Tittle : FALLEN | CHAPTER 6A: TAK ADA YANG MENYELAMATKAN
Author : @dearmydeer_
Main Cast : • Xi Lu Han a.k.a EXO-M Lu Han
• Wu Yi Fan a.k.a EXO-M Kris
• Park Gi Eun (OC)
• Amber Josephine Liu a.k.a f(x) Amber
• Kim Hyun Jin—Miss Kim (OC)
• Lee Sun Kyu a.k.a SNSD Sunny
• Kim Joon-myun a.k.a EXO-K SuHo
• Park Chan Yeol a.k.a EXO-K Chanyeol
• Lee Hyori (OC)
• Choi Jin Hee (OC)
• Roland Sparks (OC)
• Jun Ji Hyun (OC)
Genre : Western-Life, Paranormal Romance, Supernatural Romance, Young Adult Fiction, Fantasy
Sumber : FALLEN karya Lauren Kate
CHAPTER 6A:
TAK ADA YANG MENYELAMATKAN
Kamis pagi yang cerah, pengeras suara berderak menyala di lorong luar kamar Gi Eun:
“Perhatian, para murid Sword & Cross!”
Gi Eun berbalik sambil mengerang, tapi betapa keras pun usahanya menekan bantal ke telinga, salahkan SuHo lewat pengeras suara hanya teredam sedikit.
“Kalian hanya punya waktu Sembilan menituntuk melapor ke ruang olahraga bagi pemeriksaan kebugaran tahunan. Seperti yang kalian ketahui, kami tidak suka murid yang berlambat-lambat, jadi berusahalah tepat waktu dan bersiaplah untuk penilaian fisik.”
Pemeriksaan kebugaran? Penilaian fisik? Pada pukul 06.30? Gi Eun mulai menyesal karena tidur terlambat tadi malam… dan terjaga lebih lama lagi di tempat tidur, merasa tertekan.
Tepat saat mulai membayangkan Luhan dan Hyori berciuman, Gi Eun mual—mual yang biasa dirasakannya ketika tahu ia telah membodohi diri sendiri. Tidak mungkin kembali ke pesta. Ia hanya berdiri dari dinding tempatnya bersandar dan menyelinap kembali ke kamar asrama untuk memikirkan kembali perasaan aneh yang ia rasakan setiap kali dekat dengan Luhan, perasaan yang dengan bodohnya ia anggap seperti semacam ikatan batin. Ia terjaga dengan rasa tidak enak pada mulutnya, akibat pesta semalam. Saat ini ia sama sekali tidak ingin memikirkan olahraga.
Ia menurunkan kaki dari tempat tidur ke lantai kau yang dingin. Sambil menggosok gigi, ia mencoba membayangkan apa yang di maksud Sword & Cross dengan “penilaian fisik”. Bayangan teman-teman sekolahnya yang menggentarkan—Jin Hee melakukan puluhan chin up dengan wajah bengis, Hyori memanjat tali sembilan puluh meter ke langit dengan mudah—memnuhi benak Gi Eun. Satu-satunya peluang untuk tidak membuat dirinya tampak bodoh—lagi—adalah dengan menyingkirkan Luhan dan Hyori dari pikiran.
Ia menyusuri bangunan sekolah bagian selatan menuju ruang olahraga. Tempat itu bangunan besar bergaya gothic dengan penyangga-penyangga dan menara-menara batu yang membuatnya lebih mirip gereja daripada tempat orang pergi mencari keringat. Ketika Gi Eun mendekat bangunan itu, lapisan tanaman rambat yang menutupi bagian depan bangunan bergemerisik terkena embusan angin pagi.
“Sunny!” Gi Eun berseru saat melihat temannya yang mengenakan pakaian olahraga itu mengikat tali separu kets di bangku panjang. Gi Eun menatap pakaian serbahitam dan sepatu hitamnya yang sesuai peraturan lalu mendadak panic jangan-jangan ia lua membaca memo tentang aturan pakaian. Tapi kemudia beberapa murid lain berkeliaran di luar bangunan dan mereka terlihat tidak jauh berbeda dengan dirinya.
Mata Sunny sayu. “Lelah sekali,” ia mengerang. “Aku terlalu semangat berkaraoke semalam. Ku rasa aku akan menutupinya dengan setidaknya tampak atletis.”
Gi Eun tertawa ketika Sunny bersusah payah mengikat tali sepatu.
“Omong-omong, kau kenapa semalam?” Sunny bertanya. “Kau tidak kembali lagi ke pesta.”
“Oh,” kata Gi Eun, mengulus-ulur waktu. “Aku memutuskan untuk—“
“Aaaah.” Sunny menutup telinga. “Setiap suara seperti ketukan palu di kepalaku. Ceritakan saja nanti?”
“Yeah,” kata Gi Eun. “Tentu.” Pintu ganda ruang olahraga terbuka lebar. SuHo melangkah ke luar, mengenakan sandal karet lebar, memegang papan penjepit kertasnya yang selalu ada. Ia melambai menyuruh para murid maju, dan satu persatu mereka di data untuk ditempat di bagian masing-masing.
“Park Chanyeol,” SuHo memanggil ketika cowok yang lututnya gemetaran itu menghampiri. Bahu Chanyeol membungkuk ke depan seperti tanda kurung, dan Gi Eun bisa melihat sisa-sisa warna kulit di tengkuknya yang terbakar sinar mataharin akibar pekerjaan berkebun yang berat.
“Angkat beban,” SuHo memerintah mendorong Chanyeol ke dalam.
“Lee SunKyu,” SuHo menyerukan nama berikutnya, membuat Sunny merunduk dan menutupkan telapak tangannya ke telinga lagi. “Kolam renang,” SuHo menginstruksikan, meraih ke dalam kotak kardus di belakangnya dan melempar sepotong pakaian renang merah pada Sunny.
“Park Gi Eun,” SuHo melanjutkan, setelah membaca catatan. Gi Eun melangkah ke depan dan merasa lega ketika SuHo berkata, “Kolam renang juga.” Gi Eun mengangkat tangan untuk menyambar pakaian renang yang melewat di udara. Pakaian itu sudah melar dan terasa di jemarinya setipis kertas perkamen. Setidaknya aromanya bersih. Kurang lebih.
“Lee Hyori!” SuHo berseru selanjutnya, dan Gi Eun menoleh cepat lalu melihat orang paling tidak disukainya berjalan anggun dalam balutan celana pendek hitam dan tank top tipis hitam. Gadis itu baru tiga hari di sekolah ini… bagaimana ia bisa sudah mendapatkan Luhan?
“Haaai, SuHo,” sapa Hyori, mengucapkan kata-katanya dengan suara sengau yang membuat Gi Eun ingin mengikuti Sunny dan menutup telinga.
Apa saja asal jangan kolam renang, Gi Eun berharap. Apa saja asal jangan kolam renang.
Sambil berjalan di dekat Sunny menuju ruang ganti wanita, Gi Eun mencoba tidak menoleh kembali kea rah Hyori, yang memutar-mutar sesuatu yang tampaknya sepetrti satu-satunya pakaian renang paling modis dalam tumpukan dengan jari telunjuk yang dimanikur. Gi Eun lebih memilih memfokuskan diri pada dinding batu kelabu dan perlengkapan religi kuno yang memenuhi dinding. Ia melewati hiasan salib-salib kayu berukir dengan pahatan timbul yang menggambarkan Penderitaasn Kristus. Beberapa triptych pudar di gantungkan sejajar mata, hanya lingkaran halo sosok-sosok di dalamnya yang masih bersinar. Gi Eun mencondongkan tubuh ke depan untuk melihat lebih kelas lembaran perkamen besar yang berisi tulisan dalam bahasa Latin, dibingkai dalam kaca.
“Dekorasi yang ceria bukan?” tanya Sunny, sambil menenggak beberapa butir aspirin dan seteguk air yang diambil dari dalam tas.
“Barang-barang apa sih ini?” tanya Gi Eun.
“Sejarah kuno. Satu-satunya peninggalan sejarah yang selamat dari ketika tempat ini masih menjadi tempat Misa Minggu, pada zaman Perang Saudara.”
“Karena tempat ini begitu mirip gereja,” kata Gi Eun, berhenti di depan tiruan patung pietà karya Michelangelo.
“Seperti yang lain di neraka ini, mereka setengah hari memperbarui tempat ini. Maksudku, siapa sih membangun kolam renang di tengah gereja tua?”
“Kau bercanda,” kata Gi Eun.
“Seandainya saja begitu.” Sunny memutar mata. “Setiap musim panas, Kepala Sekolah mencoba menugaskan aku mendekorasi ulang tempat ini. Ia tidak mau mengakuinya, tapi barang-barang yang berhubungan dengan Tuhan membuatnya ketakutan,” Sunny berkata. “Masalahnya, bahkan kalaupun ia membantunya, aku tidak tahu harus melakukan apa dengan barang-barang rongsokan ini, atau bahkan bagaimana mengeluarkan barang-barang ini tanpa menyinggung perasaan semua orang dan Tuhan.”
Gi Eun membayangkan kembali dinding-dinding bercat putih bersih di dalam ruang olahraga Dover, berderet-deret foto pertandingan sekolah yang dibuat secara professional, tiap foto dibingkai karton biru yang sama, masing-masing dipajang dengan pigura emas senada. Satu-satunya lorong yang lebih “keramat” di Dover adalah bagian jalan masuknya, yang memuat ofot para alumni yang menjadi senator, pemenang beasiswa Guggenheim, dan para miliarder.
“Kau bisa memajang foto semua alumni yang jadi bandit di sini,” Hyori mengusulkan di belakang mereka.
Gi Eun hampir tertawa—komentar itu memang lucu… dan aneh, seakan Hyori membaca pikirannya—tapi kemudian ia teringat suara gadis itu tadi malam, member tahu Luhan bahwa dia satu-satunya yang dimiliki cowok itu. Gi Eun langsung melupakan segala kemungkinan untuk mengakrabkan diri dengan gadis itu.
“Kalian keluyuran!” bentak pelatih olahraga yang tidak dikenal, muncul entah dari mana. Perempuan itu—setidaknya Gi Eun pikir pelatih itu perempuan—memiliki rambut kribo menggumoal, berwarna cokelat yang dikuncir ke belakang, betis yang mirip paha babi, dan kawat gigi “tak terlihat” yang sudah menguning dan menutup geligi atasnya. Dengan marah si pelatih menggiring mereka ke dalam ruang ganti, masing-masing diberi gembok beserta kuncinya dan dengan dorongan keras diarahkan ke lemari kosong. “Tak ada yang keluyuran dalam pengawasan Pelatih Diante.”
Gi Eun dan Sunny buru-buru mengenakan pakaian renang mereka yang longgar dan pudar, Gi Eun bergidik melihat bayangan dirinya di cermin, allu menutupi tubuhnya sebisa mungkin dengan handuk.
Di natatorium—ruang kolam renangruang kolam renang—yang lembap, Gi Eun segera mengerti maksud ucapan Sunny tadi. Kolam renangnya sendiri sangat besar, seukuran kolam renang Olimpiade, salah satu dari sedikit fasilitas mutakhir sejauh ini dilihatnya di sekolah ini. Tapi bukan itu yang membuat kolam ini begitu menakjubkan, Gi Eun menyadari dengan kagum. Kolam renang ini dibuat tepai di tengah bangunan yang tadinya gereja megah.
Terdapat baris-baris jendela kaca patri yang indah hanya beberapa panelnya yang rusak, terbentang di dinding-dinding dekat langit-langit bangunan yang tinggi dan melengkung. Terdapat beberapa ceruk batu yang diterangi cahaya lilin di sepanjang dinding. Papan loncat dipasang pada bagian yang tadinya mungkin altar. Kalau Gi Eun tidak dibesarkan sebagai agnostic, melainkan takut Tuhan seperti teman-temannya yang lain di sekola dasar, ia mungkin akan menganggap tempat ini menistakan agama.
Beberapa murid lain sudah berada di dalam air, terengah-engah menarik napas saat menyelesaikan putaran. Tapi murid-murid yang berada diluar airlah yang menarik perhatian Gi Eun. Jin Hee, Ronald, dan Amber duduk di bangku pandang sepanjang dinding. Mereka menertawakan sesuatu. Roland sampai meringkuk dan Amber menghapus air mata. Mereka mengenakan pakaian renang yang jauh lebih menarik daripada pakaian Gi Eun, tapi tak seorang pun dari mereka kelhatan punya niat untuk beranjak menuju kolam renang.
Gi Eun menatap pakaian renangnya yang kedodoran. Ia ingin bergabung dengan Amber—tapi ketika ia menimbang-nimpang pro (kemungkinan memasuki dunia yang elite) dan kontra (Pelatih Diante memarahinya karena tidak mau berolahraga, Hyori berjalan menuju kelompok itu. Seakan gadis itu berteman akrab dengan mereka semua. Hyori duduk tepat di sebelah Amber dan segera tertawa juga, seakan apapun leluconnya, ia langsung mengerti.
“Mereka selalu mendapatkan izin untuk tidak ikut,” Sunny menjelaskan, menatap marah kelompok anak popular yang duduk di bangku panjang itu. “Jangan tanyakan bagaimana mereka bisa melakukannya.”
Gi Eun berdiri ragu di sisi kolam renang, tidak memperhatikan intruksi Pelatih Diante. Melihat Hyori dan kawan-kawannya berkerumun di bangku panjang dengan gaya anak keren membuat Gi Eun berharap Kris ada di sana. Ia bisa membayangkan cowok itu tampak menawan dalam balutan pakaian renang hitam yang licin, melambai ke arahnya untuk mengajaknya bergabung dengan kelompok itu sambil tersenyum lebar, langsung membuat Gi Eun merasa di terima, bahkan penting.
Gi Eun ingin sekali minta maaf karena kabur begitu cepat dari pesta cowok itu. Yang sebetulnya cukup aneh—mereka tidak pacaran, jadi mestinya Gi Eun tidak berkewajiban menjelaskan kedatangan dan kepergiaannya pada Kris. Tapi pada saat yang sama, Gi Eun menyukai perhatian yang diberikan Kris. Gi Eun menyukai aroma tubuh cowok itu—semacam aroma kebebasan dan keterbukaan, seperti menyetir dengan jendela terbuka lebar pada malam hari. Gi Eun menyukai bagaimana Kris memperhatikan dirinya sepenuh hati saat ia bicara dengan cowok itu, berdiri tak bergerak seakan Kris tidak bisa melihat atau mendengar siapa pun kecuali Gi Eun. Ia bahkan suka saat tubuhnya diangkat dari lantai di pesta itu, yang terlihat jelas oleh Luhan. Ia tidak ingin melakukan apapun yang bisa membuat cara Kris memperlakukan dirinya berubah.
Ketika peluit pelatih berbunyi, Gi Eun yang sangat terkejut berdiri tegak, lalu menunduk dengan sangat menyesal ketika Sunny dan murid-murid lain yang berada di dekatnya meloncat ke deoan, ke dalam kolam renang. Ia menatap Pelatih Diante untuk meminta petunjuk.
“Kau pasti Park Gi Eun—selalu terlambat dan tiak pernah mendengarkan?” Pelatih menghela napas. “Suho sudah member tahuku tentang kau. Delapan putaran, pilih gayamu yang terbaik.”
Gi Eun mengangguk dan berdiri dengan jari-jari kaki dicengkeramkan ke pinggir kolam renang. Biasanya ia suka sekali berenang. Ketika ayahnya mengajarinya di kolam renang umum Thunderbolt, ia bahkan mendapatkan pernghargaan sebagai anak termuda yang berani berenang di kolam dalam tanpa pelampung. Tapi itu bertahun-tahun lalu. Gi Eun bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia berenang. Kolam renang luar ruangan di Dover yang menggunakan pemanas air selalu berkilauan, menggodanya—tapi kolam renang itu tidak boleh dipakai siapa pun kecuali yang tergabung dalam tim renang.
Pelatih Diante berdeham. “Mungkin kau tidak sadar bahwa ini perlombaan… dan kau sudah mulai kalah.”
Ini “perlombaan” paling menyedihkan dan konyol yang pernah dilihat Gi Eun, tapi hal itu tidak menyurutkan nalurinya berkompetisi.
“Dan… kau masih kalah,” Pelatih berkata, mengigit peluit.
“Tidak bakal lama,” balas Gi Eun.
Ia mengamatin para pesaingnya. Cowok yang di kiri menyemburkan air dari mulut dan melakukan gaya bebas dengan kikuk. Di kanan Gi Eun, Sunny yang mengenakan penjepit hidung meluncur santai, perutnya di sangga papan luncur busa mereah muda. Selama seperkian detik, Gi Eun melirik kelompok yang duduk dibangku panjang. Jin Hee dan Roland memperhatikan; Amber dan Hyori berpelukan sambil cekikikan menyebalkan.
Tapi ia tidak peduli dengan apa yang mereka tertawakan. Kurang-lebih. Ia mulai meluncur.
Dengan keduan lengan di atas kepala, Gi Eun terjun, merasakan punggungnya melengkung ketika ia meluncur ke dalam air yang dingin. Hanya sedikit orang yang bisa melakukan hal itu dengan baik, ayahnya pernah menjelaskan di kolam renang pada Gi Eun yang baru berumur delapan tahun. Tapi begitu kau berhasil melakukan gaya kupu-kupu dengan sempurna, tidak ada cara lain untuk bergerak lebih cepat dalam air.
Sambil membiarkan kejengkelan mendorongnya, Gi Eun mengangkat bagian atas tubuh ke luar air. Gerakan itu segera kembali pada dirinya dan ia mulai mengepakkan lengan seperti sayap. Ia berenang dengan usaha yang lebih keras daripada apa pun yang pernah dilakukannya dalam jangkan waktu yang sangat lama. Merasa perlu membuktikan diri, ia menyusul para perenang lain satu putaran, lalu putaran berikutnya.
Ia sudah mendekati putaran kedelapan saat kepalanya muncul di permukaan air cukup lama untuk mendengar suara pelan Hyori yang berkata, “Luhan.”
Seperti lilin yang padam, semangat Gi Eun lenyap. Ia menurunkan kaki dan menunggu untuk mendengar apa lagi yang akan dikatakan Hyori. Sayangnya, ia tidak bisa mendengar apa pun kecuali suara percikan air yang berisik dan, sesaat kemudian, bunyi peluit.
“Dan pemenangnya adalah,” Pelatih Diante berkata dengan ekspresi terperangah, “Joel Brand.” Pemuda ceking yang mengenakan kawat gigi di jalur sebelah keluar dari kolam renang dan melompat tinggi untuk merayakan kemenangannya.
Di jalur lain, Sunny berhenti meluncur. “Apa yang terjadi?” ia bertanya pada Gi Eun. “Kau hamper menghabisinya.”
Gi Eun mengangkat bahu. Hyori-lah penyebabnya, tapi ketika ia menoleh ke arah bangku panjang, Hyori sudah tidak ada, dan Amber serta Jin Hee pergi bersama gadis itu. Hanya Roland sendiri yang tinggal di tempat kelompok tadi berada, dan ia serius membaca buku.
Adrenalin Gi Eun meningkat ketika ia berenang, tapi sekarang semangatnya meredup begitu cepat sehingga Sunny harus membantunya keluar dari kolam renang.
Gi Eun memperhatikan Roland melompat turun dari bangku-bangku panjang. “Kau lumayan hebat tadi,” cowok itu berkata, melemparkan handuk kea rah Gi Eun dan kunci lemari yang telah dilupakan Gi Eun. “Selama beberapa saat.”
Gi Eun menangkap kunci itu di udara dan membungkus tubuhnya dengan handuk. Tapi sebelum ia bisa mengatakan sesuatu yang normal, seperti “Terima kasih untuk haduknya”, atau “Kurasa aku sedang tidak fit”, jiwa emosionalnya yang baru dan aneh malah memuntahkan kata-kata, “Apa Luhan dan Hyori pacaran?”
Kesalahan besar. Besar sekali. Ia bisa menilai dari tatapan cowok itu bahwa pertanyaan akan langsung sampai pada Luhan.
“Oh, aku mengerti,” kata Roland, dan tertawa. “Yah, aku tidak bisa…” Roland menatap Gi Eun dan menggaruk hidung lalu member Gi Eun senyum yang kelihatan penuh belas kasihan. Lalu Roland menunjuk kea rah pintu masuk yng terbuka, ketika mengikuti arah jari cowok itu, Gi Eun melihat siluet langsing Luhan yang berambut pirang melintas. “Kenapa tidak kau tanyakan saja sendiri padanya?”
To Be Continue
Buat yang udh baca chapter ini jangan lupa tinggalin comment ya…
Don’t be a silent readers
Gomawo ^^
