angin malam yang berhembus menimpaku. Rasanya begitu sejuk. Membuatku refleks menutup mata menikmati terpaan angin diwajahku.

Kuangkat lengan kiriku bermaksud untuk melihat jam di pergelangan tanganku.

Baru jam 12. Capek banget sih, tapi tak ada salahnya jika aku jalan-jalan sebentar sebelum pulang. Apalagi udaranya begitu sejuk.

Aku menghentikan langkahku dan mulai mengedarkan pandanganku. Setelah menolehkan kepalaku kekanan dan kekiri, mataku berhenti pada sebuah sungai yang berada tak jauh dari tempatku berdiri saat ini. Akupun memutuskan untuk melangkahkan kakiku menuju sungai tersebut.

Jika aku tak salah, nama sungai itu adalah sungai Han. Sungai yang pada malam hari menyajikan pemandangan yang sangat indah. Tak heran jika tempat tersebut sering dijadikan sebagai tempat lokasi syuting.

Disekitar sungai Han terdapat taman dan beberapa fasilitas olahraga yang bisa digunakan oleh masyarakat umum. Sungguh merupakan kombinasi yang sangat pas.

Semenjak tinggal dirumah nenek Yuran sebenarnya aku sering kali ingin mengunjungi sungai Han, namun karena kesibukanku diawal perkuliahan menyebabkanku tak pernah sempat untuk mengunjunginya.

Saat aku tiba di sungai Han, nampak dua anak muda yang sedang mengayuh sepeda mereka sembari bercanda ria satu sama lain melintas dihadapanku. Ada pula beberapa pria yang sedang asik bermain basket berada tak jauh dari posisiku.

Aku berjalan menuju kursi kosong yang terletak dipinggir sungai Han dan segera duduk untuk menikmati pemandangan dihadapanku. Jembatan besar dan panjang yang berada tepat diatas sungai Han dan dipadukan dengan lampu yang berkelap-kelip terang merupakan pemandangan yang kini sedang kunikmati. Sungguh rasanya begitu tenang walau samar-samar masih bisa kudengar suara beberapa orang yang ada disekitarku.

Cukup lama aku termenung menikmati pemandangan indah yang diberikan oleh sungai Han padaku ketika tiba-tiba aku dikagetkan dengan bunyi suara handphone-ku. Aku mengambil handphone-ku dan menemukan satu pesan masuk untukku. Segera aku membukanya. Dari nenek Yuran.

Apa kau masih dikampus? Cepatlah pulang jika kau sudah selesai dan berhati-hatilah di jalan saat kau pulang nanti.

Selesai membaca pesan dari nenek Yuran, aku segera menyentuh huruf-huruf yang tertera dilayar handphone-ku bermaksud untuk membalasnya.

Ne, halmeoni. Aku segera pulang.

Kembali kumasukkan handphone-ku kesaku jaketku dan bergegas bangkit dari dudukku. Dengan sedikit berlari aku meninggalkan tempat ini.

Aku terus berjalan menjauh meninggalkan kursi yang tadi kududuki ketika tiba-tiba dari arah kiri kulihat sebuah sepeda dengan kecepatan tinggi tengah melaju kearahku.

Aku tak sempat menghindar saat ban sepeda itu menyentuh paha kiriku. Alhasil aku terjatuh dengan bokong yang menghantam hamparan rumput ditepi jalan dan dengan posisi sepeda yang menindis kakiku. Sementara pria pemilik sepeda itu juga ikut terjatuh disampingku.

“Jhwesonghamnida. Jeongmal jhwesonghamnida,” ucap pria itu sembari berdiri dan mengangkat sepeda itu dari kakiku. “Ghwenchanayo?” tanyanya kemudian.

“Ne. Ghwenchanayo,” balasku sembari berdiri dan membersihkan celanaku.

“Mianhaeyo, rem sepedaku tidak berfungsi. Jeongmal mianhaeyo.”

“Ghwenchanayo,” jawabku kembali.

“Apa kau terluka?”

“Anniyo.”

“Kau yakin?”

“Ne,” ucapku yang sebenarnya sedang menahan sakit pada bagian paha dan bokongku.

Ketika aku hendak pergi meninggalkan pria disampingku, dari arah yang sama aku melihat dua orang pria tengah mengayuh kencang sepeda mereka kearah kami. Tak lama mereka pun berhenti tepat di depan kami.

Seorang pria yang memakai topi kupluk berwarna merah dengan cepat menghampiri pria disampingku dan tanpa peduli meninggalkan sepedanya yang terjatuh begitu saja, “Ghwenchanayo?” tanyanya membolak-balik badan pria disampingku ini dengan cepat.

“Ne ghwenchanayo,” jawab pria disampingku pelan. “Tapi, aku menabrak agassi ini,” lanjutnya menunjukku.

Aku tersenyum kecil pada pria yang memakai topi kupluk itu. Sementara pria tersebut kembali menanyakan hal yang sama padaku dengan yang ditanyakannya pada pria disampaingku tadi.

“Ghwenchanayo?” tanyanya padaku.

“Ne, ghwenchanayo,” jawabku mengikuti jawaban pria disampingku.

“Kau yakin kau tidak apa-apa?”

Aku menoleh keasal suara seorang pria yang berada tak jauh dihadapanku. Dia tengah berdiri disamping sepeda yang tadi dinaikinya. Aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena kurangnya cahaya ditempat ini, dan lagi sebagian wajahnya tertutup oleh topi yang dikenakannya.

Belum sempat aku membuka mulutku untuk menjawab pertanyaan pria itu, pria yang tadi menabrakku kembali bersuara, “Dia bilang, dia tidak apa-apa. Tapi, aku tak yakin karena aku menabraknya dengan cukup keras hyung.”

“Sebaiknya kita membawanya kerumah sakit,” balas pria yang dipanggil ‘hyung’ itu cepat.

Aku kembali mengarahkan pandanganku ke pria yang dipanggil ‘hyung’ itu dengan maksud untuk menolak ajakannya, namun betapa terkejutnya aku ketika pria yang dipanggil ‘hyung’ tersebut melepaskan topi yang dikenakannya. Hanya dengan melihat wajahnya sekilas aku dapat mengenalinya. Ya, aku mengenalnya.

“Kau…,”

*****

TBC



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles