Title : It’s Okay, It’s Prince(Chapter 4)
괜찮아, 황자님이야
Cast :
Park Chan Yeol (EXO)
Kim Joon Myeon – Su Ho (EXO)
Jung Se Jung (OC)
Byun Baek Hyun (EXO)
Kim Jong In (EXO)
Nam Bo Ra (OC)
Seo Mi Rae (OC)
Other
Genre : Romance, Life Slide
Author : Lee Young
Length : Multichapter
PG-17
“Aku tahu, aku bukan orang yang memiliki segala hal yang bisa membuat orang lain tunduk kepadaku. Aku tahu jika aku hanya seorang gadis desa yang tidak tahu apa-apa. Aku tahu, aku bodoh. Tapi, aku masih ingin hidup. Aku masih ingin dihargai. Aku… masih ingin membahagiakan diriku sendiri,” kalimat Se Jung malah semakin tak bisa Chan Yeol pahami. Laki-laki itu menelan ludah, lalu melihat kesekeliling. Tampak sekretaris Im menatapnya heran. Seakan-akan Chan Yeol sudah melakukan sesuatu hal yang merugikan gadis itu.
“Aigo..nona… kau.. kenapa kau–” tapi kalimat Chan Yeol terhenti ketika Se Jung mendongakkan kepalanya. Gadis itu kini menatap Chan Yeol dengan tatapan sayu yang begitu familiar di mata Park Chan Yeol. Chan Yeol sedikit membulatkan mata. Tatapan itu… dimana dia pernah mendapatkannya?
BRAAAAK SRREEEET, Chan Yeol terseret bersama motornya di jalanan.
(Chapter 4)
Chan Yeol sudah berulang kali mengubah posisi tidurnya. Namun empuknya kasur yang dipadu dengan bantal serta aroma terapi di kamar Chan Yeol sama sekali tidak mampu membuat laki-laki itu diam untuk memejamkan mata. Mata Chan Yeol masih terbuka lebar, menatap kearah langit-langit kamar. Pikirannya melayang, mengingat kejadian yang seharusnya sudah dia lupakan beberapa minggu lalu.
Ingatan Chan Yeol boleh jadi adalah ingatan paling buruk yang pernah dimiliki manusia di dunia ini. Tapi… Chan Yeol merasa jika gadis tadi siang adalah gadis yang sama seperti tiga minggu lalu. Gadis yang mengulurkan tangannya, ketika dia terkapar di jalanan. Ketika semua orang menjauh dan hanya bisa berteriak panik… gadis itu malah mendekatinya, seakan mengerti jika Chan Yeol tengah terpukul karena seorang gadis lain bernama Nam Bo Ra.
“Aish… tidak mungkin…” gumam Chan Yeol lalu menggelengkan kepala. Laki-laki itu selanjutnya mengusap wajahnya frustasi, sebelum akhirnya bangkit dan duduk di pinggir ranjang. Berusaha keras untuk meyakinkan dirinya jika semua ini harus dia lupakan. Ya, dia harus melupakannya. Toh… semua berjalan secara kebetulan, kan? Gadis itu hanya berniat menolongnya yang terkapar di jalan, tanpa ada niat apapun. Dan tentu saja…. Gadis yang menjulurkan tangan kearahnya bukan gadis yang ditemuinya siang tadi. Bukan. Chan Yeol harus yakin jika mereka bukan orang yang sama.
***
Su Ho menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 20.00. Laki-laki itu menghela napas lalu saling mengaitkan jemari tangannya. Menunggu ayahnya selesai berbincang dengan rekan bisnis melalui telepon cukup membuatnya bosan. Bahkan untuk sekedar duduk di depan meja kerja ayahnya pun sudah menjadi hal yang sangat amat membosankan.
Kim Tae Woo, pria berusia 57 tahun itu akhirnya menjauhkan teleponnya dari telinga. Tawa bahagianya selepas berbincang dengan seseorang melalui telepon masih saja terdengar. Pria itu pun menatap Su Ho yang duduk di hadapannya dengan mata yang masih melengkung bahagia. Tapi, Su Ho sama sekali tidak peduli. Ayahnya memang cukup mudah untuk dibuat senang. Jadi..there is no big deal.
“Apa masih ada telepon yang lain lagi?” tanya Su Ho selepas ayahnya menutup telepon. Tae Woo menatap Su Ho lalu menggeleng. Membuat Su Ho menarik napas lega. Laki-laki itu untuk selanjutnya tampak membenarkan posisi duduknya.
“Museun iriya, Joon Myeon-a?,” pertanyaan Tae Woo menjadi kalimat pertama yang terlontar untuk Su Ho, “Tidak biasanya kau menungguiku hingga seperti ini,” Tae Woo berkata setengah menyindir. Karena biasanya, Su Ho akan meninggalkan Tae Woo begitu tahu ayahnya sama sekali tidak bisa diganggu. Berbeda sekali dengan malam ini. Malam ini, Su Ho rela menunggu hingga Tae Woo menyelesaikan seluruh urusannya.
Su Ho menarik napas. Dia sadar jika sikapnya malam ini sudah terlampau aneh. Tapi, Su Ho tidak bisa menahan keanehan ini lagi. Laki-laki itu harus segera bertindak demi meredam seluruh perasaan tak tenang yang menghantuinya.
“Aboji… apakah bagian administrasi hotel Incheon masih bisa dimasuki satu orang lagi?,” tanya Su Ho to the point. Laki-laki itu bertanya dengan raut wajah serius, dan tanpa berkedip sedikit pun. Membuat Tae Woo yang mendengarnya mengerutkan keningnya heran. Tumben sekali Su Ho mengajaknya berbicara masalah perusahaan. Biasanya Tae Woo harus memancing laki-laki ini untuk mau berbicara.
“Aigo, uri aedeul… apa aku tidak salah dengar? Kau menanyakan hotel Incheon?” Tae Woo malah balik bertanya. Su Ho menghela napas. Laki-laki itu segera memasang wajah jenuh di hadapan ayahnya. Ayolah… sekarang bukan waktunya untuk berlama-lama semacam ini.
“Cukup katakan, bisa atau tidak ayah,” Su Ho memperjelas pertanyaannya.
Tae Woo semakin mengerutkan keningnya heran. Entah kenapa malamini, Tae Woo merasa jika Su Ho sedikit lebih… ambisius. “Kau ingin masuk ke bagian administrasi? Tidak jadi menyamar sebagai koki?”
Kali ini Su Ho ingin sekali merengek di kaki ayahnya. Kenapa ayahnya selalu bertele-tele seperti ini?
“Aboji… jebal… aku hanya ingin tahu, apakah bagian administrasi hotel Incheon masih bisa dimasuki satu orang lagi? Aku memerlukan informasi itu, aboji,” rengek Su Ho. Tae Woo tampak menghela napas. Pria paruh baya itu menyahut kacamata dan memakainya. Tae Woo kembali ke mode serius. “Aku tidak bisa katakan jika kau tidak punya alasan yang jelas. Lagipula, kenapa kau harus menanyakannya kepadaku jika hotel Incheon dipimpin oleh direktur Tae Hyeong? Posisi ayahmu ini CEO Kim Groups. Kau tidak bisa menanyakan hal kecil semacam itu kepadaku,” kata ayahnya panjang lebar sebari mengecek dokumen perusahaan.
Su Ho menghela napas mendengarnya. Well..semua ini kesalahannya yang masih menganggap jika ayahnya adalah teman terdekat yang bisa langsung dia mintai informasi. “Aku pikir..kau ayahku. Maaf, ini salahku aboji,” kata Su Ho lirih.
Tae Woo yang tengah mengecek dokumen-dokumen penting terkait perusahaan mengangkat wajah. Kalimat Su Ho barusan sedikit membuatnya tersinggung, “Sebenarnya… apa yang kau inginkan? Tiba-tiba, kau datang dan menanyakan hal itu kepadaku tanpa ada alasan yang jelas. Benar aku ayahmu, tapi, jika itu berkaitan dengan masalah resort atau asset perusahaan, maka kau pun harus aku minta untuk professional Joon Myeon”
Su Ho pun terdiam. Benar juga perkataan ayahnya. Dia kurang professional. Bahkansama sekali tidak professional, karena kali ini dia melibatkan seluruh perasaannya. Malam ini Su Ho tidak bisa memisahkan antara pekerjaan dengan emosinya. Pria itu mencampuradukkan semuanya, menjadi sebuah ambisi aneh yang mencuat begitu saja.
Melihat anaknya seketika terdiam, membuat Tae Woo kembali menghela napas. Dia sadar jika sesuatu yang aneh tengah terjadi kepada anaknya.
“Joon Myeon-a…” panggil Tae Woo. Su Ho mengangkat wajah. “Alih-alih membicarakan hotel, bagaimana jika kau mengatakan kepada ayah, apa yang terjadi denganmu?”
***
Se Jung berulang kali mencoret list pekerjaan yang bisa dia peroleh setelah lamarannya di SK gagal total. Gadis itu hanya melakukan hal yang sama sejak beberapa jam lalu. Se Jung sama sekali tidak berbicara. Tidak makan. Bahkan tidak menyapa keluarga Baek Hyun hari ini. Gadis itu masih terlalu terpukul dengan pengumuman bahwa dia tidak diterima di perusahaan SK.
Bibi Seul Bi menengok kearah kamar Se Jung melalui celah-celah pintu yang sedikit terbuka. Wanita paruh baya itu tengah membawa nampan dengan berbagai makanan untuk Se Jung. Tapi, bibi tahu jika keponakannya sama sekali tak bisa diganggu. Jadi, dia hanya berdiri gusar di depan pintu, menunggu waktu yang tepat untuk masuk ke dalam.
“eomma…” suara Baek Hyun terdengar setelah suara langkah kaki laki-laki itu terdengar menaiki tangga. Bibi Seul Bi menoleh, tampak anaknya menatapnya dengan kerutan di kening. “Kenapa belum masuk ke dalam? Noona sudah tidur?”tanya Baek Hyun. Bibi Seul Bi melirik kearah kamar sekilas, “Sepertinya Se Jung begitu sibuk. Aku takut menganggu,” kata bibi lirih.
Baek Hyun berdecak mendengarnya. Laki-laki itu berjalan mendekati ibunya untuk menyahut nampan. Baek Hyun tahu jika ibunya tidak enak hati jika harus mengganggu Se Jung, tapi Baek Hyun pun tahu jika Se Jung tidak akan pernah merasa terganggu dengan pihak keluarga Baek Hyun. Laki-laki itu tahu benar jika Se Jung sangat menghargai mereka, jadi jika hanya masuk ke dalam kamar untuk mengantarkan makanan, Baek Hyun pikir bukan hal yang buruk. Toh ini juga untuk kebaikan Se Jung. Gadis itu harus makan.
Baek Hyun segera berbalik untuk mendorong daun pintu kamar menggunakan bahunya. Menimbulkan suara berdecit kecil akibat engsel pintu yang bergerak. Bersamaan dengan itu, Se Jung menolehkan kepala.
“Sesibuk apapun kau, tapi kau tidak boleh melupakan makananmu,” kata Baek Hyun sebari meletakkan makanan tepat di samping Se Jung. “Ibuku sudah memasak ini sejak kau belum pulang, jadi makanlah,” lanjutnya. Se Jung hanya menatap Baek Hyun sekilas, sebelum akhirnya menoleh kearah Bibi Seul Bi yang melambai kecil dari arah pintu. Melihat hal itu, Se Jung menghela napas. Dia tidak tahu jika sikapnya sudah membuat semua orang kerepotan.
“Bibi….”
***
Baek Hyun menghela napas dan berulang kali melirik ibunya setelah mendengar seluruh cerita Se Jung. Sementara Bibi Seul Bi berulang kali mengusap pundak Se Jung yang lagi-lagi terisak di hadapan mereka. Sekarang mereka tahu, Se Jung tengah mengalami masalah yang tidak bisa dianggap remeh.
“Gwenchanna, Se Jung-a. Aku yakin, ibumu tidak akan pernah kecewa,”kata bibi Seul Bi sebari terus mengelus lembut pundak Se Jung. Se Jung tampak mengusap airmatanya dengan punggung tangan. “Ibumu malah akan lebih kecewa jika kau tidak membalas pesannya, Se Jung,” lanjut bibi. Wanita paruh baya itu tersenyum penuh arti, bersamaan dengan Se Jung yang mengangkat kepala untuk menatap kearahnya.
“Hajiman… rasanya begitu memalukan, bibi,” Se Jung berkata dengan satu bulir airmata yang mengalir di pipinya, “Satu-satunya tujuanku berada di Seoul hanya untuk pekerjaan itu, dan kini aku kehilangannya. Sekarang, aku tidak punya tujuan untuk tetap disini, tapi aku pun tidak berhak pulang tanpa membawa apapun seperti ini,” lanjut Se Jung.
Bibi Seul Bi menggeleng. Tidak setuju dengan seluruh ucapan Jung Se Jung. Baek Hyun yang ada di samping ibunya pun hanya bisa terdiam, sebari merenungkan masalah Se Jung. Kini laki-laki itu jadi berpikir jika dunia orang dewasa tidak se-simple kelihatannya. Kasihan sekali Se Jung noona–batin Baek Hyun.
“Jangan pernah berkata seperti itu, Se Jung. Walau pun kau gagal untuk yang ke-100 kali, kau akan tetap menjadi Se Jung kami yang berharga,” Bibi Seul Bi menatap Se Jung tajam, “Kau tidak akan pernah kehilangan tujuanmu, Se Jung. Karena tujuanmu hanya satu, membuat kami bahagia karena kehadiranmu. Hanya itu”
Hening.
Bibi Seul Bi tampak menghela napas, “Jadi… tidak ada alasan untuk malu dengan semua ini. Yang harus kau lakukan hanya berusaha lagi, dan lagi. Karena kami akan terus berada di belakangmu. Percayalah, Se Jung,” bibi Seul Bi mengakhiri kalimatnya dengan sentuhan lembut di telapak tangan Se Jung. Wanita itu lagi-lagi tersenyum, membuat Se Jung terdiam karena ketenangan yang dipancarkannya.
“Sekarang…ja… kau harus makan,” bibi Seul Bi mendekatkan nampan kearah Se Jung. Se Jung mengangguk sebari mengusap sisa-sisa airmata di pipinya. Gadis itu selanjutnya meraih sendok yang tergeletak di nampan.
“Gadis baik, Se Jung. Aku keluar dulu, ya? Makan yang banyak,” kata bibi Seul Bi sebelum beranjak keluar kamar. Se Jung hanya mengangguk samar, sebari mengaduk-aduk nasinya.
Bibi Seul Bi tampak tersenyum sebelum keluar kamar, namun Baek Hyun masih saja duduk di hadapan Se Jung yang mulai menyendok makanannya.
Laki-laki itu menghela napas, “Noona… uljima,” kata Baek Hyun tiba-tiba. Sontan, Se Jung menghentikan aktivitas makannya. Dengan matanya yang masih berair, dan hidungnya yang merah, Se Jung menatap Baek Hyun keheranan.
“Jadilah Se Jung noona yang kuat seperti dulu, seperti ketika kau menolongku. Kau sama sekali tidak pantas jika menangis seperti ini.”
Se Jung yang sempat menghentikan gerakan mengunyahnya, tampak mengusap mulut sebelum akhirnya menelan makanannya susah payah. Kalimat Baek Hyun terdengar cukup mengada-ada. Karena faktanya, Se Jung belum pernah merasa menjadi seseorang yang kuat seperti yang dikatakan Baek Hyun. Mana ada orang kuat yang pingsan karena kram perut ketika menolong orang lain, jika bukan Jung Se Jung?
“Melihatmu menangis seperti ini membuatku ikut bersedih. Bagaimana pun juga, kau ini Jung Se Jung. Kau ini noona paling hebat, bahkan mengalahkan Kyung Joo noona. Kau berada di peringkat pertama noona terhebat dalam kehidupan Byun Baek Hyun,” kini Baek Hyun mulai berlebihan. Se Jung tahu jika adik sepupunya ini berusaha untuk melucu, tapi tetap saja… Se Jung masih harus mengerutkan keningnya heran.
“Ibarat pahlawan Disney..kau mungkin Wonder Woman…”
“uhuk…” Se Jung yang baru saja memasukkan satu suap sup tahu, tersedak. Tapi Baek Hyun malah sibuk menerawang, sebari menggerak-gerakkan jemarinya di dagu. “Aniya. Bukan Wonder Woman, tapi.. Elsa!! Benar, kau ini Elsa,” Baek Hyun semakin antusias. Laki-laki itu bahkan menunjuk-nunjuk Se Jung yang tengah menatapnya heran. “Kau telah menyelamatkan adikmu yang malang dari bahaya dengan cinta sejati yang sempurna. Sungguh… aku tidak menyangka. Benar,kan Jung Elsa?”
“Jung Elsa mwonde?,” tanggap Se Jung kemudian. Gadis itu tampaknya sudah bisa sedikit melupakan kesedihannya. Baek Hyun meringis, “Kau. Jung–El–Sa”
Se Jung mendesis untuk menanggapi lelucon Baek Hyun, walau pun jauh di dalam lubuk hatinya dia sangat berterimakasih atas usaha keras Baek Hyun untuk menghiburnya. Tapi, ekspresi Se Jung memang ekspresi yang paling pas untuk di keluarkan saat ini. Karena lelucon Baek Hyun memang tergolong cukup aneh.
Baek Hyun terdengar terkikih bahagia. Laki-laki itu tahu jika caranya untuk menghibur Se Jung 100% berhasil. “Aigo..tetaplah seperti ini, noona. Jangan pernah menangis lagi,” ucap Baek Hyun.
“Sejauh aku bisa mengontrol emosiku,” Se Jung menanggapi, namun malah dibalas dengan senggolan tubuh Baek Hyun ke lengan Se Jung. Se Jung pun terhuyung, hingga membuat gadis itu hampir terjatuh ke lantai.
“Aish..geu–”
Kriiiing…
Ponsel Se Jung berbunyi, menginterupsi rencana Se Jung untuk marah-marah kepada Baek Hyun. Se Jung menghembuskan napas sebal kepada Baek Hyun sebelum meraih ponsel yang tergeletak di hadapannya.
Su Ho Calling….
***
Seoul President High School, the next morning
Plung
Chan Yeol menghela napas setelah melemparkan sebuah kerikil ke dalam kolam ikan di taman sekolahnya. Laki-laki itu memilih duduk di bangku taman alih-alih menikmati waktu istirahat setelah pelajaran olahraga. Bahkan Chan Yeol sama sekali belum berniat mengganti kaos olahraganya dengan seragam sekolah.
Ingatan tentang Nam Bo Ra masih menguasai pikirannya, bahkan semakin hari semakin mendominasi. Chan Yeol tidak mengerti, kenapa dia begitu mencintai Bo Ra hingga hampir gila seperti ini. Hari-hari semenjak berpisahnya mereka, terasa begitu hampa dan tak berarti bagi Chan Yeol. Dia tahu dia berlebihan, tapi ini faktanya. Chan Yeol tidak bisa terlepas dari bayangan Bo Ra walau pun gadis itu sudah menolaknya mentah-mentah.
“Nam Bo Ra, sadarlah!! Aku mencarimu!!! Kau tidak tahu segila apa aku setelah kau pergi dari hidupku begitu saja. Kau tahu, kau tahu jika aku menyukaimu!! Bo Ra, kita pulang sekarang”
“Kau pikir kau siapa bisa mengajakku pulang seenaknya? Dan apa? Kau bilang aku yang pergi? Bukankah kau yang pergi? Kau bilang kau akan berada di sampingku, tapi faktanya tidak. Bagaimana pun, kau hanya seorang siswa ingusan yang tidak tahu apa-apa”
“Berhenti memanggilku Bora!!!”
“Aku tidak suka jika ada anak kecil menggunakan banmal macam itu kepadaku. Aku bilang, Bo Ra yang kau cari sudah mati”
Chan Yeol memejamkan matanya ketika ingatan itu datang. Semua ini begitu menyakitinya. Kalimat Bo Ra yang dulu pernah terlontar untuknya, membuat Chan Yeol merasa terhempas dari langit tertinggi ke dataran terendah di bumi ini. Chan Yeol sama sekali tidak ingin percaya dengan semua yang dia dengar.
Sementara dari kejauhan, Jong In yang baru keluar dari ruang ganti menghentikan langkah. Melihat Chan Yeol terdiam di taman dengan raut menyedihkan semacam itu membuat Jong In menghela napas. Dia tahu apa yang tengah dipikirkan Park Chan Yeol. Tidak lain dan tidak bukan, Nam Bo Ra.
“Orang itu benar-benar….,” Jong In menggeleng lalu menghela napas, “…menyedihkan”
Jong In memilih untuk tidak memedulikan Chan Yeol lebih jauh lagi. Laki-laki itu sudah terlalu lelah untuk melihat Chan Yeol terpuruk seperti itu. Bahkan laki-laki jangkung yang menyedihkan itu sama sekali tidak peduli dengan apapun hanya karena Nam Bo Ra. Sooneung yang tinggal dua bulan lagi Chan Yeol lupakan begitu saja. Awal yang bagus untuk kehancuran pendidikan Chan Yeol memang–itu prediksi Jong In.
***
Chan Yeol masuk ke dalam kelas masih dengan menggenakan kaos olahraga. Laki-laki itu langsung menuju bangkunya, tanpa peduli jika banyak pasang mata yang menatapnya heran. Pelajaran guru paling killer di sekolah ini hampir dimulai, tapi Chan Yeol masih belum bersiap sama sekali. Ya..walaupun sekolah ini sekolah elit yang berisi anak para pengusaha atau pejabat tinggi, tapi guru tetap guru, dan siswa akan selamanya menjadi siswa.
Plek
Chan Yeol yang tengah bersiap menenggelamkan wajahnya, harus tersentak karena sebuah tissue basah terlempar kearahnya. Tepat mengenai keningnya. Chan Yeol mengambil tissue basah yang menempel di keningnya, dan menatapnya heran.
“Setidaknya usap wajahmu sebelum pelajaran dimulai,” suara Jong In terdengar acuh dari arah samping. Chan Yeol menolehkan kepalanya, tampak Jong In tengah membaca buku pelajaran.
Chan Yeol mendesis setelah melihat Jong In bertingkah begitu menyebalkan. Laki-laki itu segera memalingkan wajahnya, setelah melempar tissue basahnya ke meja.
Jong In sedikit melirik. Laki-laki itu tahu jika tidak akanmudah untuk berkomunikasi dengan Chan Yeol saat ini. Laki-laki itu tampak menghela napas, “Aigoo..aku hanya tidak ingin Cho seonsaeng merasa tak nyaman karena siswanya kucel dan tak terawat. Aigooo… kasihan sekali Cho seonsaeng,” kata Jong In–lagi-lagi dengan nada acuh.
“Ya!!,” gertak Chan Yeol. Tapi Jong In menoleh secara perlahan.
Melihat ekspresi tenang laki-laki itu, membuat Chan Yeol kehilangan seluruh kalimat yang ingin diucapkannya kepada Jong In. Hingga membuat laki-laki itu kembali memalingkan wajah dan segera beranjak keluar dari kelas. Oke, dia akan bolos hari ini.
Jong In pun menyusul. Laki-laki itu segera berdiri dan berlari untuk mengejar Chan Yeol yang kabur karena ulah gegabahnya barusan. Laki-laki itu berusaha mengejar Chan Yeol yang berjalan cepat menyusuri koridor sekolah.
“Park Chan Yeol!!!” teriak Jong In sebari menyentuh pundak Chan Yeol. Chan Yeol langsung menghempaskan tangan Kim Jong In. Laki-laki itu berbalik, dan menatap Jong In dengan tatapan tak suka.
“Kau pikir apa yang kau lakukan, eoh?” lanjut Jong In. Chan Yeol mendengus sebal. Pertanyaan Jong In terlalu mengada-ada. “Aku pikir apa yang aku lakukan?,” kata Chan Yeol lalu terkekeh sinis, “Apalagi jika bukan menghindarimu, sekiya” lanjutnya dengan nada tajam.
“Geurae?… wah.. jotha…,” Jong In terkekeh tak percaya. Kalimat Chan Yeol terdengar sangat kekanak-kanakan, tapi entah kenapa malah menusuk sekali di hati Jong In. Chan Yeol kembali berbalik untuk melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti karena Jong In. Laki-laki itu sudah tidak ingin berlama-lama berada di hadapan Jong In. Kebenciannya terhadap Jong In masih belum bisa dia redam hingga detik ini.
“Geureomyeon…. Kenapa kau tidak melakukan hal yang sama kepada Nam Bo Ra, eoh?,” kata Jong In tiba-tiba. Membuat langkah Chan Yeol kembali terhenti. Laki-laki itu membulatkan matanya, tidak percaya dengan semua yang dia dengar. Kenapa harus membawa nama Bo Ra?!
“Kenapa kau memilih hidup dengan cara menyedihkan seperti ini? Kenapa kau tidak tinggalkan saja Bo Ra di belakang? Kenapa?,” lanjut Jong In. Tapi Chan Yeol masih belum bisa menjawab. Pertanyaan Jong In terdengar begitu kompleks di telinga Chan Yeol. Meninggalkan Bo Ra? Tidak mungkin!
“Kau pikir kau tidak punya masa depan? Aigoo… aku tidak menyangka jika seorang Park Chan Yeol akan begitu mudah terpuruk seperti ini,”kekeh Jong In terdengar diantara kalimatnya. Kekecewaan yang begitu besar tersirat dari cara Jong In mengatakannya. Chan Yeol tahu akan hal itu, tapi… Kim Jong In pun tidak boleh seenaknya sendiri mengatakan jika Nam Bo Ra telah membuat dirinya terpuruk!
Chan Yeol menolehkan kepalanya. Laki-laki itu bisa melihat sorot kekecewaan yang begitu mendalam terpancar dari kedua mata Jong In. Tapi, entah kenapa, semua seperti terpental oleh retina mata Park Chan Yeol. Impuls kekecewaan Jong In gagal total sampai di ujung saraf Chan Yeol. Laki-laki itu malah terdiam, bak mayat hidup tanpa ekspresi. Dan hal itu berhasil membuat Jong In semakin terkekeh miris.
“Aku tidak tahu seberapa hebat Nam Bo Ra di matamu, tapi persahabatan 10 tahun kita harus dikorbankan karena hal ini,” Jong In berkata lirih. Laki-laki itu menggelengkan kepalanya, “Tidak tahu. Sungguh aku sama sekali tidak tahu, apakah aku yang terlalu naif atau kau, tapi sejak kehadiran gadis itu…. kau menjadi sosok yang 180 derajat berbeda, Chan Yeol. Kau…. bukan Chan Yeol yang aku kenal,” Jong In mengatupkan bibirnya. Laki-laki itu sempat terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya berbalik untuk kembali ke dalam kelas. Meninggalkan Chan Yeol yang mematung di tempat, dengan matanya yang melebar sempurna. Dia berubah?
***
Se Jung berulang kali membungkukkan tubuhnya kepada manajer hotel setelah menyerahkan berkas-berkas lamaran pekerjaannya. Siang ini, Se Jung berada di sebuat hotel daerah Incheon untuk menyerahkan berkas lamaran pekerjaannya.Setelah depresi semalaman, telepon dari Su Ho membuat Se Jung memberanikan diri untuk melamar pekerjaannya di sebuah hotel.
flashback on
“Ne? Su Ho-ssi?” sapa Se Jung sebari berusaha membuat suaranya terdengar senormal mungkin. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan untuk menuju ke arah jendela. Instingnya selalu saja seperti ini. Tubuhnya secara otomatis akan mencari tempat yang terkena hembusan angin ketika tengah menelpon.
“Kau sudah baikan?,” tanya Su Ho dari seberang. Suara kecil Su Ho melalui telepon masih bisa Baek Hyun dengar. Sepertinya… kakak sepupunya sudah memiliki seseorang yang spesial–batin Baek Hyun.
Se Jung tampak sedikit salah tingkah. Mendadak gadis itu teringat sikapnya terhadap Su Ho tadi siang. Se Jung akui, siang tadi dia telah bersikap terlalu dingin kepada laki-laki itu. Dan hal itu berhasil membuatnya merasa sangat amat bersalah. “Ne, gwenchannayo. Am…”
“Hm?”
“Untuk sikapku tadi siang, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud…” kalimat Se Jung terpotong karena kekehan Su Ho di seberang. Se Jung langsung mengerutkan kening dibuatnya. Kenapa malah tertawa?
“Gwenchanna, gwenchanna. Geogjongma. Aku mengerti kenapa kau bersikap seperti itu hehe” Su Ho terdengar terkekeh di seberang, sebelum akhirnya terdengar suara helaan napas, “Jung Se Jung-ssi”
“Ne?”
Hening. Se Jung mengerutkan keningnya.
“Aku memiliki sepupu yang bekerja di hotel daerah Incheon, dia bilang ada satu kursi kosong di bagian administrasi,” kata Su Ho setelah terdiam beberapa saat, “Mungkin, jika kau berminat kau bisa mendaftar,” lanjut laki-laki itu.
Se Jung tampak menghela napas. Informasi dari Su Ho sangat sulit untuk dia percaya begitu saja. Bagaimanapun juga, infomasi dari Su Ho terkesan hanya sebuah bualan. Lagipula siapa yang akan percaya dengan informasi yang datang dari seorang koki biasa? Bahkan Se Jung pun sulit memercayainya.
“Maaf tapi–”
“Ah, kau pasti tidak percaya,” Su Ho memotong kalimat Se Jung. Se Jung yang merasa tertebak pun lagi-lagi harus salah tingkah, “Bukan begitu maksudku..aku hanya… hanya… belum menemukan ada lowongan pekerjaan di hotel Incheon lewat internet,” jawab Se Jung–sedikit berbohong. Gadis itu tampak menggigit bibir bawahnya.
“Kabar ini memang tidak disebar melalui internet, tapi kau bisa memercayainya. Atau begini saja, kebetulan, sepupuku memberiku kartu nama manajer hotel Incheon. Kau bisa menghubunginya jika tidak percaya”
“Sungguh?” pekik Se Jung.Gadis itu mulai tertarik dengan tawaran yang diajukan Su Ho. Tampak dari matanya yang membulat sempurna. Lagipula siapa yang tidak percaya jika sudah disodori nomor telepon manajer? Terlebih Se Jung sedang mencari hal-hal yang seperti ini. Nomor telepon manajer, kalau perlu CEO sekalian!
“Eo… jeongmalyo. Mungkin aku bisa mengejakan nomornya sekarang? Nomornya adalah…”
End
Se Jung tersenyum ketika duduk di bangku sebuah kedai kopi setelah selesai mengurus lamaran pekerjaannya di hotel Incheon. Su Ho benar-benar membantu. Informasi dari laki-laki itu mampu mengembalikan semangat Se Jung hingga senyum-senyum sendiri seperti ini. Kini, gadis itu malah sibuk memainkan cup kopinya saking bahagia dengan semua yang terjadi hari ini.
“Habis? Aigoo..lalu apa yang bisa aku pesan?” pekikan seseorang membuat Se Jung kembali ke alam sadarnya. Gadis itu menoleh kearah sumber suara, tapi harus ternganga karena tak percaya dengan penglihatannya. Kenapa harus laki-laki itu lagi?!! Park Chan Yeol benar-benar merusak mood-nya, entah kenapa.
Se Jung segera mengalihkan pandangan, dan memilih untuk tidak peduli. Gadis itu bersedagu, sebari menatap lurus ke depan–kearah jendela yang menampilkan jalanan. Pura-pura tidak melihat Park Chan Yeol. Tapi… secara tiba-tiba Chan Yeol malah duduk di bangku yang berada di depannya. Seperti disengaja! Tapi Se Jung tahu jika semua yang laki-laki itu lakukan sama sekali tidak sengaja, karena lihatlah… tatapan laki-laki itu sama sekali tidak mengarah kepadanya. Laki-laki itu sama sekali tidak sadar dengan keberadaan Se Jung. Dan… kenapa Se Jung malah bertambah emosi?
“Dasar manusia tak tahu sopan santun,” gumam Se Jung setelah mengingat seluruh tingkah tak sopan Chan Yeol kepadanya.
Se Jung kembali memalingkan wajah, kali ini sebari menyeruput kopinya. Sementara itu, Chan Yeol yang berusaha menenangkan pikiran, mulai menyeruput kopi sebari mengedarkan pandangan. Tapi, dia malah hampir tersedak ketika melihat sosok Jung Se Jung duduk dengan santai tidak jauh dari dirinya. Chan Yeol segera menurunkan cangkirnya, dan membulatkan mata.
“Namori!” pekik Chan Yeol. Otomatis, Se Jung menoleh. Namori?
“Ya!!! Kau mengikutiku?,” tanya Chan Yeol frontal. Membuat Se Jung membulatkan matanya tak percaya. Apa? Se Jung tidak salah dengar,kan? Laki-laki ini… kenapa dia percaya diri sekali?
“Omo!!! Apa kau tidak pernah sadar dengan apa yang kau ucapkan?,” tanggap Se Jung, “Kau pikir, apa pekerjaanku hingga harus mengikutimu? Dan… siapa kau? Seperti terkenal saja. Yang ada, kau yang mengikutiku. Aku lebih dulu berada di tempat ini!” lanjut Se Jung.
Chan Yeol tampak memutar bola matanya, “Ah, molla… kau sudah terlalu sering mengatakan kalimat itu. Aku yang lebih dulu,” Chan Yeol berdecak, “Jeongmal… adakah kalimat lain yang lebih enak di dengar? Setidaknya kalimat yang tidak berakhir mempermalukan dirimu sendiri”
“Ne?!!!!”
Chan Yeol terkekeh. Laki-laki itu menyeruput kopinya acuh, “Dasar namori aneh,” gumam Chan Yeol.
Se Jung tak percaya dengan semua yang didengarnya barusan. Laki-laki ini satu kali pun belum pernah berkenalan dengannya secara personal, tapi sudah berani-beraninya melawan seperti ini. Se Jung yakin 10.000% jika Chan Yeol sama sekali tidak mengetahui siapa namanya. Lagipula, Se Jung pun tidak mau berkenalan dengan laki-laki semacam itu. Ingat jika dia pernah menolong Chan Yeol saja sudah menyesal. Apalagi kenalan.
“Namori?”
“Na mollaneun ireum (나몰라는이름),” balas Chan Yeol singkat.
Se Jung berdesis mendengar kepanjangan kata yang Chan Yeol ucapkan. Benar-benar norak dan sama sekali tidak kreatif, “Dasar norak. Lagipula aku punya nama,” balas Se Jung lalu menyeruput kopinya.
“Ne, hajiman na molla”
Se Jung hampir tersedak. Lagi-lagi, dia harus dibuat sport jantung begitu mendengar jawaban Park Chan Yeol. Baru saja, laki-laki itu berbicara dengan begitu tak sopan kepadanya. Banmal. Banmal. Kenapa harus banmal? Apa Se Jung ini terlihat begitu mudah untuk diremehkan?
“Na? Kau baru saja berkata ‘Na’ kepada,ku?”
Chan Yeol melirik sekilas, “Aniya”
“Aniya?,” Se Jung semakin ternganga. Well, it’s okayjika Chan Yeol bersikap tak sopan. Tapicara berbicara seperti itu sudah terlalu kelewat batas. Bagaimanapun juga, mereka bukan teman dekat!!
“Tadi NA, sekarang AniYA? Astaga Tuhan, ehem, jeogi…. ireokhae jeoneun cheoreom malhamyeondweseumnida. ‘Na’ animyeon ‘Aniya’ andweseumnida, geureonde ‘Jeo’ animyeon ‘Aniyo’ dweseumnida. Algetseumnida? (Kau… seharusnya kau berbicara sepertiku. Jangan menggunakan ‘Na’ atau ‘Aniya’, tapi ‘Jeo’ atau ‘Aniyo’. Mengerti?(formal)), “ Se Jung kini menatap Chan Yeol untuk menjelaskan panjang lebar. Chan Yeol sama sekali tidak menggubris karena sebenarnya dia pun sudah tahu semua itu. Laki-laki itu malah beranjak dari bangkunya, dan mengangkat tangannya kearah Se Jung.
“Aku duluan, Namori,” katanya sekali lagi. Sungguh, sangat amat menyebalkan!!!
Se Jung speechless seketika. “Igeo mwoya…” gumam Se Jung. Gadis itu menggeleng, lalu segera menoleh kearah perginya Park Chan Yeol, “Ya!!!! Dangshin museun saenggakhae?!!! Kau–” mata Se Jung membulat ketika menyadari baju jenis apa yang dikenakan Park Chan Yeol saat ini. Laki-laki itu mengenakan kaos olahraga dan jas seragam berwarna biru gelap, lengkap beserta sepatu sekolah dan tas yang tersampir di pundak kanannya. Kini Jung Se Jung tahu jika Chan Yeol masih seorang siswa SMA.
“Omo… omo…. omo….. demi penciptaan langit dan bumi, bahkan kau masih SMA!!!!!” lanjut Se Jung, kali ini dengan nada bicara yang meninggi. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya, dan berjalan mendekati Chan Yeol yang seketika berhenti karena teriakan Jung Se Jung. Laki-laki itu tampak memutar bola matanya jengah, disaat Se Jung mulai memutari tubuh Chan Yeol.
“Waah, daebak! Baru kali ini ada anak SMA yang berani denganku,” kata gadis itu sebari menyentuh jas seragam Chan Yeol, melihatnya, dan pura-pura masih belum percaya dengan status Chan Yeol sebagai seorang siswa. Tapi Chan Yeol segera menghempaskan tangan Se Jung kasar. “Ye, Jeo haksaengiyeyo, ajjumma,” kini giliran Chan Yeol yang melepaskan amunisinya.
“Ajjumma?!!” pekik Se Jung. Telinga gadis itu langsung berdengung setelah Chan Yeol memanggilnya ajjumma dengan lancang. Apadia sudah setua itu? Dia baru 24 tahun!!!!! Tidak mungkin dia sudah tampak seperti tante-tante. Yang ada, Park Chan Yeol lah yang terlihat begitu tua. Suaranya yang besar, tubuhnya yang menjulang, dan wajahnya yang sering berkerut aneh–itu yang seharusnya menjadi masalah Chan Yeol sebelum memanggilnya ajjumma! Seenaknya saja laki-laki itu membuka mulut–batin Se Jung.
“Ya!!!,” Se Jung berkata tajam, “Jika aku ajjumma… tentu kau akan menuruti semua permintaanku. Setidaknya bisa lebih sedikit mengalah terhadapku dan menggunakan bahasa yang lebih baik. Tapi, aku masih ingat jika ada seorang anak muda yang dengan tanpa tahu sopan santunnya, merebut hakku di Soul’s Harmony!!!”
“Oh? Kau masih mempermasalahkannya?” tanya Chan Yeol dengan nada super menyebalkannya. Se Jung tampak mendengus. Semakin sebal dengan Park Chan Yeol.
“Aku mempermasalahkannya karena kau sama sekali tidak tahu dimana kesalahanmu!! Kau pikir, semua orang terima diperlakukan seperti itu? Well, ini bukan masalah album atau apapun, tapi ini masalah harga diri. Bagaimanapun harga diriku terlalu tinggi untuk bisa kau injak sesukanya,” kata Se Jung. Tapi Chan Yeol malah menyipitkan mata sebari mengorek telinga kirinya. Kalimat Se Jung terdengar begitu berlebihan di telinga Chan Yeol. Laki-laki itu sudah tidak menemukan apa korelasi album, harga diri, dan dirinya. Mungkin Chan Yeol yang gagal paham, tapi Jung Se Jung lebih gagal lagi dalam memahamkan. Terlebih… Se Jung membicarakan tentang harga diri dengan cara yang sama sekali tidak tepat. Chan Yeol berani bertaruh akan hal itu.
“Harga diri? Jadi kau meneriakiku disini hanya karena harga diri? Lalu, bagaimana dengan mereka? Kau tidak sadar jika kita jadi tontonan?,” kata Chan Yeol dengan nada ringan. Laki-laki itu menggerakkan dagunya ke sekeliling. Menyadarkan Se Jung jika hampir separuh pengunjung kedai kopi menatap mereka keheranan.
Se Jung langsung terhenyak. Gadis itu segera menatap ke sekeliling. Matilah dia!!!
***
“Aku tidak percaya jika seseorang akan melukai harga dirinya di depan umum hanya untuk menjunjung tinggi harga diri. Harga diri apanya jika seperti itu?,” cibir Chan Yeol. Laki-laki itu duduk di kursi halte setelah ribut dengan Se Jung di kedai kopi beberapa menit lalu. Chan Yeol berencana untuk kembali ke sekolah setelah kabur karena pertengkarannya dengan Kim Jong In. Walau pun dia tidak yakin apakah satpam mengijinkannya masuk atau tidak. Tapi masa bodohlah. Toh..saat ini pikiran Chan Yeol tengah mendidih karena adu mulutnya dengan gadis itu. Gadis yang duduk satu meter di sampingnya. Jung Se Jung.
Se Jung tampak mendengus sebal. Gadis itu memalingkan wajahnya kearah lain, sebari melipat tangannya di depan dada. Kekanak-kanakan–batin Chan Yeol. Suara desisan Chan Yeol terdengar diantara hembusan angin sepoi, dan hal itu berhasil membuat Se Jung tergelitik untuk membalas cibiran Chan Yeol sekali lagi. Ah, mungkin dua kali, atau bahkan berkali-kali.
“Moral anak muda jaman sekarang sama sekali tak tertolong. Sama sekali tidak sopan. Bahkan kepada orang yang lebih dewasa sekalipun,” balas Se Jung dengan nada tajam.
Chan Yeol melirik sekilas. Laki-laki itu tampak menerawang ke langit-langit halte sebari sedikit menyipitkan mata, “Aigoo… bagaimana ya… jaman sekarang, banyak sekali orang yang mengaku sudah dewasa tapi berorasi tentang harga diri dengan cara yang sama sekali tak dewasa. Memalukan,” Chan Yeol tak mau kalah. Laki-laki itu bahkan tersenyum samar ketika melihat Se Jung ternganga karena kalimatnya. Sepertinya, Chan Yeol memang berbakat untuk masalah yang seperti ini.
Tapi Se Jung memilih menahan diri untuk tidak mengumpati bocah itu. Gadis itu menarik sebuah napas panjang. Dia menoleh, “Kau berusaha membuatku marah?”
Chan Yeol menaikkan bahunya, tanpa menoleh kearah Se Jung sedikit pun. Laki-laki itu kini merentangkan tangan,“Ah… areumdaun nal,” gumam Chan Yeol dengan nada super menyebalkan, sebelum akhirnya menoleh kearah Se Jung, “Apa kau pikir aku berbicara kepadamu? Ah, maaf… tapi aku berbicara sendiri”
“Ne?”
“Hah, menjadi laki-laki tampan memang resiko terbesar dalam hidupku. Bahkan ajjumma-ajjumma mengikutiku hingga ke halte,” Chan Yeol berkata sebari melirik kearah Se Jung. Se Jung tampak mengepalkan tangannya. Gadis itu ingin sekali menonjok Chan Yeol yang bermulut super besar itu. Tapi, akhirnya Se Jung melonggarkan genggamannya. Gadis itu harus bisa meredam emosinya sendiri.
“Mengikutimu? Astaga, anak ini…. Ya!…. aku disini karena harus pulang ke rumah. Semestinya aku yang bertanya kenapa kau ada disini? Kau seharusnya berada di sekolah dan menerima pelajaran dari guru agar menjadi manusia yang berguna di masa depan. Bukannya bolos di halte bus,” balas Se Jung.
“Aku disini…. karena harus kembali ke sekolah… Namori,” jawab Chan Yeol dengan mendekatkan wajahnya kearah Se Jung. Membuat Se Jung sedikit menggeser tubuhnya untuk menjauh.
Melihat bagaimana sikap Chan Yeol, semakin lama membuat Se Jung kewalahan. Gadis itu tidak bisa jika harus membuang energinya untuk hal-hal semacam ini. Se Jung berakhir dengan memijat keningnya sendiri. Oke, dia menyerah. Dia tidak bisa menghadapi laki-laki semacam Park Chan Yeol.
“dangshin-ui maemdeureo, Park Chan Yeol-ssi (terserah kau saja, Park Chan Yeol)” gumam Se Jung. Tapi, gadis itu segera menutup mulutnya begitu sadar jika dia telah menyebut nama Chan Yeol–sebelum perkenalan mereka. Chan Yeol segera menolehkan kepalanya. Mata bulatnya tampak melebar sempurna. Dia tidak salah dengar,kan? Gadis itu baru saja menyebut namanya!! Sementara Chan Yeol sangat ingat jika mereka belum pernah berkenalan.
“Park Chan Yeol? Darimana kau tahu jika namaku Park Chan Yeol?” Chan Yeol bertanya dengan nada tajam. Laki-laki itu menghujamkan tatapan mengintimidasi kepada Se Jung yang mulai salah tingkah di sebelahnya. Gadis itu tampak meremas-remas telapak tangannya sendiri. Tapi, sesaat kemudian, dia menoleh. Wajah Se Jung kini benar-benar terlihat aneh.
“Ak…aku..menyebut namamu?,” Se Jung berusaha mengalihkan perhatian Chan Yeol. Tapi, Chan Yeol bukan anak kecil yang mudah ditipu dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Dia bisa mendengar dengan sangat jelas jika gadis itu menyebut namanya.
“Cukup katakan… darimana?” ulang Chan Yeol, kali ini dengan nada lirihnya yang super tajam.
Keberanian Se Jung seketika menguap. Se Jung kini menelan ludahnya. Gadis itu semakin tampak kebingungan akanmengatakan apa.“A…Aigo…. sepertinya aku harus ke toilet. Ya, ke toilet,” Se Jung beranjak sebari membenarkan selempangan tasnya. Gadis itu berencana melarikan diri dari hadapan Park Chan Yeol. Namun, tanpa diduga, pergelangan tangannya dicengkeram oleh Chan Yeol.
Se Jung sempat berusaha memberontak, tapi laki-laki itu malah menariknya kuat. Membuat Se Jung kembali terduduk, dan terjatuh tepat di pelukan Park Chan Yeol. Gadis itu melebarkan mata, terlebih ketika sadar jika suara jantung Chan Yeol begitu dekat dengan telinganya. Wajah Se Jung sempurna menempel di dada Park Chan Yeol.
“Katakan, darimana kau tahu namaku?” tanya Chan Yeol lirih. Se Jung menelan ludah. Gadis itu sama sekali tidak bisa berkata apapun, tapi Chan Yeol malah semakin tak terkendali. Laki-laki itu mengunci pergerakan Se Jung dengan menggunakan tangannya yang masih bebas. Sekarang, Se Jung sempurna berada di dalam dekapan Park Chan Yeol.
“Lep–”
Se Jung semakin dibuat shock hingga menahan napas setelah Chan Yeol mengeratkan dekapannya, “Katakan… apakah benar jika kau adalah orang yang muncul ketika kejadian itu? Ketika aku hampir mati di jalan? Eoh?”
Pertanyaan Chan Yeol menjadi awal dari berhentinya seluruh waktu dalam diri Jung Se Jung. Gadis itu merasa jika dirinya sudah tak punya daya apapun untuk menghindar. Dan entah kenapa, jantung Se Jung malah berdegup semakin kencang karena pertanyaan itu. Padahal jika dia mau, dia bisa mengiyakan dan Chan Yeol akan segera melepaskannya. Tapi, apa mungkin Se Jung se-naif itu? Memamerkan jasanya kepada orang lain hingga membuat orang itu menghargainya secara berlebihan?
“Cukup katakan iya atau tidak, Namori”
***
Mata Se Jung masih terbuka lebar. Gadis itu seakan lupa bagaimanacaramemejamkan mata. Dia menatap langit-langit kamar. Se Jungsama sekali tidak bergerak setelah menutup tubuhnya dengan selimut beberapa menit lalu. Terdiam. Jiwa Se Jung seakan tak berada di tubuhnya saat ini.
“Katakan, darimana kau tahu namaku?” tanya Chan Yeol lirih. Se Jung menelan ludah. Gadis itu sama sekali tidak bisa berkata apapun, tapi Chan Yeol malah semakin tak terkendali. Laki-laki itu mengunci pergerakan Se Jung dengan menggunakan tangannya yang masih bebas. Sekarang, Se Jung sempurna berada di dalam pelukan Park Chan Yeol.
“Lep–”
Se Jung semakin dibuat shock hingga menahan napas setelah Chan Yeol mengeratkan pelukannya, “Katakan… apakah benar jika kau adalah orang yang muncul ketika kejadian itu? Ketika aku hampir mati di jalan? Eoh?”
Se Jung menghela napas dalam. Bersamaan dengan kedua tangannya yang bergerak kearah dada, dan berakhir tertumpuk di sana. Lagi-lagi, jantung gadis itu berdegup kencang. Dadanya terasa sesak, sementara perutnya teraduk-aduk tak nyaman. Se Jung seperti kehilangan dirinya. Sungguh. Se Jung membenci perasaan aneh yang muncul secara tiba-tiba seperti ini. Benci sekali.
***
Flashback 7 hours ago
Se Jung berusaha untuk melepaskan dirinya dari dekapan Park Chan Yeol. Gadis itu tidak bisa jika harus membiarkan dirinya berada dalam posisi seperti ini terus. Orang-orang bisa salah paham terhadap mereka berdua.
“Kau… harus melepaskanku” mati-matian Se Jung mengatakan kalimat itu. Gadis itu sedikit menggerakkan tubuhnya untuk memberontak. Tapi, Park Chan Yeol malah semakin mengunci tubuh Se Jung.
“Katakan yang sebenarnya, atau kita akan seperti ini terus hingga matahari terbenam,” kata Chan Yeol lirih. Nada bicara laki-laki itu terdengar sedikit lebih dingin. Se Jung tahu, Chan Yeol merasa dipermainkan olehnya. Se Jung menelan ludahnya susah payah. Gadis itu harus mengakhiri ini semua!
“Ap…Apa yang harus aku katakan, jika… aku hanya mengetahui namamu saja? Tanpa sengaja,” balas Se Jung dengan suaranya yang sedikit bergetar.
“Tanpa sengaja?,” Chan Yeol tersenyum separo, “Maksudmu, tanpa sengaja setelah melihatku terkapar di jalan karena kecelakaan tunggal?” Chan Yeol seperti mengeluarkan kartu as miliknya. Laki-laki itu membuat Se Jungsemakin tidak tahu harus mengelak dengan caraapa lagi. Hingga akhirnya… anggukan kepala Se Jung terasa di dada Chan Yeol.
Rasanya seperti tersiram ribuan liter air. Terhempas dari langit tertinggi. Terbawa arus deras air terjun Niagara. Perasaan Chan Yeol seketika terasa tak karuan. Ternyata benar… gadis ini adalah gadis yang sama seperti 3 minggu lalu. Gadis yang sama seperti dalam mimpinya.
Chan Yeol melepaskan Jung Se Jung dari dekapannya. Laki-laki itu kehilangan seluruh kalimat pedasnya. Dia 100% lemas. Gadis menyebalkan yang sangat mengganggu inilah penolongnya ketika itu. Sungguh… semua ini sulit untuk dipercaya.
Sementara itu, Se Jung sama sekali tidak berani menatap Chan Yeol. Dia mengalihkan perhatiannya dengan mengobrak-abrik tas untuk mengambil kartu bus. Se Jung tampak begitu salah tingkah dengan semua yang terjadi barusan.
Keadaan mereka, 180 derajat berubah.
Derum mesin bus terdengar mendekat. Se Jung pun berdiri, dan bersiap untuk naik ke atas bus. Tanpa berkata apapun. Chan Yeol tampak menolehkan kepalanya, menatap Se Jung yang dengan langkah kaku berjalan memasuki bus. Chan Yeol tahu bagaimana perasaan Jung Se Jung. Tapi, dia yakin jika perasaannya masih lebih kompleks ketimbang gadis itu. Karena diam-diam, Chan Yeol mengakui semua anggapannya. Anggapan jika gadis itu memberikan setitik harapan ketika mengulurkan tangannya, bahkan ketika orang lain melemparkan Chan Yeol ke jalanan.
Bus Se Jung berlalu. Chan Yeol masih terdiam di bangku halte. Laki-laki itu mengurungkan niatnya untuk kembali ke sekolah setelah melarikan diri beberapa jam lalu. Lebih baik dia menuju ke suatu tempat yang membuatnya merasa lebih tenang. Hari ini, banyak kejadian tak terduga dalam kehidupan Chan Yeol. Bahkan, bagi hati dan pikiran laki-laki itu.
Chan Yeol berdiri. Laki-laki itu berniat untuk pergi dari halte. Tapi, secara tiba-tiba mata Chan Yeol menangkap sesuatu tergeletak di bawah bangku halte.
Sebuah dompet.
Flashback end
***
Angin malam berhembus cukup kencang, hingga membuat beberapa daun di ranting pohon terlepas dan terbang mengikuti arah angin. Daun-daun tanaman hias bergoyang-goyang akibat terpaannya. Hawa dingin menyertai setiap helaian angin ketika menyambut kulit siapapun. Tapi, tidak dengan Park Chan Yeol.
Laki-laki itu tampak terdiam di balkon kamar. Duduk di sofa dengan kakinya yang naik ke atas meja. Hembusan angin sama sekali tak berefek bagi Chan Yeol. Hawa dingin seakan tak mampu mengusiknya. Laki-laki itu tengah fokus menatap sebuah kartu nama di genggaman tangannya.
Jung. Se. Jung
Pohang, 1 Januari 1991
B type
To Be Continued
Preview :
“Aku… kehilangan dompetku,”
*
“Karena aku menyukainya!!!!”
“Aku…. aku tidak pernah merasa hampir gila hingga seperti ini. Ketika melihatnya berjalan lemas karena ditolak oleh SK, aku merasa jika aku yang salah. Semenjak kepergian ibu 7 tahun lalu, aku tidak pernah merasa terpukul hingga seperti ini hanya karena melihat kesedihan yang terpancar lewat kedua matanya. Aku hampir gila karena gadis itu, ayah. Aku..aku tidak bisa jika harus hidup dengan melihatnya seperti itu. Aku sama sekali tidak bisa”
*
“Aku tidak mengerti denganmu Chan Yeol. Setelah beberapa hari yang lalu kau membuang map berisi info universitas ke tengah jalan, sekarang kau bersikap seperti ini kepada eomma? Apa kau tidak pernah tahu maksud eomma menyuruhmu untuk pergi kesana?”
*
“Apa kau tidak bisa melihat rambu lalu lintas, eoh?”
“Aku hampir pingsan melihat kecerobohanmu, kau tahu?!!”
Big. Thanks. Lee Young. See. You
