“Just the Way You Smile”, he said. (Chapter 1)
Cast :
- Oh Sehun
- Xi Luhan
Genre : Yaoi, Romance, School
Author : @leedonghyunn
…
Namja itu masih memandangi langit malam tanpa bintang dari jendela apartemen lantai 30-nya. Tatapannya kosong. Ya. Apa yang ia lihat memang sanggup membuatnya kagum pada awalnya, tapi keindahan itu tak dapat mengalahkan kegundahan hatinya.
Lelaki itu tampak tak bahagia, dan tak yakin ia akan bahagia jika ia kembali pada apa yang membuatnya bahagia. Nasi telah menjadi bubur dan ia tak punya mesin waktu untuk membuatnya mengubah kenyataan.
Tapi ia tak menyesal dengan keputusannya, ia hanya benci dengan keadaan. Sesederhana itu.
Sesederhana itu, tapi tak juga membuat segalanya menjadi semudah kesederhanaan itu…
+++
Luhan’s POV
Pergi ke sekolah setiap hari, bagiku sama saja seperti minum air ketika haus, atau makan ketika lapar. Intinya, sekolah itu sudah menjadi satu bagian dalam hidup, yang dimana sebagian besar waktu dalam satu harimu dihabiskan di sana (Yah, jaman modern ini memang semakin kejam. Mereka membiarkan anak-anak seperti kita ini harus belajar selama puluhan jam! BAYANGKAN, betapa menderitanya harus duduk manis dan mendengarkan ocehan-ocehan guru yang lebih banyak nggak pentingnya itu.).
Ini sudah tahun kedua belasku menjalani hidup sebagai seorang murid yang harus bangun pagi buta, mandi secepat mungkin, dan berlari mengejar bus yang tak segan meninggalkan siapapun yang tak tepat waktu. Sungguh melelahkan menjadi seorang murid, hhh..
Tetapi yang lebih daripada itu, aku percaya segala hal di dunia ini bisa dilihat dari dua sisi; negatif dan positif. Pergi ke sekolah membuatku bertemu dengan banyak orang, berkenalan, bersahabat, semua itu tak akan terjadi jika aku tak bersekolah, bukankah begitu?
“Xi Luhan!” Aku menoleh, mendengar seseorang memanggil namaku dengan lantang. Ah, itu Kim Jongdae, sahabatku. “Wae?” balasku dengan pandangan bertanya.
“Ayo ke rumah Yeollie sepulang sekolah! Dan karena besok hari Sabtu, kita bermalam sekalian, bagaimana?” ajak Jongdae. Laki-laki bersuara kurang macho ini adalah sahabatku sejak bayi yang juga merangkap sebagai teman sekelasku, bersama dengan Park Chanyeol, yang biasa dipanggil Yeollie. Aku pun berjalan menghampiri kedua sahabatku yang sedang duduk dengan sangat santai –kedua kaki tanpa sepatu dan kaus kaki layaknya siswa-siswa pada umumnya, berada di atas meja– di pojok kelas.
“Mau nonton film ‘itu’ lagi, yah?” tanyaku seraya mengambil kursi kosong dan menariknya mendekati mereka berdua. Mendengar ucapanku, mereka hanya tersenyum malu (atau licik?!).
“Kau kan tahu kalau menonton film seperti itu adalah keperluan laki-laki sejati!” seru Yeollie.
“Ya, jinjja! Tak perlu seperti itu juga untuk membuktikan kejantananmu.” timpalku sambil menggelengkan kepala, tapi mereka tak tampak peduli, malah sudah asyik sendiri membicarakan judul film yang mau mereka tonton. Dan disaat seperti ini, aku akan berperan sebagai seorang pendengar, karena aku nggak mengerti dunia yang mereka miliki itu; sebuah pemikiran bahwa kejantanan bisa ditunjukkan kalau mereka menonton film seperti ‘itu’..
Aku memang tak suka, tapi aku juga tak bisa menolak. Mereka pasti akan membawa-bawa nama persahabatan kalau aku sudah berniat untuk menolak berkumpul dan menonton film –yang menurutku– nggak bermoral itu. Yah, mungkin semua cowok suka dengan film-film seperti itu (aku juga sedikit suka, sih..), tapi bukan berarti kita perlu membuat satu grup yang berdedikasi untuk menonton bersama setiap minggunya juga, kan?
“Pokoknya pemain berambut panjang yang terbaik, mereka terlihat lebih sensual. Apalagi saat adegan dimana mereka berkeringat, rambutnya menempel di muka, ah, sangat sensual!” Jongdae tampak ekspresif sekali saat berbicara mengenai masalah ‘ini’.
“Aniya! Yeoja berambut terlalu panjang juga tak bagus.” Yeollie melancarkan penolakan.
“Mwo? Bukankah kau selalu jatuh cinta pada yeoja berambut panjang?”
“Berambut panjang dan berambut terlalu panjang itu berbeda, babo…” Kali ini Jongdae hanya terdiam dengan wajah sebal, ia tak suka diejek seperti itu, apalagi oleh orang yang sama bodohnya dengan dirinya.
“Ahh, pokoknya yeoja berambut panjang itu seksi!” Lagi-lagi aku hanya menggelengkan kepala. Pembicaraan ini benar-benar bukan pembicaraan yang baik untuk dibahas di sekolah, apalagi dengan kumpulan yeoja di depan kelas yang melirik ke arah kami dengan pandangan jijik.
“Ya! Bisa bahas masalah lain yang lebih berbobot dan berarti?” Akhirnya aku menengahi pembicaraan memalukan ini. Mereka berdua langsung menatapku dengan pandangan menyeramkan.
“Ini pembicaraan berbobot dan berarti, ara?!” Dan betapa mengagumkannya melihat mereka bisa jadi kompak di saat-saat seperti ini..
….
Lagi-lagi, aku KO dalam seketika.
+++
Di rumah Chanyeol..
… Apa ini ..??
Aku merasa seperti Luffy yang berhasil menemukan One Piece-nya saat tiba di rumah Yeollie; sungguh tak terpikirkan olehku akan muncul hari dimana aku merasa seperti itu. Tapi sungguh, aku hampir saja serangan jantung melihat siapa yang ada di sana.
“SEHUNNIEE!!!” Dan Jongdae berhasil menjadi orang pertama yang tersadar dari saat-saat mengagetkan ini. Selanjutnya, ia sudah berjalan cepat mendekati Sehun dengan wajah bahagia. Orang itu, Sehun, balas tersenyum simpul; seperti yang biasa ia lakukan.
Oh Sehun; kesukaanku. Namja.
Ya, namja.
“Akhirnya kau muncul lagi, Hunnie!” seru Jongdae lagi sambil melemparkan tubuhnya di sofa dan langsung merangkul Sehun, yang balas merangkulnya hangat.
“Nae dongsaeng, jinjja! Awalnya kupikir sedang melihat penampakan yang mirip denganmu, ternyata sungguhan!” Kini giliran Yeollie yang berjalan mendekat dengan wajah kaget. Dan mereka berangkulan seperti yang dilakukan Jongdae.
“Nan neomu bogoshipda..” ucap Yeollie, membuat Sehun menunjukkan wajah geli.
“Kau menjijikan, hyung.”
Oh Sehun, adik-berjarak-2-tahun Yeollie yang melanjutkan SMA-nya di Daejeon, dengan rela hati ia pindah ke sana untuk menjaga halmeoni yang sedang sakit, tapi masih saja keras kepala tak ingin pindah dari rumahnya di Daejeon –yang katanya menyimpan banyak kenangan bersama suaminya, haraboji. Sungguh alasan yang romantis (alasan kepindahan Sehun, maksudku). Ya, aku jatuh cinta pada seorang seperti itu..
Aku masih berdiri di tempat yang sama, menatap sosok itu lekat.
6 bulan 20 hari 6 jam 38 menit 15 detik sejak terakhir aku melihatnya, ia banyak berubah.
Ia semakin tinggi, jauh mengalahkanku. Badannya yang memang tegap itu, terlihat lebih atletis setelah 6 bulan tak melihatnya. Dan kulit putihnya yang menjadi agak kecoklatan terbakar matahari terlihat lebih di mataku. Ia terlihat lebih dewasa saat ini.
“Ya!” Aku menoleh mendengar seruan dari suara itu. Sehun. Ia menatapku dengan tatapan yang sanggup memutar isi perutku hingga terasa mual.
“Kau tak ingin mengucapkan apapun padaku?” tanyanya dengan wajah datar; seperti yang biasa ia lakukan. Aku terdiam sejenak sebelum memutuskan untuk menghampiri mereka bertiga. Dia masih menatapku lurus, seakan menungguku membuka suara.
“Kau sungguh tak ingin mengucapkan apapun?” tanyanya lagi.
“Ah, aku..” Aku terdiam, merangkai kata-kata. “Sudah lama sekali ya, Hun.”
Ia tersenyum. Aku tersenyum. “Seperti bertahun-tahun.” balasnya.
“Ya, Ya, Ya! Sudah, ayo cepat makan, aku sudah lapar. Setelah itu baru kita ngobrol sepuasnya!” seru Yeollie, memutuskan pembicaraan kami. Aku pun langsung berjalan menuju ruang makan yang sudah kuhafal di luar kepala letak dan posisinya, diikuti Sehun dan Jongdae.
Oh Sehun. Entah sudah berapa lama aku menyukainya. Yang kutahu, perasaan itu sudah ada sejak lama sekali. Menumpuk, menumpuk, menumpuk setiap hari, sampai-sampai aku takut perasaan ini jadi tak terkendali lagi. Aku takut perasaan ini membunuh akal sehatku yang saat ini sudah setengah tak waras. Sungguh gila.
Karena saat ini, aku ingin sekali memeluknya sambil mengatakan
‘Aku mencintaimu’
+++
“AARGHH!!”
“AARRGHHH!!!”
Aku terdiam sempurna mendengar pertandingan berteriak antara tokoh dalam film ‘itu’ dan tentunya Jongdae dan Yeollie. Seperti yang kukatakan sebelumnya, mereka berdua adalah para fanatik film-film seperti ini, yang –katanya– akan membuat kita kelihatan lebih jantan –sedikit, setidaknya. Aku sendiri sudah menyiapkan kedua tanganku di depan mata, siap-siap untuk menutupinya jika ada scene yang terlalu tidak layak untuk ditonton.
Adegan horror, maksudku.
Dan…
“ARGGGHHH!!!!”
“ARGGHHHHHHHHHH!!”
Aku langsung menutup kedua mataku saat tokoh wanita dan si hantu sedang berkejar-kejaran, lagi-lagi diiringi dengan dua nada teriakan yang memekakan telinga. Sesungguhnya, ingin sekali aku memarahi Jongdae dan Yeollie, mereka terlalu berlebihan. Bagaimana mungkin teriakan mereka jauh lebih keras dan lama daripada tokoh yang sedang berkejaran dengan hantu itu sendiri?
Sungguh berlebihan..
“Kau takut, ya?” Tiba-tiba kudengar suara tepat di telingaku, membuatku hampir berteriak heboh (dan jika itu terjadi aku akan sangat malu dengan kedua sahabatku yang akan mengira bahwa rupanya aku sama takutnya dengan mereka, meski tentu saja itu salah paham). Aku menoleh ke arah suara itu berasal, dan muncullah wajah Sehun yang sedang tersenyum lebar, tak ada wajah takut sama sekali. Dia memang benar laki-laki sejati.
“Setidaknya tak lebih takut dari mereka berdua.” jawabku dengan sedikit sentuhan sarkasme yang membuat Sehun tertawa kecil (entah, mungkin dia merasa itu lucu?). “Aku hanya ogah melihat wajah hantu itu muncul di kepalaku selama seminggu penuh.” lanjutku setelah ia selesai tertawa.
“Sama saja kau takut.” ucapnya, membuatku terdiam. Setelah tak tahu harus melakukan apa lagi, aku pun meluruskan pandanganku pada layar. Dan aku percaya aku sedang sial hari ini. Aku sungguh menoleh di timing yang sangat tidak pas. Ini momen yang paling aku benci dari film horror; saat wajah sang hantu memenuhi seluruh bagian TV, apalagi dengan backsound yang tiba-tiba menjadi sangat kencang dan mengagetkan.
Aku memutuskan untuk menutup mata secepat mungkin.
“AARGGHHHH!!!”
Dan setelah bertahun-tahun menderita mendengar teriakan itu, aku menemukan sebuah keuntungan. Ya, teriakan itu menghilang berarti adegan menyeramkan di layar sudah berganti dengan sesuatu yang lebih normal dan waras. Aku pun membuka mataku perlahan, namun yang kulihat hanya gelap. Aku membuka mataku seutuhnya, dan yang kulihat tetap kegelapan. Apa ini? Apa saraf mataku rusak setelah mendengar teriakan mereka? Apa aku buta?
“Apa tadi kau melihatnya?” Lagi-lagi suara berbisik tepat di telingaku. Diiringi dengan pandanganku yang tak lagi gelap. Awalnya aku sungguh berpikir bahwa Tuhan masih memberikan kesempatanku untuk melihat, setelah akhirnya aku melihat tangan Sehun yang terjulur. Ah, ia menutup mataku dengan tangannya.
“Melihat apa?” tanyaku linglung, tak tahu harus menjawab apa.
“Tentu saja hantunya.” jawab Sehun langsung. Aku mengangguk.
“Aku bertanya padamu, apa kau melihat wajah hantu itu?” Aku mengangguk.
“Berarti aku terlambat.” ucapnya dengan wajah sedikit menyesal, atau entahlah apa.
“.. Terlambat apa?”
“Terlambat membuatmu tak perlu menghabiskan waktu mengingat wajah hantu itu selama seminggu, dan mengingat wajahku sebagai gantinya.”
Deg.
Deg. Deg. Deg. DEG! DEG!
Mwo ya? Apa yang baru saja ia katakan? Apa mendengar teriakan itu merusak saraf otaknya? Orang yang dingin sepertinya bukanlah orang yang dengan mudahnya mengucapkan kata-kata seperti itu, tak seperti Jongdae dan Yeollie yang pandai merayu. Aku sungguh curiga, apa teriakan itu benar-benar merusak saraf otaknya yang pintar itu?
“Aku terlihat gila, ya?” ucapnya lagi sambil tertawa.
Ah, rupanya ia hanya bercanda. Aku tersenyum, merasa lega dan sedih dalam waktu yang bersamaan. “Benar-benar gila.” jawabku. Ia hanya tersenyum simpul sebelum akhirnya kembali menatap layar. Sedang aku masih lurus menatap wajahnya. Aku..
“Oh Sehun, aku…”
Tiba-tiba lampu dinyalakan, membuatku refleks menyipitkan mata.
“Ah, film yang sangat bagus.”
“Aku masih merinding mengingat adegan-adegan menyeramkan itu.”
….
Entah ini keberuntungan atau kesialan.
“YA, kalian berdua! Kalian berbicara berdua tanpa mengajak kita!” Yeollie berjalan cepat ke arah kami, tak terima ditinggalkan dalam pembicaraan ini.
“Apa yang baru saja kalian bicarakan?” tanyanya dengan wajah sangat ingin tahu.
Sehun tertawa renyah. “Rahasia.”
“YA! Dasar adik tak tahu diri!”
“Masa bodo!”
“YA! OH SEHUN!”
Aku menatap kehebohan ini sambil tersenyum.
Mungkin ini bukan saatnya; maksudku, selamanya adalah ‘bukan saatnya’.
Untuk mengatakannya..
‘Oh Sehun, aku mencintaimu..’
…
Sometimes you can’t explain what you see in a person.
It’s just the way they take you to a place where no one else can.
+++
Pukul 3:15 pagi, dan mataku masih terbuka.
Wajah Sehun dan momen tadi terngiang-ngiang di kepalaku (sambil diselingi wajah hantu itu, sialnya). Rasanya setelah lama tak melihatnya, ia berubah menjadi sosok yang baru, dalam artian positif. Bukan hanya postur tapi juga garis-garis wajahnya yang menjadi semakin tegas. Dengan wajah setampan dan postur sebagus itu, pasti banyak yeoja mendekatinya.
Apa dia sudah punya pacar?
Anio, kurasa tidak (atau ini hanya aku menghibur diriku sendiri?).
Dan tiba-tiba, aku merasakan suatu sensasi untuk pergi ke kamar mandi, aku pun berjalan keluar kamar dan menuju kamar mandi yang letaknya hanya 3 langkah dari pintu kamar Yeollie.
Jregg..
Pintu kamar mandi mengeluarkan bunyi mendecit pelan saat aku membukanya. Dan betapa kagetnya aku melihat Sehun di sana, sampai-sampai aku terdiam membeku selama beberapa detik yang rasanya sungguh canggung. Aku langsung keluar setelah tersadar.
“Mian.” ucapku.
“Gwenchana. Dulu juga kita sering mandi bersama.”
Ah. Iya. Aku lupa.
Apa yang perlu membuatku begitu berlebihan? Sungguh memalukan. Aku pun masuk ke kamar mandi perlahan. Ia menoleh ke arahku sambil mencuci tangannya. “Kau belum tidur? Wajah hantu itu terngiang-ngiang di kepalamu, ya?” Aku mengangguk. Tak sepenuhnya bohong, kok.
“Kalau begitu, mau melakukan sesuatu berdua?”
+++
Dan melakukan sesuatu berdua yang Sehun maksud hanyalah mengajakku ke kamarnya.
Ah, sudah lama juga aku tak mengunjungi tempat ini. Masih sama seperti terakhir kali aku masuk ke sana, sebelum ia pergi. Berbeda dengan Yeollie, Sehun termasuk ke dalam golongan namja yang rapih dan bersih. Atau mungkin karena faktor pintar, ia selalu menyusun buku-bukunya yang sangat banyak –yang entah itu buku pelajaran atau novel-novel tebal– dengan rapih dan disusun sedemikian rupa. Ia bahkan membuat suatu teori membosankan yang mengatakan bahwa, menyusun buku-bukumu dalam susunan abjad itu adalah cara paling efektif, apalagi saat sedang mencari-cari satu buku dan yang kamu perlukan hanya mengetahui apa abjad paling depan dari judul tersebut (yang anak TK saja bisa lakukan) dan eng-ing-eng! Ketemu!
“Sejak kapan kau suka membaca buku selain buku bergambar dan berwarna?” Aku menoleh pada sosok yang sedang berpose di depan pintu.
“Komik, bukan buku bergambar dan berwarna. Harus berapa kali kukatakan, jinjja.” Gerutuku masih sambil melihat-lihat rak bukunya, mencari-cari kalau saja ada buku yang terselip dan tak seharusnya berada di sana sesuai dengan hukum abjad.
“Komik juga buku bergambar dan berwarna, kan? Lalu apa bedanya?” Sudahlah, aku tak akan menang adu mulut dengannya.
“Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya lagi dengan wajah bingung.
“Aku sedang mencari-cari kesalahanmu.” jawabku jujur. Ia tertawa kecil. Tawa kecil yang sangat istimewa.
“Cari saja sampai kau tua.” Aku mendengus.
“Hun, memang buku-buku ini, buku pelajaran atau novel?”
“Novel-novel yang menyangkut ilmu pengetahuan, dan non-fiksi. Bukan seperti komik Naruto atau One Piece yang kau suka itu.” Aku tak terima komik kesukaanku dilecehkan seperti itu.
“Memang apa salahnya berfantasi?” serangku.
“Memang tak ada yang salah, sampai kegiatan berfantasi itu menghabiskan seluruh waktumu tanpa mempelajari apapun pada akhirnya.”
“Siapa bilang tak ada yang dapat dipelajari dari cerita-cerita fantasi itu?”
“Contohnya?”
“Yah, contohnya, Naruto dan One Piece itu mengajarkan kita untuk berani bermimpi dan menghargai persahabatan.” Dan wajah Sehun yang tersenyum menyebalkan membuatku kesal.
“Jinjja, aku tak pernah percaya bahwa kau pintar.” ucapku pada akhirnya, menyerah.
“Kau hanya tak mau percaya bahwa aku pintar.”
“Ckck, kau terlalu percaya diri.” ucapku sambil berjalan mendekati ranjangnya dan melemparkan diriku begitu saja di sana. Sehun mengikutiku, dan selanjutnya kami sama-sama terdiam dalam damai. Lampu tidur yang remang-remang membuat suasana semakin menggoda.
“Hun..” Aku membuka pembicaraan. “Wae?”
“Apa kau terkenal di sekolah?”
“Kenapa kau ingin tahu?” Ia menatapku. Aku membalas dengan mengangkat bahu.
“Geunyang..”
“Biasa-biasa saja. Sepertinya.” Aku mengangguk-angguk.
“Kau punya teman perempuan yang dekat denganmu?”
“Eobseo. Sepertinya.” Lagi-lagi aku mengangguk.
“Kau sudah punya pacar?”
“Ya, Xi Luhan. Ada apa denganmu? Kau ingin berkenalan dengan yeoja di sekolahku?”
Aku menggeleng dengan cepat. “Tentu saja tidak! Aku hanya ingin tahu.” Ia menatapku dengan pandangan menyelidik, membuatku cepat menambahkan, “Jeongmalyo.”
“Bagaimana denganmu?” Aku –lagi-lagi– menggeleng dengan cepat.
“Aku juga tak punya siapapun seperti itu di sana.”
“Jinjja?” tanyaku lagi dan ia mengangguk. Aku terdiam sejenak. “Aku tak percaya.”
“Ya! Memangnya aku pernah bohong denganmu?” Ia tak terima, tentu saja. Aku pun mendekatkan wajahku padanya, mencari kesungguhan di sana.
“Lalu, apa ada yang kau sukai saat ini? Yang bukan pacarmu?” tanyaku. Aku menatap matanya lurus, dan ia balas menatap mataku lama. Sebelum akhirnya ia mengalihkan pandangannya.
“Sudahlah. Kenapa juga kau ingin tahu?” Aku merengut.
“Iya atau tidak?” tanyaku sedikit memaksa.
“Molla..” Aku semakin merengut.
“Kau tahu, sekarang aku tak tahu apa-apa tentangmu. Padahal dulu kita sangat dekat. Aku hanya ingin tahu sedikit lebih banyak hal tentangmu.” ucapku lagi, aku serius. Ia menatapku lama.
“Eobseo.”
….
Dia berbohong..
Mengenalnya bertahun-tahun –dan bahkan menyukainya hingga tentu saja aku sangat memerhatikannya, aku tahu sekali bagaimana buruknya ia berakting, dan bagaimana ia selalu berusaha terlihat normal setiap kali ia berbohong. Aku tahu sekali.
Dan untuk pertama kali, rasa ‘aku-sangat-mengenalnya’ itu menyakitiku begitu dalam. Bukan, bukan karena ia bohong. Hanya saja, mengetahui kenyataan bahwa kisah cintaku harus berakhir bahkan sebelum dimulai, itu sungguh menyakitkan.
Dan aku hanya bisa menatapnya lurus, tanpa tahu harus berbicara apa.
“Bagaimana denganmu, Lu?”
Aku merasa sesuatu sedang berputar di kepalaku, pusing sekali. Rasanya seperti… seperti bumi sedang berputar di dalam kepalamu.. atau entahlah. Semuanya sungguh membingungkan.
Dan yang jauh lebih membingungkan lagi adalah selanjutnya.
“Ya, Oh Sehun. Kau tahu, aku….”
“Aku menyukaimu.”
+++
+++
