Title : Cinta Dua Keyakinan
Author : Fioppiall
Main Cast : Sarah Fazilla, Xi Luhan
Genre : Romance, Sad story
Lenght : Chaptered
Cerita murni milik saya. Poster karya @aurrpsy. Chapter ini sebelumnya sudah saya kirim ke web sebelah 2 bulan yg lalu, tapi sampai sekarang belum dpublish. Dan yg disini sudah ada yg saya edit (setelah saya kirim chapter ini ke web sebelah). Jadi, sudah pasti ada perbedaan sedikit (namun tidak merubah inti cerita dichapter ini) antara chapter tiga diweb ini dan diweb sebelah (kalau dipublish suatu saat nanti yaa). Oke happy reading ^^
Suasana dorm begitu berisik. Terlalu berisik hingga tak ada satupun tempat yang mampu memberikanku ketenangan. Ditambah dengan suhu udara yang begitu panas, sukses membuatku ingin segera keluar mencari udara segar.
Aku masuk ke kamarku lantas mengambil hodie biruku dan segera memakainya. Saat aku hendak memakai hodie-ku, Chen, salah satu adik kesayanganku dan juga teman sekamarku, masuk ke kamar kami.
“Hyung mau kemana?” tanyanya menutup pintu.
“Mau cari udara segar. Disini panas sekali,” keluhku.
“Boleh aku ikut, hyung?” tanyanya yang mulai berjalan kearahku. “Akhir-akhir ini aku ingin sekali bermain sepeda, tapi tak ada yang mau menemaniku.”
Aku tersenyum mendengarnya, “Ne, kau boleh ikut. Cepatlah bersiap hyung tunggu diluar,” ujarku sembari mengambil salah satu koleksi topiku dilemari.
“Oke.”
Aku segera keluar meninggalkan Chen yang sedang bersiap dan menghampiri Xiumin yang tengah asik mendengarkan Baekhyun dan Chanyeol bercerita. “Aku dan Chen mau keluar mencari udara segar. Apa kau mau ikut?”
“Boleh. Sebentar aku ambil jaketku dulu.”
“Ne.”
“Hyung, aku sudah siap. Kajja,” kata Chen semangat ketika keluar dari kamar.
“Kau mau kemana?” tanya Suho pada Chen.
“Aku dan Luhan hyung mau jalan-jalan naik sepeda sekalian cari udara segar hyung,” kata Chen menjelaskan.
“Kajja,” kini Xiumin yang berbicara sembari memakai jaketnya.
“Minseok hyung ikut juga?” tanya Chen.
“Ne. Wae? Apa aku tak boleh ikut?”
“Anniiii. Justru ada hyung akan lebih seru,” jawab Chen tersenyum.
“Apa kami juga boleh ikut?” tanya Baekhyun, Chanyeol, dan DO bersamaan.
“Andwae!” jawab Chen cepat.
“Wae? Wae? Wae?” tanya Baekhyun, Chanyeol, dan DO bergantian.
“Karena kalian tak mau menemaniku saat aku memintanya.”
Aku dan beberapa member EXO yang berada diruang TV tersenyum mendengar ucapan Chen.
“Waktu itu aku sibuk. Siapa suruh kau mengajakku disaat aku sedang sibuk,” ujar Baekhyun membela diri.
“Ne, kau sibuk. Sibuk menghapus eyeliner-mu yang tebal itukan?” balas Chen cepat.
Sontak kami semua tertawa. Tak terkecuali dengan Baekhyun yang langsung memasang wajah imut-imutnya itu tanpa dosa.
“Pergilah sebelum hari semakin malam. Kalian harus berhati-hati jangan sampai ada yang mengenali kalian,” kata Suho mengingatkan. “Satu lagi, jangan pulang terlalu malam karena besok pagi kita harus kembali ke studio.”
“Ne,” jawabku, Xiumin, dan Chen kompak.
*****
Sayup-sayup aku merasakan angin yang berhembus menerpa wajahku. Memberikan sensasi dingin seketika pada kulit wajahku. Suasana yang cukup sepi juga mampu memberikanku ketenangan yang sejak dari tadi ingin kurasakan.
Aku merentangkan kedua tanganku dengan maksud ingin merasakan hembusan angin diwajah dan tubuhku sebanyak-banyaknya.
“Aaah, rasanya sejuk sekali,” ucapku sembari mengayuh pelan sepedaku.
Saat ini aku, Xiumin, dan Chen tengah berkeliling diseputaran sungai Han dengan menggunakan sepeda. Kami sudah berada disini sejak se-jam yang lalu.
Sebelumnya kami memang sering kesini mengingat jarak sungai Han yang dekat dengan dorm kami. Biasanya kami kesini saat menjelang tengah malam untuk menghindari kejaran fans dan kerumunan orang banyak.
Sungai Han menjadi tempat favorit kami untuk mencari udara segar atau untuk sekedar menghilangkan penat akibat padatnya jadwal kami. Maklum saja, kami adalah boyband yang baru debut setahun lalu. Dan kini kami tengah disibukkan dengan penggarapan album pertama kami yang sebentar lagi akan rilis.
“Ne, rasanya begitu sejuk. Beda sekali dengan di dorm,” ucap Xiumin.
“Ne, hyung. Apa sebaiknya kita minta pindah saja ya hyung? Kita minta manajer hyung untuk mencarikan kita dorm yang dingin, tak seperti dorm kita yang sekarang. Eotteoke?” usul Chen.
“Shireo! Jika kita pindah, belum tentu dorm baru kita dekat dengan sungai Han. Aku tak mau pindah karena aku senang berada disini,” ungkapku tak setuju.
Jika kami disuruh pindah dari dorm kami yang sekarang, maka aku akan menjadi orang pertama yang menolaknya. Aku sudah terbiasa dengan lingkungan disekitar dorm, terlebih aku menyukai suasananya. Terutama dengan suasana di sungai Han.
Hanya suasana sungai Han-lah yang mampu memberikanku rasa nyaman. Memberikanku tempat untuk dapat menjernihkan pikiranku. Memberikanku semangat ketika aku mulai merasa lelah. Memberikanku kekuatan ketika aku merasa kangen dengan keluargaku di Cina. Dan memberikanku ketenangan atas semua emosi yang terus bergejolak dalam diriku akibat beratnya hidup yang kulalui belakangan ini. Beratnya menjalani hidup sebagai seorang selebritis.
“Ne, hyung benar. Belum tentu kita bisa sering kesini jika kita pindah nanti,” ucap Chen kemudian.
“Aku juga setuju,” timpal Xiumin. “Ngomong-ngomong sebaiknya kita segera pulang karena hari sudah semakin malam.”
“Iya. Lagian besok pagi-pagi sekali kita harus ke studio,” kata Chen mendukung.
“Baiklah. Ayo kita pulang. Tapi, rasanya tak seru jika kita langsung pulang begitu saja,” ujarku.
“Maksudnya?” tanya Xiumin.
“Bagaimana jika kita balapan sampai di dorm? Siapa yang kalah harus membayar makan siang kita besok. Eotteoke?” tantangku.
“Oke!” seru Chen semangat.
“Oke. Siapa takut,” Xiumin tak mau kalah.
Kami pun menghentikan sepeda kami dan mulai mengambil posisi untuk balapan ini.
“Baiklah, ayo kita mulai. Kalian sudah siap?” tanyaku yang berada tepat ditengah-tengah Chen dan Xiumin.
“Siap!” jawab Chen dan Xiumin bersamaan.
“Aku akan menghitung satu sampai tiga. Dihitungan ketiga kalian baru boleh mengayuh sepeda kalian. Arraseo?” jelasku yang hanya mendapat anggukan dari mereka. “Baiklah. Hana… Dul… Set!!”
Kami pun bergegas mengayuh sepeda kami dengan cepat. Nampak Chen berada di depan meninggalkan aku dan Xiumin yang berada tak jauh dibelakangnya.
“Hyung, sepertinya salah satu dari kalian akan membayar makan siangku besok. Hahaa…,” teriak Chen sembari tertawa kencang. Khas tawanya.
“Jangan terlalu cepat menyimpulkan karena garis finish masih jauh,” teriakku.
Chen semakin berada jauh didepanku. Sementara Xiumin berada disampingku walau sedikit tertinggal dariku.
“Bersiaplah, tak lama lagi jalan menurun,” kata Xiumin mengingatkan.
Aku terus mengayuh sepedaku. Keadaan jalan yang sepi memberi kemudahan bagi kami untuk mengendarai sepeda ini dengan kecepatan tinggi.
Saat kami sedang mengayuh sepeda kami dengan cepat, tiba-tiba Chen berteriak. “Hyuuuuuunngg, rem sepedaku tidak berfungsi!”
“MWO??” ucapku dan Xiumin kaget.
“Bagaimana bisa? Bukankah tadi baik-baik saja?” tanya Xiumin.
“Aku juga tak tahu,” jawab Chen sembari menengok kebelakang. “Bagaimana ini hyung sebentar lagi jalan menurun. Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya panik.
Aku dan Xiumin lantas mempercepat laju sepeda kami, berusaha untuk menggapai sepeda Chen dan menghentikannya. Namun, sekuat apapun kami mengayuh sepeda ini, kami tetap tak bisa mengejar laju sepeda Chen.
“Jongdae-ya, berusahalah untuk menghentikan laju sepedamu. Kau bisa menggunakan sepatumu. Letakkanlah kakimu pelan-pelan diban depan sepedamu,” saran Xiumin.
“Hyung jebal selamatkan aku!” teriak Chen yang tak menghiraukan perkataan Xiumin.
“Bertahanlah, kami akan berusaha menyelamatkanmu. Lakukanlah apa yang dikatakan Xiumin sekarang,” kataku.
Walau posisi Chen berada cukup jauh dariku, namun aku masih bisa melihatnya, yang kini tengah melakukan apa yang dikatakan oleh Xiumin.
Nampak laju sepeda Chen mulai sedikit berkurang. Namun, itu tak berlangsung lama karena jalan menurun telah menantinya.
Sesaat setelah Chen melalui jalan menurun itu, aku dan Xiumin tak lagi dapat melihat sosok Chen dihadapan kami. Walau begitu, kami masih bisa mendengar teriakannya, “Hyuuuuuuuunnngg, jebaaaaalll!!!”
Mendengar suara teriakan Chen yang meminta tolong sungguh membuatku merasa cemas dan khawatir. Aku takut terjadi sesuatu padanya. Dan ketakutanku pun akhirnya terjawab. Chen kembali berteriak, “Aaaaaaaaaahhhh…”
Sesaat setelah teriakan panjang Chen, aku dan Xiumin mendengar suara hantaman sepeda jatuh yang kuyakini adalah milik Chen. Segera kami menambah laju kayuhan pada sepeda kami untuk melihat apa yang terjadi pada Chen.
Selang beberapa detik, kami dapat melihat keberadaan Chen. Perlahan kami mendekat kearah Chen yang saat ini tengah berdiri bersama seorang gadis.
Xiumin dengan cepat turun dari sepedanya ketika kami tiba dihadapan Chen, “Ghwenchanayo?” tanyanya pada Chen.
“Ne, ghwenchanayo. Tapi, aku menabrak agassi ini,” jawab Chen sembari menunjuk gadis yang ada disampingnya.
Aku melihat kearah gadis tersebut. Sontak aku terkejut ketika mataku mampu mengenali sosok gadis dihadapanku yang saat ini tengah tersenyum itu.
“Ghwenchanayo?” tanya Xiumin padanya.
“Ne, ghwenchanayo,” jawabnya.
Aku melirik kearahnya. Nampak dia tengah memijit-mijit pelan paha kirinya.
“Kau yakin kau tidak apa-apa?” tanyaku memastikan.
“Dia bilang dia tidak apa-apa. Tapi, aku tak yakin karena aku menabraknya dengan cukup keras hyung,” ujar Chen cepat tanpa memberikan gadis, yang kuingat namanya Sarah ini, kesempatan untuk berbicara.
“Sebaiknya kita membawanya kerumah sakit,” usulku ditengah rasa khawatir kepadanya yang tanpa kusadari mulai menjalari perasaanku.
Seolah tak cukup dengan perasaan aneh yang menjalari perasaanku, kini anggota tubuhku pun mulai bertindak diluar perintahku. Tanganku dengan cepat membuka topi yang sejak tadi menutupi kepalaku ketika kulihat dia mengarahkan pandangannya padaku
“Kau…,” ucapnya melihatku.
Dari ekspresi dan sikap tubuh yang ditunjukannya, aku menyimpulkan jika dia tengah terkejut.
Aku tersenyum sembari berkata, “Ne. Kau masih ingat denganku?”
*****
“Ne. Kau masih ingat denganku?” ujar pria yang wajahnya langsung mengingatkanku pada satu kata. Luhan. Yang tak lain adalah nama pria tersebut.
Aku tersadar dari rasa terkejutku setelah mendengarnya selesai berbicara.
Tentu saja aku ingat. Bagaimana mungkin aku bisa lupa pada seseorang yang pernah kutemukan sedang bersembunyi dikostku saat tengah malam tiba dan dalam keadaan terluka.
“Ne,” jawabku tersenyum.
“Hyung, apa kau mengenalnya?” tanya pria yang menabrakku tadi.
“Ne. Dia orang yang menolongku waktu aku bersembunyi dari kejaran fansku yang menyebabkan keningku terluka,” jelas Luhan.
Fans? Apa dia seorang artis?
“Ooh, annyeong haseyo. Jeoneun Chen imnida,” ujar pria yang menabrakku tadi, memperkenalkan dirinya dengan sedikit membungkuk.
“Annyeong haseyo. Jeoneun Sarah imnida,” balasku.
Pria yang bernama Chen itu segera menarik maju tubuh pria yang mengenakan topi kupluk disampingnya setelah aku selesai memperkenalkan diriku, “Kalau dia Minseok hyung. Kau juga bisa memanggilnya Xiumin,” jelasnya.
“Annyeong haseyo,” sapa pria bernama Xiumin itu.
“Annyeong haseyo,” balasku.
Aku hendak pamit pada mereka ketika Luhan kembali bersuara, “Kau mau kami mengantarkanmu kerumah sakit?” tawarnya.
“Anniyo. Ghwenchanayo,” tolakku cepat. Aku lantas mengalihkan pandanganku pada Chen, “Mianhaeyo, aku harus segera pulang.”
“Kau yakin tak ingin kerumah sakit dulu, Sarah-ssi?” tanya Xiumin.
“Ne. Kau harus memeriksakan keadaanmu dulu agassi. Bagaimana jika tiba-tiba kau merasakan sakit pada tubuhmu? Aku akan merasa sangat bersalah nantinya,” ujar Chen mendukung.
“Anniyo. Ghwenchanayo,” jawabku tersenyum padanya. “Mianhaeyo, tapi aku harus pulang sekarang,” pamitku.
“Apa kau ingin kuantar?”
Aku menoleh pada Luhan yang kembali membuka mulutnya. “Anniyo. Aku bisa pulang sendiri,” jawabku.
“Apa kau yakin?” tanyanya memastikan.
“Ne,” jawabku mantap.
Aku hendak melangkahkan kakiku ketika salah satu dari mereka kembali bertanya padaku.
“Sarah-ssi, boleh aku pinjam handphonemu?” Chen membuka suaranya.
“Untuk apa?” tanyaku bingung.
“Aku hanya ingin meminjamnya sebentar.”
Segera kuambil telepon genggamku dan memberikannya pada Chen.
“Aku akan menyimpan nomorku dihandphonemu. Jika kau merasakan sakit pada tubuhmu, segera hubungi aku. Arraseo?” ujarnya sembari mengembalikan telepon genggam itu kepadaku.
“Ne,” kataku yang lagi-lagi tersenyum. “Baiklah aku permisi,” pamitku kembali.
“Ne. Hati-hati di jalan Sarah-ssi. Jangan lupa hubungi aku saat tubuhmu terasa sakit yaa…,” seru Chen.
Aku tersenyum sembari menundukkan sedikit kepalaku dan berlalu meninggalkan mereka. Aku terus berjalan, menjauh dari tempat mereka berdiri saat ini. Melangkah dengan pasti walau seribu pertanyaan tengah menggantung dibenakku. Tentang siapa sebenarnya mereka? Terutama, tentang Luhan.
*****
Jam menunjukkan pukul 3 pagi, namun aku masih bisa terjaga. Mataku yang sedari tadi berusaha kututup tak mampu membuatku terlelap, menjadikanku masih bisa merasakan rasa pegal yang menjalari kedua kakiku.
Aku bangkit dari tidurku, lalu menyandarkan punggungku pada bantal yang kuletakkan di kepala ranjang yang berukuran single ini. Tak lupa kunyalakan lampu kecil yang berada di atas nakas samping ranjangku.
Akupun mulai memijit-mijit pelan kakiku. Nampak warna biru berbentuk bulatan kecil tergambar dibetis kananku. Kusentuh perlahan bentuk bulat berwarna biru yang tak lain adalah memar itu.
“Auww…” jeritku pelan saat merasakan ngilu pada bagian betisku yang memar ketika aku menyentuhnya.
“Hyung, wae geurae?” tanya Chen kaget, yang sepertinya terbangun karena mendengar jeritanku.
“Anni. Mainhae membangunkanmu. Tidurlah kembali,” ucapku sembari menutupi memar dikakiku, yang kudapatkan ketika pedal sepeda yang tengah kupacu kencang saat mengejar Chen terlepas dari kakiku dan mengenai betisku, dengan selimut.
Chen tak lantas menuruti perintahku, dia justru bangkit dari tidurnya dan duduk menghadapku dengan tubuh yang disandarkan ke tembok.
“Hyung kenapa belum tidur?” tanyanya.
“Aku tak bisa tidur,” jawabku. “Sebaiknya kau segera tidur karena besok kita akan sangat sibuk,” lanjutku mengingatkan.
“Sebenarnya aku juga tak bisa tidur hyung,” ujar Chen menggaruk kepalanya. “Aku masih memikirkan kejadian tadi.”
Aku menatap Chen bingung.
“Aku takut kalau Sarah kenapa-kenapa. Bagaimana jika nanti dia menuntutku, hyung?”
Aku tertawa pelan mendengar perkataan Chen, “Kau ini terlalu berlebihan. Percayalah dia tak akan menuntutmu.”
“Kenapa hyung begitu yakin jika ia tak akan menuntutku?”
“Yaa, hanya yakin saja,” jawabku.
Sebenarnya aku juga bingung, bagaimana mungkin aku begitu yakin jika Sarah tak akan menuntut Chen atas kejadian tadi. Sementara aku sendiri tak begitu mengenalnya. “Sudahlah kau tak perlu mencemaskan hal itu. Lebih baik sekarang kamu tidur,” ujarku pada Chen.
Chen menatapku sesaat lalu merubah posisinya, bersiap untuk membaringkan kembali tubuhnya. “Ne,” jawab Chen sembari menyelimuti badannya. “Tapi, hyung. Ada yang ingin kutanyakan lagi…”
“Mwoya?” tanyaku yang juga mulai berbaring menghadapnya.
“Menurut hyung, Sarah orang yang seperti apa?”
“Maksudnya?”
“Waktu hyung ditolong olehnya, bagaimana sikapnya terhadap hyung? Apa dia mengenali hyung sebagai salah satu personil EXO?” tanya Chen antusias.
“Anni. Dari caranya bersikap terhadapku, aku menduga jika dia tak mengenalku. Dia memperlakukanku layaknya orang yang baru dikenal. Aku bahkan merasa jika dia bersikap sedikit waspada terhadapku. Tapi jika dipikir-pikir, sikap yang ditunjukannya terbilang wajar mengingat aku yang bersembunyi dirumahnya saat tengah malam dan dalam keadaan terluka pula,” jelasku sembari mengingat saat-saat itu.
Aku sedang duduk dipinggir sungai Han untuk menghibur diriku yang tengah dilanda rasa rindu kepada keluargaku yang berada di Cina ketika sekelompok gadis yang berada didekatku berlari menghampiriku.
Mereka berteriak memanggil namaku. Mulai menarik-narik jaketku. Mendorong tubuhku kesana-kemari. Memaksa kepalaku untuk menghadap kearah kamera mereka. Menggenggamkan spidol pada tanganku, menuntut untuk diberikan tanda tangan dibuku dan baju mereka.
Aku tak bisa meminta tolong, mengingat aku hanya datang ke sungai Han seorang diri, setelah selesai berlatih dance untuk persiapan album pertama kami yang tengah dalam proses penggarapan. Sementara member EXO lainnya lebih memilih untuk beristirahat di dorm. Dan lagi, aku kesini tanpa sepengetahuan kakak manajer yang biasanya akan menjagaku dari kerumunan fans.
Aku begitu terkejut dengan serangan sekelompok gadis, yang kuduga adalah fans-ku itu, secara mendadak. Membuatku bingung dengan apa yang harus aku lakukan sekarang agar bisa keluar dari kekacauan ini.
Akupun mencoba melepaskan tangan mereka dari tubuhku. Mencari celah agar dapat melarikan diri dari kepungan mereka.
Tak lama berselang, aku berhasil melepaskan tubuhku dari tarikan mereka yang cukup kuat itu. Namun ketika hendak berlari, kepalaku tak sengaja membentur keras kamera DSLR milik seorang dari mereka. Sontak rasa sakit mulai terasa dikepalaku, namun aku memilih untuk tak menghiraukannya dan segera berlari kemanapun kaki ini membawaku. Menjauh dari kejaran fans-ku.
Aku berlari memasuki gang kecil yang cukup gelap. Dari tempatku berdiri sekarang, aku dapat melihat beberapa gadis yang tadi mengejarku tengah berada di depan gang yang kumasuki tadi.
Tak ingin keberadaanku diketahui oleh mereka, akupun memutuskan untuk masuk ke sebuah rumah, yang nampak gelap pada bagian atasnya, yang berada tepat dibelakangku.
Perlahan aku melangkahkan kakiku menaiki tangga menuju tempat yang berada diatas rumah ini. Mencoba mencari tempat aman untukku bersembunyi.
Cukup lama aku bersembunyi ditempat ini. Ketika aku merasa sudah cukup aman, aku memutuskan untuk menghubungi kakak manajer agar segera menjemputku. Tapi, betapa kesalnya aku ketika melihat handphone-ku tak dapat menyala karena kehabisan baterai.
Akupun mencoba untuk turun dari tempat ini. Tapi, ketika aku hendak melangkah turun ditangga ketiga, aku tersadar jika aku tak mengenali daerah disekitar rumah ini.
Sontak aku panik dengan situasi saat ini, terlebih lagi ditengah rasa panikku, aku merasakan sakit yang cukup kuat dibagian keningku. Aku menyentuh keningku dan kaget ketika melihat darah ditanganku.
Disaat aku tengah panik dengan situasi yang membelitku, aku kembali dikejutkan dengan pagar rumah ini yang perlahan mulai terbuka. Dan bersamaan dengan terbukanya pagar tersebut, muncullah seorang gadis yang perlahan mulai berjalan kearahku. Akupun bergegas kembali ke atas dan bersembunyi ditempatku semula.
“Lalu, apa saja yang hyung lakukan disana sebelum manajer hyung datang?” tanya Chen yang sontak menghentikanku mengingat kembali kejadian yang membuatku bertemu dengan Sarah.
“Aku hanya duduk sendiri diruang tamu rumahnya. Terkadang aku membaringkan tubuhku untuk membuatnya sedikit nyaman,” jawabku akhirnya.
“Hyung tak berbicara dengannya?”
“Anni, karena dia selalu berada dikamarnya sebelum akhirnya ia keluar ketika aku akan pulang,” jelasku sembari mengarahkan pandanganku kelangit-langit kamar.
“Bagaimana dengan keluarganya hyung?”
“Molla. Tapi, sepertinya dia hanya tinggal sendiri karena aku tak melihat siapapun dirumahnya selain dirinya,” jawabku tanpa mengalihkan pandanganku.
“Dari penampilannya sepertinya dia bukan orang Korea. Dia bahkan menggunakan kain untuk menutupi kepalanya.”
Aku kembali menatap Chen, “Kau benar. Dia bukan orang Korea, dia orang Indonesia. Dan dari caranya berpakaian, sepertinya ia beragama islam.”
“Bagaimana hyung tahu jika dia beragama islam hanya dari melihat pakaiannya?”
“Aku pernah tak sengaja menonton iklan pariwisata yang tengah mempromosikan wisata islam yang ada dinegaraku. Dalam iklan tersebut nampak beberapa yeoja menggunakan penutup kepala seperti yang dikenakan Sarah tadi,” jelasku.
Chen bergerak membelakangiku dan membetulkan letak selimutnya sembari berkata, “Mau apapun agamanya, entah mengapa hatiku mengatakan jika Sarah yeoja yang baik.”
Aku kembali menatap langit-langit kamar sembari menanggapi pernyataan Chen barusan, “Kau benar. Dia yeoja yang baik. Sangat baik…,” ucapku tanpa sadar.
“Apa sekarang kau sedang membayangi wajahnya hyung?” tanya Chen yang entah sejak kapan sudah berbaring menghadapku dan tengah menatapku dengan mata menyelidik.
Sontak aku terbangun dan dengan cepat mengibas-ngibaskan tanganku, “Anni!!” ucapku salah tingkah. Dapat kurasakan jantungku berdetak dengan sangat cepat.
Chen tertawa menanggapi reaksiku, “Hahaa… Hyung kenapa kau begitu gugup? Wajahmu bahkan mulai memerah. Hahahaaa….” ucap Chen yang langsung membuatku memegang kedua pipiku.
“Yaaa!! Berhentilah tertawa! Kau bisa membangunkan yang lain nantinya!” seruku pada Chen yang berujung kesia-siaan karena dia masih saja terus tertawa.
“Apa kau suka padanya hyung?” tanyanya disela-sela tawanya.
“MWO??” kagetku. “Anni! Tak mungkin aku suka padanya. Kau kan tahu dia bukan tipeku,” jawabku cepat.
“Jinjja? Tapi, kenapa kau jadi salah tingkah begini hyung? Wajahmu bahkan lebih merah dari yang tadi. Sekarang kau terlihat seperti kepiting rebus hyung. Hahahaahaaaa…”
Aku menatap Chen kesal. Rasanya ingin sekali kumasukkan selimutnya itu ke dalam mulutnya.
“Wae geurae?” tanya Suho dan Lay bersamaan ketika membuka pintu kamarku dan Chen.
Aku menatap Chen sesaat yang tengah menahan tawanya itu dengan kesal. “Anni. Mianhae sudah membangunkan kalian,” ucapku pada Suho dan Lay yang masih berdiri diambang pintu.
“Chen-ah pelankanlah suaramu. Kau bisa membangunkan semua orang jika tertawa sekeras itu,” ujar Lay sedikit kesal.
“Ne. Berhentilah bermain. Lebih baik sekarang kalian tidur karena kita akan pergi pagi-pagi sekali,” timpal Suho sembari berjalan meninggalkan kami.
“Istirahatlah,” ucap Lay menutup pintu kamar kami.
Chen kembali tertawa namun kali ini hanya aku yang dapat mendengarnya.
“Berhentilah tertawa. Suaramu itu membuat kepalaku sakit,” ucapku mematikan lampu dan bergegas menyelimuti badanku membelakangi Chen.
“Ne. Mianhae hyung,” kata Chen yang kembali tertawa setelah meminta maaf padaku. Entah apa yang ada dipikirannya.
Aku memejamkan mataku berusaha untuk tidur. Namun sesaat kemudian otakku kembali diingatkan oleh ucapan Chen tadi. Aku mencoba mencerna perkataan Chen yang menduga jika aku tengah menyukai Sarah. Kembali kuingat semua hal yang telah terjadi kepadaku, terutama setelah pertemuanku dengan Sarah beberapa waktu lalu itu.
Tak dapat kupungkiri, semenjak pertemuan itu, pikiranku selalu terganggu oleh kehadiran wajah Sarah yang kadang muncul dibenakku. Sama halnya dengan yang kualami malam ini ketika aku tak bisa tidur karena terus memikirkan pertemuan keduaku dengannya di sungai Han tadi.
Mungkinkah apa yang dikatakan Chen itu benar? Mungkinkah aku menyukai orang yang baru kukenal?
*****
TBC
