Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

The Conqueror (Chapter 2)

$
0
0

|| Title : The Conqueror [Section 2] || Author : Momochi ||

|| Cast : Kim Jongin [EXO-K] and Song Airi [OC] ||

|| Support Cast : other EXO members, Nattasha Kim, and Airi’s Friends ||

||Genre : Family, Romance, and Friendship || Rating : G ||

|| Length : Series ||

 

For soundtrack, please download here!

 

351288969

.

.

 ____________________________

@Airi’s House, 19.25 KST

 

Dirumah,  Airi menceritakan pengalaman hari itu secara mendetail kepada Natt. Kecuali pertemuannya dengan Kai saat di lorong. Kris yang tidak terlalu berminat dengan hal-hal kecil, hanya membisu. Kakak laki-lakinya itu hanya peduli terhadap keselamatan Airi yang notabene adalah adiknya itu.

“Omong-omong, hari ini aku mendapat dua teman!” kata Airi. Caranya mengungkapkannya seolah-olah itu adalah prestasi besar. Kris dan Natt menatapnya khawatir.

“Apa ada yang salah?”

“Memiliki teman itu tidak salah,” kata Kris. “Tetapi kau harus ingat tidak semua orang akan terlihat baik seperti yang kau harapan.” Lanjutnya. Kris berbicara seperti menceritakan sebuah pengalaman yang pernah membuatnya sakit, ia meringis seolah-olah itu adalah gambaran yang menyakitkan.

“Maksutmu?” Tanya Airi bingung. Pengetahuannya terhadap seorang teman memang sangat minim.

“Ya, mereka bisa saja malah menjadi rintangan,” kata Natt menambahkan.

“Belum lagi fakta bahwa pertemanan diikuti dengan ekspektasi. Jadi berhati-hatilah memilih teman, dear.” Saran Kris yang lebih terdengar seperti mengingatkan.

Airi mengangkat sebelah alisnya. “Ekspektasi seperti apa?”

Kris menegakkan posisi duduknya. “Pertemanan dilandasi rasa saling percaya. Mereka menceritakan masalah masing-masing, bertukar rahasia, dan saling memberi dukungan. But,  Friendship is unnecessary, like philosophy, like art, it has no survival value, rather it’s one of things which give value to survival.”

Airi cukup tersanjung dengan perkataan Kris. Ia tersenyum lebar. “Well, terimakasih atas itu. Kalian berdua kakak terbaik yang pernah kumiliki.”

Tidak ada yang bisa membuat Airi tenang selain memeluk kedua kakaknya saat ini. Orang-orang yang selalu menyayangi dan menjaga. Ia merasa sangat beruntung dilahirkan di tengah keluarga dimana Kris juga Natt berdiri di dalam silsilah itu.

Dan langit menjadi gelap, menandakan sudah waktunya bagi keluarga kecil ini untuk duduk bersama diruang makan. Natt bercerita kalau ia baru saja diterima di salah satu perusahaan sukses di Korea, ia terpilih menjadi seorang sekretaris. Airi merasa bangga pada kakaknya. Perusahaan yang merekrut Natt pasti akan beruntung karena kakaknya itu merupakan wanita yang sempurna. Tidak hanya bermodal kecantikkan, Natt juga pintar dan menguasai lima bahasa asing.

Airi dan Kris menunggu di meja makan dengan tenang. Mereka memerhatikan Natt yang melakukan tarian di dapur tanpa suara. Ia memang sangat pintar dalam memasak. Semua resepnya tidak ada yang pernah gagal di lidah adik-adiknya.

Pandangan Airi teralihkan pada Kris. Ia melihat kakak laki-lakinya sedang membaca sebuah buku berjudul ‘Galvanic Skin Response’. Airi tersenyum kecil. Ia bahkan lupa menanyakan padanya tentang hari pertama berkuliah di KyungHee. Inilah yang sering membuat Airi merasa menjadi adik yang egois. Selalu saja Kris dan Natt yang bertanya, perhatian, dan protektif. Tapi, ia tahu betul pasti Kris tidak akan mau bercerita soal kesehariannya.

“Sepertinya aku harus mulai memanggil kalian dengan sebutan eonnie dan oppa,” kata Airi, memecahkan keheningan.

“Itu bagus.” Natt tersenyum sambil mengibaskan tangannya ke celemek bercorak bunga yang ia kenakan.

I wan’t. Just Kris, no frills ‘oppa’.” Kris tersadar ketika dua orang wanita cantik menatapnya heran. “What? I’m still young, I’m just 20 years old. I wan’t.”

Airi dan Natt menahan senyumnya ketika melihat ekspresi Kris saat itu.

Kemudian mereka kembali terfokuskan pada hal lain. Seperti biasa, Natt sukses dengan hidangan  makan malamnya. Bahkan Kris, yang tidak terlalu menunjukkan emotional-nya , tampak terkesan. Mereka menyantap dengan ketenangan, itu menjadi biasa sejak di Canada dulu.

 

 

.

.

 

 

Setelah membantu Natt mencuci piring, Airi kembali masuk ke dalam kamarnya. Ada PR dari dua mata pelajaran yang harus ia kerjakan. Airi sudah mencatatnya dengan rapi di buku agenda, berbeda dengan murid-murid lain yang sepertinya merasa cukup dengan mengandalkan memori saja.

Tapi, Airi tahu tugas itu tidak memakan waktu lama dan tidak akan memeras otak. Singkatnya, itu perkara sepele. Ia tahu jawaban setiap pertanyaan itu. Karena waktu di Canada yang ia habiskan hanya belajar dan ditemani setumpuk buku-buku tebal di kamarnya. Meski begitu, Airi tetap mengerjakan PR itu sekarang, supaya besok sudah siap.

Gadis dengan rambut bergelombang ini merasa perlu menyibukkan diri terutama pikirannya. Kalau tidak, ia tidak akan berhenti memikirkan pertemuannya dengan kapten sekolah Hannyong High School itu. Segela tentang dirinya seolah melekat dalam  otak Airi. Sorot matanya yang tajam ataupun dasinya yang sedikit miring. Tetapi ia teringat kata-kata Nara dan Jihyun: ‘Aku tidak akan mengincarnya jika menjadi dirimu… ia punya beban berat yang tersembunyi di balik wajah tampannya.’

Tetapi mengapa malah membuat Airi sangat tertarik? Bahkan sepertinya ia tidak bisa menyingkirkan Kai dari pikirannya. Airi berusaha mengalihkan pikirannya ke hal lain, tetapi tak lama kemudian bayang-bayang pria itu muncul lagi. Wajah Kai melayang di halaman buku di tangan Airi. Segala gambaran tangan mulus yang mengenakan gelang kulit itu tidak bisa ia lupakan.

Gadis itu memejamkan mata sambil menggeleng. “Aku harus fokus.”

 

.

.

 

 

@Hannyong HS, 09.05 KST

 

Disekolah, setelah pelajaran bahasa Inggris, Airi punya waktu senggang sehingga bisa bertemu dengan Nara dan Jihyun di loker. Mereka memberi salam dengan menyentuh pipinya ke pipi Airi. Kemudian membeberkan pengalamannya di kelas matematika tadi. Mereka menceritakan bagaimana Eunji-ssaem  dengan rok super pendeknya itu membuatnya terlihat konyol dimata murid-muridnya. Kebetulan Airi belum mendapat kelas matematika, jadi ia sedikit penasaran dengan guru yang terkenal dengan suaranya yang tinggi itu.

Airi mengikuti kedua teman barunya ke cafeteria, tempat mereka menghabiskan waktu sampai ia harus mengikuti mata pelajaran  seni dan bahasa Perancis. Tetapi Airi harus kembali ke lokernya lagi untuk mengambil buku bahasa Perancis yang besar dan tebal. Ia taruh buku itu di atas folder sementara Airi membungkuk untuk mengambil kamus Korea-Perancis yang ada di bagian belakang.

“Hei orang asing,” kata sebuah suara di belakangnya. Airi melonjak kaget sehingga kepalanya membentur atap loker. “Hati-hati!” kata suara itu.

Airi berbalik dan mendapati Kim Jong In berdiri dengan wajah separuh tersenyum. Ekspresi yang Airi ingat saat pertemuan pertama mereka. Hari ini Kai mengenakan seragam olahraga, celana panjang biru tua, kaus putih polos dan jaket warna khas sekolah mereka terlampir di pundaknya. Airi menggosok-gosok kepalanya dan menatap Kai, bertanya-tanya mengapa kapten sekolah itu menyapanya.

“Gwenchanna?” tanyanya. “Maaf sudah membuatmu kaget,”

“Ya, tidak apa-apa.” Jawab Airi, kaget dengan suaranya sendiri yang lagi-lagi kedengaran terpukau akan ketampanan Kai. Mata cokelatnya menatap lurus ke arah Airi dan alis matanya separuh terangkat. Kali ini Kai berdiri cukup dekat sehingga gadis itu bisa melihat salur-salur warna tembaka dan perak dimatanya.

“Kau anak baru itu, kan?”

Airi tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Jadi ia hanya mengangguk lalu menunduk, karena mengangkat wajah adalah kesalahan besar baginya. Membalas tatapan Kai akan menyebabkan reaksi fisik seperti yang ia alami terakhir kali. Ia merasa seolah-olah jatuh dari tempat yang sangat tinggi.

“Dengar, aku tidak suka berlama-lama,” kata Kai. “Kau harus mengisi formulir ini setelah itu berikan lagi padaku.” Lanjutnya sambil memberikan sekertas dengan lambang HHS diatasnya pada Airi.

Entah mengapa tubuh Airi terasa kaku. Ia tidak percaya bahwa akhirnya bisa bertemu dengan Kai lagi. Terlebih ia melihat sosok kapten sekolah itu tidak seperti yang Nara dan Jihyun katakan. Kai tampak ramah dimata Airi walaupun memang sorot matanya tajam, tegas, dan hanya tersenyum seperlunya. Gerak tubuhnya yang terkesan cuek membuat Airi semakin tertarik.

Setelah Airi mengambil kertas formulir itu dengan kebisuan, Kai pergi begitu saja tanpa menunggu ucapan terima kasih dari mulut Airi. Dilihatnya Kai sudah menghilang dari pandangan, Airi langsung menatap kertas itu dan tersenyum gemas.

“Airi!” teriak seseorang. Tepatnya dua orang yang cukup membuat lamunan Airi tentang Kai buyar.

“Lama sekali. Ayo ke cafeteria, kami sudah sangat kelaparan.” Eluh Nara.

Dengan begitu saja kedua sahabat ini menggamit tangan Airi dan menarik ke arah cafeteria. Kai ada disana bersama beberapa pemain basket lainnya. Airi menduga merekalah yang dibilang Nara sebagai keempat sahabat Kai. Kali ini, ketika mata mereka bertemu, Airi menahan tatapannya. Pikirannya menjadi benar-benar kosong saat memandang Kai. Tidak ada yang ia pikirkan selain matanya yang begitu sempurna.

Anehnya Airi merasa iri pada para pemain basket itu. Mereka dengan mudah bisa melihat senyuman Kai dari jarak yang sangat dekat. Kai berbeda sekali jika sedang bersama teman-temannya. Ia tak sungkan untuk mengeluarkan senyuman yang lebar ketika melihat kekonyolan dua orang temannya yang sedang memperebutkan sekaleng soda.

Ternyata Nara dan Jihyun mengetahui ketertarikan Airi pada Kai dan memutuskan memberi nasihat tanpa diminta. “Kurasa Kai bukan tipemu,” kata Jihyun sambil memutar-mutar rambut cokelatnya saat mereka sedang mengantre di kantin.

Airi berdiri dekat dengan dua temannya supaya tidak terdengar oleh siswa yang bersemangat untuk sampai di konter. Ia berusaha mengabaikan siku yang menusukknya, juga cairan lengket di lantai akibat minuman yang tumpah, hanya mendengarkan ucapan Jihyun.

“Apa maksutmu?” tanyanya.

“Jujur saja, Kai memang namja paling populer dan keren. Tapi, semua orang tahu, Kai itu biang masalah. Para yeoja yang menaksirnya harus menelan pil pahit. Aku hanya memperingatkan.”

“Sepertinya Kai bukan orang yang kejam,” Airi berusaha menahan dorongan untuk membela Kai meskipun ia belum terlalu mengenalnya.

“Begini, Airi, jatuh cinta pada Kai hanya akan membuatmu sakit hati. Itu fakta.”

“Kau pakar tentang dirinya, ya?” selidik Airi.

Nara mengambil alih kali ini. “Bukankah sudah kuceritakan pengalaman pahitnya dengan Kai?”

Airi cukup pintar untuk tidak lebih bertanya lagi. Ia sudah cukup banyak belajar tentang pertemanan antar-perempuan. Jadi ia tahu, respons yang terbaik adalah menunjukkan rasa simpati.

 

 

.

.

 

 

Kelas bahasa Perancis akhirnya  tiba. Airi lega karena songsaenim juga baru datang. Kyuhyun-ssaem tidak terlihat atau terkesan Perancis bagi gadis ini. Ia hanya lelaki tinggi dengan tubuh berotot yang tidak terlalu menonjol.

Ruangan kelas begitu kecil dan nyaris penuh. Airi mencari kursi kosong terdekat dan terperangah begitu melihat orang yang duduk tepat di sebelah kursi itu. Jantungnya berdegup kencang saat ia berjalan ke arahnya. Airi menarik nafas dan menenangkan urat syarafnya.

Tenanglah, ia hanya seorang pria.’ Pikir Airi.

Kim Jong In tampak agak terhibur walaupun terkesan datar begitu Airi mengambil kursi di sebelahnya. Airi berusaha sebisa mungkin mengabaikannya dan memusatkan perhatian ke buku teks yang terbuka pada halaman yang ditulis oleh Kyuhyun-ssaem di papan tulis.

“Kau akan kesulitan belajar bahasa Perancis dengan buku itu,” terdengar Kai bergumam di telinga Airi.

Dengan desiran rasa malu, Airi tersadar  bahwa dalam keadaan bingung, ia salah mengambil buku. Bukan buku bahasa Perancis yang ia ambil, melainkan buku social moral.  Airi merasa pipinya memerah untuk yang kedua kalinya dalam waktu kurang dari lima menit. Dicondongkan badannya, berharap bisa menyembunyikan rona pipinya dengan rambut.

“Song Airi,” seru Kyuhyun-ssaem, “tolong bacakan alinea pertama yang berjudul A la bibliotheque pada halaman delapan puluh tiga.”

Tubuhnya kaku. Tidak percaya rasanya, Airi terpaksa mengumumkan kepada semua orang bahwa ia salah membawa buku pelajaran. Airi menggerutu dalam hati. Ia membuka mulut dan ingin meminta maaf, tetapi Kai diam-diam menyelipkan buku ke atas mejanya.

Airi berterima kasih kepada Kai melalui sorot matanya dan mulai membaca dengan rileks. Bahasa Perancis adalah salah satu keahliannya. Selesai membaca, Kyuhyun-ssaem sudah berdiri di samping meja mereka. Bacaan Airi lancar, bahkan kelewat lancar. Airi tersadar, seharusnya ia sengaja membaca beberapa kata secara keliru atau setidaknya sedikit terbata-bata. Tetapi, itu tidak terpikirkan olehnya tadi. Mungkin sebagian dirinya memang sengaja ingin pamer di hadapan Kai untuk menutupi sikapnya yang kikuk barusan.

“Lancar sekali, Airi. Seperti orang Perancis saja. Kau pernah tinggal di Perancis?”

“Tidak –ssaem,”

“Pernah berkunjung, barangkali?”

“Sayangnya tidak.”

Airi melirik Kai. Pria itu mengangkat alisnya, merasa terkesan.

“Kalau begitu kita harus menyimpulkannya sebagai bakat alamiah. Barangkali kau mau duduk di kelas mahir,” saran Kyuhyun-ssaem.

“Tidak!” kata Airi, merasa tidak ingin menarik perhatian yang lebih besar lagi. Ia bersumpah dalam hati untuk sengaja melakukan tugas dengan tidak sempurna lain kali. “Masih banyak yang harus kupelajari –ssaem,” katanya menyakinkan.

Sepertinya Kyuhyun-ssaem mengerti, ia hanya tersenyum. “Kim Jong In, lanjutkan ke alinea berikutnya,” katanya. “Dimana bukumu, Jong In?”

Airi segera mungkin mengembalikan buku Kai, tetapi pria itu malah diam saja.

“Maaf, aku lupa membawa buku. Terimakasih atas pinjamannya, Airi.” Kata Kai dengan kesan datar.

Airi ingin menukas, tetapi tatapan Kai mengurungkan niatnya. Kyuhyun-ssaem melotot, membuat catatan di bukunya, dan menggumam sambil menuju mejanya.

“Sebagai kapten sekolah, kau tidak memberi contoh yang bagus. Temui aku setelah jam pelajaran.” Ujar Kyuhyun.

Ketika Kelas berakhir, Airi menunggu Kai di luar, sampai ia selesai dengan kyuhyun-ssaem. Setidaknya ia merasa harus berterima kasih kepada Kai. Karena kalau ia tidak menolongnya tadi, Airi pasti mendapat malu. Saat pintu terbuka, Kai melangkah dengan santai layaknya orang yang sedang berjalan-jalan di pantai. Tapi, wajah pria itu sama sekali tidak bersahabat. Ketika Kai menatap Airi, gadis itu menjadi lupa caranya bernafas.

“Sama-sama, itu tadi bukan apa-apa,” katanya sebelum Airi sempat membuka mulut.

“Dari mana kau tahu apa yang ingin kukatakan?” tanya Airi dengan begitu polosnya.

Kemudian dua siswi melintas dan menatap Airi dengan pandangan menusuk. Yang jangkung tersenyum nakal ke arah Kai.

“Hei, Kai!” serunya dengan lagak manis.

Kai hanya diam dengan sorot mata tajam. Sikapnya menunjukkan bahwa ia tidak berminat mengobrol dengan gadis itu. Tetapi sepertinya si gadis dengan percaya diri menggamit lengan Kai.

“Bagaimana dengan ujian dance itu?” desaknya. “Menurutku gerakannya sangat sulit luar biasa. Sepertinya aku butuh tutor.”

Airi melihat cara Kai menatap gadis itu. Datar. Seperti seseorang yang sedang menatap layar komputer. Si gadis terus berceloteh sambil menonjolkan bokongnya sehingga Kai bisa melihat lekuk tubuhnya dengan jelas. Pria lain pasti tidak sanggup menahan godaan itu. Tetapi mata Kai tidak beralih dari wajahnya.

“Eunhyuk-ssaem memberikan les. Tanya saja padanya kalau kau butuh tutor.” Jawab Kai. Mata gadis itu menyipit  jengkel karena ia merasa sudah memberikan banyak tapi hanya menerima sedikit.

“Gomawo,” kata gadis itu ketus, lalu pergi.

Kai sepertinya tidak sadar bahwa ia telah membuat gadis itu kesal. Atau seandainya sadar, tampaknya ia tidak terganggu dengan sikap gadis itu. Kai kembali menghadap Airi lagi dengan ekspresi yang jauh berbeda. Wajahnya menjadi serius, seolah sedang memikirkan sebuah teka-teki. Airi berusaha menyingkirkan desiran rasa senang. Boleh jadi Kai memperlakukan banyak gadis seperti itu. Dan gadis tadi salah satu yang kurang beruntung. Airi jadi teringat cerita Nara tentang kisah Jihyun. Ia memaki dirinya sendiri karena begitu mudah merasa bahwa Kai menaruh perhatian padanya ketika insiden soal buku tadi.

Sebelum Airi membuka percakapan yang sempat tertunda, tiba-tiba Jihyun muncul. Ia mendekati mereka dengan sikap hati-hati. Sorot matanya sedikit khawatir, seperti orang yang merasa kehadirannya mengganggu percakapan orang lain.

“Boleh aku bicara padamu?” kata Jihyun, Ia melotot ke arah Kai yang masih berdiri di sana. “Berdua saja?”

Kai mengangkat tangan seperti orang yang berpura-pura kalah, lalu pergi. Airi berusaha menahan dorongan untuk memanggilnya kembali. Namun, suara Jihyun berubah menjadi bisikan. “Kau harus melihat keadaan Nara sekarang.”

 

 

.

.

 

 

Airi’s POV

 

Aku melihat Nara menutup wajahnya sedang menangis di pojok kelas science. Ketika Jihyun berhasil menemukanku tadi, ia langsung membawaku kesini. Nara duduk diantara tiga siswi yang mengelilinginya, seperti sedang berusaha menangkan dan meredakan isakan gadis itu. Jihyun belum memberitahuku apa yang terjadi dengan Nara sampai ia sangat merasa tersakiti. Seolah baru saja menerima suatu jawaban yang begitu mempengaruhi perasaannya.

Aku dan Jihyun langsung lari menghampirinya. Tiga gadis itu pergi setelah Jihyun meminta mereka untuk meninggalkan kami. Nara masih menangis, bahkan ketika menyadari kehadiran kami ia langsung memelukku dan menangis di bahu. Karena terkejut, aku tidak langsung me-respons sandaran Nara. Aku bingung, apa yang harus kulakukan ketika melihat temanku menangis?

Melihatku kebingungan, Jihyun mulai membuka suara perihal apa penyebab Nara menjadi seperti ini. “Ini semua karena Sehun,” katanya.

“Sehun?” tanyaku, masih bingung. Jihyun mengangguk sambil mengelus-eluskan tangannya ke punggung Nara. Itu membuatku teringat ketika Natt berusaha membuatku tenang karena menangis saat tahu bahwa anjing peliharanku meninggal.

“Semalam Nara bilang padaku bahwa hari ini ia akan menyatakan perasaannya pada Sehun,” Jihyun menarik nafas sebelum meneruskan. “Kejadiannya ketika kelas kimia selesai. Saat itu Nara menyuruh Sehun untuk menemuinya di atap sekolah,”

“Lalu? Sehun datang?”

Jihyun mengangguk. “Ya, dia datang. Disitu Nara mengutarakan semuanya, perasaan yang sudah Nara pendam selama lima tahun,”

“Li—lima tahun?”

“Mereka sudah berteman sejak sekolah menengah pertama.” Jihyun memelankan suaranya dan menggosok-gosok jari dengan tidak nyaman. “Sehun selalu memberikan perhatian pada Nara, itulah sebabnya Nara yakin bahwa Sehun juga memiliki perasaan yang sama.”

“Bukankah itu berarti bagus, lalu kenapa Nara sedih?” kataku, semakin bingung.

“Tidak lagi bagus setelah Nara berhasil mengatakannya pada Sehun, dan ternyata selama itu Sehun hanya menganggapnya sebagai..” Jihyun seperti kehabisan kata-kata.

“Sebagai apa?”

“Teman dekat.” Jihyun menyelesaikan ceritanya.

Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku belum memahami perasaan yang sekarang Nara alami. Tapi, melihat kondisi gadis itu sekarang, rambutnya berantakan kesegala arah, aku merasa seperti ada rasa hampa di dalam perutku.  Entah mengapa melihat teman pertamaku menderita, membuat gejolak rasa kesal tersendiri dalam diriku.

Lagi-lagi aku kembali teringat dengan kakakku, Kris. Ia pernah mengurung diri di dalam kamar selama seminggu dan itu membuatku tersiksa. Natt bilang, Kris mengalami sesuatu yang buruk pada hatinya. Saat itu, aku mengira Kris sakit—dalam arti, sakit fisik bukan sakit pada batinnya.

“Aku harus bertemu dengan Sehun,” tukasku. Nara menarik diri dan menggeleng diatas isakan tangisnya.

“Kenapa? Aku tidak terima melihat temanku menjadi seperti ini,”

“Andwae. Kalaupun kau berbicara dengannya itu tidak akan mengubah apapun, dia..”

“Jihyun, Kau tahu dimana Sehun sekarang?” selaku, mengabaikan komentar Nara. Jihyun mengiyakan. “Antarkan aku.”

 

 

.

.

 

 

Aku tidak tahu apa yang membuatku ke tempat ini. Ruang latihan yang begitu asing di mataku. Dinding-dinding marmer yang dilapisi cermin, hingga aku bisa melihat pantulan diriku yang kaku ketika menatap seseorang yang sedang meliuk-liukkan tubuhnya dengan begitu indah.

Dulu, Kris dan Natt sering mengajakku menonton pertunjukkan ballet, dan mulai dari sana aku mengaggumi semua penari dan memutuskan untuk memanggil seorang penari proffesional sebagai guru pengajarku. Untuk ukuran pemula, saat itu gerakkan tubuhku sangat lentur.

Tetapi, ada desiran aneh menjalar di dadaku, bahwa orang yang sedang membuat gerakkan di atas ketukan itu adalah Kai. Aneh, mengapa aku merasa Kai ada dimana-mana. Ini membuatku semakin sulit membuang pikiranku tentangnya. Seolah bayang-bayang Kai memang dilahirkan untuk menghantuiku dan mata cokelat yang terekam di memoriku seketika merusak otak yang bekerja di kepalaku.

Untungnya aku tersadar bahwa aku tidak sendiri di tempat asing ini, Jihyun berdiri di sebelahku dan menatap sekumpulan siswa di depan kami dengan enggan.

“Sudah kuduga tempat ini tidak cocok lagi untukku,” katanya. “Maaf Airi, aku tidak bisa menemanimu bertemu Sehun.”

Tak kusangka Jihyun akan mengatakan itu. Aku tidak bisa memaksanya, karena bertemu Sehun adalah ideku yang lebih tepat kusebut dengan ide gila. Aku berharap Sehun bukan orang yang sedang menari bersama Kai. Mungkin lebih baik berbicara dengan tiga orang pria yang sedang duduk di sudut ruangan, memerhatikan Kai dan temannya sedang menyatukan gerakan. Semoga Sehun salah satu dari mereka.

“Lalu mana yang bernama Sehun?”

Bodohnya! Jihyun sudah tidak ada! Kepalaku menoleh ke segala arah untuk menemukan Jihyun. Setidaknya ia tidak boleh meninggalkanku begitu saja seperti ini. Dan, syukurlah. Nafasku sedikit longgar ketika melihat Jihyun sedang mengawasiku melalui satu-satunya jendela di ruangan ini. Ia menatapku khawatir dan menggumankan sesuatu yang tidak kumengerti.

“Kau bicara apa?” kataku pelan, berusaha agar tidak didengar oleh para penghuni ruangan latihan ini.

“Aku tidak mengerti,” kataku putus asa. Jihyun menghilang sebentar dan kembali dengan selembar kertas dengan tinta hitam yang mengukir kalimat dengan jelas terlihat di mataku.

 

Hati-hati!

 

“Hati-hati !? Maksutmu?” aku yakin suaraku meninggi kali ini. Entah itu bagus atau malah membahayakan nyawaku. Tapi sungguh, aku tidak mengerti apa arti dibalik kata hati-hati yang ditulis Jihyun.

“Hei, siapa kau?” kata sebuah suara. Tubuhku mematung ketika merasakan sesuatu yang besar menyentuh bahuku dengan begitu nyata. “Maaf, kau tahu ruangan ini sudah di jadwalkan milik kapten sekolah selama dua jam kedepan.” lanjut suara itu lagi.

Aku menoleh dan mendapati seorang bertubuh tinggi dengan rambut ikal berwarna kecokelatan. Sulit untuk tidak menyadari dua orang di belakangnya, karena sekarang mereka tersenyum lebar padaku.

“Oh, begitu ya?” kataku sambil tertawa gugup. “Kalau begitu aku pergi. Maaf sudah mengganggu kalian.”

Setidaknya aku masih bersyukur, Kai masih terfokuskan oleh irama lagu dan gerakannya yang indah, sehingga aku tidak harus berusaha melawan rasa gugupku yang kentara di hadapannya. Aku berniat pergi, tapi tiga orang itu menahanku dengan berdiri memblokir satu-satunya pintu disini. Seolah mereka sedang membentuk suatu pertahanan yang akan mematahkan pintu itu. Apa maksutnya mereka?

“Kau anak baru di Hannyong School, ya?” kata pria bermata besar. Aku hanya mengangguk.

“Kudengar kau tinggal di luar negeri,”  kata pria yang lainnya, tidak mundur karena kebisuanku. “Apa yang membuat gadis pengelana sepertimu di Korea?” lanjutnya.

“Sekolah.” ucapku, bergumam.

“Lalu apa kau berniat mengikuti kelas tari disini?”

Mengapa mereka seperti orang yang ingin tahu saja. Tapi tunggu, barangkali orang yang menjadi alasanku kesini adalah salah satu dari mereka bertiga dan itu berita baik karena aku tidak perlu pusing-pusing menghampiri mereka.

“Sebenarnya, aku kesini mencari siswa yang bernama Sehun, temanku bilang ia ada di ruangan ini. Apa diantara kalian ada yang bernama Sehun?” kataku, mataku melirik ke arah jendela. Jihyun sudah pergi. Apa berarti akulah satu-satunya wanita di ruangan ini?

“Sayangnya tidak. Orang yang kau cari ada disana,” Pria tinggi itu menunjuk ke belakangku, tepatnya dimana Kai dan temannya sibuk dengan urusan mereka sendiri.

Mulutku menganga. Penyesalan datang pada diriku. Sebenarnya untuk apa aku kesini dan bertemu Sehun? Apa urusanku dengannya? Atau bukankah seharusnya aku mengajak Nara, karena pembicaraanku nanti akan melibatkan dia. Dan mengapa aku berlagak seperti wonder women, sedangkan aku sendiri membutuhkan seorang pahlawan super?

“Oh, sepertinya Sehun sedang tidak ingin di ganggu. Sebaiknya aku pergi.” kataku, berusaha untuk tidak memperdalam hal yang menyulitkan ini lagi. Karena jika memanggil Sehun, tidak dapat memungkiri bahwa Kai akan melihatku nanti.

Mungkin dewi fortuna sedang tidak berpihak padaku hari ini. Langkahku lagi-lagi terhalang oleh tiga pria yang menyamar sebagai prajurit penjaga pintu. Dan, salah satu dari mereka menambahkan kesulitanku.

“Sehun! Ya! Sehun-ah!” teriak pria tinggi itu. Dengan suaranya yang dalam dan menggema, orang yang kucari menghentikan tarinya dan langsung menoleh. Otomatis, Kai –kapten-sekolah-itu—, menyadari teman duetnya berhenti. Ia mengikuti arah pandang Sehun dan ketika menemukan sosok asing –yang tak lain adalah aku- disini, alisnya terangkat sebelah. Wicked!

Setelah mengambil handuknya, Sehun berlari menghampiri kami. “Ada apa?” katanya, sambil menggosok-gosokkan handuk itu di lehernya yang berkeringat. Seketika aku merasa seperti dikepung oleh sekawanan serigala yang menemukan mangsa untuk makan malam. Hebat.

Sehun adalah pria tinggi yang tidak terlalu berotot dan rambut cokelat yang jatuh menutupi mata hazelnya yang bening. Dilihat dari caranya memandang, tidak salah jika Nara begitu menyukai pria ini. Lembut dan penuh harapan. Namun, tetap berbeda dengan apa yang kurasakan saat memandang Kai. Mengapa aku selalu melibatkan Kai?

“Gadis ini mencarimu.”

“Tidak!” selaku, sambil menggeleng cepat. Tiga pria itu menaikkan alis mereka, merasa aneh dengan sikapku.

Sehun terlihat bingung, namun kelihatannya ia tak mau ambil pusing soal itu. Ia terlihat murung di atas keringat yang mengucur dari wajah tampannya itu. Bukan karena lelah habis menari, tetapi ini suatu yang berbeda dan siapapun akan dengan mudah menebak bahwa Sehun sedang tidak baik.

Merasa sudah menyulitkan waktu mereka, aku membongkar alasan kenapa aku mencari Sehun.

“Kau sudah menyakiti temanku,” kataku, berusaha setenang mungkin agar tidak kelihatan konyol. “Kau tahu, dia itu teman pertamaku di sekolah ini bahkan di Korea. Tapi dia bukan satu-satunya karena aku juga memiliki Jihyun. Mereka temanku, dan kau telah menyakiti salah satunya.”

Oke, ini sungguh terkesan menggelikan. Mengapa kalimatku terdengar seperti menceritakan tentang diriku? Mereka semakin bingung dengan perkataanku yang berputar pada satu titik. Hanya saja raut wajah Sehun berubah lebih murung ketika ia menangkap omonganku.

“Jihyun? Ryu Jihyun?” kata tiga serangkai itu. Aku mengangguk.

“Berarti yang kau bicarakan itu Jung Nara?” kata mereka lagi.

“Benar sekali. Kau tahu Sehun? Nara sudah menyukaimu selama lima tahun dan hanya dalam kurang dari satu jam kau telah mengecewakannya. Bukankah itu tidak adil?” kataku, berusaha ingin cepat-cepat mengakhiri percakapan ini karena aku sudah bisa merasakan aura Kai sedang mendekat.

Tidak ada yang berbicara kali ini. Bahkan ketiga pria itu juga tidak ada yang berani membuka mulutnya seperti yang mereka lakukan tadi. Apakah ada yang salah dengan kalimatku barusan?

“Kau tidak mengerti,” kata Sehun. Atau memang mataku yang salah tapi aku berani bersumpah mata Sehun memerah dan berair. “Ini yang terbaik untuk Nara… dan juga untukku.” suaranya memelan sambil menahan air mata.

”Apa maksutmu dengan ‘ini yang terbaik’?”

Aku benar-benar heran. Mengapa persoalan cinta begitu rumit dipahami. Banyak yang bilang, cinta seperti oksigen dalam kehidupan yang terjadi hanya sekali dalam hidupmu. Mereka benar-benar percaya, bahwa mereka akan menemukan seseorang yang benar-benar bisa mengubah dunia sekitarnya. Mereka saling berbagi harapan untuk masa depan, mimpi yang disusunnya sejak dini, dan tujuan yang pernah dicapai.

Ketika sesuatu yang indah terjadi, mereka tidak bisa menunggu untuk memberitahu orang lain tentang hal itu, memberitahu semuanya untuk berbagi kegembiraan dalam yang mereka rasakan. Bahkan mereka tidak malu untuk menangis ketika cinta itu menyakiti dan akan tertawa jika hal itu membuatnya bahagia. Hanya saja, kebanyakan orang merasa cinta menciptakan sebuah tawa yang tampak menyatu dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-sehari dimana sebelumnya itu jarang atau tidak ada sama sekali terjadi.

Aku kembali teringat kata Kris: “Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.”

Benarkah seperti itu?

Namun saat ini, aku bisa merasa sesuatu yang mendalam ketika mata cokelat-nya itu bersembunyi di balik pesona –menatapku datar dengan  peluh yang membanjiri wajah indahnya. Kali ini, aku memungkiri bahwa cinta bukan datang dari mata, melainkan pikiran. Harus kuakui, itu salah. Memang benar jika cinta seperti angin, tidak dapat dilihat namun dapat dirasakan. Hei, apa yang kupikirkan?

Ketika pria itu berjalan, seolah Tuhan menjalankan waktu sedikit melambat. Dan merontokkan bumi dalam sekejap—hanya meninggalkanku dan seorang pria berbaju putih yang basah itu.

Kai—membuat diriku bodoh. Ragu bahwa bintang adalah api, ragu bahwa matahari dapat bergerak, ragu kebeneran seorang pembohong, tapi tidak pernah ragu bahwa aku memang menyukainya. Menyukai segala hal tentang dirinya.

“Kau mengerti, kan?” seseorang menyentuh pundakku, menyadarkan lamunanku pada pria yang kini sudah berdiri tepat di samping Sehun—di depanku.

“Apa?”

“Iya, itu alasannya kenapa Sehun harus melakukan ini. Semua juga demi masa depan Nara.” Kata si pria tinggi. Ia memperlihatkan wajah simpatik dengan masalah yang dialami sahabatnya.

“Hah? A-aku tidak..”

“Intinya ini bukan urusanmu.” Kai berbicara, menyela ucapanku dan membuang tatapannya ketika mataku berbicara meminta penjelasan yang lebih menjurus dan masuk akal. Seolah mengisyaratkan agar aku tidak lagi membuat masalah dalam masalah orang lain.

“Tapi Nara—“

“Kau pasti tidak lupa lorong menuju kelasmu, kan?” Kai melirikku. “Pergilah.” Lanjutnya, berusaha bersikap biasa walaupun tersirat ketajaman dari nada bicaranya. Mendadak bulu-bulu ditanganku menegak, memberikan rasa elektrik yang mengejutkan. Ini membuatku mengingat pertama kali melihat mata cokelat-nya menatapku lembut. Saat dimana bibir itu berkata “Kau tersesat?” dan “Kau ingin kuantar ke ruang kesehatan?”. Mengapa aku seakan merindukan nada kekhawatiran seperti itu saat ini?

“Maaf, bukan mak—“

Pria tinggi itu meremas bahuku. Tidak sakit. Ia tersenyum kecil padaku lalu mengangguk. Sikapnya seperti peduli dan tidak mau sesuatu terjadi lagi. Aku mengerti, ia mencoba menyelamatkanku dari tatapan Kai yang semakin menusuk ini. Kutatap wajah mereka satu persatu, seakan berkata ‘Cepatlah pergi, sebelum terlambat!’, dan bahkan aku baru menyadari, Sehun tidak ada. Menghilang entah kemana.

“Baiklah. Maaf mengganggu waktu kalian.” Aku pergi, sambil terus menatap Kai yang entah mengapa sangat enggan sekali memandangku. Entah kenapa aku merasa perih. Perih sekali. Aku menggigit bibirku, menahan sesuatu yang ingin keluar. Aku harus memastikan satu hal sebelum aku bisa berpikir tentang hal ini.

Tak habis pikir aku bisa sebodoh ini. Kai adalah orang yang baru kukenal dan dia masih terlalu asing bagiku. Tetapi, entah kenapa justru aku merasa sangat dekat dengannya. Melihatnya sangat dingin kepadaku, membuatku terpuruk. Apa sudah waktunya untuk mempercayai dan mengikuti saran Jihyun tentang tidak seharusnya jatuh cinta pada kapten sekolah ini?

Kai.

Nama itu sudah terlanjur melekat dipikiranku. Sedetikpun rasanya sulit sekali membuang bayang-bayangnya. Kai, Kim Jong In dan Kapten Sekolah.

 

 

 

To Be Contiued

Komen banyak berarti cepet ngirim chapter selanjutnya kesini. Karena sudah ada 3 chapter ditanganku. Ayo-ayo, siapa yang penasaran bagaimana perjalan Airi berikutnya?



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles