Title: Happy
Author: yixingprincess
Genre: College!AU, drama
Lenght: Short story (1/5)
Rating: PG-13
Main cast: Kim Minseok (EXO Xiumin), Im Sehee/Sakura Im (Original Character)
Minor cast: Park Chanyeol (EXO Chanyeol), Wu Yifan (EXO Kris), Huang Zitao (EXO Tao), Do Kyungsoo (EXO D.O)
Happy Reading
—
Kamu membuka mata. Semuanya buram. Cepat-cepat kamu mengambil kacamata yang kamu simpan sebelum tidur dari permukaan nakas.
Kamu mendengus, kembali kamu harus menatap langit-langit kamar asrama yang tidak berubah meski kamu sudah lebih dari dua tahun bernaung dibawahnya. Disebelahmu, seorang laki-laki jangkung tidur topless sambil memeluk guling posesif.
“Pagi Chanyeol,” sapamu lemah. Kamu bangkit terduduk dan meraih sweater buluk yang tergeletak di lantai. Namun tanganmu sejak tadi hanya meraih udara, kembali kamu mendengus. Resiko orang pendek, batinmu kesal.
Bangun dari ranjang, kamu kemudian menatap kalender tergantung diatas meja belajar yang dipenuhi gulungan kertas hasil tugas kalkulus. Kembali kepalamu berdenyut, beban pikiranmu sangat banyak. Dalam hati kecilmu, sekarang kamu menyesali pilihanmu masuk ke jurusan ilmu komputer.
Deadline penyerahan tugas presentasi. Hari ini.
Kamu kemudian berteriak seperti orang kesakitan, membuat teman sekamarmu menggeram tak nyaman dan terpaksa membuka mata. Mendapati kamu tengah menatap kalender nanar. Ia kemudian melempar guling di pelukannya pada punggungmu dengan ogah-ogahan akibat nyawa yang belum terkumpul semua.
“Berisik!” Chanyeol meracau.
Kamu mendelik.
“Apa sih, Minseok hyung?!” Sesaat kemudian Chanyeol mendudukkan tubuhnya dan membimbing dirinya pada kepala ranjang dengan beringsut perlahan. Mata besarnya memerah, hiasan tahi lalat kering menempel di sudut matanya. Wajahnya kusam dan pucat, rambut yang biasa kamu lihat rapi dan mengkilap kini terlihat lepek. Dari kilauan lampu meja yang kamu nyalakan semalaman, bulir-bulir keringat membungkus kulit Chanyeol. “Oh.. Lingkaran merah di kalender itu ya?” tanyanya kemudian.
“Berisik.”
Suasana kemudian hening, tapi dalam pikiranmu, ramai seperti suasana terminal bus Kampung Rambutan di Jakarta Timur, Indonesia. Pikiranmu kemudian terbang pada Indonesia, rumah adikmu sekarang.
“Hyung, aku ingin kopi.” Suara berat Chanyeol mengagetkanmu. Kamu mendelik, memberikan Chanyeol sebuah tatapan tersirat: tidak mau!
Cepat, kamu meraih dompet dari laci mejamu dan pergi dari kamar asrama itu. Kamu menghiraukan teriakan Chanyeol. Destinasi pertamamu adalah kafetaria kampus, tanpa cuci muka, gosok gigi dan mengganti T-shirt yang sudah tiga hari tidak kamu cuci.
Lorong asrama putra masih lenggang. Itu sabtu pagi dimana di hari itu beberapa fakultas tidak memberikan jam kuliah dan tugas yang banyak seperti saat weekday. Tapi untuk kamu, sepertinya itu terkecuali.
Kamu membawa baki berisi sarapan pagimu hari ini: sekotak susu murni dan satu bungkus roti sandwich isi keju dengan muka datar. Perasaanmu pagi ini benar-benar kacau. Kamu kurang tidur, bahumu pegal akibat seminggu penuh kamu panggul laptop tercinta dan bertumpuk buku referensi hasil mencari di perpustakaan seharian. Matamu berair akibat terus-terusan membaca buku dan berjibaku dengan laptop, juga rasa kangenmu pada dunia luar kampus.
Melangkah terseok-seok menuju meja di ujung ruangan sana, kamu bagai melayang.
“Pagi Minseok-kun!”
Kamu menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak ada siapa-siapa.
“Yah! Aku di depanmu!”
Kamu kemudian meluruskan rahang. Ternyata Shiba, si murid pertukaran, soulmate Chanyeol dari fakultas keperawatan.
Kamu tersenyum miring—kamu sedang malas bertemu dengannya dan siapapun, dengan ogah-ogahan kamu menghampirinya yang sudah rapi dengan pakaian perawat.
“Hai Shiba. Apa kabar?” tanyamu ala kadarnya.
Shiba tersenyum manis, sayang senyumannya tak bisa selamatkan kamu dari kejamnya hari ini. “Aku baik, Minseok-kun! Chanyeol mana?” ia balik bertanya.
Kamu kemudian membuat ‘o’ kecil sambil menggaruk tengkukmu malas. “Dia masih tidur, kau pergi saja ke asrama jika ingin membangunkannya.”
“Baiklah aku akan kesa—“
“Oi nona Ishikawa!”
Shiba yang baru beberapa langkah berjalan, memutar lagi tubuhnya menghadapmu. Ia memberikan tatapan penuh tanya. Shiba kembali mematri senyum. “Ya?” tanyanya.
“Kau akan PKL dimana?”
“Aku? Di rumah sakit jiwa di pusat kota.”
“Bisakah aku dirawat di sana sekarang?”
Shiba membulatkan matanya. “Itu tidak mungkin! Kau tidak gila!”
Kamu meluruskan mukamu, “Aku hampir.”
Wanita yang tinggi badannya beda 17 sentimeter dari kamu itu tiba-tiba meraih tanganmu dan membimbingmu cukup kasar menuju bangku di sudut kafetaria, bangku yang tadi menjadi tujuanmu selanjutnya. Setelah kalian sampai, ia membanting lenganmu, sebuah kode yang artinya duduk sebelum akhirnya ia memutar arah dan duduk di depanmu.
“Makan.” Ucap wanita itu datar. Kamu menurut.
Satu sobekan dan satu tegukan selesai olehmu, wanita itu kemudian membuka mulut dan kembali menggoyangkan lidahnya. “Siapa yang bertanggung jawab atas keputusan kamu mengambil beasiswa?” tanyanya dengan nada yang terus meninggi.
Kamu menunduk. Itu salahmu sendiri.
“Ayolah, Minseok-kun! Kamu hanya sedikit lelah. Jangan terlalu cepat mencap dahimu sendiri. Santai saja, ok?” Ia melembut. Shiba kemudian meremas kedua pundakmu yang turun. Kamu hanya mengulum senyum.
“Hei, kalian sedang apa?”
Kamu dan Shiba serempak menoleh ke sumber suara. Di sana ada Chanyeol yang sudah rapi dengan seragamnya sambil menyampirkan tali tasnya pada sebelah bahunya. Ia memandang tak suka pada kalian berdua. Kamu memutar kepala, menatap Shiba, ia hanya tersenyum secerah matahari pada Chanyeol.
“Tidak apa-apa. Aku hanya sedang memberinya wejangan.” Ucap Shiba, lembut. “Kau sudah lama berdiri di sana, sayang?”
Ah, kamu mendesah.
“Belum terlalu. Ayo pergi.” Kemudian ia melangkah keluar kafetaria. Shiba hanya tersenyum dan menunjuk Chanyeol sebelum ia benar-benar bangkit dan berlari kecil menyusul kekasihnya.
Setelah mereka berjalan cukup jauh, kamu bisa melihat kedua tangan itu berpaut. Kamu membuang muka sambil menarik napas panjang dan dalam.
Sebenarnya inilah yang telah membuat kamu gila: kamu tidak punya perempuan.
…
Kamu keluar gedung fakultas ilmu komputer dengan lesu. Kamu beruntung karena ternyata kamu tidak begitu terlambat memberikan tugas pada dosen. Setelah istirahat makan siang, kamu akan kembali berhadapan dengan kalkulus. Kamu harus mengisi otakmu dengan asupan nutrisi dan segera mengisi paru-parumu dengan udara segar taman kampus.
Berjalan menuju kafetaria, kamu melewati taman kampus yang sudah dipenuhi banyak mahasiswa dan mahasiswi, kebanyakan dari fakultas seni. Mereka menurut kamu seperti orang gila, yang menangis dan menjerit tanpa sebab di tanah lapang, ada juga yang menari-nari liar bagai angin tornado, berputar-putar dan menabrak saja apa yang ada di sekelilingnya.
Telingamu menangkap satu alunan yang tak asing akibat terbawa angin. Ini musik dari salah satu karya Tchaikovsky yang terkenal. Kamu sangat merindukan musik ini, kamu sangat merindukan tarian para angsa, kamu merindukan orang yang sedang menarikan tarian ini.
“Sehee!”
Kamu berlari, mencari sumber suara. Menoleh liar kesana-kemari. Berharap dari banyaknya orang yang sedang menari-nari ada yang tertegun bahkan menghentikan tariannya. Kamu masih mencari hingga langkah kaki cepatmu telah membawamu ke depan ruang tari. Kini suara gesekan biola itu makin keras juga lembut. Perlahan kamu berjalan menuju pintu, tepat beberapa langkah kaki di depannya kamu baru menyadari bahwa pintu ini tidak terkunci.
Dan suara tarian para angsa itu keluar secara berdesakan dari celah kecil pintu.
Itu Im Sehee, gadis berumur setahun lebih muda darimu tengah menari dengan tutu yang bergerak liar macam gorden tertiup angin depan jendela yang terbuka lebar. Sepatu pointé lusuh akibat terlalu sering bergesekan dengan lantai berputar-putar pada satu poros, mungkin itu mulai berdesing seperti gasing mainan anak-anak. Rambut kecokelatan sepunggung itu ikut terbang dibawa tekanan. Tangannya, gerakan leher dan kepalanya, juga musik yang mulai meniti klimaks telah membuat kamu mematung, terpana.
Berhela-hela dan berdesah-desah napas kemudian gadis itu mulai berhenti menari di tengah ruangan. Ia membungkuk pada cermin selebar dinding. Ia tersenyum lebar, meski tanpa tepuk tangan bahkan sorak sorai menyertainya. Lelah, ia berjalan menuju sudut ruangan, di mana tas punggung berbahan kanvas teronggok dengan selembar handuk juga sebotol air mineral, dua benda yang langsung diembat Sehee sekarang ini.
Kamu masih berdiri, menatap kaku dari celah pintu. Menganga takjub akan Odette yang selama ini menghilang akibat bengek kembali menari-nari, seakan paru-parunya telah diganti oleh dokter bedah organ dalam. Secepat itukah orang bengek dapat sembuh dari napas mencuit-cuit jika habis menghirup asap?
Tiba-tiba gadis itu berbalik, menatap pintu. Kamu kecolongan. Ia melihatmu.
“Minseok?”
Sealun suara singkat nan menggantung membuaimu, membuatmu melemah, seakan memintamu membuka pintu lebih lebar. Tanpa sadar tanganmu meraih gagang pintu, membukanya cukup lebar untuk menampakkan tubuh setinggi 173 sentimeter yang sedari tadi masih dilindungi pintu juga Tuhan agar tidak ketahuan mengintip. Gadis itu kini terkekeh sambil tersenyum lebar, cepat ia merogoh saku depan tas kanvasnya, mengambil satu karet rambut dan mengikat asal rambut panjang miliknya.
“Hai.” Kamu menyapanya kaku di ambang pintu.
“Ayo masuk!” seru gadis itu. Ia melambaikan tangannya berkali-kali. Dengan canggung kamu masuk, kamu merasa malu akibat tidak menggunakan sepatu yang percis milik Sehee.
Gadis itu kurusan sekarang, pipinya meruncing, bagian gelap di bawah matanya terlihat jelas meski sudah ditutup tebalnya concealer. Rambutnya terlihat bertambah panjang jika ditilik dari jarak enam langkah kaki, pecah-pecah di ujung rambut itu sudah hilang. Poninya sudah cukup panjang untuk disematkan di sela daun telinga. Ia benar-benar berubah semakin kurus dan cantik seperti angsa.
“Ada apa?” tanya Sehee sambil tersenyum. Ia sadar tengah ditilik secara cermat dari ujung keapala sampai kaki olehmu.
“Turun berapa kilo?” Kamu berucap tanpa sadar, dihadiahi tawa ngakak dari Sehee. Gadis itu bisik-bisik menjawab, “Sekitar tujuh.”
“Tujuh?!” dan gadis itu mengangguk pelan.
Sehee itu melempar botol minumnya padamu, dan ditangkap meski harus merendah sambil goyang-goyang, “Lama tak jumpa ya, Minseok!”
“Ya,” kamu mendesah lega. Kini basahnya air membasahi dinding kerongkongan.
“Dokter bilang penyakitku sudah sembuh, terimakasih karena kau selalu menyemangatiku dan tak jemu menelpon hanya untuk ingatkan aku minum obat.”
Kamu tertawa, malu diingatkan dengan kejadian lampau.
“Sekarang aku bisa kembali menari tanpa khawatir napas berubah mencicit-cicit seperti anak tikus.”
Kini kamu mengacungkan botol berbahan plastik sekali pakai yang sudah berubah ringan akibat isinya ditenggak habis, memberi tahu Sehee bahwa kamulah yang akan membuang botol itu pada wadah sampah non organik. Gadis itu hanya menatapmu teduh juga penuh binar dengan pupil membesar. Masih senang dengan kunjunganmu.
“Kau akan pulang kan?” tanyamu.
“Ya—“
“Noona!”
Kalian berdua menoleh, serempak seirama. Di seberang ambang pintu, seorang laki-laki berkulit gelap dengan celana jeans dan jas almamater menggendong backpack hitam dengan wajah menekuk-nekuk, kusut bagai origami bangau yang dibongkar ulang. Laki-laki itu memberikan tatapan tajam padamu, namun berubah menjadi layu saat menatap Sehee. Ia berkata dengan lesu, “Kutunggu di mobil.” Setelah itu laki-laki itu pergi.
“Siapa dia?” kamu bertanya, meski kamu bertaruh separuh yakin bahwa laki-laki itu adalah freshman.
“Yang tadi? Namanya Kim Jongin,”
“Pacarmu?”
Tak ada jawaban, hanya semburat tipis merah muda, kuluman senyum dan sebuah lengosan yang kamu dapat.
“Lebih baik kau pulang, Sehee. Parkiran itu jauh.”
Gadis itu tak bicara banyak, hanya sebuah gumaman. Ia kemudian berjalan, meraih tasnya juga jaket yang ternyata sembunyi di bawah tas. Dengan tenang ia pakai jaket itu, jaket hitam dengan sablon karet di punggung berlambangkan BABYMETAL, grup metal beranggotakan tiga gadis remaja dibawah 17 tahun asal Jepang yang kamu kenal melalui Sehee.
“Aku pulang, Minseok,” ucap gadis itu, melewatimu tanpa menoleh. Kamu mengangguk.
“Hati-hati, salam pada pacarmu.”
Setelah itu Sehee hilang ditelan palang.
…
Malam ini tak seperti malam biasanya, entah kenapa dan bagaimana sekarang kamu sudah berada di atas gedung fakultasmu dengan gadis yang kini berkoar-koar dengan laser juga gambar peraga. Sampai lima belas menit pertama kamu hanya bertanya pada diri sendiri, bagaimana caranya gadis fakultas keperawatan bisa mendapat kunci pintu gedung ilmu komputer. Lima menit berikutnya kamu hanya menatap bingung gambar yang tak kelihatan jelas akibat bulan gelap juga lentera listrik remang akibat hampir habis baterai yang dibawa gadis itu.
Gadis itu berdeham, kamu terperanjat.
“Ada yang ingin ditanyakan, Kim Minseok?” gadis itu Shiba Ishikawa, tengah bertanya dengan muka garang namun terhalang gelapnya malam.
“Kenapa tiba-tiba kau tarik aku di depan lorong saat aku sedang berusaha mendapat wifi?”
“Karena kau yang pertama kulihat, jika yang kulihat adalah Chanyeol-kun, aku akan menariknya kemari.”
“Dari mana dan bagaimana kau dapatkan kunci gedung ini?”
“Itu rahasia.”
“Kau tahu Kim Jongin?”
Gadis itu kemudian melotot, “Siapa Kim Jongin?! Bertanyalah yang nyerepet-nyerepet materi, Minseok!”
Kamu menatap tak mengerti pada gambar paru-paru pada selembar kertas keras, kamu tak mendengarkan penjelasan Shiba tadi. Gerakan memutar-mutar pada beberapa bagian, hanya itu yang kau ingat.
“Kita bahas ini besok ya? Seluruh sel otak milikku sudah fokus seluruhnya pada Gintama.”
Shiba mendengus dan mulai berkemas. Kamu membantunya dengan was-was.
Sampai di kamar dengan perasaan campur aduk setelah mengetahui bahwa Shiba sedang PMS dan mood-nya terganggu sudah dengan sikap kamu yang benar-benar tidak tahu sopan santun dan diuntung. Matamu menatap ranjang, ada Chanyeol sedang menonton TV, menonton berita yang sedang dibawakan kakak perempuannya. Di karpet, di bawah, bersebelahan dengan tubuh Chanyeol, satu buah gelas dengan noda dan ampas kopi tergeletak, beruntung itu tidak membuat karpet menjadi kotor. Cepat-cepat kamu ambil gelas itu dan membawanya ke bak cuci piring.
“Kau pulang, hyung.” Ucapnya datar. Theme song iklan sabun cukur terdengar, cepat berganti dengan teriakan komentator pada iklan pertandingan soft ball.
“Kelihatannya?” kamu menjawab sambil membuang ampas kopi ke dalam tong sampah.
“Oh, hyung. Dari mana saja?”
“Aku baru pulang setelah di culik Ishikawa.”
Chanyeol mengecilkan volume televisi, dan kembali pada kebiasaannya, melempar guling pada tubuhmu.
“Kau cemburu?” suara datar terdengar dari mulutmu. Busa di tanganmu makin menggunung.
“Bukan, nih ada surat untukmu! Ibu asrama yang mengantarnya setengah jam yang lalu.”
Kamu memutar badan setelah melepas sarung tangan karet berwarna biru dongker, menunduk dan melempar kembali guling pada Chanyeol. Sementara Chanyeol bangun dan merangkak, memberikan sepucuk surat dengan amplop kertas daur ulang berwarna putih keabu-abuan.
Amplop itu berukuran cukup besar dari amplop kebanyakan. Emboss halus hancuran kertas saat dielus semakin membuatnya istimewa.
Untuk Abang.
Kamu tersenyum kecil. Tak ada yang lebih membahagiakan daripada melihat aksara tangan adikmu.
Tapi kamu memutuskan untuk tidak membaca surat itu, cepat kamu simpan amplop beserta isinya kedalam laci meja belajar.
“Loh, bukannya itu sangat kau tunggu?” Chanyeol menerbangkan kedua alisnya.
Kamu tersenyum, “Kalau di ulangan kalkulus nanti aku dapat B atau A baru aku baca.”
“Oh, hyung!”
Kamu kembali melangkah menuju bak cuci piring, masih ada yang harus kamu cuci.
“Apalagi, Park Chanyeol?”
“Aku lihat Sehee noona hari ini,”
Tarikan pada satu sarung tangan terhenti.
“Dia dengan Kim Jongin.”
“Oh.”
“Dia teman masa kecil Sehun, pasien tetap dokter gigi dekat rumah bibiku.”
“Terus?” kembali kamu pasang sarung tangan itu.
“Aku kaget ada keluarga Sehee noona yang kuliah di sini,”
“Apa ada yang aneh?”
“Sehee noona ‘kan lahir di Jepang? Semua keluarganya juga tinggal di sana.”
Kamu kini berbalik, benar-benar berbalik dan kehilangan semua semangat mencuci piring akibat teralihkan dengan beberapa kalimat berisi entah fakta atau gosip yang meluncur bebas dari bibir kissable Chanyeol. Meski tangan kananmu sudah terbungkus lapisan karet yang basah juga lengket akibat sabun.
“Kim Jongin itu, tinggal di Jepang?” kamu bertanya.
“Dia menghabiskan masa balitanya di sini, keluar playgroup dia keluar Korea juga.”
“Terus?”
“Aku kenal dia karena kami sering main di sekitaran rumah Sehun, rumah Sehun dekat dengan rumah bibiku. Bibiku yang mengenalkanku pada mereka berdua.”
“Oh, jadi mereka berdua tidak pacaran.”
Chanyeol menatap tajam matamu sesaat, kemudian diam dan menunduk.
“Ada apa, Chanyeol?”
Chanyeol tetap diam.
…
Setelah Chanyeol tidur cepat akibat kelelahan dan membaca buku, kamu mengendap-endap keluar kamar. Jam dinding baru menunjuk angka sebelas beberapa detik lalu. Tujuanmu sekarang adalah kamar sejawat hobi gadang hanya untuk barang branded keluaran Gucci atau Guess yang hidup dengan laki-laki maniak boneka berbagai bentuk dan ukuran, Huang Zi Tao dan Wu Yi fan, dua laki-laki Cina yang sudah beberapa tahun hidup di Korea demi gelar sarjana ilmu komunikasi dan managemen bisnis internasional.
Beberapa ketukan lemah di permukaan pintu selesai, suara kunci diputar dua kali terdengar kemudian. Muncul sesosok tubuh laki-laki ber-piercing cukup banyak dan berkantung mata tebal juga hitam, tersenyum simpul padamu ditengah rasa mengantuk.
“Masuk, Minshuo gege.” Ucapnya kumur-kumur. Ia menutup mulutnya dengan boneka panda setinggi lima belas sentimeter untuk menyembunyikan satu uapan lebar.
“Aku tahu kau belum tidur jam segini,” ucapmu pelan, setelah melihat sesosok tinggi besar tidur bertelanjang dada dan bercelana pendek berbahan katun.
“Ya,” Tao, yang tadi membuka pintu untukmu berjalan menuju bantal duduk di atas karpet di depan satu meja kayu kecil yang tengah memanggul sebuah laptop menyala juga secangkir kopi mengepul. “Canlie tidur?”
Kamu mengangguk, dan ikut duduk di sebelah Tao cukup rapat.
“Aku bisa gila, ge.” Ujar Tao nelangsa. Tepat setelah kamu duduk.
“Kau disuruh pergi liputan ke luar kota tanpa akomodasi dari kantor?”
“Bukan! Uang bulananku sekarang dipangkas, cukup miris karena sekarang aku mesti menabung untuk barang-barang yang selalu membuatku gelap mata dan berteriak dengan nada tinggi seperti gadis.”
“Bulan kemarin kau kalap lagi ya?”
“Begitulah,” Tao mendesah berat.
“Gajimu magang di stasiun itu juga cuma cukup untuk makan steak hotel bintang tiga empat porsi.”
“Tapi bagaimana lagi? Aku tidak mau jadi fresh graduate yang tak punya pengalaman kerja.”
Kalian berdua terdiam, Tao baru saja membuka bookmark akun Weibonya.
“Kau kan hidup dengan laki-laki kaya yang di sana itu,” tunjukmu pada Wu Yi Fan. “Laki-laki itu baik dan pengertian ‘kan? Kenapa kau tidak pacari saja dirinya?”
Tao melotot dan langsung memukul lenganmu cukup kuat. “AKU NORMAL.”
“Bukannya masih normal?” kamu mengerling, langsung dihadiahi sebuah dengusan penuh amarah dari sang lawan bicara. “Terserah kau sajalah.” Ia melengos.
“Oh ya, Tao. Aku ingin bertanya.”
Tao menoleh patah-patah. “Apa?”
“Im Sehee itu…pacar Kim Jongin?”
Tao diam sebentar, ia menatap langit-langit sebelum akhirnya kembali menoleh padamu. “Aku tidak tahu.”
“Kau ‘kan hobi bergosip!” kamu mendelik.
“Kyungsoo tuh yang hobi bergosip!” Tao balik melotot.
Kembali diam, suara erangan singkat terdengar bersamaan dengan memutarnya tubuh Wu Yi Fan kearah kalian berdua.
“Akhir-akhir ini dia kembali bolak-balik pub,”
Kamu mendengarkan, sambil menatap dengan serius huruf-huruf Cina di layar monitor.
“Dia kembali merokok, minum-minum dan berteriak tak jelas tiap malam. Aku takut, ge.”
“Patahkan saja lehernya dengan tongkat Wushu, beres.”
Tao menghela napas panjang sebelum menjawab. “Kau benar-benar gila, ge.”
“Ya, aku gila.” Kamu mendesah.
“Eh, ge!”
Kamu menoleh pada Tao pelan-pelan. Tepat saat lehermu selesai memutar satu kuadran, kamu melihat satu bungkus rokok mentol mengacung kearahmu. Tao hanya tersenyum simpul sambil sedikit menggoyang-goyangkan kotak putih itu.
“Cobalah,” tawar Tao penuh nada gembira.
Kamu ragu, “Aku tidak pernah merokok.”
“Sekalii saja,” Tao mulai bbuing-bbuing.
Gemetaran kamu mengambil satu batang tembakau berbalut kertas dan filter di ujungnya. Sambil tersenyum kikuk kamu bergumam, “Terimakasih.”
“Aku akan mengajarimu bagaimana supaya tidak gila.” Setelah itu Tao mengacak-acak isi saku celana olahraga dan menemukan pematik api otomatis berwarna hitam. Ia meraih paksa tanganmu yang sedang menjepit racun jangka panjang berbentuk tabung, membakar ujungnya hingga tercium harum pembakaran bertabur mentol.
Tatapan matamu pada Tao kini sayu, berharap panda itu akan mematikan kembali rokok pemberiannya, tapi ia bergeming.
“Hisaplah.”
“Aku tak—“
“Ayo ge!”
Terpaksa kamu mencium filter, mengecap rasa manis di sana sebelum menjepit gulungan daun itu dan menghisapnya cukup kuat.
Dan kamu batuk-batuk setelahnya. Tao tersenyum cukup lebar sebelum akhirnya membakar miliknya juga.
…
Kasir minimarket itu berperawakan kurus dan berwajah kuyu juga mengantuk, kini tengah terkantuk-kantuk sambil tetap berdiri tegak. Minimarket itu sepi, tak ada yang datang lagi selain kamu dan seorang lagi bapak-bapak paruh baya, sedang sibuk memasukan cup-cup mi instan juga bir ke dalam keranjang.
Kamu masih berdiri tegak di depan meja kasir dengan satu tangan masuk ke dalam saku jaket, sekitar tadi setelah keluar dari kamar Tao kamu memohon-mohon pada satpam asrama untuk membiarkanmu keluar dengan alasan lapar di tengah malam. Satpam itu hanya mendelik sebelum akhirnya membuka gerbang untuk kamu dan berpesan agar tidak pulang subuh hari.
“Aku minta rokok,” ucapmu pada kasir itu.
“Eh, rokok?” tanyanya.
“Yang di ujung itu, warna putih.”
Kasir itu berbalik dan mencari pesananmu, setelah ketemu ia langsung membaca kode batang pada bungkus itu pada kotak abu-abu bernyala merah. “Ada lagi?” tanyanya lesu.
“Ini,” kamu mengambil salah satu pematik yang berjejer dalam satu wadah tak jauh dari komputer.
Kasir itu kembali membaca kode pada pematik pada alat, “Semuanya 1300 Won, mau di bungkus atau tidak, tuan?”
“Aku bawa saja sendiri.”
Setelah itu kasir menyerahkan dua benda itu padamu, cepat kamu menyerahkan selembar uang padanya. Sementara di sampingmu kini bapak tadi sudah berdiri dengan keranjang penuh isi, bau bir dan asap rokok menguar dari jaket kulitnya.
Suara cecing, gelongsor laci dan gumaman terimakasih terdengar bersamaan. Kamu cepat-cepat melangkah pergi dari sana setelah mendapat dua benda keramat dan juga kembalian.
Tao memaksamu untuk melakukan semua ini. Kamu mendesah berat saat ingat semua rengekan juga linangan air matanya ketika mendorong pintu kaca.
Meski ada perasaan senang karena tidak terlihat gugup atau gelisah karena ini adalah pengalaman pertamamu, kamu tetap merasa risih. Risih akibat kini ada permukaan licin plastik berbentuk kotak pembungkus karton dan selusin batang racun di dalam kantung jaketmu. Ada sedikit takut setelah tadi kau berhasil menghabiskan satu batang rokok tanpa batuk-batuk seperti saat awal menghisap. Bagaimana keadaan paru-parumu sekarang? Apakah mereka sekarang mulai berkerut-kerut akibat ada zat aneh yang bercampur dengan hemoglobin darahmu?
Sepanjang jalan pulang menuju asrama kamu menimang pematik berisi gas cair. Busan di malam hari begitu sepi tanpa gonggongan anjing ataupun teriakan maling.
…
“Hyung!” Chanyeol berteriak.
Kamu mengerjap-ngerjap imut, bayangan tubuh jangkung besar nan gelap di atas tubuhmu terlihat. Jam berapa sekarang? Batinmu. Kamu masih menunggu matamu untuk dapat melihat lebih jelas, sementara tekanan lembut dari guling yang dipukul berkali-kali mulai mengusik ketenanganmu.
Kamu mengerang lemah, tapi pukulan-pukulan lembut itu malah mengencang.
Berdetik-detik lewat, semuanya jelas sudah. Chanyeol bertelanjang dada dengan handuk merah tua memeluk lehernya di atas tubuhmu. Matanya memerah seperti biasa, tak lupa rambut lepek juga tahi mata. Ia berhenti memukulimu, kini ia menatapmu penuh tanya dan khawatir.
Langit-langit ini beda, semalam kamu tidur di mana? Saat menatap sekeliling kamu menemukan kolong tempat tidur penuh debu juga pintu kamar mandi yang terbuka. Kamu sadar bahwa semalaman sudah kamu tidur di karpet.
“Hyung,” suara berat Chanyeol membuatmu terpaksa menatap tubuh besar itu.
“Apa?” kamu balas bertanya.
“Sudah siang, hyung.”
“Ah, terimakasih sudah membangunkanku,” kamu bangun dan duduk, menatap sampah hasil semalam. Sekaleng bir juga satu bungkus potato chip kosong ikut tiduran tak jauh di sampingmu. Cepat kamu meraba kantong jaket, benda kotak dan licin itu masih ada di sana. Kamu mendesah lega. “Aku minta bir milikmu.”
“Itu kan milikmu juga, hyung. Eh, kau dapat kiriman dari orang tuamu, satu karung biji kopi berbau harum, aku baru pindahkan ke sana,” tunjuknya pada satu sudut dekat kabinet bak cuci piring. Kamu mengangguk pelan. “Nanti buatkan aku satu cangkir ya!” ucap Chanyeol sambil bangkit, berjalan menuju lemari pakaiannya.
Kamu mengangguk, agak was-was akan isi kantong jaket juga Chanyeol.
“Hyung, semoga berhasil dalam ujian kali ini.” suara Chanyeol berkumur akibat kepalanya kemasukan kain pakaian.
Kamu tersenyum. “Terimakasih, Chanyeol.”
Bersambung…
