Tittle : Back Hug
Author : utheeviez
Main Cast (s) : Park Chanyeol and his girl (You can imagine with yourself)
Genre : Marriage life, fluff
Rating : PG-18
Author’s Note : Thanks for admin yang udah mau ngepost FF ini. This story is mine. Sorry for typo(s)
Happy reading…
***
Aku berdiri di balkon apartemenku. Masih dengan baju kimono dan handuk kecil melilit rambutku. Melempar pandangan ke seluruh kota Seoul di malam hari. Indah. Aku selalu melakukan ini setiap malam. Tapi aku tidak pernah bosan.
Dari dulu, aku berkeinginan untuk melakukan makam malam romantis bersama orang yang kucintai. Ditemani cahaya lilin yang berpendar lembut, menikmati jamuan makan malam buatan tanganku sendiri dan sebotol wine. Oh, membayangkannya saja sudah membuat bibirku tersenyum. Tapi sayangnya, sampai saat ini aku belum bisa mewujudkannya. Pria yang kucintai bahkan terlalu sibuk dengan dunianya sendiri.
Aku berbalik memasuki kamar ketika merasa kepalaku mulai berat. Aku melepas lilitan handuk di rambutku dan meletakannya di kamar mandi. Tanpa mau repot-repot menyisir rambutku dulu, aku langsung kembali ke balkon. Membiarkan angin malam menerbangkan rambutku. Membuatnya sedikit lebih kering.
Aku sedikit tersentak saat sepasang lengan kokoh merengkuhku dari belakang. Dia. Nafasku, jantungku, hidupku, tujuanku. Segala-galanya bagiku—setidaknya untuk saat ini. Dia—
“Chanyeol-a.”
“Hmm.”
—Park Chanyeol, pria yang sangat kucintai—suamiku.
Tak ada yang membuka suara setelahnya. Aku membiarkan Chanyeol menarikku semakin mendekat padanya. membuat punggungku menempel pada dadanya yang bidang. Aku masih diam ketika bibirnya mulai menyentuh puncak kepalaku. Ugh, ini salah satu fakta yang tidak kusukai. Tinggiku bahkan tidak sampai lehernya. Hanya sebatas dada atasnya. Aku sempat memprotes, tapi jawaban Chanyeol membuat hatiku terasa sejuk.
“Itu karena kau memang di takdirkan untukku. Kau—dengan tubuhmu yang mungil, diciptakan agar aku bisa mendekapmu erat. Melindungimu dari apapun yang mungkin akan mengganggumu. Aku juga bisa menunjukkan pada orang-orang kalau kau seutuhnya milikku.”
Ugh, jangan bilang kalau wajahku merona. Pipiku mulai terasa panas. Untuk menutupi rasa gugup yang tiba-tiba mendera, aku menyandarkan kepalaku di dadanya. Memejamkan mata dan menghirup dengan rakus, aroma tubuh Chanyeol. Campuran antar parfum musk dan keringat yang menyengat—tapi sangat membuatku nyaman.
Aku merasakan dekapan Chanyeol mulai mengendur. Ada rasa tidak rela terselip di hatiku. Dengan cepat, aku menahan lengannya. Mengaitkan jari-jari kami dan kembali mengeratkan pelukannya. Kepalaku bergerak, berusaha mencari posisi ternyaman.
“Biar begini saja. Aku ingin merasakannya lebih lama.”
“Kau bisa merasakanya kapanpun kau mau, Sayang. Kau memiliki kuasa penuh atas diriku.”
“Tapi pekerjaanmu mempunyai kuasa penuh atas waktumu. Aku cemburu jika kau lebih sering berkutat dengan berkas-berkas di duniamu sendi—ergh.”
Aku tidak kuasa melanjutkan ucapanku ketika Chanyeol mulai menggesekkan ujung hidungnya di leher—bagian bawah telinga—ku.
Damn! Itu bagian sensitifku.
“Jadi istriku cemburu pada benda mati? Kekanakan sekali.”
“Biar saja.”
“Dengar, Sayang—”
Chanyeol kembali membuatku melenguh atas perlakuannya. Ditengah ucapannya dia masih sempat menggigit leherku pelan.
“—jangan pernah cemburu pada pekerjaanku. Sesibuk apapun aku, aku akan tetap kembali pada duniaku. Bukan dengan berkas-berkas sialan itu, atau bahkan dengan rekan kerjaku di kantor. Bersamamu. Hanya bersamamu.”
Astaga! Pria ini! Katakan padaku, bagaimana caranya agar aku tidak jatuh cinta padanya? Semua perkataan dan perlakuannya padaku selalu membuatku melayang.
“Sayang~”
“Hmm.”
“Kau mengganti shampoo-mu? Aku baru saja mencium aroma stroberi dari rambutmu, bukan apel seperti biasanya.”
“Aku kehabisan shampoo tapi ternyata mini market di bawah juga bernasib sama. Wae? Kau tidak suka?”
“Jangan bercanda. Aku selalu suka apapun yang ada padamu.”
Aku melepas pelukan Chanyeol dan berbalik menghadapnya. Kini aku bisa melihat garis wajahnya yang tegas. Chanyeol tersenyum lembut, dan aku membalasnya. Sementara Chanyeol melingkarkan lengannya di pinggangku, aku menangkup kedua pipinya. Kami sudah sangat dekat saat Chanyeol mendekatkan tubuh kami sampai benar-benar menempel. Tapi aku berhasil menciptakan jarak agar wajahku tidak menabrak dadanya yang bidang. Aku menengadah memandang wajahnya yang kini menatapku teduh. Tanganku masih menangkup kedua sisi wajahnya.
“Chanyeol-a..”
“Ya.”
“Aku mencintaimu.”
Aku sudah akan mencium bibirnya ketika dia—secara tiba-tiba—mengecup leherku. Suaraku berganti dengan lenguhan ketika Chanyeol mulai menggerakan bibirnya meyusuri lekukan leherku.
“Aku tahu.”
Aku kecewa. Chanyeol selalu begitu setiap aku menyatakan cinta. Percaya atau tidak, sekalipun dia tidak pernah mengatakan kata cinta padaku. Dia selalu berkata, : “aku menyayangimu”.
Heol, kalau itu sudah sejak lama aku mengetahuinya, Park Chanyeol.
Aku dan Chanyeol bersahabat sejak kecil. Rumah kami bertetangga. Selalu pergi kemanapun bersama. Kebersamaan kami membuat rasa yang lain tumbuh dalam diriku. Aku mengalami cinta sepihak yang menyakitkan. Pernah suatu ketika aku menanyakan bagaimana perasaan Chanyeol terhadapku, tapi jawaban pria itu hanya mampu melambungkan perasaanku lalu kembali menghempaskannya ke tanah yang keras.
“Aku menyayangimu tentu saja. Kau kan sahabatku.”
Baiklah, Park Chanyeol. Terima kasih.
Setelah pembicaraan itu, kami tetap menjalani hari-hari seperti biasa. Masih dengan aku sebagai sahabat Chanyeol dan Chanyeol sebagai orang yang kucintai diam-diam.
Tapi sebuah kejadian yang terjadi tepat sebulan sepuluh hari yang lalu, merubah segalanya. Kala itu aku dan Chanyeol—bersama beberapa teman kami—pergi ke sebuah klub. Sebagai orang dewasa yang cukup umur, kami tentu bisa minum-minuman beralkohol. Tapi tak ada yang tahu kalau sebenarnya aku paling tidak bisa minum. Demi menjaga gengsi, aku meneguk satu gelas penuh alkohol. Dan hasilnya? Aku mabuk berat. Aku tidak ingat apa-apa lagi setelah itu. Tapi yang kudengar, Chanyeol mengantarku pulang. Aku ingat kalau saat itu orang tuaku sedang tidak ada di rumah. Dan sialnya—atau mungkin untungnya—Chanyeol meninggalkan tas dan semua barang-barangku di klub, termasuk kunci rumahku. Mungkin Chanyeol membawaku ke rumahnya. Karena keesokan paginya, aku terbangun karena mendengar teriakan seseorang. Ayah Chanyeol, beliau memergoki kami tertidur di atas ranjang Chanyeol dengan posisi berpelukan.
Ini bencana—awalnya, sekarang aku menganggap itu anugrah terbesar. Ayah Chanyeol marah besar. Beliau menyuruh kami untuk segera menikah.
Heol! Kami tidak melakukan apapun malam itu. Pakaian kami pun masih lengkap. Tak ada yang terlepas—bahkan sepatu sekalipun. Baik aku dan Chanyeol berusaha mati-matian membela diri. Tapi gagal. Keluarga Chanyeol memang sepenuhnya keras kepala. Apalagi Chanyeol, disaat aku sudah diam saja, pria itu malah balik berbicara dengan nada tinggi pada ayahnya.
“Abeoji!! Kami bahkan tidak saling mencintai! Bagaimana mungkin Abeoji menyuruh kami menikah ?!?”
Tapi ternyata saat itu Ayah Chanyeol jauh lebih keras kepala. Dengan dalih malu dengan keluargaku, beliau bahkan menyuruh kami menikah keesokan harinya. Untuk yang satu itu, aku ikut menolaknya mentah-mentah. Akhirnya, setelah membicarakannya bersama keluargaku, aku dan Chanyeol menikah 3 hari kemudian.
37 hari pernikahan yang kujalani bersama Chanyeol memang membuatku senang—sangat. Tapi entah mengapa aku merasa hambar. Seperti pernikahan tanpa cinta pada umumnya. Meskipun tidak sepenuhnya seperti itu, aku mencintai Chanyeol. Sedangkan dia, —entahlah. Chanyeol tak pernah mengucapkan kata cinta padaku. Selalu menanggapi dengan datar, setiap pernyataan cintaku. Dia tak pernah mencium bibirku—tapi dia suka sekali mencium leherku. Kenyataan itu membuatku kesal, dia bahkan hanya mengecup keningku sebagai ciuman pernikahan. Kami juga belum pernah ehmm, berhubungan dalam tanda kutip.
Aku tersadar ketika tiba-tiba saja tubuhku terhempas ke atas tempat tidur. Hey, apa ada sesuatu yang kulewatkan? Tempat tidur berderit pelan. Aku bisa merasakan ada beban baru. Dan nafasku tercekat ketika menyadari beban itu adalah Chanyeol. Ya Tuhan, dia bahkan berada tepat di atasku.
Chanyeol tersenyum, entah mengapa aku membalasnya. Chanyeol meletakan tangan kirinya di sisi kepalaku. Menopang tubuhnya sendiri agak tak sepenuhnya menindihku. Sedangkan tangan kanannya mengusap pipiku dengan gerakan —err seduktif.
Aku masih belum bisa memahami keadaan yang sebenarnya ketika Chanyeol membenamkan wajahnya di lekukan leherku. Mencium, menghisap, menjilat dan memberi gigitan kecil di sana.
Alarm peringatan berdering di benakku ketika tangan Chanyeol mulai melepaskan simpul tali kimono-ku. Tanpa basa-basi aku langsung menahan tangannya untuk tidak berbuat lebih. Aku juga menjauhkan leherku dari jangkauan bibir Chanyeol. Menatapnya penuh arti, tapi Chanyeol hanya memberikan tatapan bingungnya padaku. Ah, bodoh! Meskipun kami dekat, aku tidak pernah bisa bertelepati dengan pria itu.
“Wae?”
Alih-alih menjawab, aku malah berusaha bangkit. Menyingkirkan tubuh besar Chanyeol dari atasku. Memilih duduk di tepi tempat tidur dengan kedua kaki memijak di lantai. Chanyeol ikut duduk di sisiku. Menatapku penuh tanya.
“Ada yang mengganjal di pikiranmu? Katakanlah!”
Aku berusaha untuk tidak mendesah ketika bibir Chanyeol mulai menyusuri leherku lagi.
“Chanyeol-a,”
“Hmm.”
Aku menjauhkan tubuhku. Jujur saja, sentuhan Chanyeol membuat pertahananku melemah. Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi sampai aku memastikan satu hal.
“Chanyeol-a a-apa—emm—apa tidak apa-apa jika kita melakukannya?”
“Apa maksudmu? Tentu saja. Kita sudah resmi, Sayang. Tidak akan ada seorang pun yang melarangku melakukannya padamu.”
“B-bukan begitu, tapi kau—”
“Aku?”
“Iya, kau. Apa kau tida—ergh.”
“Persetan dengan semuanya, Sayang.”
Aku tidak bisa menolak ketika sebelah tangan Chanyeol mendorong tubuhku agar berbaring. Pandangan mata kami bertubrukan. Dan itu seakan menghipnotisku. Aku tidak bisa melawan ketika Chanyeol kembali menyerang leherku. Tapi tidak lama, karena bibir pria itu, mulai menjamah dada bagian atasku. Dan itu memabukkan. Sungguh.
“Chanyeol~”
Aku tidak bisa untuk tidak menyebut nama Chanyeol dalam setiap desahanku. Pikiranku saat ini penuh akan pria itu, dan faktanya, memang dialah yang saat ini sedang mencumbuku.
“Chan—ergh~”
Aku merasa tersiksa jika tidak menyebut namanya ketika tangan besar Chanyeol mulai menyentuh dan mengelus lembut paha dalamku.
“Terus sebut namaku, Sayang.”
Baiklah Park Chanyeol, kau rajaku. Kau memiliki kuasa penuh atas hati, tubuh dan pikiranku. Perintahmu yang akan kulaksanakan. Aku tidak mau munafik, aku juga menginginkanmu. Seperti katamu tadi, persetan dengan semuanya.
Dan setiap lenguhan yang keluar dari bibirku mengiringi setiap langkah penyatuan kami. Mulai sekarang, aku sepenuhnya milik Chanyeol. Sedangkan Chanyeol? Ah, entahlah.
***
Suara denting spatula dan penggorengan meramaikan dapur apartemenku pagi ini. Menyiapkan sarapan untukku dan Chanyeol memang sudah menjadi rutinitasku setelah menikah. Sedangkan Chanyeol? Dia masih di kamar. Tapi mungkin sebentar lagi keluar.
“Kau membuatku khawatir.”
Benar kan? Chanyeol langsung memelukku dari belakang. Menumpukan dagunya di bahuku. Pipi kami menempel. Dan itu membuatku mendadak gemetaran.
“Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Chanyeol-a.”
“Kau tidak ada di sampingku saat aku terbangun.”
“Sebelumnya juga seperti itu. Jangan kekanakkan.”
“Seharusnya kau menungguku bangun. Memberiku ciuman selamat pagi, baru setelahnya kau baru boleh beranjak dari tempat tidur.”
“Astaga, sejak kapan ada peraturan konyol semacam itu.”
“Sejak semalam.”
Pipiku memanas. Astaga, ini obrolan sensitif di pagi hari. Tangan Chanyeol beralih pematikan kompor. Dia sudah memposisikan diri untuk menggendongku ala bridal, tapi aku buru-buru menahan lengannya.
“Ngomong-ngomong tentang semalam—”
Aku berhenti bicara saat menyadari Chanyeol berdiri topless di belakangku. Dia hanya memakai celana tidurnya saja. Astaga!
“Semalam?”
“Hmm, ada yang perlu kubicarakan, Chanyeol-a.”
Chanyeol diam, tapi dia menuntunku untuk berjalan ke arah sofa. Chanyeol mendudukan diriku si sampingnya. Dia juga menyandarkan kepalaku di bahunya, tak lupa membelai rambutku lembut. Park Chanyeol, bisakah kau berhenti memperlakukanku seperti ini?
“Ada apa? Dari semalam, kau terlihat kalut dan selalu gelisah.”
“Ada yang mengganjal di pikiranku semenjak pernikahan kita, Chanyeol-a. Dan itu semakin menjadi setelah apa yang kita lakukan semalam.”
“Hmm. Lalu?”
Aku beralih duduk tegap. Ini pembicaraan yang serius menurutku. Jadi mana bisa aku terus menerus bersandar pada Chanyeol.
“Perasaanmu. Apa perasaanmu akan baik-baik saja setelahnya?”
“Apa maksudmu? Hei, sebenarnya apa yang sedang kau bicarakan?”
“Aku merasa ada yang kurang dalam pernikahan ki—ergh~”
“Jangan bilang kalau kau tidak mencintaiku!”
“A—apa? Chanyeol—ergh.”
Aku tidak tahu bagaimana bisa sekarang Chanyeol memposisikan bibirnya menghisap leherku. Dan tangan kanan Chanyeol malah meremas dadaku pelan. Ayolah, ini serius. Tapi Chanyeol malah mengacaukan konsentrasiku.
“Chan—ergh. Kumohon berhenti!”
Aku menggigit bibir bawahku. Mencoba agar tidak mendesah atau Chanyeol akan menyerangku sekarang juga. Dengan susah payah aku mendorongnya menjauh. Astaga! Dia kuat sekali. Aku yakin dia tidak makan malam, setelah apa yang kami lakukan dan juga belum sempat sarapan, tapi entah mengapa aku masih kesulitan mendorong Chanyeol menjauh.
“Kumohon, Park Chanyeol. Izinkan aku memastikan sesuatu!”
“Apa yang akan kudapat jika aku mengizinkanmu?”
Chanyeol mengerling. Oh! Ini pertanda buruk. Aku tahu apa maksudmu, Tuan. Aku buru-buru menyingkirkan tangannya yang mulai menjamah dadaku lagi.
“Istriku sama sekali tidak romantis!”
“Ayolah, Park Chanyeol! Aku serius!”
“Aku juga serius!”
“Chanyeol!”
“Baiklah! Lakukan sesuamu!”
Well, aku tahu kau hanya berpura-pura, Chanyeol. Kau selalu melakukannya setiap merajuk padaku. Kau pikir umurmu cocok dengan tingkahmu sekarang? Melipat tangan di depan dada, dengan bibir mengerucut. Demi Tuhan! Kau terlihat seperti anak TK.
Aku meraih kedua pipi Chanyeol. Menolehkan wajahnya agar menghadapku. Aku bisa melihat kalau Chanyeol masih menolak untuk menatapku. Seperti biasa, aku mulai mendekatkan wajah kami.
“Aku mencintaimu.”
Bibirku sudah hampir menyentuh bibirnya ketika Chanyeol beralih menggenggam kedua tanganku. Dan mulai mengecup leherku.
“Aku tahu.”
Respon seperti biasa. Harusnya aku tahu akan seperti ini jadinya. Aku diam saja. Tak merespon apapun perkataan dan perlakuannya.
Air mataku menetes saat aku memejamkan mata. Ini sakit. Setelah kami benar-benar menyatu semalam, Chanyeol masih tetap sama. Baiklah, hanya akan menambah lukaku kalau aku mengatakan ini, tapi inilah kenyataannya. Semalam, aku berani menjamin tak pernah sekalipun Chanyeol menyebut namaku. Dia hanya memanggilku ‘sayang’—seperti biasa. Dan bibirnya, tak pernah sekalipun menyentuh bibirku.
“Hey, kau menangis?”
“Chanyeol-a, maaf.”
“Hey, tidak ada yang perlu dimaafkan. Tidak ada yang salah disini. Katakan padaku ada apa?”
Aku diam menunduk. Sampai akhirnya Chanyeol mengangkat daguku. Menatapku dengan pandangan khawatir—atau hanya pura-pura? Entahlah. Pandangan mataku kabur dan aku terlalu takut untuk membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
“Sayang~”
“Chanyeol-a, apa tidak akan ada yang berubah setelah kejadian semalam?”
Chanyeol mengernyit bingung. Dan aku hanya melempar tatapan jawab-saja padanya.
“Baiklah, meski sebenarnya aku masih tidak mengerti kemana arah pertanyaanmu, aku akan tetap menjawab. Tidak akan ada yang berubah. Aku jamin itu. Kecuali—”
Chanyeol mengusap perutku lembut.
“—mungkin tidak lama lagi, akan ada kehidupan baru disini.”
Chanyeol tersenyum, tapi mendapat senyuman super manis dari suamiku sendiri, malah membuat air mataku semakin deras.
“Hey, kenapa?”
“Chanyeol-a, apa setelah ini perlakuanmu padaku tidak berubah?”
“Ehm, sebentar biar kupikirkan.”
Chanyeol meletakan tangannya di dagu. Demi Tuhan! Kau membuatku semakin kalut, Tuan Park.
“Aku akan berubah. Aku janji—”
Ya Tuhan, tolong hentikan air mata ini.
“—aku janji akan semakin memperhatikanmu. Bertingkah lebih romantis, dan aku akan menjadikanmu prioritas dalam hidupku.”
Chanyeol menangkup pipiku. Ibu jarinya menghapus air mata yang masih mengalir deras.
“Asal kau juga berjanji, untuk tidak pernah menangis lagi. Itu membuat dadaku sesak, Say—”
Aku menepis tangan Chanyeol kasar. Membuat Chanyeol menatapku dengan pandangan aneh.
“Berhenti mempermainkanku, Park Chanyeol! Kau selalu saja seperti ini! Kau selalu memperlakukanku dengan sangat manis! Aku seutuhnya milikmu dan kau…kau—”
Aku menghela napas.
“—aku bahkan sama sekali tidak memiliki hatimu! Ini menyakitkan, Chanyeol-a.”
“Katakan semua yang ada di hatimu selama itu bisa membuatmu tenang. Tapi setelahnya, kau harus berjanji untuk memberiku kesempatan untuk berbicara.”
Aku menatap Chanyeol penuh tanya. Ekspresinya datar. Tapi bukan itu poin pentingnya. Mengenal Chanyeol lebih dari 2/3 hidupku membuatku mengerti pria itu luar dalam. Chanyeol tak pernah sekalipun mau mengalah. Meskipun aku selalu membawa gender dimana pria sejati itu mau mengalah pada seorang yeoja, tapi Chanyeol akan terus bersikukuh pada pendiriannya. Maka tak jarang, aku dan Chanyeol hampir selalu berakhir dengan perang mulut setiap harinya.
Aku menarik napas panjang. Mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatan untuk menyampaikan apa yang selama ini berkecamuk dalam hati dan pikiranku.
“Aku mencintaimu.”
“Hanya itu? Kau sudah sering mengatakannya, Sayang.”
“Itu pokok permasalahannya, Chanyeol. Aku mencintaimu tapi kau—”
Nafasku memburu. Dadaku naik turun. Baiklah, kurasa aku mulai emosi.
“—kau sama sekali tidak pernah mencintaiku! Kau hanya menjawab ‘aku tahu’ dan setelahnya berbalik mencium leherku. Menggagalkan upaya-ku untuk memcium bibirmu. Orang bilang, ciuman dibibir adalah tanda cinta. Sedangkan kau sendiri tidak pernah melakukannya. Kau langsung saja mencium leherku! Apa menurutmu aku hanya pelampiasan nafsumu saja?!? Kau juga tidak pernah mengatakan kata cinta padaku! Kau pikir bagaimana perasaanku saat kau tidak pernah membalas pernyataan cintaku?!? Sakit, Park Chanyeol!! Ak—empp“
Aku tidak mampu menyelesaikan kalimatku. Karena Chanyeol langsung menciumku. DI BIBIR. Baiklah ini agak aneh. Seaneh sensasi yang kurasakan sekarang. Rasanya berbeda. Tidak seperti ketika Chanyeol mencium leherku atau bahkan bagian tubuhku yang lain. Rasanya seperti—entahlah. Yang jelas aku menyukainya. Sangat sangat menyukainya.
Chanyeol menciumku secara membabi buta. Dia bahkan tidak memberiku kesempatan bernapas. Astaga! Artinya sama saja dengan pelampiasan nafsu. Tapi aku tak peduli. Ini yang kuinginkan. Setelah bermenit-menit berlalu, ketika Chanyeol agaknya mulai menyadari kerepotanku mengimbangi permainannya. Chanyeol melepaskan tautan kami tepat disaat kesempatan bernapasku mencapai titik terendah.
Chanyeol mengusap bibirku dengan ibu jarinya. Dia tersenyum lembut. Tapi aku tak mau membalasnya.
“Argh! Sudah kuduga aku tidak akan bisa berhenti.”
Aku belum bisa memahami apa yang Chanyeol katakan, tapi Chanyeol kembali memciumku. Kali ini lebih lembut tidak tergera-gesa seperti tadi.
Chanyeol menjauhkan wajahnya.
“Sebenarnya aku tidak rela, tapi aku harus melepaskannya. Ada yang harus kujelaskan. Kemarilah.”
Chanyeol menepuk pahanya. Menyuruhku duduk di pangkuannya. Aku masih enggan beranjak, tapi Chanyeol malah menarik tanganku. Posisiku kini duduk menyamping, aku bisa menatap Chanyeol dengan jelas, begitupun dengan pria itu. Chanyeol mengecup bibirku singkat sebelum akhirnya berdeham pelan.
“Ada yang tidak kau mengerti disini. Aku tidak pernah berkata cinta, bukan berarti aku tidak mencintaimu. Kau harus tahu kalau aku sangat sangat mencintaimu, No—ah, tidak. Kau sudah tidak pantas kupanggil Nona lagi, Nyonya Park.”
Pipiku memanas. Untuk pertama kalinya, Chanyeol memanggilku menggunakan marganya. Dan mau tak mau, aku melambung karenanya.
“Alasan kenapa aku tidak pernah menyatakan cinta, karena bagiku, kata-kata saja tidak cukup untuk mewakili perasaanku. Lagi pula, bagaimana kau bisa menyimpulkan kalau aku tidak mencintaimu jika setiap waktu aku selalu berlaku mesra padamu?”
“Kau hanya berkata ‘aku menyayangimu’ setiap aku bertanya, Park Chanyeol! Bagaimana aku bisa berpikir dengan benar jika jawabanmu saja seperti itu.”
“Apa ada yang salah? Faktanya aku menyayangimu, Sayang.”
“Kau sudah mengatakannya semenjak kita masih bersahabat, Chanyeol. Kupikir itu sama saja. Kau menyayangiku, karena aku adalah sahabatmu.”
“Begini, kuakui kalau aku adalah orang yang complicated. Aku menyayangimu sebagai sahabat, dan aku mencintaimu sebagai istriku. Aku hanya ingin, setelah kita menikah. Tak ada yang berubah. Kau tetap bersikap seperti bagaimana kita dulu. Kau pasti ingat kalau kita menikah karena perintah orang tua kan?”
Aku mengangguk. Aku tidak akan pernah melupakan itu. Tanpa ada campur tangan mereka, aku tidak akan ada disini sekarang.
“Aku tidak mau jika setelahnya, diantara kita akan jadi canggung. Seperti kebanyakan kisah pernikahan dengan campur tangan orang tua pada umumnya. Tanpa ada cinta dan hanya karena paksaan, justru akan menimbulkan suasana dingin dan tidak harmonis.”
“Apa maksudmu dengan tidak-ada-cinta? Apa awalnya kau tidak mencintaiku? Itukah sebabnya kau menjadi orang yang paling bersikeras menolak perintah Abeonim?”
Chanyeol mengangkatku dari pangkuannya. Mendudukanku di sofa. Ya Tuhan, sekurus itukah tubuhku? Kenapa Chanyeol bisa melakukannya dengan mudah? Pria itu bangkit tanpa berkata sepatah kata pun. Aku menatap punggungnya yang menghilang dibalik pintu kamar kami. Apa dia marah? Memangnya apa yang salah dari perkataanku? Aku kan hanya berkata yang sebenarnya.
Aku langsung duduk tegap ketika merasakan sofa kembali diduduki. Chanyeol.
“Aku tahu kau tidak akan berani menolak perintah Abeoji. Itu sebabnya aku yang maju. Aku sendiri mau-mau saja kalau disuruh menikah denganmu. Sekedar informasi saat itu aku sudah mencintaimu. Tapi aku tidak mau menyakiti perasaanmu, aku tahu kalau saat itu kau tidak mencintaiku. Itu sebabnya, aku menolak.”
“Tapi a—”
“Jangan menyela! Kau ingat ini?”
Aku menatap buku berwarna coklat muda di tangan Chanyeol dengan bingung. Rasanya aku pernah melihat buku itu, tapi dima— Astaga! Itu buku harianku. Buku harian yang kutulis semasa SMA. Baiklah, aku mengerti sekarang. Chanyeol pasti salah paham pada isi buku harian itu. Buku itu menjadi tempat aku menceritakan segala hari-hariku di SMA. Dan di bagian terakhir—
“Aku benci Park Chanyeol! Aku benci karena dia tinggi. Aku benci karena dia tampan. Aku benci karena dia populer. Aku benci karena dia adalah sahabatku. Aku benci saat melihatnya di kerumuni para gadis. Karena itu akan membuat si bodoh Park Chanyeol menunjukkan senyum konyolnya. Aku benci karena dia—emm, ngomong-ngomong tulisan apa ini? Kau memberikan coretan tak jelas hingga aku tidak bisa membacanya. Kau bahkan menggambar sketsa wajah yang jelek sekali. Kau bilang aku tampan, tapi kenapa kau menganggap gambar tidak jelas ini adalah aku?”
Aku kehabisan kata-kata ketika Chanyeol membaca paragraf yang ku tulis di halaman terakhir. Aku juga bingung harus memberikan jawaban seperti apa untuk pertanyaan yang dia lontarkan.
“Kau dapat buku itu dari mana?”
“Aku menemukannya di rumah. Kau ingat saat kita belajar bersama di rumahku menjelang ujian akhir? Mungkin kau meninggalkannya secara tidak sengaja waktu itu.”
“Kenapa kau malah membacanya? Kenapa tidak langsung mengembalikannya padaku?”
“Dan membiarkanmu memarahiku sepanjang hari? Tidak. Terima kasih.”
Tak ada yang bersuara setelah itu. Aku sibuk merutuki pikiran bodohku selama ini, sedangkan Chanyeol? Entahlah. Aku tidak menemukan fokus di matanya.
“Bicara tentang ciuman di bibir—”
Aku menggigit bibir bawahku. Bayangan ketika Chanyeol mencium bibirku, melintas begitu saja.
“Ini sedikit memalukan. Tapi kurasa aku harus mengatakannya. Aku tidak mau membuatmu salah paham lagi.”
“Apa?”
“Bisa di bilang aku terobsesi pada bibirmu.”
“A-apa?”
“Kau tidak salah dengar, Sayang. Aku terobsesi pada bibirmu. Sudah sejak lama aku merasakan getaran aneh hanya dengan melihat bibirmu. Itu sebabnya aku memilih untuk tidak menciummu di bibir. Aku takut aku tidak bisa berhenti. Dan ternyata benar, contohnya yang tadi itu.”
Blush~
Baiklah, kurasa wajahku benar-benar merah sekarang. Untuk menghilangkan rasa gugup, aku meninju perut Chanyeol pelan.
“Mesum!”
“Tidak ada yang melarang seorang suami berbuat mesum pada istrinya sendiri.”
“Chanyeol!”
“Apa? Kau tidak mau? Kau lebih rela melihatku berbuat mesum pada wanita lain ya?”
“YA!”
“Hahaha.. Hanya bercanda, Sayang. Lagi pula, bagaimana aku akan menyentuh wanita lain jika hanya dengan melihat bibirmu saja, aku langsung menginginkanmu.”
Harusnya aku sadar tentang apa yang Chanyeol inginkan begitu tangannya mengelus pipiku dan mulai membaringkan tubuhku hingga bersandar pada lengan sofa. Dia benar-benar menginginkanku..
“Aku senang karena bisa memilikimu seutuhnya semalam.”
“Kau harusnya tahu kalau aku benar-benar milikmu sejak mengucap janji suci.”
“Apa itu artinya kau bahkan tidak keberatan jika aku menyerangmu saat itu juga?”
“B-bukan begitu.”
“Kenapa? Kau tidak merasakan bagaimana tersiksanya aku yang harus menahan semuanya hingga semalam.”
“Itu salahmu sendiri. Kenapa tidak melakukannya sejak lama?”
Chanyeol tidak menjawab. Tapi dia mendekatkan tubuhnya. Memposisikan dirinya berada di atasku. Dengan jarak sedekat ini, aku bisa mencium aroma musk favorite-nya. Heol, dia bahkan belum mandi sejak semalam. Tanganku yang sebelumnya berada di sisi tubuhku, perlahan bergerak menyurusuri dadanya yang bidang hingga berakhir mengalung di lehernya.
“Aku mencintaimu, Park Chanyeol.”
“Aku juga sangat mencintaimu, Sayang.”
Aku tertegun. Pandanganku terkunci pada mata Chanyeol yang kini tengah menatapku teduh.
“Kau tidak sedang berpikir aku akan menjawab ‘aku tahu’ lagi kan? Aku tidak akan melakukannya lagi, Sayang. Aku tidak ingin itu berakhir dengan kesalah pahaman lagi. Jika kau menginginkan, aku akan mengatakan kata cinta sesering yang kau mau.”
“Kau sudah menjelaskannya tadi. Aku saja yang berpikir dangkal. Mianhae.”
“Meski begitu, aku akan tetap melakukannya. Aku hanya ingin menunjukkan kalau aku sangat sangat mencintaimu. Bagaimana kalau aku memanggilmu dengan sebutan Honey? Atau mungkin Sweetheart? Ah, bagaimana kalau Yeobo?. Bukankah itu sangat Korea? Jadi bagaimana Yeobo? Kau setuju? Yeobo~”
“Hentikan, Chanyeol! Itu menggelikan!”
“Yeobo~”
“Park Chanyeol!”
“Baiklah.”
Chanyeol melepaskan kaitan tanganku di lehernya. Langsung bangkit dari posisinya dan serta merta menggendongku ala bridal. Membuatku tersentak kaget.
“Izinkan aku menunjukkan rasa cintaku yang sebenarnya, Sayang.”
Oh, tidak!
Chanyeol membawaku ke kamar kami. Ini pertanda. Hei! Kami bahkan belum sempat sarapan. Dari mana aku mendapat energi untuk mengimbangi permainannya nanti. Dasar tidak tahu aturan! Bagaimana dia bisa memperlakukanku semena-mena seperti itu. Oops, maaf. Aku malah mengatakan hal yang seharusnya menjadi rahasiaku dan Chanyeol.
Aku memukul-mukul dadanya saat Chanyeol mendorong pintu kamar yang tidak tertutup dengan bahunya. Kakiku juga terus menerus menendang udara. Berharap Chanyeol jengah dengan perlawanan yang kuberikan hingga mau menurunkanku.
“YA! PARK CHANYEOL!!! KUBILANG TURUNKAN AKU!!!”
“Berhenti berteriak, Sayang. Sebaiknya kau simpan suaramu untuk hal yang lebih berguna nanti.”
Chanyeol menghempaskan tubuhku ke tempat tidur. Aku bersyukur karena kasur kami sangat empuk. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasib punggungku jika kasur kami sekeras batu. Demi Tuhan! Chanyeol seperti mengerahkan tenaganya ketika menghempaskanku. Tubuhku masih memantul kecil ketika Chanyeol menyusul. Menambah beban di kasur—menindihku. Kakinya mengapit kakiku sehingga menghentikan aksi perlawanan yang kuberikan. Dia semakin menekan kebawah hingga dada kami hampir bersentuhan. Ugh, tidak sadarkah kalau kau itu berat Park Chanyeol?
“PARK CHANYEOL MENYINGKIR DARI TUBUHKU!! KAU ITU BERA—empphh~”
Baiklah. Suamiku memang benar-benar diktator jika sudah berurusan dengan err—ranjang. Kurasa, aku tidak akan pernah bisa melawan keinginannya meskipun semalam kami baru saja melakukannya.
Mungkin sekarang adalah saat yang tepat untukku menutup tirai. Ini privasi kami. Nantikan saja kisah-kisah kami selanjutnya. Jika ada yang menarik, aku berjanji akan berbagi. Annyeong….
Epilog
Aku benci Park Chanyeol! Aku benci karena dia tinggi. Aku benci karena dia tampan. Aku benci karena dia populer. Aku benci karena dia adalah sahabatku. Aku benci saat melihatnya di kerumuni para gadis. Karena itu akan membuat si bodoh Park Chanyeol menunjukkan senyum konyolnya. Aku benci karena dia
Kkeut