Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

It’s Okay, It’s Prince (Chapter 5)

$
0
0

Cover

 

Title : It’s Okay, It’s Prince(Chapter 5)
괜찮아, 황자님이야

Cast :

Park Chan Yeol (EXO)

Kim Joon Myeon – Su Ho (EXO)

Jung Se Jung (OC)

Byun Baek Hyun (EXO)

Kim Jong In (EXO)

Nam Bo Ra (OC)

Seo Mi Rae (OC)

Other

Genre : Romance, Life Slide

Author : Lee Young

Length : Multichapter

PG-17

Previous:

“Katakan, darimana kau tahu namaku?”

“Lep–”

Se Jung semakin dibuat shock hingga menahan napas setelah Chan Yeol mengeratkan dekapannya, “Katakan… apakah benar jika kau adalah orang yang muncul ketika kejadian itu? Ketika aku hampir mati di jalan? Eoh?”

“Ap…Apa yang harus aku katakan, jika… aku hanya mengetahui namamu saja? Tanpa sengaja,” balas Se Jung dengan suaranya yang sedikit bergetar.

“Tanpa sengaja?,” Chan Yeol tersenyum separo, “Maksudmu, tanpa sengaja setelah melihatku terkapar di jalan karena kecelakaan tunggal?”

(Chapter 5)

“Jadi maksudmu, kau sudah tidak berhubungan dengannya lagi?,” pertanyaan itu terlontar diantara keheningan ruangan, kepada seorang gadis dengan setelan pakaian formal yang duduk tenang di sofa. Jemari lentik gadis itu tampak menggenggam cangkir yang disediakan untuknya. Dia tersenyum sebelum meneguk teh hijaunya.

Pria berusia 47 tahun yang duduk elegan di hadapan gadis itu ikut tersenyum. Bangga dengan cara keponakannya mensetting ini semua. Semua sudah berjalan sesuai harapan, bahkan hingga sejauh ini. Terima kasih kepada Nam Bo Ra yang sudah melakukannya dengan sempurna.

“Empat tahun pasti melelahkan, ya? Berhubungan dengan bocah seperti anak keluarga Park,” lanjut pria itu. Bersamaan dengan Bo Ra yang meletakkan kembali cangkirnya keatas tatakan, hingga menimbulkan suara dentingan kecil dari sana. Bo Ra menumpukan telapak tangannya ke atas paha, lalu menatap pamannya dengan senyum yang masih terukir di bibirnya.

“Empat tahun bukan hal penting untuk kita bicarakan saat ini, samchon,” Bo Ra menerawang kearah lain. Gadis itu mengingat-ingat sesuatu yang sama sekali tidak terlihat dari sorot matanya. Inilah kehebatan Nam Bo Ra. Kamuflasenya begitu sulit untuk dibongkar. “Membuatnya jatuh hati hingga mendekati gila bukan hal yang sulit, dan membuatnya tergantung kepada hal yang dia cintai sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan. Chan Yeol bukan tipe umpan yang mudah terlepas, walau pun dia sudah disakiti berulang ulang kali”

Pria itu terkekeh mendengarnya. Bo Ra memang brilliant. “Dan, setelah melihat kejadian satu bulan lalu, hal apa yang paling dicintai umpan kita?” pancing pria itu sebari menaikan satu alisnya. Well, dia pun sudah tahu siapa yang dimaksud oleh Nam Bo Ra.

Bo Ra tersenyum, sebari menundukkan kepalanya. Gadis itu tahu siapa yang paling dicintai Chan Yeol hingga detik ini.Tidak ada yang menjawab. Tidak ada yang menegaskan. Karena mereka berdua sudah sama-sama mengerti dengan situasinya saat ini. Bo Ra tinggal bergerak beberapa langkah lagi.

***

Chan Yeol mati-matian menahan untuk tidak menguap ketika sekretaris Im menjelaskan tentang profil berbagai universitas tingkat dunia yang mungkin dimasuki oleh Chan Yeol setelah dia lulus sekolah. Jujur saja, laki-laki itu terlalu bosan untuk mendengar segala hal yang berhubungan dengan universitas asing.

“Selanjutnya adalah Universitas Munchen, di Jerman. Universitas Mun–”

“Geumanhajuseyo, sekretaris Im,” potong Chan Yeol. Penjelasan sekretaris Im tentang universitas di Jerman adalah penjelasan ke-10 sejak beberapa menit lalu. Sekretaris Im tampak membungkukkan tubuhnya. Pria paruh baya itu segera meminimize power point dan mematikan LCD proyektor. Tanpa Chan Yeol minta, karena dia tahu, Chan Yeol sudah bosan dengan semua ini.

Chan Yeol menghela napas. Laki-laki itu berdiri dari kursi sebari berkacak pinggang, “Bukankah sudah aku katakan jika aku tidak ingin kuliah di luar negeri?,” tanya Chan Yeol. Laki-laki itu menatap sekretaris Im yang menundukkan kepalanya hormat. Iya, Chan Yeol sudah mengatakannya.

“Ye, tuan. Anda sudah mengatakannya beberapa hari yang lalu”

“Aish.. jinjja, bahkan aku tidak hanya mengatakannya. Aku bahkan membuang map yang berisi foto-foto tak penting tentang fasilitas universitas-universitas itu. Apa penolakanku kurang jelas?” Chan Yeol bertanya dengan nada tinggi. Laki-laki itu tak habis pikir dengan kelakuan sekretaris Im yang tidak mendengarkan dirinya kali ini.

Sekretaris Im tersenyum penuh hormat. Pria paruh baya itu menatap Chan Yeol yang tampak berulang kali menghela napas geram, “Maafkan saya, tuan. Hajiman, ini perintah ibu anda. Saya sudah mencoba menjelaskan kejadian beberapa hari yang lalu, tapi beliau tetap menginginkan anda mendengar semuanya, tuan,” tegas sekretaris Im.

Chan Yeol berdesis. Laki-laki itu untuk selanjutnya beranjak keluar dari perpustakaan pribadi keluarganya dengan diikuti oleh sekretaris Im. Dia tahu harus kemana. Tentu saja menemui ibunya yang saat ini berada di ruang kerja. Laki-laki ini akan menegaskan ke ibu jika dia ingin hidup dengan caranya sendiri.

Chan Yeol masuk ke ruang kerja ibunya tanpa mengetuk pintu sama sekali. Laki-laki itu langsung membuka pintu begitu saja, dan menyelonong untuk berdiri di hadapan ibunya yang tengah memeriksa dokumen proyek terdekat perusahaan mereka. Wajah Chan Yeol tampak begitu serius pagi ini. Bahkan laki-laki itu sesekali terlihat mendengus sebelum menatap ibunya dengan kedua mata bulatnya.

“Oh, Chan Yeol? Kenapa tidak mengetuk pintu?” tanya Mi Rae ketika melihat Chan Yeol sudah berdiri tegak di hadapannya. Wanita itu segera mengalihkan pandangannya untuk menatap kearah Chan Yeol.

“eomma…” panggil Chan Yeol tegas. Membuat Mi Rae mengerutkan keningnya heran. Tidak biasanya Chan Yeol bersikap begitu serius hingga seperti ini.

“Modeun geumanhae (hentikan ini semua),” lanjut Chan Yeol. Laki-laki itu menatap ibunya dengan matanya yang berpendar lain. Tapi Mi Rae malah semakin tidak mengerti dengan maksud anaknya. Wanita itu semakin mengerutkan keningnya heran, “Apanya yang harus dihentikan?” tanya Mi Rae heran.

“Semuanya. Terutama paksaanmu untuk kuliah di luar negeri. Aku ingin eomma menghentikannya,” jawab Chan Yeol to the point. Laki-laki itu sudah tidak ingin berlama-lama lagi. Dia ingin ibunya menghentikan paksaannya untuk pergi keluar negeri.

Well, sebenarnya semua ini bukan masalah universitas, tapi masalah ‘luar negeri’ yang selalu diangkat ibunya di setiap kesempatan mereka. Chan Yeol sudah lelah pulang pergi keluar negeri. Jiwa laki-laki ini yang lelah. Karena salah satu alasan menjauhnya Bo Ra dari Chan Yeol adalah luar negeri. Chan Yeol terlalu sering pergi keluar hingga meninggalkan Bo Ra ketika gadis itu membutuhkannya. Chan Yeol trauma. Chan Yeol tidak ingin menjadi laki-laki egois yang hanya mementingkan urusan keluarganya saja. Walaupun sejujurnya, Chan Yeol sama sekali tidak mengerti arti ‘ego’ yang sebenarnya.

Seo Mi Rae tampak menghela napas. Semuanya? Memang apa yang dilakukan Mi Rae hingga Chan Yeol mengatakan hal ini sebagai semuanya?

“Semuanya? Memang apa saja yang eomma paksakan? Bukankah aku sudah cukup menuruti semua keinginan dan tidak ikut campur di kehidupan pribadimu, Chan Yeol? Itu yang kau bilang dengan semuanya?” tanya ibunya retoris. Wanita paruh baya itu menggelengkan kepalanya heran, “Aku tidak mengerti denganmu Chan Yeol. Setelah beberapa hari yang lalu kau membuang map berisi info universitas ke tengah jalan, sekarang kau bersikap seperti ini kepada eomma? Apa kau tidak pernah tahu maksud eomma menyuruhmu untuk pergi kesana?”

Chan Yeol memalingkan wajahnya. Laki-laki itu memilih menghindari mata ibunya yang menatapnya dengan terlampau tajam kali ini. Tatapan yang belum pernah dia peroleh sebelumnya. Sementara Mi Rae tampak menjauhkan dokumen proyek perusahaan dari hadapannya. Dia harus menyelesaikan urusan pribadinya dengan Chan Yeol terlebih dulu.

Tapi, tidak ada jawaban dari Park Chan Yeol. Laki-laki itu terdiam, sebari masih memalingkan wajahnya.

“Anjayo,” kata Mi Rae lirih.

“Aku… tidak ingin pergi keluar negeri, eomma,” kalimat itu menjadi tanggapan terhadap perintah Mi Rae yang menyuruh Chan Yeol untuk duduk. Kini, laki-laki itu kembali menatap ibunya.

“Tidak ingin pergi keluar negeri? Jinjja…,” gumam Mi Rae sebari terkekeh aneh. Wanita itu tidak percaya dengan semua yang dia dengar. “Disaat semua orang ingin kuliah di luar negeri namun tidak mampu pergi kesana, kau yang dengan leluasa pergi malah–”

“Aku tidak memiliki alasan khusus untuk pergi kesana, eomma!!!” potong Chan Yeol. Ibunya tampak membulatkan mata, tersentak dengan cara Chan Yeol membentaknya.

“Tidak punya alasan?,” Mi Rae menggelengkan kepalanya, “Alasan apa lagi yang kau inginkan jika semuanya sudah jelas, eoh?! Kau. Park Chan Yeol, adalah satu-satunya orang yang akan duduk disini setelah aku melepaskan semuanya, araji?!!,” bentak Mi Rae. Tapi, Chan Yeol sama sekali tak bereaksi. Laki-laki itu sama sekali tidak menunjukkan ekspresi yang berlebihan, walau pun diam-diam, tangannya menggenggam di samping jahitan.

“Hanya itu? Jadi aku harus jauh-jauh keluar negeri hanya untuk menggantikanmu?”

“Kau harus menjadi ahli bangunan tingkat dunia sebelum duduk disini, Chan Yeol. Kau harus bisa menguasai semua hal dalam dunia teknik bangunan untuk mampu mempertahankan perusahaan yang didirikan ayahmu dengan seluruh darah dan keringatnya! Kau harus bisa itu semua, Park Chan Yeol!!”

Hening. Chan Yeol hanya menatap ibunya dengan matanya yang berkaca. Jadi, seperti ini ya keluarga Park berjalan? Well, dia memang anak kandung ayah dan ibunya, tapi baru kali ini dia sadar jika dia ada bukan untuk menjadi anak. Chan Yeol merasa jika dia hadir hanya untuk mempertahankan perusahaan kontruksi milik ayahnya saja. Ini semua sama sekali tidak adil.

“maldo andwae…” ucap Chan Yeol lirih. Suaranya terdengar sedikit bergetar. Sementara Mi Rae tampak salah tingkah. Wanita itu menautkan jemarinya gusar–merasa bersalah.

“Chan Yeol, semua yang eomma katakan–”

“Jadi, hanya itu nilaiku dimata kalian? Bagus, bagus sekali…” Chan Yeol terkekeh miris. Laki-laki itu berbalik, dan keluar dari kantor ibunya dengan langkah kasar. Entah kenapa, mendengar semua itu membuatnya marah. Dia, bukan robot kan? Dia manusia. Tapi kenapa, semua orang sama sekali tidak memedulikanya? Jika dulu Bo Ra, kali ini giliran ibunya sendiri. Rasanya Chan Yeol hanya hidup untuk tujuan formalitas.

***

Se Jung sibuk mencatat pasokan barang dagangan yang baru saja datang ke toko pamannya. Minggu ini, karyawan paman Ji Suk tidak bisa bekerja. Mengakibatkan Baek Hyun dan Se Jung menjadi korban untuk ikut menjaga toko milik paman. Sebenarnya, Se Jung sudah lama ingin membantu paman dengan cara seperti ini. Jadi, gadis itu merasa baik-baik saja. Tapi tidak dengan Baek Hyun. Laki-laki berdagu lancip itu berulang kali menguap di tempat duduknya. Menjaga toko seharian adalah hal yang paling dibenci oleh Baek Hyun. Membosankan.

“Hoaaaam….” Baek Hyun yang menguap membuat Se Jung terkekeh geli. Gadis itu melirik sekilas di tengah kegiatannya menghitung barang di catatan. “Jika kau lelah, tidur saja. Aku bisa mengurus ini sendirian,” kata Se Jung.

Baek Hyun tampak mengusap matanya yang berair, sebelum akhirnya bangkit dari tempat duduk. Laki-laki itu merenggangkan tubuhnya, “Jika aku bisa, aku sudah tidur sejak tadi, hajiman….” Baek Hyun merenggangkan kedua tangannya, “…..uang saku ku terancam didiskon jika aku ketahuan tidur oleh ayah,” kata Baek Hyun. Laki-laki itu kembali duduk dan menatap kearah pintu toko dengan tatapan malas. Tidak ada pengunjung.

Se Jung berjalan menuju kearah tumpukan barang-barang yang baru datang. Gadis itu tampak mencocokkan jumlah barang dengan kuitansi yang diterimanya. Dia seakan tidak peduli dengan perkataan Baek Hyun barusan. Baek Hyun tampak mengerucutkan bibirnya. Ah, masa bodoh.

“Tentu saja uang sakumu didiskon. Kau ini satu-satunya anak yang masih bisa paman dan bibi suruh-suruh. Kau memang sudah seharusnya mengerti hal itu, Baek Hyun-a,” tapi tanpa diduga, Se Jung menanggapi. Baek Hyun langsung menolehkan kepalanya kearah Se Jung. Heran dengan kemisteriusan kakak sepupunya itu.

“Aku pikir kau tidak peduli dengan ucapku”

“35 pack doshirak, 20 pack…,” tapi Se Jung kembali fokus dengan barang dagangan.

“Kau memang tidak peduli,” gumam Baek Hyun kecewa. Oke, mulai detik ini dia tidak akan curhat ceria dengan kakak sepupunya lagi. Se Jung memiliki kebiasaan buruk jika tengah fokus bekerja seperti saat ini. Gadis itu akan dengan mudah melupakan semuanya ketika dia sudah menghadapi satu hal yang menjadi prioritas. Baek Hyun tahu akan hal itu.

Sesaat kemudian, seorang laki-laki dengan jaket warna coklat memasuki toko. Membuat Baek Hyun segera membenarkan posisi duduknya untuk bersiap melayani pembayaran pengunjung itu. Seketika, Baek Hyun berubah jadi serius.

Pengunjung toko itu tampak berjalan kearah lemari pendingin, lalu mengambil beberapa botol minuman untuk selanjutnya dibawa ke kasir. Sementara itu, Se Jung sudah selesai mendata seluruh barang-barang toko. Gadis itu berbalik untuk menuju kearah Baek Hyun. Tapi, dia harus tersentak ketika mendapati sosok yang sangat dikenalnya tampak berjalan menuju kearah kasir.

“Su Ho?” panggil Se Jung dengan nada riang.

Su Ho mengangkat wajahnya. Betapa terkejutnya dia ketika melihat Se Jung berdiri di belakang mesin kasir–tepat di samping Baek Hyun. Sementara itu, Baek Hyun hanya menatap keduanya heran. Jadi, mereka berdua sudah saling kenal?–batin Baek Hyun.

“Jung Se Jung? Kenapa kau–” Su Ho menghentikan kalimatnya sebari menunjuk Se Jung yang berdiri di belakang mesin kasir. Laki-laki itu berusaha untuk menebak, namun akhirnya malah terbahak ketika sadar jika Se Jung bertugas sebagai penjaga kasir di toko ini.

“Aigo, Jung Se Jung. Kau juga bekerja paruh waktu sebagai kasir?,” tanya Su Ho heran. Dia menatap Se Jung dengan matanya yang membulat sempurna, sementara tangannya bergerak menyerahkan minumannya kepada Baek Hyun asal. Se Jung terkekeh. Gadis itu menggeleng, lalu menggerakkan dagunya kearah Baek Hyun sekilas.

“Aniyo. Aku hanya membantu menjaga toko milik pamanku,” jawab Se Jung. Gadis itu masih saja tersenyum lebar. Pertemuannya dengan Su Ho membuat gadis ini bahagia, terlebih laki-laki itu sudah menolongnya untuk melamar pekerjaan di hotel Incheon. Walaupun tidak ada yang bisa memastikan apakah Se Jung diterima atau tidak, tapi setidaknya Su Ho sudah banyak berperan dalam usaha Se Jung mendapatkan pekerjaan tetap.

“Oh..jadi begitu? Wah.. aku tidak menyangka jika dunia begitu sempit. Kau tahu, aku cukup sering berkunjung ke toko ini,” kata Su Ho. Bersamaan dengan itu, Baek Hyun selesai membungkus minuman Su Ho dengan kantung plastik.

“Ini minuman anda. Semuanya 570 won,” kalimat Baek Hyun membuat Su Ho sadar jika dia telah membuat seseorang menjadi obat nyamuk diantara mereka. Laki-laki itu segera menoleh kearah Baek Hyun, dan menundukkan kepalanya untuk meminta maaf. “Aigo.. maafkan aku, aku tidak sadar jika kau–”

“Gwenchannayo, Su Ho-ssi,” potong Se Jung sebari menggoyangkan tangannya di depan wajah Su Ho. Gadis itu merangkul leher Baek Hyun yang berdiri di sampingnya, “Dia ini sepupuku. Namanya Byun Dulbari,” lanjut Se Jung.

“Dulbari?” pekik Su Ho kaget. Baek Hyun pun tampak tak terima dengan cara Se Jung mengenalkannya kepada Su Ho. Seenaknya saja kakak sepupunya ini mengubah nama belakangnya. Dan kenapa selalu dulbari??

“Aish…. Noona… dulbari mwoya? Ireumi Byun Baek Hyun. Baek Hyun-iyeyo,” protes Baek Hyun tak terima. Laki-laki itu selanjutnya menghadap kearah Su Ho sebari menepuk dadanya sendiri, “Panggil aku Baek Hyun, hyeong. Byun-Baek-Hyun,” kata Baek Hyun memperkenalkan diri. Se Jung tampak mendesis, sementara Su Ho terbahak melihat tingkah aneh kedua sepupu ini. Dia tidak pernah menyangka jika kehidupan Se Jung sebebas ini. Kehidupan yang selalu Su Ho inginkan.

“Geurae, Baek Hyun. Kalau begitu panggil aku Su Ho. Su-Ho,” Su Ho beralih memperkenalkan dirinya sendiri. Laki-laki itu tersenyum ketika melihat Baek Hyun mengerutkan keningnya heran. “Suho (penjaga)?”

“Ye.. aku ini suho (penjaga). Kakak sepupumu bilang, aku bisa menjaga apapun” Su Ho berkata dengan seulas senyum di bibirnya.

Baek Hyun melirik Se Jung sekilas. Gadis itu tampak membenarkan rambutnya, berusaha bersikap se-cool mungkin. Sementara Baek Hyun malah berdecak menyangsikan. Eiii… Baek Hyun sama sekali tidak menyangka jika Se Jung bisa menggombal juga. Dan sepertinya laki-laki di depannya ini berhasil terperosok ke dalam gombalan Se Jung. “Tsk, jangan pernah percaya dengan yang Se Jung noona katakan, hyeong. Dia itu suka berbohong!”

“Apa?” pekik Se Jung. Sementara Su Ho tampak membulatkan matanya–pura-pura terkejut dengan ucapan Baek Hyun. Laki-laki itu kini menatap Se Jung yang tengah melotot kearah Baek Hyun geram. Lucu sekali. Su Ho menyukainya.

“Ya!!! Jangan asal bicara kau ya? Kalau untuk Su Ho aku serius. Kau tahu? Dia ini yang sudah merekomendasikan tempat kerja kepadaku. Dia benar-benar Su Ho,” omel Se Jung. Gadis itu lagi-lagi membahas jasa Su Ho yang memberinya informasi pekerjaan di hotel Incheon. Dan hal itu, membuat Su Ho merasa sedikit tak nyaman. Se Jung benar-benar mengira jika semua itu pureinformasi. Diam-diam, Su Ho menelan ludah. Laki-laki itu tidak ingin anggapan Se Jung terhadapnya hancur seketika. Karena semua itu bukan sekedar informasi biasa.

“tapi bisa-bisanya kau–”

“geumanhajuseyo,” Su Ho memotong omelan Se Jung sebari terkekeh renyah. Laki-laki itu sudah tidak ingin mendengar masalah informasi itu lagi. Dia takut jika pertahanannya untuk tetap bersikap normal goyah. Dia harus mengontrol dirinya baik-baik. Termasuk mengontrol situasi di sekitarnya.

“Aku rasa, semua itu tidak penting. Menjadi suho atau bukan, tapi panggilanku tetap saja Su Ho. Itukan yang terpenting?,” Su Ho meringis. Laki-laki itu selanjutnya mengeluarkan dompet dari saku celananya. Dia harus membayar minumannya.

Se Jung mengangguk setelah menjulurkan lidahnya kepada Baek Hyun. Gadis itu untuk sesaat mengamati transaksi antara Baek Hyun dengan Su Ho di sampingnya. Hingga dia teringat sesuatu. Seharian ini, dia sama sekali tidak melihat dompetnya. Se Jung mulai mengerutkan kening. Kenapa mendadak dia merasa aneh, ya? Dan kenapa harus teringat dompet?

“Baek Hyun-a… aku ijin sebentar..” bisik Se Jungkepada Baek Hyun yang tengah menunggu stroke pembayaran Su Ho. Su Ho ikut menoleh kearah Se Jung. Tapi, gadis itu tidak peduli. Dengan wajah panik dia segera keluar dari meja kasir dan berjalan cepat keluar toko. Dia harus mengecek dompetnya. Perasaannya benar-benar tidak enak.

Baek Hyun hanya mengerdikkan bahu, lalu menyobek stroke yang keluar dari mesin kasir. “Ini kembaliannya,” laki-laki itu menyerahkan stroke plus kembalian kepada Su Ho, tapi dia harus mendapati Su Ho terdiam sebari terus menoleh kearah menghilangnya Jung Se Jung. Su Ho seakan mematung di tempatnya.

Baek Hyun mengerutkan keningnya heran. Terlebih melihat mata Su Ho yang berbinar lain, membuat Baek Hyun merasa jika dia tidak bisa mengganggu laki-laki ini. Tapi, dia tidak mungkin membiarkan Su Ho diam dan menatap keluar toko terus menerus. Baek Hyun pun berdehem. Berusaha menyadarkan Su Ho.

Su Ho tampak gelagapan. Laki-laki itu kembali menoleh kearah Baek Hyun, dan tersenyum kikuk. “Ah, in..ini kembalianku?” tanya Su Ho ketika melihat selembar kertas beserta beberapa uang di genggaman Baek Hyun. Baek Hyun hanya mengangguk.

Su Ho tertawa aneh ketika menerima kembaliannya. Seakan laki-laki itu tahu jika Baek Hyun sadar akan keanehannya. “Terimakasih,” ucap Su Ho lalu menundukkan kepalanya sopan. Laki-laki itu segera berbalik untuk melangkah keluar toko. Tapi, baru beberapa langkah dia berjalan, Su Ho tampak gusar hingga kembali menoleh kearah Baek Hyun.

Laki-laki itu menghela napas, lalu mengulum bibirnya. “Baek Hyun-ssi..”

“Ye?”

“Sampaikan salamku kepada kakak sepupumu, ya? Dan….” Su Ho menghentikan kalimatnya sendiri. Dia ingin sekali berpesan, ‘dan jangan pernah mengungkit masalah informasi itu lagi’. Tapi Su Ho pikir, Su Ho tidak mungkin melakukannya. Dia akan tampak semakin aneh di hadapan Jung Se Jung.

Baek Hyun sudah menautkan alisnya, menunggu kelanjutan kalimat Su Ho. Tapi, Su Ho malah menggeleng, “aniyo, hanya itu saja. Aku pamit,” kata Su Ho lalu menunduk sekali lagi. Baek Hyun membalas dengan hal yang sama. Setelah itu, dia tampak mengerutkan keningnya.Jadi, laki-laki itu menyukai kakak sepupunya?–Baek Hyun menyimpulkan sendiri.

***

Se Jung sudah berulang kali mengobrak abrik tas yang dia pakai kemarin, tapi hasilnya tetap saja nihil. Dompetnya tidak ada.

Gadis itu menghentikan pencariannya. Dia terdiam sejenak, meruntuki sikap cerobohnya yang begitu payah dalam menyadari sesuatu. Tapi sialnya, firasat buruk Se Jung selalu saja menjadi nyata. “Bagaimana ini…” gumam Se Jung. Gadis itu menelan ludah. Dompet itu berisi segala macam kartu identitasnya. Benda paling berharga untuk saat ini.

Se Jung tidak bisa berkata apa-apa lagi. Gadis itu pun sudah tidak mampu untuk berteriak-teriak panik. Se Jung 100% menyalahkan dirinya sendiri.

***

Chan Yeol duduk terdiam di meja belajarnya. Laki-laki itu masih terpukul dengan kenyataan jika keluarganya begitu terobsesi dengan perusahaan, bahkan harus mengorbankan dirinya. Mungkin, jika dilihat sekilas, kehidupan Chan Yeol berjalan dengan begitu sempurna. Kaya. Tampan. Bebas pergi ke negeri manapun. Bebas membeli apapun. Semuanya. Tapi, bagi Chan Yeol, kehidupannya adalah kehidupan paling tak sempurna yang pernah ada. Benar jika ibunya membebaskan Chan Yeol melakukan apapun diluar sana, tapi benar juga jika secara perlahan Mi Rae telah melibatkan Chan Yeol ke dalam perusahaan. Ikut kunjungan kerja. Ikut turun ke lapangan untuk melihat proyek. Ikut melihat desain. Ikut ini itu, semuanya.

Chan Yeol menghela napas sebari bersandar di kursi dengan mendongakkan kepalanya. Laki-laki itu memejamkan matanya sejenak, dan ketika dia membuka mata, hal pertama yang dia lakukan adalah menoleh kearah dompet di ujung meja. Dompet Jung Se Jung.

Chan Yeol mengambil dompet Se Jung. Laki-laki itu menatapnya lekat, sebari mengelusnya dengan kedua ibu jarinya.

“Aku tahu, aku bukan orang yang memiliki segala hal yang bisa membuat orang lain tunduk kepadaku. Aku tahu jika aku hanya seorang gadis desa yang tidak tahu apa-apa. Aku tahu, aku bodoh. Tapi, aku masih ingin hidup. Aku masih ingin dihargai. Aku… masih ingin membahagiakan diriku sendiri”

Kalimat Se Jung yang terlontar beberapa waktu lalu kembali terngiang di kepalanya. Membuat Chan Yeol semakin mengeratkan genggamannya ke dompet Se Jung. Laki-laki itu menyadari sesuatu. Dia sadar jika kalimat Se Jung benar. Dia pun masih ingin hidup. Dia masih ingin membahagiakan dirinya sendiri. Sama halnya seperti Jung Se Jung. Hanya saja, kondisi mereka berbeda.

Kini, satu nama baru mulai tertoreh di pikiran Park Chan Yeol. Tertoreh perlahan diantara nama Bo Ra, Jong In, Ibu, Sekolah, Universitas, dan Perusahaan. Nama Se Jung mulai menjadi bagian dalam pikiran Chan Yeol, tanpa laki-laki itu sadari.

“Kau benar,” Chan Yeol bergumam sebari menatap dompet yang berada di genggaman tangannya. “Semua yang kau katakan waktu itu benar, Jung Se Jung”

***

Baek Hyun menatap kakak sepupunya dengan kerutan di keningnya. Heran. Sejak Se Jung kembali ke toko, wajah gadis itu terlihat murung. Se Jung seakan kehilangan seluruh semangatnya. Tapi, ketika laki-laki itu bertanya, Se Jung pasti menjawab dia baik-baik saja. Jawaban yang otomatis membuat Baek Hyun tak percaya. Hingga akhirnya laki-laki itu memutar bola matanya.

“Noona… bagaimana mungkin aku percaya jika kau baik-baik saja, tapi terlihat sama sekali tidak baik, eoh? Aku bukan orang lain, noona,” Baek Hyun mengomel setelah dia mendapat jawaban ‘aku baik-baik saja’ yang ke-4 dari Se Jung.

Se Jung melirik Baek Hyun sekilas. Sorot mata gadis itu begitu lemah. Jelas jika Se Jung tidak baik-baik saja. Baek Hyun menghela napas.

“Geurae.. jika kau tidak mau bercerita…” akhirnya Baek Hyun menyerah. Laki-laki itu kembali sibuk menghitung uang receh di mesin kasir. Se Jung menelan ludah. Darimana dia harus bercerita, jika kisah dompetnya yang hilang masih bergabung dengan kisah absurd-nya bersama Park Chan Yeol? Ya, Se Jung kini yakin jika dia kehilangan dompetnya di halte Incheon.

“Aku… kehilangan dompetku,” kata Se Jung pada akhirnya.

“Ne?” pekik Baek Hyun sebari menoleh kearah Se Jung.

Se Jung mengangguk, “Ye. Dompetku hilang”

“Bagaimana bisa? Aigoo.. kapan kau kehilangan dompetmu? Dan.. apa isinya noona?,” Baek Hyun bertanya dengan matanya yang membulat sempurna. Se Jung menatap adik sepupunya, lalu menghela napas. “Aku tidak tahu bagaimana hal ini bisa terjadi, tapi dompet itu cukup berarti untuk saat ini”

“Jugeda (matilah aku)” gumam Baek Hyun. Tak percaya dengan yang dia dengar. Kakak sepupunya ini selalu saja membuatnya speechless dan mati gaya.

***

“Kau yakin kita bisa lapor polisi?” Se Jung bertanya dengan nada sangsi kepada Baek Hyun yang berjalan di sampingnya. Malam ini, mereka memutuskan untuk pergi ke Incheon dan melaporkan kasus kehilangan dompet ini ke polisi. Cukup lucu dan meragukan memang. Tapi, wajah serius Baek Hyun membuat Se Jung hanya bisa mengekor adik sepupunya.

“Setidaknya, polisi tahu jika ada orang yang kehilangan dompet di wilayahnya,” jawab Baek Hyun. Mereka tengah berjalan menuju ke halte bus untuk membawa mereka ke stasiun terdekat. Jarak Seoul – Incheon cukup jauh jika hanya untuk mencari dompet.

Se Jung berjalan sebari memainkan selempangan tasnya. Membicarakan masalah dompetnya yang hilang, membuat gadis itu teringat seluruh kejadian yang terjadi diantara dirinya dan Chan Yeol. Se Jung tidak mengerti kenapa dia bisa dengan mudah terjebak ke sebuah perasaan aneh seperti ini. Padahal dia tahu jika Chan Yeol sama sekali tak bermaksud mempermainkan perasaannya. Laki-laki itu hanya bertanya terkait darimana Se Jung mengetahui namanya. Hanya itu. Tapi, kenapa semua berdampak hingga ke perasaannya?

Se Jung menghela napas. Oke, dia mulai berlebihan. Dia harus menghentikan semua pikirannya tentang kejadian itu. Karena semua itu sama sekali tidak penting.

“Noona, aku lupa jika aku tidak terlalu kuat naik kereta. Aku beli obat dulu, bagaimana? Kau bisa menungguku di halte seberang,” kata Baek Hyun. Wajah laki-laki itu sudah tampak pias, bahkan sebelum keberangkatan mereka. Se Jung tahu, Baek Hyun memang tidak terlalu cocok dengan kereta.

Se Jung mengangguk. Baek Hyun pun segera berjalan cepat untuk membeli obat di apotek terdekat. Kini, Se Jung sendirian. Gadis itu lagi-lagi menghela napas. Hembusan sepoi angin malam membelai wajah Se Jung. Bersamaan dengan gadis itu yang tanpa sengaja menatap kearah sepasang kekasih yang duduk mesra di bangku taman. Seketika, degup jantungnya bertambah keras. Dia kembali teringat dengan suara jantung Chan Yeol yang terdengar tepat di telinganya.

Se Jung mengelengkan kepala frustasi. Gadis itu harus segera menyeberang jalan dan menuju halte. Dia harus menghindarkan diri dari menatap hal-hal yang seperti itu. Tapi, pikirannya yang kacau membuat gadis itu sama sekali tidak berkonsentrasi. Hingga mengacuhkan rambu lalu lintas yang tersebar di sepanjang jalan. Gambar manusia merah artinya berhenti. Tapi, Se Jung tetap melangkahkan kakinya. Tanpa memedulikan apapun.

PIIIIIPPPPPP PIIIIP

Se Jung terhenyak ketika suara panjang klakson itu terdengar menggema. Memecah keheningan malam. Sebuah mobil sport dengan kecepatan tinggi menuju kearahnya. Se Jung membulatkan mata.

PIIIIIIIIPPPPPPPP

Se Jung menahan napas. Terdiam.

Wreeeng…

Mobil sport itu berakhir melaju melewati Se Jung begitu saja. Menimbulkan hembusan angin yang mampu menerbangkan helaian rambut Jung Se Jung. Sementara Se Jung sudah terbelalak tak percaya. Dia selamat. Gadis itu selamat!

Suara helaan napas terdengar begitu jelas di telinga Se Jung. Gadis itu pun mampu merasakan detak jantung yang berpacu cepat di wajahnya. Lagi-lagi, Se Jung diselamatkan dengan cara yang sama sekali tak terduga. Kini, dia sudah berada dalam pelukan seseorang.

Se Jung hanya bisa menelan ludah. Suhu tubuh Se Jung meningkat drastis. Bersamaan dengan orang itu yang melepaskan pelukan. Membuat Se Jung mulai merasakan hembusan angin yang berputar di sekitarnya. Waktu lagi-lagi berhenti bagi gadis itu. Se Jung belum berani mendongakkan kepala. Gadis itu tampak mengepalkan tangannya di samping jahitan. Tubuhnya gemetar hebat.

“Apa kau tidak bisa melihat rambu lalu lintas, eoh?” gertakan seseorang membuat Se Jung akhirnya mengangkat wajah. Dan, mata gadis itu semakin membulat sempurna. Seorang laki-laki bertubuh jangkung tampak mengusap wajah dan rambutnya. .

“Aku hampir pingsan melihat kecerobohanmu, kau tahu?!!” lanjutnya. Tampak mata laki-laki itu bersinar lain. Kekhawatiran yang berlebihan terpancar jelas dari kedua mata bulatnya. Membuat Se Jung semakin terdiam di tempat.

Hening. Hanya terdengar suara napas yang terengah, dan hembusan angin di sekitar tubuh Se Jung. Gadis itu masih belum percaya jika Park Chan Yeol telah menyelamatkannya.

Chan Yeol menatap Se Jung yang masih terdiam. Laki-laki itu tampak berkacak pinggang. Napasnya terengah. “Aku tahu jika aku kelewatan, tapi bolehkah aku mengatakan sesuatu kepadamu?”

Mengatakan sesuatu?–pikiran Se Jung mulai kemana-mana.

“Belajarlah untuk tidak bersikap ceroboh, Jung Se Jung” lanjut Chan Yeol.

Se Jung tersentak. Apa dia tidak salah dengar? Baru saja Chan Yeol menyebut namanya?

“Kau–” kalimat Se Jung terpotong karena Chan Yeol menyodorkan sebuah dompet tepat di depan wajah Se Jung.

“Lain kali jika ingin membuang dompetmu, lakukan di tempat yang jauh. Aku tidak ingin menemukannya lagi,” ucap Chan Yeol sebari menggoyangkan dompet di hadapan Se Jung.

Se Jung segera meraihnya. Gadis itu mengecek isi dompet sebari sesekali melirik Chan Yeol yang masih berdiri di hadapannya. Sekarang Se Jung tahu bagaimana Chan Yeol mengetahui namanya.

“Terimakasih,” ucapnya lirih. Sungguh, sejak kejadian kemarin, keberanian Se Jung seperti menguap begitu saja.

“Ah.. jan…,” Chan Yeol berdesis sebelum akhirnya berbalik untuk pergi dari hadapan Jung Se Jung. Meninggalkan Se Jung berdiri mematung di tempatnya. Gadis itu, secara mendadak menjadi lebih pendiam. Chan Yeol tahu apa penyebabnya. Bahkan dia akui jika kejadian itu juga menganggu pikirannya.

Diam-diam, Chan Yeol menarik napas dalam. Laki-laki itu segera mempercepat langkah untuk kembali ke tempatnya semula. Sebuah kafemewah di pinggir jalan Seoul.

Sekretaris Im yang menunggu Chan Yeol di dekat mobil tampak membungkukkan tubuhnya hormat. Tapi Chan Yeol tidak membalas. Dia malah bersandar di mobil, lalu membungkuk dengan tangan kirinya yang menumpu di lutut. Sementara tangan kanannya tampak mengelus dadanya sendiri. Laki-laki itu seketika lemas. Melihat Se Jung hampir tertabrak mobil membuat Chan Yeol kehilangan hampir seluruh kekuatan di persendiannya. Sungguh, Chan Yeol belum pernah merasa seperti ini sebelumnya.

Sekretaris Im mengerutkan keningnya heran, “Anda tidak apa-apa tuan?”

Chan Yeol menggeleng, “Aniyo. Gwenchanna. Gwenchanseumnida,” ucapnya diantara napasnya yang terengah. Tidak… sebenarnya dia tidak baik-baik saja. Dia lemas. Sungguh, dia seperti kehilangan tenaganya karena Jung Se Jung.

***

Ketenangan menjadi hal yang paling mendominasi di ruangan ini. Konsep tradisional yang begitu kental, terasa menyelimuti segala hal yang ada di restoran. Menu. Desain. Bahkan pelayan, dengan begitu sempurna bisa menyatu dalam sebuah nuansa klasik. Siapapun akan merasa jika mereka tengah berada di jaman Joseon karena suasananya. Tapi, tidak dengan Su Ho. Laki-laki dengan setelan jas coklat itu duduk sebari terus menghela napas. Matanya menatap kosong kearah meja yang masih begitu luas.

flashback a few days ago

“Alih-alih membicarakan hotel, bagaimana jika kau mengatakan kepada ayah, apa yang terjadi denganmu?”

Su Ho menatap ayahnya. Laki-laki itu berpikir apakah dia harus bercerita atau tidak. Karena dia tahu, semua yang terjadi dengannya saat ini sudah diluar profesionalitas. Tapi, Su Ho lemah dalam hal-hal seperti ini. Su Ho baru menyadarinya beberapa jam lalu, ketika dia melihat gadis itu berjalan lemas keluar dari kafe B & K. Rasanya Su Ho tidak ingin Se Jung kehilangan kebahagiaannya.

Laki-laki itu menggenggam tangannya sendiri. Dia menghela napas, “Aboji…”

Tae Woo menaikkan satu alisnya, memberi kode agar Su Ho langsung saja bercerita. “Aku… aku ingin memberikan pekerjaan itu untuk temanku,” ucap Su Ho.Laki-laki itu segera menundukkan wajahnya. Menghindari tatapan Tae Woo yang tak menyangka dengan perkataan Su Ho. Laki-laki itu menelan ludah. Oke, dia salah. Dia siap jika ayahnya marah.

Tae Woo terdiam. Benar dugaan Su Ho, Tae Woo kini menatap Su Ho tak percaya. Pria paruh baya itu bahkan harus bersandar di kursi setelah mendengar permintaan tak logis yang meluncur dengan begitu mudah dari mulut anaknya. Tae Woo melepaskan kacamatanya. “Museun malhanikka?” tanya Tae Woo lirih, “Apa maksudmu dengan memberikan pekerjaan untuk orang lain? Kau pikir pekerjaan semacam permen lemon? Yang bisa dibagi-bagikan sesuka hatimu, eoh?” lanjut Tae Woo dengan nada bicara yang meninggi di ujung kalimat. Pria paruh baya ini tak habis pikir dengan anak semata wayangnya ini.

Su Ho menghela napas. Dia mengangguk, “Geurae… aku tahu. Itulah kenapa aku bertanya apakah bagian administrasi masih bisa dimasuki oleh satu orang lagi atau tidak. Karena aku ingin dia juga berusaha untuk melamar, ayah,” kata Su Ho. Kini laki-laki itu mulai memberanikan diri untuk membalas tatapan ayahnya.

Tae Woo memalingkan wajahnya sekilas. Pria itu kembali memakai kacamatanya. “Aniya. Tidak ada. Hotel Incheon sudah tidak bisa dimasuki oleh siapa pun lagi,” kata Tae Woo kemudian.

“Aboji… ”

“Joon Myeon-a, sekarang dengarkan aku baik-baik,” Tae Woo menatap Su Ho semakin intens. “Di dunia ini, kau hidup bersama dengan orang-orang yang membutuhkanmu, memedulikanmu, mencintaimu, membencimu, hingga memanfaatkanmu.Tapi yang harus kau perhatikan lagi adalah kau sama sekali tidak tahu siapa saja mereka. Kau tidak bisa seenaknya saja menaruh iba kepada seseorang dengan cara yang berlebihan seperti ini. Well, kau boleh memberinya bantuan, tapi tidak dengan mengorbankan dirimu hingga sejauh ini”

“Aboji, dia bukan orang yang akan merugikanku. Lagipula, aku hanya berniat memberinya pekerjaan yang pantas. Dia lulusan universitas terbaik Gyeonggi, dengan nilai tertinggi kedua di jurusannya. Dia rendah hati. Kuat. Pekerja keras. Dia…. Dia sempurna. Begitu sempurna”

Tae Woo menggelengkan kepalanya heran. Pria itu merasa jika Su Ho sudah mulai berlebihan.

“Aku bisa menjamin semua itu jika kau mau, aboji” lanjut Su Ho. Kali ini dengan nada bicaranya yang melirih. Tapi, Tae Woo malah semakin tak bisa menerima. Pria itu menatap Su Ho dengan matanya yang berkilat tajam.

“Alasan itu sama sekali tidak bisa ayah terima, Joon Myeon. Begitu banyak orang pintar yang bersedia bekerja untuk kita di luar sana, tapi kenapa harus temanmu?”

“Karena aku menyukainya!!!!”

Hening. Tae Woo membulatkan matanya, tak menyangka jika Su Ho membentaknya dengan cara seperti ini. Sementara Su Ho tampak gusar di tempat duduknya. Su Ho sama sekali tidak bisa menahan semua ini. Su Ho sudah tidak bisa berpura-pura dengan mengatakan seluruh kebaikan Se Jung lagi. Karena faktanya memang dia menyukai gadis itu. Sangat menyukainya.

“Aku…. aku tidak pernah merasa hampir gila hingga seperti ini. Ketika melihatnya berjalan lemas karena ditolak oleh SK, aku merasa jika aku yang salah. Semenjak kepergian ibu 7 tahun lalu, aku tidak pernah merasa terpukul hingga seperti ini hanya karena melihat kesedihan yang terpancar lewat kedua matanya. Aku hampir gila karena gadis itu, ayah. Aku.. aku tidak bisa jika harus hidup dengan melihatnya seperti itu. Aku sama sekali tidak bisa,” Su Ho berakhir menceritakan semuanya. Membuat Tae Woo seketika diam seribu bahasa. Dia tahu bagaimana Su Ho. Dia paham tabiat anaknya ketika sudah merasa memiliki sesuatu.

“Jadi aku mohon aboji, berikan satu kesempatan untuknya melamar pekerjaan. Aku berjanji, aku tidak akan memintamu untuk menerimanya, hanya saja… berikan kesempatan ini untuknya. Aku bisa gila jika melihatnya bersikap dingin seperti itu” Su Ho kini memohon kepada ayahnya. Laki-laki itu bahkan berdiri untuk membungkuk 90 derajat, “Aku memohon dengan sangat kepadamu, aboji,” lanjut laki-laki itu.

Tae Woo masih terdiam. Pria paruh baya itu berpikir sebelum akhirnya duduk dengan posisi tegak. Dia menatap tajam Su Ho yang masih membungkuk di hadapannya. “Aku bisa melakukan semua yang kau minta,” kalimat Tae Woo membuat Su Ho kembali menegakkan posisi tubuhnya. Laki-laki itu menatap ayahnya tak percaya.

“Geureonde, kau pun harus melakukan apa yang aku minta,” lanjut Tae Woo. Kini Tae Woo tahu apa yang harus dia lakukan dengan ambisi Su Ho terhadap gadis itu.

“Pengangkatanmu sebagai CEO Kim Groups, harus dilakukan bulan depan. Tepat di hari jadi resort Jeju yang kelima”

Su Ho tersentak. Tidak menyangka jika ayahnya akan bertindak sejauh itu. Tapi, Su Ho sama sekali tak bisa melawan. Dia hanya mampu menahan diri untuk tetap tenang. Dia sadar jika ini konsekuensinya.

End

Su Ho berakhir menghela napas setelah ingatan itu kembali berputar di kepalanya. Semua ini tidak sesederhana pikiran Su Ho. Dia sama sekali tidak menyangka jika semua berjalan serumit ini. Well, menjadi CEO bukan hal buruk bagi Su Ho. Tapi, laki-laki itu merasa jika dia masih belum siap. Terlebih, dia belum siap menerima reaksi Se Jung nantinya.

Su Ho tahu jika Se Jung sama sekali tidak peduli dengannya. Tapi, Su Ho ingat jika gadis itu pernah bercerita bahwa dia nyaman hidup dalam sebuah kesederhanaan, dan ingin selalu dikelilingi oleh kesederhanaan. Karena sederhana membuatnya bebas bergerak. Sederhana membuat Se Jung percaya jika bahagia itu mudah.

Terlebih mengingat jika Se Jung telah menganggap bahwa Su Ho hanya membantunya mencarikan informasi (yang semua itu terkesan sebagai sebuah kebetulan), membuat laki-laki itu semakin tertekan. Karena Su Ho tahu, Se Jung bukan tipe gadis peminta-minta. Se Jung tidak suka jika banyak yang mengasihaninya. Su Ho tahu sejak 4 tahun lalu. Sejak melihat gadis itu melompat ke dalam laut untuk menolong seorang bocah. Tanpa peduli apapun. Tanpa peduli jika kondisinya lebih lemah dari siapapun.

Sreek

Pintu ruangan terdengar terbuka. Membuat Su Ho segera membenarkan posisi duduknya. Seorang pria berusia 40 tahun-an memasuki ruangan. Tampilannya yang begitu elegan menunjukkan jika dia berada di strata sosial yang sejajar dengan Su Ho. Su Ho segera berdiri untuk menyambut. Laki-laki itu membungkukkan tubuhnya sopan.

“Selamat datang, Yoo Jae Sang gyojangnim. Bagaimana kabar anda?” ucap Su Ho sopan. Jae Sang membalas sapaan Su Ho. “Terimakasih banyak, Kim Joon Myeon-ssi. Saya baik-baik saja. Bagaimana kabar anda?” balas Jae Sang. Mereka berdua selanjutnya duduk bersama. Tampak wajah Su Ho berubah 180 derajat, menjadi seorang Kim Joon Myeon yang penuh talenta dan wibawa yang luar biasa.

“Sangat amat baik gyojangnim,” jawab Su Ho. Laki-laki itu tersenyum, “Sebelum membicarakan kerjasama kita, bagaimana jika memesan makanan terlebih dulu?” lanjut Su Ho.

Jae Sang tersenyum, “Ah, tentu saja. Tapi, tumben sekali keluarga Kim meminta bantuan perusahaan kontruksi kami secara personal seperti ini?,” canda Jae Sang, sedikit memancing. Su Ho terkekeh, “Aigo, bukankah kita selalu seperti ini gyojangnim? Kim Groups selalu memercayakan pembangunan kepada YB Contruction”

“Ah.. geuraeyo… saya bisa melihatnya”

***

Jong In keluar dari mobil setelah sampai di sebuah restoran berkonsep tradisional di Seoul. Malam ini, Jong In menghadiri pertemuan keluarga besarnya disini. Jong In berjalan dengan langkah cepat untuk masuk ke dalam restoran, tapi langkah laki-laki itu harus terhenti ketika bayangan seseorang tertangkap melalui sudut matanya–seorang gadis yang duduk di dalam mobil sedan mewah tidak jauh dari mobilnya.

Jong In segera menolehkan kepala. Menatap kearah mobil sedan mewah di ujung parkiran. Tapi laki-laki itu harus tersentak, tidak percaya dengan yang dia lihat. Nam Bo Ra tampak tertunduk dengan sorot putih i-pad yang menyinari wajahnya. Gadis itu duduk takzim sebari mengerjakan sesuatu di dalam mobil dengan jendela terbuka.

“Tidak mungkin…” gumam Jong In ketika sadar jika Bo Ra begitu berbeda. Bo Ra tampak begitu elegan dengan gaya rambut lurus yang diselipkan di telinga, menampilkan anting permatanya yang berkilau indah. Make up gadis itu pun tak bisa diremehkan. Jong In bisa menebak jika gadis itu menggunakan produk-produk ternama. Sesuatu yang sangat sulit jika dihubungkan dengan Nam Bo Ra.

Merasa diperhatikan, Bo Ra menolehkan kepala. Gadis itu tampak sedikit membulatkan mata ketika melihat Jong In berdiri mematung menatapnya. Dia tahu benar siapa Kim Jong In. Tapi sayangnya, perubahan sorot mata Bo Ra luput dari pandangan Jong In. Karena di mata Jong In, gadis itu hanya sekedar menatapnya datar. Membuat Jong In mengerutkan keningnya heran.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara nyaring bersamaan dengan gadis itu yang memasangkan headset ke telinganya. Jong In masih memerhatikan. Gadis itu keluar dari mobil, lalu tersenyum ketika menahan headset di salah satu telinganya. Tampak pakaian yang dikenakannya berasal dari brand ternama.

“Ye, ini aku. Jin So Min-iyeyo,” ucap gadis itu tegas. Membuat Jong In semakin mengerutkan keningnya heran. Jin So Min?

“Ah, Ne… sekarang aku berada di restoran, menunggu pamanku bernegosiasi dengan kliennya. Aigo, setelah lima tahun di Jepang aku merasa Korea begitu menyenangkan”

“Geurae… aku pun melakukan semua yang kau sarankan,” gadis itu terdengar berbincang sebari menjauh dari mobilnya. Menjauhi Jong In.

“Aku melakukan sedikit perubahan di hidung, mata, dan bibirku. Tapi.. aku tidak yakin apa perubahan ini fantastik. Aku rasa ada yang mirip denganku,” pembicaraan gadis itu semakin tak jelas.

Jong In menggelengkan kepalanya. Laki-laki itu memutuskan untuk tidak ambil pusing lagi. Jong In tampak melihat jam tangannya. Sudah hampir pukul 8. Dia bisa dibunuh ayahnya jika terlambat datang ke pertemuan keluarga.

“Ye… sejak tadi–” gadis itu menghentikan obrolan palsunya setelah tahu jika Jong In sudah masuk ke dalam restoran. Gadis itu segera melepaskan headset dari telinga. Dia tampak menghela napas.

Sorot mata gadis itu berubah dalam sekejap. Menjadi penuh kegelisahan dan kekhawatiran. Kini, semua itu terpancar jelas melalui kedua matanya. Tepat disaat tidak ada siapa pun yang melihat.

To Be Continued

Preview:

“Pergi kemana dia?,” suara ribut dari arah luar gang terdengar. Bersamaan dengan Se Jung yang mendorong tubuh Chan Yeol agar menjauh. “Apa yang–hmp”

 

“Park Chan Yeol…”

“Je ireum…. Park Chan Yeol-iyeyo,” ucap Chan Yeol diantara airmatanya yang mengalir.

*

“Chan Yeol hwangjanim….” suara sekretaris Im mendadak terdengar dari arah belakang.

“sekretaris Im….”

“Malam ini, kita tinggal di Incheon, tuan”

*

“Kau jangan menggunakan kondisi lemahmu untuk beralasan, ya? Kau pikir aku gadis apa yang dengan mudah kau peluk-peluk seenaknya,” omel Se Jung.

Chan Yeol membalas tatapan tajam Se Jung, “Memelukmu? Memang aku bermaksud memelukmu?”

*

“Ini bukan hal yang bisa disebut sebagai kesukaan,” Se Jung berkata lirih, “karena aku tahu dia membutuhkanku, maka aku mengulurkan tanganku. Sama seperti ketika kau mengulurkan tanganmu kepadaku. Bukankah itu sudah menjadi kewajiban kita yang hidup bersama seperti ini? Saling memedulikan. Saling memberi”

Big.Thanks. Lee Young. See.You



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles