Author : Hyoona (@Alyakkk)
Genre : Romance, Teenager life, Friendship, (little bit) Comedy
Length : Multi chapter
Main cast : – Kim Hyeon
- Jung Soona
- Byun Baekhyun
- Xi Luhan
Other cast : – Tuan dan Nyonya Byun
- Byun Hyunji
- Tuan dan Nyonya Jung
- EXO-K
Different is Beautiful. Beautiful is You
1
“Eomma, aku berangkat dulu, ne.”pamitku setelah mengecangkan tali sepatu kets putihku.
“Ne, hati-hati di jalan.”sahut eomma lalu mengecup singkat keningku.
“Ne, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, eomma. Aku pergi dulu. Annyeong~”
Secepat kilat, aku melompat turun dari tangga kecil sekitar pinggir teras seraya menjatuhkan papan skateboardku di bawah sebelum kakiku menapak ke atas tanah. Dengan lihai kakiku bermain di atasnya dan bergerak meluncur keluar.
“Annyeong, appa. Aku berangkat dulu.”sapaku seraya mengecup pipi appa singkat saat melewatinya yang sedang mencuci mobil.
“Annyeong, hati-hati di jalan, Kim Hyeon-ya. Jangan sampai appa dengar kau bermain-main di jalanan lagi seperti waktu itu ne?”
Aku terkekeh kecil.”Ne, appa. “
Dengan gesit aku meluncur keluar pagar, memutar ke atas papan skateboardku seraya mengubah posisi kaki dan tubuhku, lalu mendorongnya sekali dengan kakiku menuju sekolah. Beginilah aku setiap pagi, setiap saat. Skateboard merupakan salah satu transportasi favoritku kemanapun aku pergi, termasuk ke sekolah.
Meskipun keluargaku tergolong orang yang diatas kata mampu, aku tidak ingin kemana pun harus diantar-jemput menggunakan mobil. Lagipula, bermain skateboard selain menyenangkan juga merupakan olahraga, bukan? Dan, meskipun rambutku lurus panjang sepunggung dan wajahku se-feminim dan—ehm—semanis eomma sewaktu muda, tapi aku memiliki fisik seperti appa yang tangguh, pantang menyerah, tak kenal takut, dan—mungkin—galak. Alhasil, inilah aku sekarang. Orang-orang menyebutku ‘si manis yang tomboy’.
Tapi, who cares? Aku suka menjadi diriku apa adanya. Dengan begitu siapapun yang menjadi temanku sudah pasti bukan tipe orang bermuka dua, penjilat, atau apapun itu—yang lebih tepat dideskripsikan cukup dalam satu kata; Munafik!
Tinggal beberapa meter lagi, aku akan sampai di sekolah. Tubuhku bergerak kesana kemari melewati setiap orang yang berlalu-lalang, sementara kakiku yang mengatur dan mengontrol gerakan dan arah.
Aku menyukai dan berlatih skateboard ketika aku berumur7 tahun. Ketertarikanku berawal dari salah satu event di sekitar rumahku. Acara tersebut menampilkan beberapa pertunjukkan skateboard dari beberapa kalangan di setiap kota. Aku masih ingat ketika aku merengek kepada eomma dan appa untuk tidak pulang sampai acara benar-benar selesai.
Kuhentikan laju skateboardku, ketika melihat papan sekolahku; Paradise High School. Sesuai dengan namanya ‘Paradise’, sekolah ini benar-benar merupakan surga untuk setiap murid di dalamnya. Bukan berarti untuk siswa yang keluarganya berada di atas kata berkecukupan saja, tetapi juga dari kalangan sederhana. Selain full fasilitas—ruangan full ac, fasilitas elektronik tercanggih, lapangan outoor-indoor, kolam renang, taman super luas, kantin megah nan lengkap, dll—juga terdapat program beasiswa bagi keluarga sederhana.
Meskipun berbeda kelas golongan antar keluarga, sejauh ini tidak ada masalah tentang ‘bully’ atau apapun di sekolah ini. Well, kurasa selama aku masih berada disini masalah itu tidak akan pernah muncul. Yakk! Tentu saja aku tidak akan membiarkan hal rendahan seperti itu terjadi di sekitarku—terutama di sekolahku.
Kuinjak bagian belakang skateboard, sehingga membuatnya berdiri dan dapat kubawa masuk ke dalam sekolah. Menggunakan skateboard di dalam sama saja seperti membawa kendaraan masuk, dan aku harus mengikuti aturan tersebut.
Aku Kim Hyeon. Siapa saja biasa memanggilku, Hyeon-ah. Sekarang aku berada di kelas 11 semester 1. Atau, bisa dikatakan, baru 2 bulan yang lalu memasuki kelas 11.
“Annyeong, Hyeon-ah!”ujar Soona-ya mengagetkanku. Dia teman karib—tersayang—ku, sebangku dan teman pertama yang kutemui saat pertama kali masuk sekolah ini.
“Omo, kau ini mengagetkan saja.”ujarku seraya memasukkan segala macam pelindung yang kupakai ke dalam loker.”Tumben kau datang pagi, sedang kesambet setan apa kau pagi ini?”
Tiba-tiba satu cubitan kecil mengenai lenganku.
“Aww!”rintihku”Wae? Aku benar, kan?”ujarku santai seraya memasang topi ski cokelat muda di kepalaku.
“Ais, kau ini, jahat sekali”ujarnya sambil memasang muka cemberut.”Sepulang sekolah kemarin aku kecapekkan, jadinya pagi tadi aku bangun pagi sekali.”
Aku tertawa kecil.“Hhaha, kalau begitu setiap hari saja kau kecapekkan, jadi setiap hari juga kau datang pagi. kkk~”ledekku sambil berlari kecil melewatinya bergegas menuju ke kelas.
“Yakk! Kau Hyeon-ah, tak sopan. Awas saja kau!”
Melihat wajahnya yang cemberut itu membuatku tak hentinya tertawa. Aku harus bersusah payah mengontrol tawaku agar tidak berkepanjangan. Sementara wajah Soona-ya semakin memerah karena malu.
Tiba-tiba saat kami akan melewati tikungan, sesuatu yang tidak terprediksi terjadi padaku. Sesuatu yang kokoh dan tegap menabrak atau mungkin ditabrak olehku, membuatku terdorong ke belakang dan hampir terjatuh kalau tidak memegang dinding dan tertahan oleh Soona-ya.
“Aww!”
Kuusap perlahan kepalaku yang membenturnya.”Yakk! Kau ini, kalau jalan lihat-lihat!”semburku… ah, tidak, lebih tepatnya kami. Ya, kami mengucapkannya dengan tepat dan bersamaan.
Haish….
Baiklah, abaikan yang tadi.
Kudongakkan kepalaku ke atas, untuk siap menyemburkan amarahku lebih banyak lagi kepadanya. Aku tidak peduli siapa yang salah sekarang, yang pasti kepalaku sekarang terasa sakit. Ketika mata kami beradu, entah mengapa untuk sepersekian detik aku terdiam, tak mampu berkutik.
“Aish, kau ini, kalau jalan lihat-lihat! Punya mata, heum?”
“Mwo? Aku? Seharusnya, kau, yang lihat-lihat kalau jalan.”cetusnya sengit membuat amarahku kembali memuncak. Aku menatap garang sepasang bola mata yang—baru kusadari—sekitarnya dihiasi eyeliner itu.
“Yakk, gara-gara kau kepalaku sakit sekarang. Bukannya minta maaf, malah marah-marah. Dasar tidak tau malu!”rutukku tanpa berpaling sedikitpun darinya.
“Eh, yeoja gila!..”—eh, mwo? Gila katanya? Jinjja… keterlaluan!”…Jelas-jelas kau yang salah, nabrak orang seenak jidat, harusnya kau yang minta maaf. Makanya, kalau jalan lain kali pakai mata!”
Ais, ngajak ribut rupanya namja ini.
“Mwo? Kau manusia dari planet mana, sih? Dimana-mana jalan pake kaki, bukan mata. Dasar aneh!”ledekku tak mau kalah, lalu menjulurkan lidah ke arahnya.
“Soona-ya, kita pergi. Bahaya kalau lama-lama deket sama namja aneh—seperti dia. Kajja!”lanjutku seraya menarik Soona-ya pergi. Buang-buang waktuku saja memperdulikan orang aneh itu. Ais..
“Ah, n-ne.”
Aku tidak peduli siapapun namja tadi. Benar-benar manusia tidak punya hati. Sudah tahu kepalaku sakit karenanya tadi, tapi dia malah tidak peduli seperti itu. Huh!
Tapi, ngomong-ngomong rasanya aku tidak pernah melihat wajahnya. Apa dia murid baru? Ais, bodo amat!
“Ngg, Hyeon-ah, kau tidak takut apa melihat tatapannya ke arahmu tadi?”tanya Soona-ya tiba-tiba.
“Mwo? Takut katamu? Untuk apa takut padanya. Hanya karena dia pakai eyeliner, bukan berarti dia patut ditakuti. Ada juga aneh. Sejauh dan senormal manusia yang kukenal, baru kali ini aku lihat ada cowok pakai eyeliner. Aneh!”ucapku panjang lebar, lalu menggeleng-geleng kepala.
“Ngg, iya juga, sih. Tapi, bagaimana kalau dia ternyata tidak seperti yang kau kira? Yah, bisa saja dia… berbahaya.”
“Maksudmu, pembunuh atau semacam psikopat, begitu?”
Soona-ya bergumam ragu, lalu mengangguk pelan.
“Astaga, Soona-ya, aku saja yang menatap langsung matanya biasa saja. Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Aku berani taruhan kalau dia juga sama-sama makan nasi seperti kita.”
Satu pukulan kecil mendarat di lenganku.“Kau ini, ada-ada saja!”
Sedetik kemudian, kami tertawa kecil bersama.
KRIIIING!
Bel masuk berbunyi membuat kami mempercepat langkah kami untuk masuk ke kelas dan mengambil duduk di bangku yang biasa kami tempati.
Hiruk pikuk kelas langsung terhenti ketika melihat Lee songsaenim menampakkan wajahnya di muka pintu.
“Annyeong, eorini!”
“Annyeong, songsaenim!”
“Hari ini kita kedatangan murid baru pindahan dari USA, yang sebenarnya berasal dari Korea. Dia pindah ke USA sebelumnya karena mengikuti orang tuanya yang bekerja disana, dan tahun ini dia kembali lagi ke Korea untuk melanjutkan sekolah.”ucap Lee songsaenim membuat seisi kelas berbisik penasaran.
Tunggu. Kenapa firasatku tidak enak kali ini?
”Silahkan masuk.”
Pekik histeris para gadis yang tertahan membuatku mendongak penasaran. Mataku membulat dua puluh kali lebih besar ketika menatap sosok yang sudah berdiri di depan kelas, menatapku dengan tatapan yang tidak dapat diartikan. Aku menoleh ke arah Soona-ya yang menoleh ke arahku secara bersamaan. Aku yakin pikiran kami saat ini sama.
Kualihkan pandanganku ke depan untuk memastikan apa yang baru saja kulihat. Astaga, sepertinya aku benar-benar sial hari ini. Tsk!
“Annyeong haseyo. Jeoneun Byun Baekhyun imnida. Jeoneun Baekhyun-rago hamnida. Mannaseo bangapseumnida. Gamsahamnida.”ucapnya lalu setengah membungkuk dengan nada datar dan senyum samar-samar di wajahnya. Huh, dasar, namja aneh!
Aku bersedekap dengan memasang wajah dongkol sambil sesekali menatap para gadis di kelas yang heboh membicarakannya. Omo ~ Apa, sih, bagusnya dia? Lihat saja gaya rambutnya yang dipotong seperti pakai cukuran kumis tumpul, a.k.a mana ada keren-kerennya!! Belum lagi warna rambutnya yang cokelat pucat yang sangat amat aneh.
Sepertinya dia makhluk luar angkasa yang nyasar ke bumi.
“Baiklah, Baekhyun-ah, kau bisa duduk di sana. Di sebelah Luhan-ah.”titah Lee songsaenim yang berhasil membuatku membulatkan bola mataku.
Mwo?! Sebelah Luhan-ah? Ani, ani. Pasti aku salah dengar. Luhan-ah, kan, duduknya di…
“Ne, gamsahamnida songsaenim.”
Aigoo~ Andwae! Mimpi apa coba aku semalam? Sudah cukup sial aku menabraknya tadi, kini cukup tau aku dia sekarang sekelas denganku, ditambah lagi dia duduk tepat di belakangku! Omona~ Ini benar-benar akan jadi mimpi burukku. Kutaruh siku tanganku di atas meja, lalu kutangkup wajahku dengan kedua tanganku. Melihatnya saja sudah menghancurkan moodku.
“Hyeon-ah”tegur Soona-ya setengah berbisik padaku.
“Mm?”
“Luhan-ah, bukankah duduk di belakang kita, berarti…”
Tch! Dia ini…
“Ne, algesseoyo! Jangan bahas itu, Soona-ya.”ucapku berusaha sedatar dan senormal mungkin. Lagipula, kalau dipikir-pikir untuk apa aku kesal, marah, dan harus uring-uringan tidak jelas. Dia bukan siapa-siapa, dan tidak akan menjadi siapa-siapa. Kuulangi, TIDAK AKAN MENJADI SIAPA-SIAPA!—Oke kurasa cukup. Dia juga pasti tidak peduli.
“Ais, pabo kau, Hyeon-ah. Apa yang sebenarnya terjadi padamu, huh?”
“Ne, ada apa, Hyeon-ah?”
Seketika aku terkesiap. Lee songsaenim!!
Buru-buru kuturunkan kedua tangan yang menutupi wajahku, dan langsung melihat wajah Lee songsaenim dan seisi kelas yang menatap aneh ke arahku.
“Ah, aniyo, songsaenim. Saya hanya… sedikit tidak enak badan.”kilahku, seraya menarik buku tulis yang tidak dibuka oleh Soona-ya dan menggeser sedikit buku cetaknya.
“Oh, kalau tidak enak badan, sebaiknya ke UKS saja.”ucap Lee songsaenim. Omo~ Kenapa percakapannya berlanjut seperti ini?
“Ah, aniyo. Gwenchanayo songsaenim.”ucapku setengah menunduk.
“Yah, baiklah kalau kamu tidak apa. Ya sudah, kita lanjutkan pelajaran kemarin.”
Aku menghela napas lega seraya menyandarkan punggungku di kursi.
“Soona-ya, kau kenapa tidak memberitahuku kalau pelajaran songsaenim sudah dimulai?”tanyaku setengah berbisik dengan penuh tekanan.
“Mian, aku kira kau tahu, hhe”ucapnya sembari menunjukkan tanda peace.
“Haa~ Ya sudahlah.”
Aku pun segera berbalik untuk mengeluarkan buku-buku dari dalam tas, tetapi seketika terhenti ketika melihat makhluk yang sangat-sangat-sangat mengubah moodku hari ini 180˚ berubah. Sejenak, aku merutuki diriku yang pabo ini.
Wajahnya yang sejenak teduh—mwo? Teduh? Sepertinya mataku sudah mulai katarak sekarang—karena sedang berkonsentrasi memperhatikan songsaenim, berubah ketika melihatku.
Alisnya setengah terangkat, melihatku yang menatap tajam ke arahnya seraya mengeluarkan buku dari dalam tas. Perlahan namun pasti, dia mendekatkan wajahnya. Meskipun, wajahku masih berada dalam jarak aman dari wajahnya, mataku tak henti-hentinya membesar melihat setiap inci pergerakannya.
“Waeyo Kim Hyeon-ah? Aku tau aku keren, tapi kalau kau suka tidak perlu gengsi begitu, arraseo?”
JGEEER!
Kalimat yang dengan santainya dilontarkan berhasil membuatku melotot lebih lebar lagi. Mwo? Suka katanya? Cih, amit-amit! Terus, apa katanya tadi? Keren? Aigoo~ Aku rasa dia terlalu sering berkaca di air kolam, ckck -.-
“Aku? Suka sama kau? Aigoo~ NGIMPI AJA SANA!”tukasku setengah berbisik dan penuh tekanan. Dengan cepat aku langsung berbalik, dan membuka setiap lembar buku dengan wajah sedongkol-dongkolnya.
Benar-benar menyebalkan!
Aargh… Ini hari tersial yang tidak pernah terlupakan! Dan aku tidak akan pernah lupa dengan seseorang yang menjadi dalang dari semua ini; BYUN BAEKHYUN!
***
KRIIIING!
Bel istirahat berbunyi. Seluruh siswa langsung berhamburan keluar kelas. Aku segera menarik Soona-ya keluar kelas. Tetapi, belum sempat kami sampai di ambang pintu, para siswi dari kelas lain secara bergerombol masuk ke kelas kami.
Tanpa terduga dan diduga, mereka semua dengan histerisnya secara serempak—bahkan para siswi di kelasku—menuju ke satu tempat. Bukan, bukan satu tempat. Melainkan seseorang. Entahlah seseorang atau dua orang, itu karena mereka berdua duduk bersebelahan. Tepat di belakang tempat duduk kami.
“OMO~ Pasti namja aneh itu. Kajja, Soona-ya, berbahaya kalau kita terlalu lama disini. Bisa-bisa kita ketularan aneh lagi.”cibirku setengah berteriak kepada siapapun yang mendengarkan. Aku tidak peduli mereka mau marah, kesal, atau apapun. Aku malah berharap mereka mendengarkan, temasuk orang yang bernama BYUN BAEKHYUN.
Haish, menyebut namanya saja membuatku mual saja.
“Ah, ne, kajja!”
.
.
Kantin hari ini tidak terlalu ramai seperti biasanya. Masih banyak bangku kosong dan kebanyakkan hanya para cowok, kakak senior kelas 12, dan beberapa pasang kekasih. Padahal biasanya, kami selalu tidak kebagian bangku dan memilih makan di taman.
Aneh. Tidak biasanya.
“Huaaa… Hyeon-ah, jarang-jarang kantin sesepi ini. Kajja kita beli makanan, aku sudah lapar! Ppali!”ujar Soona-ya membuyarkan lamunanku.
“Ah, ne, ne. Sabar sedikit.”
Kami langsung memesan dua porsi kimchi dan jus jeruk untuk Soona-ya dan jus melon untukku. Setelah, memesan kami langsung duduk bersebelahan di meja yang memiliki kursi saling berhadapan di dekat jendela.
“Coba setiap hari ini seperti ini, mungkin akan lebih menyenangkan, ne?”ucap Soona-ya yang langsung mendapat anggukan persetujuan dariku.
Tak lama, pesanan kami datang.
“Gamsahamnida, ajjumma!”ucap kami bersamaan.
“Ne, dengan begini kita bisa makan lebih tenang, kau tahu.”tukasku sebelum menyuruput jus melonku yang langsung mendapatkan anggukan cepat dari teman karibku satu ini.
Tiba-tiba satu suara membuatku tersedak, terlebih ketika mendengar kalimat yang diucapnya.
“Geurae! Itu juga karena Baekhyun-ah, kau harus berterima kasih padanya.”
Aku langsung menyambar tisu yang diberikan Soona-ya dan mengusap jus melon yang mengotori sudut bibirku. Sementara, punggungku diusap pelan olehnya.
“Mwo? Berterima kasih padanya? SHIREO! Tidak akan!”tolakku keras dengan suara tinggi khas milikku. Luhan-ah benar-benar keterlaluan.”Yang ada, dia itu harus minta maaf padaku. Kau tahu, kepalaku jadi sakit karena menabrak tubuhnya seperti tembok itu. Benar-benar tidak tahu malu!”
Melihatku yang mengomel-ngomel tidak jelas, Luhan-ah malah terbahak-bahak sampai memegangi perutnya. Ais, orang ini…
“Yakk! Kau kenapa Luhan-ah? Jangan-jangan kau sudah ketularan gila olehnya. Namja aneh seperti itu memang seharusnya dijauhi.”
“Hahaha, jadi itu alasannya kalian bertengkar? Omo~ Seperti anak kecil saja. Mengalah saja apa salahnya, sih?”
“SHIREO!”ucapku—tidak, bukan aku saja. Mana mungkin suaraku tiba-tiba menjadi berat dan terdengar dari dua arah. Kudongakkan kepalaku, melihat asal suara yang terdengar jelas.
Wajahku semakin merengut ketika melihat sosok yang sangaaaaaaaat… memuakkan di mataku. Belum lagi dengan santainya dia langsung duduk tepat di sebelah Luhan-ah. Omo~ Apa dunia ini semakin sempit saja sampai aku harus bertemu dengan namja menyebalkan ini, dan.. apakah dia tidak ada urusan lain selain berada disekitarku? Tsk, menyebalkan!
“Tch, ada urusan apa kau kesini, huh? Kau tidak diundang tahu!”ucapku sambil memberikan tatapan tertajam yang kupunya.
“Hei, sopan sedikit bisa? Dia murid baru disini, tahu?”ucap seorang yeoja membuatku melampiaskan tatapan sinisku padanya. Tersadar, bukan yeoja itu saja yang ada disini. Kantin yang sebelumnya sepi, tahu-tahu para yeoja seantero sekolah yang ke kelasku tadi sudah menyeruak masuk ke dalam. OMO~ Apa-apaan ini?!
“Yakk! Apa masalahmu, huh?”hardikku seraya berdiri tanpa melepaskan sedikitpun tatapanku padanya.
“Harusnya aku yang bilang apa masalahmu?”tantangnya meski tidak sekeras suaraku tadi.
Aku menyipit tajam menatapnya.“Apa masalahku tidaklah penting untukmu, arraseo?”
“Hyeon-ah, tenanglah sedikit eo?”ucap Soona-ya pelan seraya mengusap punggungku pelan, mencoba menenangkanku. Dapat kulihat wajah Luhan-ya yang berusaha setengah mati menahan tawa, dan—tanpa sengaja—melihat wajah Baekhyun-ssi yang menatapku… entahlah itu apa.
“Sekarang semuanya bubar! Untuk apa coba kalian datang tiba-tiba tidak jelas seperti ini. Ayo, bubar!”cercaku pada lautan yeoja di sekitarku. Udara yang panas dan emosiku yang memuncak, membuatku moodku menjadi-jadi.
“Yakk, apa masalahmu?”ucap salah satu yeoja di dekat Baekhyun-ssi.
“Ne, menyebalkan sekali.”timpal yang lain tak jauh di sebelahnya.
Kini amarahku tersulut sudah.
“Haish, tidak mengerti kalian dengan bahasa manusia, huh? Aku bilang bubar! Atau, apa perlu aku—“
Sedikit pergerakan pada bawah kakiku membuat ratusan yeoja tadi tiba-tiba mundur dan bubar seketika. Padahal sebelumnya aku hanya hendak membenarkan posisi sepatu yang tidak nyaman.
“Kajja, kita pergi.”
“Ne, ne.”
“Dasar yeoja jadi-jadian.”
Dengan gerakan cepat aku menatap sinis yeoja yang baru saja mengucapkan itu—yang sukses membuatnya langsung bungkam dan mempercepat langkahnya pergi, disusul oleh satu suara lain di sisi lain.
“Garang amat.”
“MWO? Masih berani kalian bilang begitu, kalian—“
Lagi-lagi kubuat sedikit pergerakan, yang sepertinya berhasil membuat mereka pergi—sama seperti sebelumnya.
“Sudah, kajja, jangan diladeni. Dia—“
Belum sempat dia melanjutkan kalimatnya, kubulatkan kedua bola mataku yang berhasil membuatnya membungkam dan berlari pergi. Tak lama, kurang dari 15 detik kantin ini kembali sepi seperti sebelumnya.
“Ais, dasar.”cibirku seraya menghempaskan tubuhku di atas kursi. Dengan segenap kekuatan, kuatur kembali napasku dan emosiku agar kembali normal. Kuseruput sebanyak mungkin jus melon yang masih banyak di dalam gelas. Yang kuharap dapat mendinginkan dadaku yang terasa panas.
Sedetik kemudian, kudengar gelak tawa Luhan-ah yang sudah dapat kupastikan sedari tadi ditahannya mati-matian. Aku memutar bola mataku malas, dan memilih untuk tetap menyibukkan diriku menyeruput jus melonku.
1 menit…
2 menit…
5 menit…
Sepertinya namja ini sudah tertular virus aneh dari namja menyebalkan di sebelahnya. Kuberikan death glare mematikan dariku, yang langsung membuatnya bungkam dan berhenti tertawa.
“Mian, Hyeon-ah, kkk~”ucapnya.”Kau tahu, aku geli setiap melihat ekspresi mereka—atau setiap orang—ketika melihatmu seperti tadi. Ahahaha…”
Aku hanya menatapnya datar dan mendengus malas. Tiba-tiba terdengar suara cukup keras dari bawah meja, yang berhasil membuat Luhan-ah berhenti tertawa dan refleks mengadu kesakitan. Aku rasa aku tahu siapa yang melakukannya…
“Aigoo~ Ne, ne. Arra. Mianhae.”ucap Luhan-ah dengan wajah cemberut melirik sekilas ke arah Soona-ya sebelum sepenuhnya terarah padaku. kkk~
Soona-ya tak henti-hentinya mengusap-usap punggungku, berusaha menenangkanku yang kuakui kelewat labil.
“Omo~ Kau ternyata cukup terkenal disini.”
Terdapat jeda sejenak dari kalimatnya. Sepertinya dia sengaja.
“Sebagai preman. kkk~”
Keterlaluan! Preman katanya? Tidak tahu dia apa kalau aku manis seperti ini*eh
Kutatap dengan tatapan sinis yang kupunya. Ais, apa masalah namja ini? batinku geram. Tapi, kali ini kucoba untuk mengontrol emosiku. Orang keras kepala dan mau menang sendiri akan semakin menjadi-jadi kalau dilawan oleh amarah.
“Sedang apa kau disini, huh?”tanyaku mencoba untuk terdengar tenang.
“Aku—“
“Kalau mau makan sebaiknya cari tempat lain saja.”lanjutku memotong ucapannya. Kuedarkan pandanganku keluar jendela. Memandang air kolam yang berwarna hijau pekat dan terpantul sinar matahari yang cerah hari ini.
“Aigoo~ kumohon boleh ya? Jebal~”pinta Luhan-ah membuatku menatap heran kearahnya. Melihat tatapan aneh dariku, dia akhirnya menjelaskan.“Sebenarnya aku yang mengajaknya untuk makan disini, bersama kita, dia tidak ada teman selain kita—mungkin.”
Untuk beberapa saat hening menggantung di sekeliling kami. Beberapa saat itu juga, akalku bekerja secermat mungkin.
“Umm, baiklah kalau itu mau kalian.”ucapku seraya berhenti menyesap jus melon yang kini tinggal setengah gelas.
“Ah, jinjja? Jadi kami boleh duduk disini?”tanya Luhan-ah dengan matanya yang terlihat berbinar.
Aku mengangguk singkat.”Ne, doemnida.”jawabku. Sementara itu aku langsung beranjak berdiri dengan makanan dan minumanku yang sudah berada di tanganku.
“Soora-ya, kajja, kita pergi.”ajakku yang sukses membuat semuanya menatapku heran.
“Ha? K-kemana?”tanya Soona-ya terheran-heran.
“Ke tempat biasa. Kajja!”ajakku lagi.
Sontak Luhan-ah berdiri dan menatap kami semakin heran.“M-mwo? Kalian mau kemana? Lho, lho, bukannya—“
“Katanya kalian mau menempati tempat itu, ya sudah silahkan. Kami permisi dulu mau makan di tempat lain. Kajja, Soona-ya.”
“N-ne, chakkaman!”
Dengan santainya kami melenggang pergi. Dalam hati aku terkikik geli dan tersenyum penuh kemanangan. Lagipula dengan begini, aku tidak perlu buang-buang energi untuk meladeni sikap dan kehadiran seseorang yang sudah mengacak-acak moodku hari ini.
***
“Hyeon-ah, kau belum mau pulang?”tanya Soona-ya seraya membereskan bukunya. Sebenarnya sudah sekitar 45 menit yang lalu bel pulang berbunyi, tapi karena harus menemani Soona-ya mengerjakan tugas di perpustakaan membuat aku harus menetap lebih lama disini.
“Aniya, kalau kau mau pulang duluan tak apa. Toh, kau juga tahu, kan, rumahku tidak jauh dari sini.”jawabku tanpa berpaling dari buku sketsa gambar yang setiap saat kubawa. Yah, beginilah aku kalau sudah bosan. Mendengar musik dari headphone dan mengukir setiap goresan yang bermacam-macam tekstur dan bentuk di atas kertas skesta.
“Huaaa… ini benar-benar daebak Hyeon-ah!”seru Soona-ya yang kini sudah di sebelahku menggema di seluruh ruangan. Untunglah tidak ada Cho songsaenim yang setiap saat menjaga perpustakan. Kalau dia mendengarnya tadi, habislah kami karena tatapan death glare-nya yang lebih mematikan daripadaku*eh
Pemandangan kali ini sedang bagus-bagusnya. Langit senja yang cerah dengan berbagai macam warna langit sore dan awan-awan yang menggumpal dengan lucunya di atas sana seperti arum manis yang menggiurkan. Belum lagi, sejak awal aku menggambar terlihat sepasang merparti bertengger di dahan pohon tak jauh dari jangkauan pandanganku. Membuat senyum tak hentinya menghiasi wajahku dan sesuatu yang menyenangkan memenuhi rongga dada.
“Aigoo~ Kau seperti tidak tahu teman karibmu yang memiliki segudang bakat ini.”ucapku dengan gaya-gaya membanggakan diri ala-anak-konglomerat.
“Eooo!”timpalnya menyenggol bahuku. Sedetik kemudian kami tertawa renyah bersama.
“Tapi, aku seriusan lho. Gambaran kamu tuh daebak semua! Perfecto~”ujarnya sambil menirukan gaya khas orang Italia. Melihatnya seperti itu membuatku tertawa kecil.
“Kau ini, ya sudah pulang sana gih sudah sore.”ujarku seraya mengambil kembali buku sketsa di tangannya.
“Yakk! Kau mengusirku?”tukasnya sambil menghentak pelan di lantai yang dilapisi keramik berwarna cokelat tua.
Alisku terangkat sebelah.“Kalau iya, wae?”
“Haish, kau ini selalu menyebalkan Hyeon-ah.”ujarnya malas. Pipinya langsung mengembung seraya melipat kedua tangannya.
“Emang! kkk~”
“Eoo~ Ya sudah, aku pulang duluan, ne? Kau jangan lama-lama disini, ntar ada yang nemenin lho~”katanya sebelum berlari kecil meninggalkanku.
Aku mendengus kecil, menatap malas sikapnya yang menurutku kurang kerjaan.“Ais, tidak usah bicara yang aneh-aneh Soona-ya. Caramu itu terlalu kuno pabo.”gumanku kepadanya, aku yakin dia belum sepenuhnya beranjak dari sini. Sementara aku mulai berkonsentrasi kembali kepada objek gambaranku.
“Aigoo~ Kuno kok takut gitu mukanya?”
Tuh, kan, benar apa kataku.
“Yakk! Kau cari masalah denganku Jung Soona-ya!”semburku sambil berbalik menatap jengkel ke arahnya, yang ternyata berdiri tak jauh dari salah satu deretan rak buku.
“Huaaa…! Ani, aniya!”ucapnya yang langsung menuju pintu keluar.
Hening sejenak.
“Hhaha, mian Kim Hyeon-ah. Kau tau, kan, aku hanya bercanda, kkk~”lanjutnya yang hanya menyembulkan kepalanya di balik pintu.
“Ais, terserah!”kataku acuh, dan kembali melanjutkan kegiatanku yang tertunda.
“Hahaha, kau tau wajahmu itu lucu tau kalau sedang marah begitu.”
Mendengar itu, membuatku berbalik cepat dan langsung beradu langsung dengan matanya.“Soona-ya!!”
Dia langsung berhenti terkekeh dan menutup mulutnya dengan satu tangannya ketika menyadari tatapan tajamku tertuju lurus ke arahnya.“Eh? Ani, ani. Aku pulang dulu. Annyeong~! Akrab-akrab yah sama penunggunya, kkk~”
Setelah berkata seperti itu, barulah ia benar-benar menghilang di balik pintu. Suara langkah kakinya yang menggema semakin lama menipis dan menghilang, menandakan dia benar-benar sudah pergi sekarang.
“Dasar anak itu—menyebalkan!”
Perpustakan semakin sunyi dan senyap. Kata-kata Soona-ya tadi seketika menggangguku sekarang. Ais, pabo, kau Hyeon-ah! Sejak kapan kau mendengarkan cerita aneh yeoja satu itu. Awas saja Soona-ya, akan kubalas dia suatu saat nanti, rutukku dalam hati.
Kupasang kembali headphone yang menggantung di leherku, dan kuputar lagu yang cukup menenangkan sekaligus mampu membunuh kesunyian di sekitar sini; Romantic – SHINee. Setelah terdengar nada yang sangat kuhapal mengalun merdu, jemariku bermain lagi di atas kertas sketsa yang tinggal sedikit lagi selesai. Meski objek merpati yang kulihat tadi sudah terbang entah kemana, paling tidak sketsanya sudah tertangkap jelas dan tinggal memperhalus dan mempertajam gambar saja.
.
.
.
“Selesai!”seruku kegirangan setelah sekitar 15 menit berkutat sendiri di ruangan ini. Aku menghela napas lega. Kutatap dengan bangga hasil karyaku sendiri. Entah sudah berapa banyak sketsa gambar yang kubuat, karena terkadang kalau sedang bosan aku bisa menggambar dimana saja.
Kulirik sekilas jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangan kiri.
15:08 KST
Sudah 1 jam lebih aku berada disini, sudah sebaiknya aku pulang sekarang. Kurapikan semua peralatan gambar yang kupakai tadi, dan kumasukkan ke dalam tas. Setelah selesai, kuambil papan skateboard yang tersampir di dekat kaki meja. Tanpa ragu, aku langsung meluncur di atasnya. Lagipula, guru mana yang masih betah berada di sekolah sampai jam segini? Yang ada paling penjaga di sekolah ini, Jaesuk ajjussi.
Tentu saja aku akan aman-aman saja—kurasa.
Koridor sekolah yang nampak lenggang sejauh mata memandang, membuatku tanpa ragu meluncur dengan santai pada kecepatan tertentu. Saat akan turun melewati tangga, aku melompat bersamaan dengan papan skateboard, memutarnya, mengatur posisi antara papan dan kakiku untuk menyesuaikan keseimbangan, kemudian meluncur dengan mulus ke bawah.
Sebelum tubuhku sampai ke bawah, aku melompat kecil, memberikan gerakan memutar pada papan skateboardku dan menapak dengan mantap di atasnya yang jatuh beberapa inci lebih dulu ke atas lantai. Setelah itu, kunapakkan salah satu kaki di atas tanah untuk memberikan dorongan kembali.
Tetapi, belum sempat tubuh terdorong maju, tiba-tiba terdengar samar-samar suara dentingan piano olehku. Suaranya berasal—tentu saja—dari ruang musik yang jaraknya tak begitu jauh dari posisiku sekarang. Penasaran, aku berbalik arah dan meluncur menuju sumber suara.
Aneh. Memangnya ada murid yang jam segini masih betah di sekolah? Setahuku, selama aku sekolah disini, hanya aku dan Soona-ya yang biasanya pulang paling akhir. Itupun ketika dia memintaku menemaninya menyelesaikan tugas di perpustakaan. Sangat jarang—bahkan hampir tidak ada—murid yang masih berkeliaran di sekolah di atas setengah jam setelah bel pulang berbunyi.
Kalaupun ada kegiatan tambahan (re : eksul), aku rasa tidak ada club yang berkumpul di ruang musik—karena setiap club sudah memiliki ruangan khusus masing-masing. Bahkan, club musik sekalipun jadwal berkumpulnya hanya hari sabtu dan minggu saja.
Semakin dekat jarakku ke ruang musik, semakin lambat pula laju skateboard yang kugerakkan. Suara dentingan tuts piano yang mengalun lembut terdengar dengan jelas olehku. Dengan satu gerakan cepat dan tanpa menimbulkan suara, kuinjak bagian belakang papan skateboard sehingga membuatnya mudah kubawa.
Kudekatkan kepalaku ke celah pintu yang sedikit terbuka, mataku menyipit untuk melihat siapapun yang ada disana. Tidak butuh waktu lama, aku langsung menemukan seseorang disana. Duduk membelakangiku sementara dirinya sendiri tengah asyik memainkan jari-jarinya di atas tuts piano. Aku penasaran dengan siapa pemilik punggung yang tengah kuperhatikan sekarang sekaligus kagum dengan permainan pianonya.
Seragam yang dipakai sama sepertiku. Dia—tentu saja—pasti siswa disini. Mataku memicing tajam untuk memperjelas pandanganku, sementara otakku menerka-nerka siapa namja tersebut. Tetapi, entah kenapa, semakin keras otakku berusaha menebak-nebak, benakku tiba-tiba melintas satu nama yang aku sendiri tidak tahu kenapa.
Byun Baekhyun.
.
.
T-tunggu. Mwo? Baekhyun-ssi? Namja aneh itu? Huh, yang benar saja. Huaaa.. pabo kau Hyeon-ah! Sepertinya kau kini sudah ketularan virus aneh dari namja aneh itu.
Aku menggeleng-geleng cukup tegas, berusaha menghilangkan pemikiran benakku yang pabo ini. Mengingat nama namja aneh itu saja sudah membuatku tidak mood lagi. Aku tidak peduli siapa namja yang ada disana, karena moodku yang keburu rusak dan tidak karuan lagi aku memutuskan untuk pulang saja.
Ketika aku memundurkan punggungku kebelakang dan hendak beranjak pergi, tiba-tiba aku dikagetkan oleh pemandangan—ah, ani, ani, lebih tepatnya kehadiran seseorang yang berdiri tepat di sebelahku.
“Kyaaaaaa!”
~TBC~
NB: Style rambut Baekhyun dari chapter sebelumnya sampai beberapa chapter selanjutnya sama seperti MV di History ^^v
———————————————————–
Annyeong~
HUAAAAAAAAAAAAA *authormulaimenggila *harapmenjauh (_ _!)
Kau tahu, author superduberdobletriple sangaaaaaaaat kesal waktu tahu seseorang meng-hack email ff ini. Author sudah kirim ff ini dari tanggal 6 Januari, dan harus menunggu lama lagi, lalu dengan seenaknya kabar menjengkelkan datang; Seseorang menghack email dan penantian ekstraku itu, hilang dalam sekejap. ;A;
Jjinjayo….
Huh, baiklah, lupakan itu. Omong-omong, author tidak begitu baru disini. Author sudah mengirim ff ini, tapi memang belum dipublish saja. Well, author rasa kalian mengerti maksudku. .__.
Author sudah membuat beberpaa chapter, jadi lanjutannya—kemungkinan—tidak akan lama muncul, terkecuali kalau sedang tidak ada buaaaanyak tugas, UHB menyebalkan, dan penyakit malasku yang sedang kambuh(?) kkk~ ^^v
Don’t be a silent reader, ne? And don’t be a plagiator or copycat-or(?) God always see you everywhere and everytime~
Gomawo untuk admin yang udah mau ngepublish ff ini~
- Author ^^
