Cast :
- Oh Sehun
- Xi Luhan
Genre : Yaoi, Romance, School
Author : @leedonghyunn
…
Seoul, 2015
Xi Luhan menatap ruang terbuka yang sangat luas di hadapannya, berbagai pikiran berkecamuk di hatinya. Segalanya bercampur aduk menjadi satu, meninggalkan hanya kesedihan. Kakinya terasaberat untuk melangkah, namun ia tetap berjalan keluar, mencari kendaraan yang bisa membawanya ke rumah secepat mungkin.
Ia akhirnya memesan sebuah taksi, yang datang tak lama kemudian.
Dan di dalam taksi tersebut, ia memandang ponselnya lekat.
Ia membuka kontak ponselnya, melihat sebuah nama yang menjadi bagian dari kenangannya.
Dan Luhan memencetnya.
Nada sambung berbunyi beberapa kali, sebelum suara yang dirindukannya itu terdengar.
“.. Luhannie?” Ia tersenyum.
“Jongdae-ya, aku di Seoul sekarang..”
+++
Luhan berdiri di depan rumahnya lama. Ah, betapa ia merindukan rumah ini.
Namun saat ini, ia bahkan takut untuk masuk ke dalam.
Bagaimana jika seluruh kenangan itu kembali padanya satu kali lagi? Ia tak yakin dapat menghadapinya jika itu terjadi.
Dan tiba-tiba pintu terbuka.
“Luhan? Kau datang? Kenapa tak bilang terlebih dahulu, appa bisa menjemputmu.” Dan appa langsung bergegas membukakan pintu untuk Luhan, meski bukan itu alasan ia tak masuk ke dalam meski sudah berdiri di sana selama hampir 30 menit. Appa melihat Luhan dengan tatapan hangat dan penuh kerinduan, Luhan tersenyum pada appa-nya.
Ini ayah yang sangat ia rindukan.
“Bagaimana kabarmu, Luhan-ah?” tanya appa dengan suara yang sangat menyejukkan.
“Aku baik-baik saja.” Aku tidak baik-baik saja. “Bagaimana dengan appa?”
“Tentu appa baik-baik saja, bagaimana tidak.” jawab appa cepat.
“Appa, bagaimana dengan eomma? Aku ingin bertemu eomma.”
“Sebaiknya kau beristirahat sejenak sebelum pergi menjenguk eomma.” Luhan terdiam.
“Apa eomma baik-baik saja, appa?” Dan kali ini appa terdiam. Ia sudah tahu jawabannya.
“Eomma sudah berjuang sekeras yang ia bisa, Luhan-ah.” Memang bukan hal baru baginya mengenai penyakit eomma. Saat ia masih SMP, eomma sudah divonis kanker pankreas. Eomma menjalani operasi dan semuanya sudah selesai. Setidaknya itu yang ia dan appa-nya kira. Siapa yang sangka kalau kanker itu kembali datang, bahkan tak tanggung-tanggung, stadium 4.
“Aku tahu, appa.” Dan Luhan tahu, perpisahan itu takkan lama lagi.
“Sampai kapan kau di sini?”
“Aku akan tinggal di sini cukup lama, aku ingin menemani eomma.” ucap Luhan lagi, disambut dengan rangkulan erat appa terhadap anak semata wayangnya ini. Kedua lelaki ini sama-sama sudah menyadari, mereka akan ditinggalkan oleh malaikat di keluarga mereka.
Dan biarpun hanya sedetik lebih lama, Luhan ingin menghabiskannya bersama eomma.
+++
Melihat eomma yang sangat rajin dan ceria terbaring tak berdaya seperti ini, Luhan jadi ingin menangis. Ternyata Seoul membuatnya sakit hati lebih dari yang telah ia persiapkan. Air mata sudah sampai di pelupuk matanya, ia langsung mengelapnya dengan cepat. Untung eomma sedang tertidur pulas, eomma pasti tak ingin melihat anaknya menangis karenanya.
Luhan terduduk manis di sebelah eomma-nya. Hanya menatap eomma-nya lekat-lekat seperti ini sudah membawanya ke banyak sekali kenangan manis yang saat ini malah membuatnya sedih.
Eomma…
+++
Seoul, 2010
Oh Sehun berjalan di koridor sekolah menjadi pemandangan baru semua murid di sekolahnya. Dan pembicaraan mengenai Oh Sehun, murid baru di kelas 10-1 yang super tampan itu menjadi pembicaraan paling populer selama seminggu ini. Bahkan ia sampai tak punya waktu untuk bertemu dan berbicara dengan Luhan, membuat Luhan merasa sedikit sedih.
“Yang ini saja, ya?”
Dan akhirnya ini pertama kalinya Luhan bertemu dengan Sehun setelah seminggu berlalu.
“Ah, aniya. Kalau soal horor, Jepang juaranya!”
“Tapi film yang ini berdasarkan kisah nyata, Chanyeol-ah. Based on true story!”
“Lihat saja posternya, jelas lebih seru yang Jepang!”
“Jangan seperti itu, Chanyeol-ah. Don’t judge a book by its cover.”
“Berhenti berbicara Inggris! Luhan, kau yang pilih saja.” seru Chanyeol sambil menunjuk Luhan tiba-tiba, membuat Luhan terkejut. Sebenarnya ia sudah terbiasa melihat kedua sahabatnya bertengkar karena masalah ini, bahkan hampir di setiap kali mereka menonton bersama.
Dan kalau memang ia boleh memilih, ia lebih memilih.. “Ini saja.”
Ia menunjuk sebuah poster film kartun yang sedang populer saat ini, membuatnya disambut dengan tonjokkan di bahu dari kedua sahabatnya. “Ya! Laki-laki sejati harus menonton horor!”
“Bagaimana mungkin kau memilih untuk menonton film anak-anak seperti ini!”
Luhan merengut. “Kalian yang menyuruhku untuk memilih tadi..” gerutunya, yang diacuhkan oleh Chanyeol dan Jongdae yang sudah kembali bertengkar mengenai kedua film horor itu.
Tiba-tiba, ia merasa pundaknya tersentuh oleh sesuatu. Ah, Oh Sehun. Ia menepuk pundak Luhan beberapa kali dengan wajah sok prihatin, namun beberapa saat kemudian, ia mulai tertawa. Luhan kembali merengut. “Kau benar-benar menyebalkan.”
“Hahaha..” Luhan menatap Sehun yang tertawa dengan wajah datar. “Bagaimana mungkin..”
“Apanya?” balas Luhan ketus.
“Kau bisa bertahan berteman dengan mereka kalau kau benar-benar berbeda dengan mereka?”
“Lebih baik aku jadi orang aneh sendirian daripada jadi gila seperti mereka.” jawab Luhan sungguh-sungguh sambil memerhatikan kedua sahabatnya yang –masih saja– beradu mulut.
“Ya, tetaplah seperti ini..” Luhan menoleh kepada Sehun yang sedang menatapnya lurus sambil tersenyum. “Tetaplah menjadi Xi Luhan yang seperti ini.”
Ah, lagi-lagi ia terpesona..
Bagaimana bisa namja ini membuatnya tak dapat merasa terbiasa dengan kehadirannya?
“Kau juga, bagaimana mungkin..”
“Apanya?”
“…” Luhan menatap Sehun lurus. “Terlihat begitu keren dan menyebalkan di saat yang sama.”
Dan Luhan hanya dapat mengutuk mulut besarnya dalam hati. Apalagi melihat reaksi Sehun yang tampak terkejut itu, meski beberapa saat kemudian ia kembali tersenyum lebar.
“Aku akan menganggapnya sebagai pujian, Luhan-ssi.” Luhan menghela nafas lega.
“Sehunnie, Luhannie, cepat kesini!” seru Chanyeol sambil melambaikan tangan ke arah mereka berdua dengan memegang 4 buah tiket di tangan lainnya.
Kali ini, Chanyeol yang menang.
+++
Seoul, 2015
Luhan masih menatap Eomma-nya yang tertidur pulas.
“Eomma..” Luhan memanggil eomma-nya dengan suara pelan.
“Waktu itu, aku memanggil eomma dengan nada yang sama. Eomma ingat, tidak?”
“Pertanyaanku waktu itu, eomma ingat tidak?” ucap Luhan sambil menatap eomma-nya dengan tatapan kosong. Ia sedang berjalan menuju salah satu pintu masa lalunya.
“Eomma.. Bagaimana kalau aku ..mencintai orang yang tak boleh kusukai?”
“Saat itu, aku tahu kauterkejut, meski kau masihberpura-pura tersenyum biasa saja. Aku tahu, kau kecewa. Tapi eomma, saat itu, yang paling kuinginkan adalah melihat senyumanmu yang mengatakan bahwa segalanya akan baik-baik saja. Dan kau melakukannya.”
…
“Terima kasih, eomma. Atas segalanya.” Kini Luhan tersenyum malu. Ini pertama kalinya ia mengatakan hal seperti ini pada orang tuanya. Namun hatinya merasa lega. Setidaknya ia telah mengatakan apa yang benar-benar ingin dikatakannya sejak dulu.
Krek. Pintu terbuka. Appa.
“Sudah siang, kau pergi makan saja dulu, Luhan-ah. Biar appa yang jaga eomma.”
“Appa sudah makan?” tanya Luhan. Appa mengangguk.
“Cepat sana, pergi makan.” ucap appa lagi. Luhan mengangguk dan berjalan keluar.
Saat sedang berjalan menuju lift, ponselnya bergetar.
Park Chanyeol.
Ia terdiam sejenak sebelum memutuskan untuk mengangkatnya.
“Halo..?”
“Luhan-ah! Kau dimana sekarang? Ayo bertemu, aku akan menemuimu!” Luhan tersenyum mendengar suara Chanyeol. Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali mendengarnya.
“Aku masih di Amerika, kau mau datang ke sini menemuiku?”
“Ya! Jangan bohong, aku tahu kau ada di Seoul sekarang, Jongdae memberitahuku kau menelponnya barusan. Cepat katakan kau ada dimana!”
Luhan tertawa sejenak. “Aku ada di rumah sakit, kau ada dimana? Aku akan menemuimu.”
“Rumah sakit? Apa yang kau lakukan di sana? Siapa yang sakit?”
“Itu kita bicarakan nanti saat kita bertemu. Kau ada dimana, Chanyeollie?”
+++
Saat sampai di sana, Chanyeol sudah ada di sana. Ah, ia banyak berubah. Meski wajahnya masih terlihat bodoh, kini ia tampak lebih dewasa dan matang dengan kemeja dan celana panjang. Luhan berjalan menghampirinya dengan cepat.
“Ya!” seru Luhan sambil menepuk pundak Chanyeol keras.
“Luhan-ah..” Meski ia ingin marah, rasa sebalnya dikalahkan oleh kekagetannya.
“Ya, kau terlihat benar-benar berbeda, jinjja.” Chanyeol menatap Luhan lekat-lekat dari ujung kepala ke ujung kakinya. Luhan tersenyum lebar.
“Apanya yang benar-benar berbeda dariku? Justru kau yang berbeda, Chanyeol-ah.”
“Aura. Auramu benar-benar berbeda dibanding dulu, meski wajahmu tak berubah.”
Luhan tertawa kecil, sahabatnya itu masih saja terlihat konyol tak peduli apa yang ia katakan.
“Bagaimana kabarmu disana? Kau memiliki banyak teman bule?”
Dan pembicaraan mengalir begitu saja. Luhan bercerita mengenai eomma dan segala hal lainnya, Chanyeol bercerita mengenai kumpulan mantan pacarnya yang cukup panjang. Dan akhirnya ada satu hal yang membuat Luhan bersyukur ia memutuskan untuk kembali.
“Bagaimana Jongdae?” tanya Luhan.
“Dia? Tentu saja ia tak berubah banyak, masih menyebalkan dan kekanak-kanakan seperti dulu. Sejak dulu, ia selalu saja tak suka melihatku bahagia, dan itu takkan pernah berubah.” Luhan tertawa mendengar penjelasan berapi-api Chanyeol.
“… Bagaimana dengannya?” Chanyeol terdiam. Ia tahu ini akan terjadi, alasan ia ada di sini saat ini pun, ia yakin Luhan tahu. “Apa dia baik-baik saja?”
Chanyeol menghela nafas panjang sebelum menjawab.
“Tentu saja dia tidak baik-baik saja.” Luhan terdiam.
“Luhan-ah..”
“Wae?”
“… Apa kau masih mencintainya, Luhan-ah?”
+++
