Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Hanya Sebuah Nama

$
0
0

HANYA SEBUAH NAMA

Author                                  : Jlo

Genre                                   : family, friendship, comedy

Rating                                   : G

Karakter                               :

All EXO’s members

Kim Jongin (as known as Kai in EXO )

Kim Junmyun (as known as Suho in EXO )

Park Chanyeol ( as known as Chanyeol in EXO )

Kim Jongdae ( as known as Chen in EXO )

Byun Baekhyun ( as known as Baekhyun in EXO )

Zhang Yixing ( as known as Lay in EXO )

Oh Sehun ( as known as Sehun in EXO )

Wu Yi Fan ( as known as Kris in EXO )

Do Kyungsoo ( as known as D.O in EXO )

Lu Han ( as known as Luhan in EXO )

Kim Minseok ( as known as Xiumin in EXO )

Huang Zitao ( as known as Tao )

Support Cast

Sandara Park ( as known as Dara in 2NE1 )

NOTE : FF ini pure dibikin saat EXO OT12! [WARNING] Dan ini hanyalah FF! Jika ingin membaca karya author lainnya kunjungi >>> imaginasfanfic94.wordpress.com ^^ Gomawo ^^

^^ HAPPY READING ^^

 

-Jlo Present-

Andai, jika kami terlahir, tumbuh bersama mewujudkan satu mimpi, menggenggam dunia.

That is just a name…

***

When the skies and the grounds were one legends…

Teriakan mereka terdengar jelas, berbaur bersamaan sound system yang tertancap ke layar.

…through there twelve forces nurtured the tree of life. An eye of red forces created the evil which covered the heart of tree of life and the heart slowly grew dry…

Semua mata tertuju, berpusat pada satu titik, menanti kehadiran kami mengguncang panggung besar ini.

…to intent an embrace for heart of tree of life…

Pohon kehidupan akan menjadi saksi mimpi – mimpi kami.

…the legends hereby divide the tree in half and hide each side hence time is overturned and space turns askew…

Kami, legends yang akan menginspirasi dunia, membangun mimpi-mimpi menjadi sebuah kenyataan. Jiwa kami bersatu, menghapus semua rasa ketidakpercayaan.

The twelve forces divide into two and create two suns that look alike, into two worlds that seem alike…

Dua belas raga bersatu menjadi sebuah kekuatan. We are One.

The legends travel apart. The legends shall now see the same sky but shall stand on different grounds, shall stand on the same ground but shall see different skies. The day the grounds beget a single fault before one sky in two worlds that seem alike, the legends will greet each other…

Meskipun kami terlahir dari latar belakang yang berbeda. Namun takdir Tuhan selalu membawa kami ke dalam dimensi waktu yang sama. Kami bukan dilahirkan menjadi para pecundang, tapi kami adalah sebuah harapan masa depan. Karena jiwa kami terlahir sebagai…

***

Ilsan terlihat mendung. Langit biru berganti hitam kelabu. Semenjak pagi keadaan kota itu tetap sama. Petir layaknya berperang bagaikan sengatan listrik, merambat cepat ke segala arah.

Sepasang mata sayu menghadap ke luar jendela, memperhatikan keadaan jalan yang semakin sepi. Dahi dan sepuluh jari mungilnya menyentuh jendela yang berdebu. Bocah itu mencermati aliran air hujan yang membasahi kaca jendela tersebut. Lalu, kedua matanya merapat, melihat kilatan petir yang tertuju padanya. Ia terdiam di tempat dengan debaran jantung yang mendesak paru-parunya, merasa kaget luar biasa.

Bruk!

Bocah itu berpaling, mencari-cari pelaku yang berani melemparinya dengan sebuah bantal. “Hey…” teriaknya tertahan, bola matanya berputar, tertuju ke sudut ruangan yang terbilang cukup sempit untuk diisi dengan dua tempat tidur bertingkat. Napasnya naik turun, berusaha sabar.

“Kenapa berteriak? Tutup mulut besarmu!” Balas bocah si pelempar bantal. Sedangkan si bocah yang terkena lemparan memasang wajah kesal. Iapun melangkah maju menuju tempat tidur bertingkat yang berada di depan tempat tidur bocah si pelempar bantal. “Sehun-ah! Tutup tirainya dulu baru kau tidur!”

Bocah yang bernama Sehun itu kembali berbalik ke arah jendela, hendak menutup tirai. Raut wajahnya terlihat semakin kesal karena tidak dapat melakukan perlawanan ataupun membantah mungkin. Ia selalu mengalah. Lagi pula Sehun merasa lelah berurusan dengan bocah itu. Ia lebih memilih menurut patuh.

Samar, kedua matanya melihat sebuah mobil hitam terparkir di bawah bangunan yang ditempatinya. Rasa penasaran menggeluti pikirannya. Kedua mata Sehun kembali melebar berusaha melihat pemilik mobil bergaya klasik itu. Dua orang dewasa, bertubuh jangkung dengan mengenakan setelan jas hitam.

Bruk!

“Ya! Apa yang kau lihat? Aku sudah menunggu dari tadi,cepat lakukan kalau kau tak mau menerima pukulan dariku!” bocah itu tak sabar karena tanggap Sehun yang lambat sekali. Ia kembali melempar Sehun dengan bantal guling miliknya. Sehun menghela napas panjang, kepalanya seperti ingin meledak mendengar keluhan bocah itu. Sehun berjongkok, lantas mengambil guling yang terjatuh. Merasa sebal, ingin membalas juga.

“Jongin! Kenapa kau selalu menyalahkan si cadel itu?” Kali ini terdengar suara parau dari arah pintu kamar mereka. Seorang bocah setinggi ganggang pintu tengah menatap Jongin dan Sehun bergantian. Bocah itu menggelengkan kepalanya seraya menutup pintu kamar. Ia baru saja dari kamar mandi, menyikat gigi sekaligus membasuh wajah.

Bocah itu berkacak pinggang, bertingkah memberi nasehat. “Ckckck selalu saja bertengkar! Kapan kalian akan tumbuh dewasa?” Sindir bocah itu seraya naik ke atas kasurnya. Bergaya sok bijak.

“Yixing hyung! tutup mulutmu!” teriak Jongin dan Sehun bersamaan.

Bruk! Bruk!

Dua buah bantal empuk hendak menyentuh tubuh Yixing, namun gagal karena ia lebih dulu menangkis serangan itu dengan kedua tangannya. Layaknya seorang Ultraman yang sedang bertarung. “Tenang saudara-saudara…” Yixing mengangkat kedua tangannya di udara. “aku akan segera tidur…” serunya dari atas ranjang.

Hal serupa juga terjadi di ruangan yang bersebelahan dengan kamar Sehun, Jongin dan Yixing. Ruangan itu ditempati oleh dua orang bocah yang memang hobi membuat suasana ramai dan bising. Mereka Chanyeol dan Baekhyun, dua sejoli yang selalu menghabiskan waktu bersama.

“Yeoli!” Baekhyun berteriak seraya melipat tangan di depan dada. Pipinya mengembung dan bibirnya mengerucut. Baekhyun terlihat seperti badut kepanasan.

Yeoli, begitu Baekhyun memanggil Chanyeol. Dua minggu yang lalu Chanyeol resmi menjadi penghuni panti asuhan ini. Berita yang tidak menyenangkan menimpa keluarganya. Ayah dan Ibu Chanyeol kecelakaan, karena tidak ada keluarga yang mengadobsi Chanyeol, kemudian ia dititipkan di panti asuhan.

Chanyeol tidak keberatan dengan hal itu, kecelakaan adalah masa lalu, ia harus tetap bangkit dari rasa terpukul karena ditinggal orangtua yang membesarkannya selama ini. Lagi pula Chanyeol sekarang tidak sendiri, teman-teman di panti asuhan ini telah menjadi bagian dari keluarganya, dan juga Baekhyun selalu mendukungnya. Meskipun terkadang Baekhyun terkesan menyebalkan, sedikit keras kepala dan tidak mau mengalah tapi Chanyeol mengabaikan hal-hal itu. Baekhyun sekarang sahabat karibnya. Chanyeol terkenal sebagai anak yang cepat beradaptasi, periang dan easy going. Itulah alasan terkuat Baekhyun ingin menjadi teman dekatnya.

Chanyeol menyembulkan kepala besarnya dari balik selimut. Kedua matanya masih setengah terpejam. Chanyeol menguap pelan. “kenapa kau berteriak Baekki?” Lihat, betapa akrabnya mereka sampai-sampai memiliki panggilan masing-masing –yang tentunya mereka sendiri yang membuat nama panggilan itu. Yeolli dan Baekki.

Baekhyun menaiki ranjang Chanyeol –masih dengan wajah cemberutnya. Chanyeol mengubah posisi menjadi duduk, memperhatikan raut wajah Baekhyun. Sesuatu yang buruk pasti terjadi pada anak ini. Pikirnya. “ada apa? kau mengganggu jam tidurku Baekki!” Chanyeol menggerutu pelan. Chanyeol kembali berbaring, menarik selimut hingga menutupi separuh badannya. Baekhyun berdehem keras, menendang-nendang kaki Chanyeol pelan. “ kau pasti yang menyembunyikan poster Taeyeon ku kan?”

Chanyeol mendengus, menggaruk-garuk daun telinganya. “ apa? mana mungkin! Coba kau cari lagi, kau kan selalu lupa menaruh barang! Itu kebiasaan burukmu Baekki!” nada bicara Chanyeol sedikit meninggi. Jelas ia tidak terima, dituduh melakukan hal yang dia sendiri tidak melakukannya. Chanyeol kini menarik selimut hingga menutupi seluruh badan. Ia tidak mau mendengar tuduhan Baekhyun lagi.

Baekhyun tetap keras kepala. Ia sangat yakin, kalau Chanyeol lah dalangnya. “kau pasti yang menyembunyikan Taeyeonku!” teriak Baekhyun, namun Chanyeol tidak menanggapi. Si jangkung itu tetap mempertahankan posisinya. Sama sekali tidak bergerak.

Baekhyun semakin sebal dan memukul punggung Chanyeol membuat Chanyeol terbangun. “aish! Ada apa denganmu?” Chanyeol tak kalah berteriak, membuat Baekhyun menutup mata karena Chanyeol berteriak tepat di depan wajahnya. Wajah Baekhyun tertekuk, menatap seprai kasur bermotif Mickey Mouse itu.

Suasana menjadi hening, Baekhyun ataupun Chanyeol tak bersuara. Dentuman jam dinding di kamar itu terdengar memecah kesunyian diantara mereka. Chanyeol kembali duduk, tangannya menyentuh kepala Baekhyun yang masih tertunduk.

“Ayo kita cari bersama-sama…” ucap Chanyeol pelan berusaha menenangkan perasaan Baekhyun yang semakin kacau. Baekhyun memang penggemar berat Taeyeon, member SNSD itu. Hidupnya akan hampa jika seharian tidak melihat wajah Taeyeon, memang terdengar sedikit berlebihan, tapi Chanyeol sangat tahu akan hal itu. Mereka harus mencari satu-satunya benda kesayangan Baekhyun.

Baekhyun kembali melirik Chanyeol. Pantulan cahaya lampu menyorot wajahnya. Chanyeol menarik napas. Ia sadar betul, teriakannya tadi membuat Baekhyun sedih. Chanyeol kemudian menarik lengan Baekhyun menuruni ranjang. “coba kau ingat-ingat, dimana terakhir kali menaruh poster itu?” ucap Chanyeol dan beralih memasang kacamata tebalnya.

Baekhyun menghapus sisa air matanya dengan punggung tangan. Bocah itu berpikir, mengingat-ngingat kembali aktivitas yang ia lakukan hari ini. Chanyeol duduk di tepi ranjang seraya menunggu jawaban Baekhyun. Baekhyun menggeleng. Chanyeol menghembuskan napas, berharap Baekhyun menemukan titik terang, namun sayang ia sama sekali tidak ingat.

“ baiklah…ayo kita cari…” Chanyeol berseru pelan. Si jangkung itu beranjak mencari-cari benda kesayangan Baekhyun. Langkahnya sangat lihai memeriksa barang-barang yang ada. Lemari, meja belajar, di bawah ranjang, di balik selimut, di bawah bantal, ataupun di bawah kasur –mungkin saja Baekhyun tidak sengaja menaruh poster itu di sana. Siapa tahu.

Dan hasilnya nihil. Taeyeon hilang bagaikan ditelan bumi. Dimanapun mereka mencari, benda -lapisan kertas dengan ukuran tak melebihi separuh badan Baekhyun itu tetap tidak menunjukkan keberadaannya. Baekhyun semakin putus asa.

Krek!

Chanyeol dan Baekhyun serempak menoleh ke arah pintu kamar. Benda kayu itu separuh terbuka, sebuah kepala menyembul di baliknya, memberikan tatapan selidik. Kemudian pintu itu terdorong ke depan hingga terlihatlah seorang bocah, berdiri dengan senyuman lebar.

Tingginya menyaingi tubuh Chanyeol. Bocah itu tak kalah jangkung, sangat kurus –seperti mengidap penyakit cacing dan sedikit bungkuk. Chanyeol menatapnya lamat-lamat. Bocah yang berdiri di depannya ini terlihat menyembunyikan sesuatu dari balik tubuhnya. Ia menggenggam sesuatu. “ kenapa kalian belum tidur?” tanyanya.

“ada apa hyung?” Chanyeol tidak menjawab. Ia malah balik bertanya. Bocah itu memutar kedua bolamatanya. “tidak aku hanya mencek…” jawab bocah itu sekenanya. Lalu tubuhnya berbalik, lantas menutup pintu.

“tunggu…” Chanyeol berseru, menghentikan aksi bocah itu. Chanyeol berjalan menghampirinya. Bocah itu berbalik. “kenapa?”

“apa yang kau sembunyikan?” Chanyeol memberikan tatapan selidik. Bocah itu kembali tersenyum lebar, lalu memperlihatkan sebuah benda dari balik tubuhnya. Benda itulah yang membuat Baekhyun putus asa. Benda itu yang membuat dia dan Chanyeol sempat berdebat. Dan benda itu juga yang membuat ia dan Chanyeol semakin dekat.

Dahi Chanyeol mengerut, ke dua tangannya terlipat di depan dada. Ribuan umpatan hendak terlontar dari mulutnya.

hyung?” Baekhyun yang dari tadi hanya menjadi pengamat ikut menghampiri bocah yang ia panggil hyung itu.

“aku hanya meminjamnya sebentar hehe…” bocah itu semakin melebarkan mulutnya, hingga deretan giginya yang kurang rapih terlihat. Ia terkekeh pelan, berpura-pura tidak bersalah. Bocah itu menaruh tangan tepat di atas kepalanya. “ aku hanya…” kedua jari telunjuknya saling berputar, ia mencoba mencari-cari alasan. Sementara itu Chanyeol dan Baekhyun menghujam bocah itu dengan tatapan tajam. Terlebih Baekhyun dengan wajah yang memerah, sepertinya ia ingin menendang bocah itu jauh-jauh dari hadapannya.

hyung!” teriak mereka bersamaan.

BUK! BUK!

***

Bangunan tua itu tetap berdiri kokoh. Di sekitarnya terlihat banyak sekali pohon ek, dan berbagai macam bunga yang memang sengaja ditanam agar tampak lebih asri dan nyaman. Sedangkan di atas gerbang terdapat sebuah papan kayu yang berukuran sedang. Meskipun bentuk dan modenya ketinggalan jaman, tapi tulisan hangul yang tertulis di sana sangat jelas menginformasikan bahwa tempat ini adalah sebuah panti asuhan.

Panti Asuhan Jundamyeon.

Panti Asuhan ini sangat unik. Bukan karena bangunan, pengasuh, ataupun lokasinya yang dekat dengan pusat kota, tapi tempat ini memiliki anak-anak yang unik. Dua belas anak dengan keahlian dan kharakter yang berbeda namun memiliki satu mimpi yang sama. Mereka bercita-cita membentuk sebuah grup musik bernama…

EXO!

Sosok dua pria jangkung dengan setelan jas hitam melangkah melewati gerbang. Mereka berjalan di bawah payung transparan lalu mengedarkan pandangan, melihat-lihat keadaan panti asuhan itu. Dua bangunan berlantai dua dengan dekorasi era 60an mendominasi. Sebuah lapangan berpasir melingkar di bagian tengah. Satu lagi, terdapat jembatan beton menggantung di tengah-tengah dua bangunan tersebut, sebagai jalan penghubung.

Mereka berhenti di depan bangunan itu, lantas menginjak koridor yang berlantai beton. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, terlihat seorang wanita berparas tua ke luar melalui pintu depan. Ia adalah pengasuh sekaligus pengelola panti asuhan. Wanita tua itu maju beberapa langkah. Di bawah matanya terdapat lingkaran hitam, membuktikan kalau ia tidak tidur semalaman dan terlihat jelas kalau ia sedang menanggung beban berat dalam batin dan raganya. Namun senyuman hangatnya mampu melunturkan wajah letih itu “maaf menunggu lama…” ujarnya pelan menyapa tamu tak diundang.

Pria-pria itu membalas sapaan hangat si wanita tua. Salah seorang dari mereka –pria yang memiliki jambang- membuka pembicaraan “ tempat ini tidak terlihat begitu buruk, nyonya Park…” pria berjambang itu kembali memutar badan, melihat-lihat sekeliling. Kedua matanya menelusuri setiap sisi panti asuhan itu.

Wanita yang disapa Nyonya Park itu menoleh. Iapun mengubar senyum, terlihat kerutan-kerutan tipis di ujung kedua matanya. “ ya begitulah…” nyonya Park menarik napas kemudian melanjutkan “ sangat disayangkan jika tempat ini akan segera dialihkan…” Nyonya Park menekan nada suaranya, merasa kecewa dengan posisi panti asuhan ini. Ia juga harus memikirkan nasib keduabelas bocah yang menjadi penghuni tempat ini.

Pria yang satunya berdehem. Ia kemudian menjawab ucapan putus asa nyonya Park “ kami berharap juga demikian nyonya…”

Nyonya Park menunduk, masih kecewa. Ia berharap dapat mempertahankan panti asuhan ini, atau setidaknya mereka memikirkan nasib bocah-bocah malang itu. Bagaimana dengan mereka nantinya, apakah akan menjadi anak-anak terlantar? Sementara anak-anak itu tak kunjung diadobsi. Justru hal itu semakin membuat Nyonya Park merasa terpukul. Setahun lagi tempat ini akan musnah, tergantikan dengan sebuah lapangan hijau sebagai pusat taman kota Ilsan.

***

Detak jam dinding terdengar begitu jelas. Ruangan kerja nyonya Park kembali sunyi setelah ditinggal tamu-tamunya dua puluh menit yang lalu bersamaan dengan hujan yang mereda. Malam yang dingin seakan mencerminkan suasana hatinya. Wanita itu bersandar di kursi kerjanya. Raut wajah nyona Park semakin terlihat lelah, pertemuan dirinya dengan dua pria tadi menambah beban pikirannya. Satu hal yang ia cemaskan, anak-anak tak berdosa itu. Ia harus segera mencari keluarga angkat ataupun panti asuhan yang mau menampung mereka.

Nyonya Park menekan dahi dengan ibu jarinya. Sekeras apapun ia berpikir, jalan keluar itu belum juga terlintas. Sesekali nyonya Park melirik jam dinding, menunjukkan pukul sebelas malam, pertanda bahwa sudah dua jam lamanya ia merenung, merasa enggan untuk meninggalkan ruangan itu.

Tuk Tuk

Nyonya Park tersadar dari pikiran panjang. Tatapannya mengarah ke pintu. Terdengar ketukan pelan di sana –berkali-kali bahkan. Semakin lama ketukan itu bertempo cepat ditambah lagi sebuah suara menyebut-nyebut namanya, membuat nyonya Park dengan segera beranjak dari kursi. Nyonya Park lalu mengangkat kedua kaki menuju pintu dan membukanya perlahan.

“ Mama Park!” seorang bocah dengan tinggi melebihi ganggang pintu menatap wanita berumur itu. Bocah itu berparas Chinese dengan penampilan yang berantakan. Rambut lurusnya yang berwarna coklat sedikit kusut sedangkan ke dua kakinya tak beralaskan sandal. Bocah itu yang tadi sempat berurusan dengan Baekhyun dan Chanyeol.

Nyonya Park merasa heran dengan penampilan bocah itu yang biasanya selalu rapih “ Ada apa Wufan? Kenapa berteriak?” nyonya Park menarik Wufan masuk ke dalam ruangan.

“anu…Zi…Zi…Zitao…” Wufan menarik-narik pakaian nyonya Park, membuat wanita berkacamata itu menunduk dan membalas tatapan Wufan yang seperti terjebak dalam keadaan genting.

“kenapa Tao?” tanya nyonya Park menunggu penjelasan Wufan berikutnya.

“i…i…iya…” Wufan kehilangan kata-kata. Mulutnya terasa berat untuk berkata.

Nyonya Park kembali berdiri tegap, lalu melepas tarikan Wufan dari pakaiannya. “Wufan! Jangan melakukan hal yang terlalu kekanakan! Ayo kembali tidur! Sudah jam berapa ini? Tidak baik ke luar malam-malam!” nasehat nyonya Park seraya mendorong tubuh Wufan ke luar dari ruangannya. Nyonya Park tidak ingin diganggu malam ini.

“Tu…tu…tunggu!” Wufan menahan tubuhnya dari dorongan tangan nyonya Park. Kepalanya memutar. Nyonya Park tersenyum sabar seraya merapihkan rambut Wufan dengan jemarinya. “Wufan, kenapa kau jadi gagap begini? Atur napasmu dan katakan apa yang terjadi?”

Wufan melakukan saran nyonya Park. Ia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan-pelan. “ Tao tidak ada di ranjanganya mama…” akhirnya Wufan dapat menyelesaikan kalimatnya dengan satu tarikan napas. Sepertinya saran nyonya Park tadi berhasil.

Nyonya Park spontan menepuk jidat. “ayo kita cari dia!” ujar nyonya Park pelan, selalu tahu dengan kebiasaan Tao disaat tidur. Anak itu akan berkeliaran tengah malam dalam keadaan tertidur.

***

Kicauan burung-burung nuri terdengar merdu dari balik pohon ek. Mereka terbang, mengepak sayap mengitari setiap pohon-pohon yang berdiri kokoh. Langit pagi menyapa agung, diiringi sinaran matahari yang tersenyum malu dari balik gumpalan awan putih, tinggi di atas sana. Cuaca Ilsan pagi ini cerah hanya sisa-sisa air hujan semalam yang tertinggal menggenang, sebagian membentuk lumpur karena bercampur tanah.

Anak-anak memutar badan, balik kanan, merenungkan niat mereka untuk bermain bola di lapangan. Bukan karena takut kotor apalagi takut terkena penyakit cacing dan hal lainnya, hanya saja mereka tetap mengingat pesan nyonya Park. Peraturan yang tidak membolehkan mereka bermain dengan hal-hal yang berbau kotor. Nyonya Park membuat peraturan itu bukan untuk mengekang mereka, tetapi untuk melindungi mereka. Anak-anak yang sungguh patuh.

Yixing –bocah keturunan Chinese sama seperti Wufan, berlari-lari kecil menghampiri bocah dengan rambut panjang sebahu. Bocah itu sedang memainkan bola dengan jari telunjuknya, memutar-mutar bola itu di atas tangan. Ia membuat Yixing takjub.

“Luhan hyung, bisakah kau mengajariku?” Yixing sedikit memelas, seminggu yang lalu Yixing melakukan hal yang sama, membujuk Luhan untuk mengajarinya teknik itu yang bahkan tidak diajarkan dalam dunia persebakbolaan. Meskipun kenyataannya begitu, Yixing masih tertarik mencoba hal-hal yang baru, seperti yang dilakukan Luhan. Ia juga ingin terlihat keren seperti Luhan.

Luhan menoleh, bola yang berputar di tangannya terjatuh dan menggelinding di lantai lalu membentur ke kaki bocah lainnya. “ kau bilang apa?” Luhan kembali bertanya, memandangi Yixing yang tengah mengepalkan ke dua tangannya di depan wajah. Memasang wajah memelas –minta diajarkan. “tolonglah…” Yixing bersuara pelan. Kedua matanya tak sempat berkedip, ia terus menatap Luhan, menunggu jawaban bocah itu.

“Dia mungkin bisa mengajarimu…” Luhan menendang pelan kaki bocah yang terkena glindingan bola. Luhan kemudian beranjak dari hadapan mereka, menuju lantai atas. “tenanglah, aku akan mengajarimu…” bocah itu menepuk pundak Yixing lalu beralih memungut bola.

“ jangan hiraukan Luhan, sepertinya mood anak itu sedang buruk…hyung tahu kan kalau dia akan mati kepanasan jika tidak bermain bola sehari saja…” papar bocah itu seperti tahu pikiran Luhan. Bocah itu kemudian memutar bola di atas telunjuk membuat Yixing kembali takjub.

Bocah berlesung pipi itu tak percaya bahwa masih ada anak lelaki yang pandai memainkan bola menggunakan telunjuk selain Luhan. Dan anak itu bernama Kim Jongdae, teman sekamar Luhan. Usianya terpaut satu tahun lebih muda dari Yixing. Jongdae terkenal sebagai anak yang ramah pada siapa saja. Selain itu bakat Jongdae adalah bernyanyi. Ia memiliki suara yang merdu, lebih merdu dari suara kicauan burung nuri. Seribu kali lipat lebih menawan malah. Sayang, bakat terpendamnya itu hanya bisa didengar dari dalam kamar mandi.

Kebiasaan Jongdae saat mandi adalah menjadikan tempat itu ruangan konser sementaranya. Anak-anak akan mulai memprotes jika bocah itu terlalu lama mengadakan konser dadakan di dalam kamar mandi. Bukan mengomeli Jongdae, tapi anak-anak akan menjadikan nyonya Park sebagai sasaran. Sungguh beruntung Kim Jongdae.

Jongdae kembali memutar bola kaki itu dengan telunjuknya. “apa tidak sakit?” Yixing bertanya, masih tetap fokus melihat jemari Jongdae yang cekatan memutar bola.

“pada awalnya akan terasa begitu, tapi jika sudah biasa, tidak akan sakit, cobalah hyung…” Jongdae melempar bola dan langsung ditangkap dengan satu sundulan oleh Yixing. Yixing tidak terlalu buruk dalam bermain bola. Dia juga tahu banyak tentang persepakbolaan, mungkin akan menandingi kepintaran Luhan yang memang berbakat dibidang olahraga itu.

 

Yixing mencoba berkali-kali, namun hasilnya tetap sama. Ia belum berhasil mempertahankan putaran bola di atas telunjuknya. “ teruslah berlatih hyung…” Jongdae menyemangati, lalu menepuk pundak Yixing dan tersenyum tipis.

 

“aku juga ingin diajarkan!” seru seorang anak. Yixing dan Jongdae berpaling. “dark Jongin, kemarilah…” Dark Jongin. Begitu Jongdae memanggil Jongin. Warna kulit Jongin yang sawo matang, dan lebih gelap dari anak lainnya. Jika Jongin dan Yixing berdekatan, maka akan terlihat seperti kopi susu, sangat berbeda jauh. Meskipun begitu Jongin fine-fine saja jika Jongdae menambahkan sebutan dark di depan namanya. Jongin lebih memandang panggilan itu sebagai ciri khasnya dibanding sebuah ejekan.

***

 

Luhan menaiki tangga. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapannya tidak lepas memperhatikan satu persatu anak tangga. Wajahnya datar, kehilangan semangat hidup, sepertinya ia akan mati kepanasan seperti ucapan Jongdae. Rencana bermain bola hari ini gagal total. Padahal babak dua pertandingan timnya dan tim Wufan akan dilanjutkan pagi ini. Ia bocah pertama yang semangat berlari menuju lapangan dan yang pertama juga meninggalkan tempat itu. Senyumnya memudar saat melihat banyaknya genangan-genangan lumpur.

Luhan terus melangkah dengan malas. Sesampainya di lantai atas, pandangannya langsung tertuju ke arah lima orang anak yang sedang duduk melingkar di lantai. Mereka Chanyeol, Baekhyun, Sehun, Jongin dan bocah dengan mata belonya, Kyungsoo. Hey, sejak kapan Jongin bersama keempat anak-anak itu.

 

Chanyeol melambai ke arah Luhan, menggerakkan kelima jari mungilnya maju mundur, memberikan isyarat agar Luhan ikut bergabung. Luhan berpaling, tidak tertarik. Wajah Chanyeol berubah datar, lalu berdiri dan menarik Luhan, sedikit memaksa. “ hyung, duduklah dulu, dengarkan lagu baruku…”

 

Chanyeol beralih mengambil sebuah gitar –gitar mainan. Tentu, siapa juga yang akan memberinya gitar sungguhan. Ini panti asuhan bukan toko alat-alat musik. Chanyeol siap memetik gitar mainannya, meskipun warnanya yang sedikit girlypink, tapi Chanyeol menganggap benda ini luar biasa. Alat musik inilah yang selalu memberinya ide-ide cemerlang, menciptakan lirik lagu yang orang dewasa akan menilainya sebagai lagu-lagu standar anak-anak bahkan terdengar konyol. Meskipun karya-karyanya belum sebagus musisi terkenal tapi Chanyeol selalu menganggap hasil karyanyalah yang terbaik. Chanyeol memang anak yang percaya diri dan memiliki tekad yang luar biasa.

 

Sehun yang duduk bersila di sebelah Kyungsoo, bertepuk tangan. Sangat bersemangat. Chanyeol tertawa lebar, melihat aksi Sehun yang diluar dugaan. Padahal lagu yang ia ciptakan itu terlalu biasa. Kyungsoo ikut bertepuk tangan, disusul Baekhyun dengan dua batang pocky pocky digenggamannya. Jongin lebih memilih memakan pocky pocky ketimbang menjadikannya sebagai alat cheer. Jongin akan terlihat seperti orang bodoh, layaknya Baekhyun.

 

Anak-anak itu semakin antusias, berseru yo yo yo –berlagak seperti seorang rapper. Sementara itu apa yang dilakukan Luhan? Bocah itu sama sekali tidak tertarik. Luhan menguap dan duduk di samping Jongin yang kembali memakan pocky pocky. C’mon guys, kapan ini akan berakhir. Batin Luhan.

 

“apa judul lagu barumu hyung?” Kyungsoo, si mata belo bertanya. Dibalas senyum lebar Chanyeol.

 

“ma ma?” Sehun berucap pelan, semua mata tertuju pada Chanyeol. Chanyeol menarik-narik ganggang kacamatanya, mengiyakan. Sehun semakin tertarik. Bocah itu tak bosan-bosan bertepuk tangan.

 

Luhan menutup mulutnya yang menguap dan berujar “ heh, mama ? lagu untuk siapa? Ibu saja tak punya…” sindir Luhan membuat tepukan Sehun mereda. Jongin berhenti mengunyah pocky pocky. Baekhyun tidak lagi berseru yo yo yo. Senyuman lebar Chanyeol merapat, wajahnya kembali datar. Ucapan Luhan sungguh menusuk hati.

 

Kyungsoo memukul punggung Luhan dengan keras, membuat Luhan merintih pelan “hyung pikir, hyung masih memiliki ibu? Setidaknya kita masih punya mama Park!” nada suara Kyungsoo memang datar, namun ekspresi wajahnya menyiratkan bahwa ia sedang marah. Mata belonya kini membulat sempurna, ia menggertak pelan, bumi seolah bergetar. Kyungsoo bukan memarahi Luhan bukan juga memarahi keempat anak lainnya. Hanya saja dia marah pada kenyataan. Kyungsoo berdiri, lantas menjauh.

 

“hey, ada apa ini?” seorang anak hadir diantara mereka, menambah keramaian. Namun situasi tetap tegang. Anak itu memiliki wajah seperti malaikat. Siapa saja yang melihat wajah itu akan merasa sejuk, bagai ditimpa siraman air surga. Dia Junmyun, bocah berusia 12 tahun.

 

“kalian membicarakan apa? sesuatu yang berbau serius? Apakah Chanyeol membuat lagu lagi? Seperti apa? sungguh sebuah kehormatan bagiku jika diberi kesempatan untuk mendengarnya, bolehkah? ” banyak pertanyaan yang Junmyun lontarkan. Tapi tak satupun yang berusaha menjawab. Junmyun melihat Kyungsoo berbalik badan dan beranjak menuju kamar. Bocah itupun menahan lengan Kyungsoo dan menariknya ke tempat semula. Ucapan Luhan yang tadi tidak lagi dipermasalahkan. Junmyun benar-benar penyelamat.

 

“Chanyeol, coba kau nyanyikan lagu itu? kedengarannya menakjubkan…” puji Junmyun seraya menarik Kyungsoo untuk kembali duduk. Awalnya Chanyeol menolak, tapi melihat wajah Junmyun yang seperti malaikat -tak berdosa membuat Chanyeol bergerak memetik gitar mainannya.

 

Chanyeol bernyanyi pelan. Suaranya tidak merdu, tidak sebagus suara Jongdae. Lebih terdengar seperti bunyi terompet atau suara radio rusak. Nada-nadanya tidak sesuai. Ia lebih cocok menjadi seorang rapper ketimbang menjadi main vocal. Chanyeol menyerah, melirik Baekhyun yang duduk di sebelahnya. “Baekhyun, sepertinya aku membutuhkan bantuanmu…”

 

Baekhyun melebarkan mulutnya, merasa bingung dengan permintaan Chanyeol. “aku?” Baekhyun bertanya, memastikan.

 

“ kau dan Jongdae sudah pernah mendengarnya, lagi pula suaramu lebih bagus dariku dan kenyataannya memang begitu, jadi kurasa sebaiknya kau saja yang bernyanyi…”

 

Baekhyun membantah, ucapan Chanyeol itu tidak sejalan dengan pikirannya. Chanyeol hanya melebih-lebihkan. “heh…siapa bilang?” Baekhyun merebut pocky pocky Jongin dan menggigitnya. Chanyeol mendengus pelan, ia tidak percaya bahwa Baekhyun akan menolak. Jelas-jelas Baekhyun juga memiliki suara yang indah seperti Jongdae.

 

Chanyeolpun tidak memaksa. Jika Baekhyun menolak, itu berarti memang tidak. “kalau begitu kau saja yang menyanyikannya…” Tatapan Chanyeol beralih. Telunjuknya mengarah ke Kyungsoo.

 

Kyungsoo menunjuk dirinya. “ Aku ?” tanyanya. Kedua bola mata Kyungsoo bertambah besar. Ia tidak menduga Chanyeol akan menunjuk dirinya. Kyungsoo juga memiliki suara yang indah, tapi dia sangat malu menunjukkannya di depan umum.

 

“tapi aku…” Kyungsoo kelihatan malu-malu.

 

“kalau begitu aku saja…” Sebuah suara mengagetkan anak-anak itu. Jongdae mengacungkan tangan, di belakangnya Yixing tersenyum lebar dan seorang bocah dengan boneka teddy bearnya, Tao.

 

Jongdae berlari dan duduk menghimpit kaki Luhan. Anak itu senang sekali mengganggu Luhan. “aku saja…aku saja…” seru Jongdae tak sabar. “mana lagu yang harus kunyanyikan?” Jongdae menawarkan diri, matanya tidak lepas melirik-lirik kertas yang berada di hadapan Chanyeol. Jongdae terlihat lebih antusias dibandingkan Sehun. Sementara itu Yixing dan Tao ikut bergabung bersama mereka.

 

“baiklah-baiklah…” Chanyeol memperlihatkan sebuah kertas bertuliskan beberapa lirik pada Jongdae. Jongdae berseru riang. Ia terlalu bersemangat. “kita mulai dari mana?”

 

“ anak-anak, ayo sarapan!” Nyonya Park berteriak dari lantai bawah. Berseru pada anak-anak, menyuruh mereka untuk sarapan pagi. Semangat Jongdae luntur seketika mendengar seruan nyonya Park.

 

“kita lanjutkan saja nanti…” saran Chanyeol. Merekapun menuju ruang makan.

 

***
Malamnya, anak-anak itu kembali berkumpul. Mereka mengadakan pertemuan di dalam kamar Tao dan Wufan. Kamar itu lebih luas dari kamar lainnya, dua belas anak berumur sembilan sampai belasan tahun masih mampu ditampung. Jongdae merasa siap. Wajahnya berseri-seri seperti mendapat mainan baru. Kali ini Jongdae tidak mengadakan konser dadakan lagi di kamar mandi. Tidak tanpa penonton.

 

Malam ini berbeda, suara emasnya akan didengarkan secara live, langsung di depan semua anak-anak. Sedangkan Chanyeol siap dengan gitar mainannya. Kyungsoo, Baekhyun, Sehun, Tao, Junmyun, Jongin, Luhan, Wufan dan Yixing memasuki kamar. Mereka berjalan bergerombolan. Kamar itu terasa sesak dipenuhi sebelas anak. Mereka siap di posisi masing-masing. Dalam artian siap mendengar dan menyaksikan penampilan Jongdae si pemilik suara emas dan Chanyeol –sang guitaris handal.

 

Suara langkah kaki memasuki kamar itu. Terdengar buru-buru. Pintu kamar dibanting begitu saja. Terlihat seorang bocah dengan membawa beberapa bungkus makanan dalam dekapannya. Sehun, Jongin dan Tao berseru riang melihat banyaknya bungkus makanan ringan. Mereka tidak memperdulikan darimana bocah itu mendapatkan makanan, yang terpenting mereka lapar dan butuh penyanggal perut kosong.

 

Bocah itu melompat ke atas kasur. Lalu berbaring di samping Wufan. Kehadirannya di dalam kamar itu menjadi suasana tambah panas. Sesak luar biasa, tapi itu tidak masalah, mereka sudah terbiasa dengan hal itu. Sehun, Jongin dan Tao segera menyambar makanan yang ia bawa. Baru kali ini bocah itu menampakkan diri diantara mereka. Semenjak pagi, usai sarapan ia sibuk membantu nyonya Park.

 

Anak-anak biasa memanggilnya Baozi. Pipinya yang chubby dan badannya yang lumayan berisi membuat ia mirip sekali dengan bakpao. Baozi hanya sebuah panggilan. Ia punya nama. Nama yang diberikan oleh orangtuanya. Ia juga memiliki marga yang sama dengan Jongin, Junmyun dan Jongdae. Dia adalah Kim Minseok. Nama yang sederhana.

 

“apa aku terlalu lama?” Minseok bertanya. Jongin yang asik merebut makanan dengan Tao menimpali “tidak hyung, kami baru saja akan mulai…” jawab Jongin seraya mengunyah roti kering.

 

“Apa kita bisa mulai sekarang?” Jongdae bertanya. Penyanyi dadakan itu semakin tak sabar. Dari tadi ia menunggu momen penting ini. Chanyeol memetik senar gitar mainannya. Alat itu masih layak fungsi, hanya saja bunyinya yang tidak sesuai dengan gitar asli. Jongdae menutup kedua mata, menghayati lirik demi lirik. Sekali lagi, lagu ini hanyalah lagu biasa. Terlalu biasa. Ekspresi Jongdae dan Chanyeol yang berlebihan membuatnya menjadi luar biasa.

 

Jongin yang tadinya sibuk mengunyah makanan, beranjak ke tengah, berdiri di sebelah Chanyeol yang sedang memetik gitar. Jongin menggerakkan badan sesuai dengan irama musik. Yang dia lakukan membuat semua tertawa di sela-sela nyanyian Jongdae. Jongin berubah menjadi seorang penari latar lebih tepatnya menjadi seorang pelawak. Lagu Mama ciptaan Chanyeol yang melow mendadak berantakan dibuat Jongin.

 

Memang bocah itu hobi sekali menari, dimanapun dia akan selalu menari. Tidak pernah merasa bosan ataupun malu. Yixing ikut bergabung bersama Jongin. Mereka menari, tak peduli dengan musik yang sama sekali tidak selaras dengan tarian mereka. Jongin dan Yixing sangat konyol, membuat semua kembali tertawa. Bahkan Minseok dan Luhan yang berada di atas ranjang terjatuh ke lantai karena terlalu keras tertawa.

 

Mini konser selesai. Chanyeol dan Jongdae yang berdiri di tengah-tengah membungkuk, memberi salam penutup. Anak-anak bertepuk tangan, bahkan diantara mereka memberikan standing applause. Meniru penilaian juri di acara-acara musik jika mendengar salah satu kontestan dengan penampilan memikat. Wufan berdiri, mengambil alih posisi Jongdae. Ia berdehem cukup keras, mengambil perhatian.

 

“teman-teman…” Wufan melipat tangan di dada, lalu menarik napas lagi. “mungkin kita tidak dilahirkan menjadi anak yang sempurna, dengan kasih sayang sebuah keluarga. Namun Tuhan selalu punya rencana lain. Meskipun aku kehilangan ayah dan ibu, dan meskipun diantara kita terlahir tanpa mengetahui siapa ayah dan siapa ibu yang melahirkan kita. Tapi saat ini kita bersama-sama dipertemukan di tempat ini, mempunyai satu tujuan yang sama. EXO. Satu mimpi yang sama. Hiudupku tidak sendiri. Kalianlah keluargaku, aku selalu mencintai kalian…” Wufan berbicara panjang lebar, layaknya membawakan sebuah pidato motivasi.

 

EXO. Sebuah nama yang mengawali mimpi mereka. EXO bagaikan datang dari sebuah planet impian yang jauh di sana. Entah sejak kapan nama itu ada, siapa perintisnya. Tapi sangat jelas bahwa mereka menyukai nama itu. Sebuah nama melambangkan duabelas makna.

 

Sebelas anak-anak yang lain terperangah, untaian perasaan Wufan mengguncang hati kecil mereka. Tao yang paling cengeng, menangis haru. Diikuti Junmyun. Mereka saling berpelukkan, terisak. Suasana kamar itu tak lagi ramai. Anak-anak terdiam, berlinang air mata. Termasuk Wufan yang selalu mengatakan kalau menangis bukanlah stylenya, namun kali ini Wufan memungkirinya. Dia menangis. Semua yang berada di kamar itu menangis hanya karena mendengar pidato anak berumur 14 tahun.

 

Sehun memeluk Wufan yang masih berdiri di posisinya. Sama-sama menangis. Jongdae yang berdiri di sebelah Wufan ikut memeluk bocah jangkung itu. Chanyeol, teman seperjangkungan Wufan juga melingkarkan tangannya. Yixing dan Luhan ikut bergabung, memeluk satu sama lain. Tangisan mereka pecah. Kamar Wufan dan Tao seketika berubah menjadi tempat melayat orang meninggal.

 

“cukup teman-teman…” Wufan berkata pelan. Lalu melepaskan diri dari acara peluk-pelukan itu.

 

EXO, sebagai lambang persaudaraan mereka. EXO adalah impian, masa depan dan sebuah keluarga. Nama yang mungkin saja tidak akan pernah mereka lupakan. EXO akan selalu ada, dimana dan kapanpun itu.

 

***

 

Sebulan telah terlewatkan. Musim gugur berganti menjadi musim dingin. Hari ini, terasa kelam, meskipun cuaca di luar sana cerah. Kenyataan pahit yang harus mereka terima. Salah satu dari mereka, Tao akan meninggalkan panti asuhan ini. Semalam sebuah keluarga Chinese, mengadobsi Tao. Keluarga itu tidak memiliki keturunan, mereka menginginkan Tao menjadi anak angkat mereka. Dan hari ini adalah hari perpisahan anak-anak dengan pecinta wushu itu. Tao akan dibesarkan di China bersama orangtua barunya. Mimpi yang telah mereka rencanakan, perlahan memudar. Langkah awal pupus sudah.

 

Lusanya, Minseok, yang paling tua diangkat dan diasuh oleh seorang paman. Paman itu adalah sahabat karib ayahnya. Siapa yang tidak menolak untuk tinggal bersama orang-orang yang lebih pantas mengasuh mereka? Siapa juga anak yang tidak ingin hidup normal seperti anak-anak lainya? Sekolah dan memilki masa depan yang jelas, hidup bahagia dengan keluarga yang mampu menafkahinya dengan layak. Tidak terus-terusan hidup mendekap di bawah bangunan tua itu. Tao dan Minseok telah membuktikannya. Sepuluh anak-anak itu juga harus mengikuti langkah mereka. Satu persatu meninggalkan panti asuhan. Menghilang tanpa jejak.

 

Mereka percaya suatu saat nanti akan bertemu kembali. Mewujudkan mimpi yang telah lama hilang. Membangkitkan sebuah nama yang tidak pernah pudar. Mereka selalu berjanji dan bersumpah, suatu saat nanti impian mereka akan tergenggam. Mereka yakin. Seratus persen yakin dengan semua itu sampai panti asuhan itu resmi ditutup.

 

***

 

Twelve years later – 2012.

 

The day the red forces purify and twelve forces reunite into one perfect root –

 

A New World Shall Open Up

 

Sorot lampu panggung menerangi mereka. Siluet para pemimpi itu terlihat bercahaya dibalik kilauannya.

 

Andai saja…

“Jongin…”

“Jongin?”

“Jongin! Apa yang kau pikirkan?” sebuah suara mengagetkan Jongin. Dia Junmyun, pria itu menunggu Jongin yang tengah tertegun di depan sebuah gedung. Dari tadi, Junmyun memperhatikan Jongin. Entah apa yang dibayangkan Jongin saat menatap gedung berlabel SM Entertainment, sebuah management musik yang melahirkan artis-artis papan atas di Korea Selatan bahkan mendunia.

Seorang laki-laki setinggi Jongin ke luar dari gedung itu. Hanya sendiri. Laki-laki itu mengenakan topi hitam yang sekaligus menutupi separuh wajahnya namun masih terlihat jelas. Ia berjalan seraya bersenandung pelan, melangkah melewati Jongin yang berdiri tertegun dan Junmyun yang sibuk mengalihkan pandangan Jongin. Setahu Jongin, dia salah satu trainee di sana. Kalau tak salah, namanya Kai.

Kai!

  1. Yuan Kai! L untuk Lee –marganya dan H adalah Harn -ayahnya. Begitu SM menginformasikan profile Kai.

Kai. Ia tampan, lebih tampan dari Sehun menurut pandangan Jongin. Ukuran mata Kai masih sedikit unggul dari milik Jongin. Kai blasteran. Berkebangsaan Korea-Inggris. Kulitanya bersih dan putih –seputih Yixing. Tubuhnya tinggi tegap dan mencerminkan seorang dancer yang berbakat. Jiwa seorang idol terpancar dari dalam dirinya.

Kai berjalan, sedikit menjauhi mereka. Lalu seseorang ke luar dari gedung yang sama, seorang trainee lagi, ia menyusul Kai. Namanya Su Ho. Kwon Su Ho. Wajahnya merupakan perpaduan wajah Wufan dan Luhan. Tubuhnya setinggi Kai. Rambutnya blonde, tak berponi. Ia juga terlihat tampan dari pendangan Jongin. Tahun ini mereka akan debut. SM belum memberitahu media mengenai nama grup itu.

Su Ho berpaling, melirik Jongin yang tertegun. Jongin hanya diam menatap pria itu hingga menghilang di tikungan jalan.

Junmyun menepuk pundak Jongin. Jongin bergidik, menoleh ke samping. Junmyun tersenyum menatapnya. “apa yang kau pikirkan?” Junmyun kembali bertanya, mengacak-ngacak rambut hitam Jongin membuatnya sedikit kusut.

Jongin balas tersenyum tipis, jemarinya hendak menjauhkan tangan Junmyun dari rambutnya. Pria berkumis itu membuat penampilan Jongin semakin berantakan. Padahal sepuluh menit lagi, Jongin harus menampakkan diri di kantor tentu dengan penampilan yang rapih, apa jadinya jika pemimpin perusahaan melihat rambutnya berantakan seperti ini.

Saat ini Jongin bekerja di salah satu perusahaan swasta di Seoul sedangkan Junmyun bekerja sebagai seorang reporter televisi. Jongin dan Junmyun sepekan ini memang berangkat kerja bersama, selain tempat kerja mereka yang berdekatan, rumah Junmyunpun tak jauh dari apartemen Jongin. Hanya butuh lima menit untuk mencapai apartemen.

Jongin tertawa pelan, lantas menggeleng. Kedua tanganya menggantung di ujung saku celana. Ia kembali menatap gedung di depan dengan beberapa lantai itu. Jongin menghela napas, terlihat embun putih menggembul dari hidungnya. “aku hanya membayangkan mimpi-mimpi kita dahulu, dan ternyata mimpi itu tak dapat ku genggam lagi. Hyung, kau kini hidup bahagia dengan istri dan anakmu, sedangkan aku, memulai hidup dengan pekerjaan ini. Masa depan memang tidak mudah untuk ditebak…” terangnya. Junmyun terdiam, merenungkan kalimat-kalimat Jongin.

Jongin membenarkan letak kacamata di wajahnya kemudian berjalan mendahului. Langkah besar Jongin terhenti. Teriakan Junmyun berhasil membuat langkahnya tertahan “tidak Jongin…” Junmyun menyusul Jongin, lalu berhenti di samping pria itu. “sama sekali tidak…” Jongin melirik kedua mata Junmyun, tampak berbinar.

“mimpi itu masih ada…di sini…” Junmyun merapatkan telapak tangannya di dada Jongin. “kita masih menyimpannya di tempat ini, mimpi-mimpi itu tidak akan pernah musnah Jongin, kau, aku dan yang lain entah dimanapun mereka sekarang, kita masih menyimpannya di sini,di ruang terkecil ini Jongin, EXO tidak akan pernah mati…” Junmyun tersenyum lebar, matanya berkaca-kaca, mengkilap seperti menahan sejuta air di sana. Jongin menatap kedua mata Junmyun. Hatinya bergetar, mengiyakan setiap kalimat yang terlontar dari bibir Junmyun. Pria itu benar, mimpi – mimpi mereka selama ini tidak akan berakhir begitu saja.

Junmyun menepuk pundak Jongin, berbalik dan melangkah, melanjutkan perjalanan mereka yang tertunda. Pria dengan kulit sawo matang itu memperhatikan punggung Junmyun yang semakin menjauh. Jongin memutar arah pandang, ia kembali menatap gedung impiannya.

Jika kita masih bersama, mungkin nama itu akan bersinar terang. Aku bisa membayangkan seberapa besar terkenalnya EXO sekarang. Banyak yang berteriak, memuji nama itu. Andai saja. Batinnya.

***

EXO hanyalah sebuah nama.

Tanpa pemilik, tanpa pengagung. Hanya sebuah nama.

***

FIN

©JLo

 



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles