Title : The Stuntwoman
Author : Flaqua
Main Cast :
Seo Yoo Jin (OC)
Kim Jong In (EXO)
Oh Se Hun (EXO)
Genre : Romance, Family
Length : Chapter
Rating : PG-15
Disclaimer : The story is mine. The cast belongs to the God.
P/S : Happy reading, guys. Hope you like the story^^. Comment, please. Thank you. Oh, iya, FF ini juga akan dipost di dua tempat berbeda. Selagi kalian nemuin FF dengan author dan jalan cerita yg sama, itu bukan plagiarisme :). Trims.
PART 1
Yoo Jin keluar dari kamar ganti dengan menenteng beberapa kostum akting yang telah dipakainya. Ia berjalan menuju tempat duduk Se Hun. Ditepuknya pundak Se Hun agar Se Hun mengetahui keberadaannya, “Hei,” sapanya.
“Sudah selesai?” Tanya Se Hun. Yoo Jin membalasnya dengan anggukan.
Mereka berdua berjalan bersama keluar dari arena syuting sambil membungkukkan punggung mereka dan tersenyum manis kepada kru serta pemain film lainnya. Tak jauh dari arena syuting, mereka berhenti ke sebuah kedai.
“Aku ingin meminta tolong padamu,” ujar Se Hun setelah mereka duduk di tempat duduk yang sudah disediakan, “ibuku menginginkanku segera menikah. Tapi, aku belum siap,” kata Se Hun sedih.
“Bukankah kau sudah memunyai kekasih? Harusnya kau siap,” tanggap Yoo Jin sambil memanggil pelayan untuk memesan minuman, “kau ingin apa?”
“Kopi dingin saja.”
“Segelas kopi, segelas jus jambu dan kentang goreng,” pelayan kedai itu segera kembali ke dapur. Yoo Jin memandang Se Hun yang terlihat gundah memikirkan…pernikahannya?
“Sekarang, masalahnya adalah kekasihku tidak bisa pulang ke Korea dalam dua bulan ini karena ia harus menyelesaikan kuliah S-2-nya di Amerika. Sedangkan ibuku memintaku untuk mengenalkan kekasihku minggu ini juga sebagai bukti kalau aku sudah memunyai calon istri. Kalau aku tidak bisa melakukannya, aku akan dijodohkan,” kata Se Hun panjang yang disambut dengan gelak tawa dari Yoo Jin.
“Apa? Dijodohkan? Ha-ha-ha-ha…” Yoo Jin tertawa puas. Kursi yang ia duduki hampir terjatuh ke belakang karena ia terlalu berlebihan dalam menertawakan Se Hun, “ah, untung saja,” Yoo Jin bersyukur ia tidak terjatuh. Jika ia terjatuh, Se Hun pasti akan balik menertawakannya.
“Berhenti tertawa. Aku tidak suka orang yang menertawakan hidup orang lain,” kata Se Hun. Keningnya berkerut dan bibirnya maju karena ia kesal dengan Yoo Jin yang terus saja menertawakannya.
“Se Hun-ah, zaman sekarang masih saja ada tradisi perjodohan? Aku pikir sudah tidak ada,” Yoo Jin kembali tertawa. Pelayan kedai mendatangi meja mereka dengan membawa pesanan mereka, “terima kasih,” ujar Yoo Jin.
“Hei, hei. Aku bilang berhenti tertawa,” perintah Se Hun. Yoo Jin menurut. Ia membungkam mulutnya agar tawanya tidak lepas lagi dan membuat Se Hun semakin kesal, “emm… Yoo Jin-ah, sebenarnya kekasihku memunyai wajah yang lumayan mirip denganmu…”
“Lalu?”
“Bagaimana kalau kau menggantikannya selama dua bulan ini?” Tawar Se Hun.
“APA?!” Mata Yoo Jin mendelik mendengar Se Hun berkata seperti itu. Enak saja dengan mudahnya Se Hun meminjamnya untuk dijadikan calon istri, “tidak mau.” Yoo Jin melipat tangannya di depan dada.
Se Hun memperlihatkan Yoo Jin wajah memelas, “Ayolah. Aku akan menggajimu selama dua bulan itu.”
“Bukan masalah uang, Se Hun.”
“Lalu?”
“Bagaimana jika keluargamu tahu? Atau bahkan pers tahu bahwa aku bukan calon istrimu yang sesungguhnya. Kau harus ingat bahwa kau ini pengusaha muda yang terkenal. Berita tidak sedap bahwa aku bukanlah calon istrimu bisa membuat saham perusahaanmu turun, Se Hun-ah.”
“Aku yakin ini tidak akan seburuk itu. Aku hanya akan memperkenalkanmu kepada ibuku saja. Tidak kepada keluargaku dan pers. Percayalah, ini tidak akan membuatmu rugi,” kembali Se Hun memohon kepada Yoo Jin untuk membantunya.
Mengingat bahwa Se Hun adalah sahabatnya selama dua tahun ini, Yoo Jin merasa kasihan jika ia harus dijodohkan. Apalagi dengan wanita yang tidak dicintainya. Semua memori tentang Se Hun yang menolongnya dalam berbagai kesusahan mengahampiri otak Yoo Jin. Se Hun yang menolongnya ketika ia jatuh di pegunungan. Se Hun yang mau diajaknya pergi mendaki, meskipun ia tidak suka kegiatan itu. Se Hun yang menghiburnya ketika ia mendapat IP rendah di semester kemarin. Se Hun yang sering mentraktirnya dan masih banyak hal lagi tentang kebaikan Se Hun.
Apa yang sudah kubalas untuk Se Hun?
“Baiklah. Aku menyetujui tawaranmu.”
***
Hari ini Yoo Jin sedang menunggu gilirannya untuk take sebuah film. Ia akan menggantikan peran pemain utama jika perannya itu berupa akrobatik. Ia akan berperan sebagai seorang tahanan yang suka melarikan diri dari sel. Ada adegan kejar-kejaran dengan petugas selnya dan sipirnya. Ia juga akan melompat dari ketinggian, berguling ke samping dan ke depan serta menampilkan beberapa aksi bela diri untuk melawan para petugas dan sipir tersebut.
“Seo Yoo Jin, giliranmu,” teriak seorang kru. Yoo Jin segera berlari menuju tempat take. Sebelumnya, ia meneguk beberapa teguk air mineral. Itu merupakan kebiasaan Yoo Jin sebelum ia melakukan kegiatan seperti hendak akting dan ujian. Bahkan, ketika ia harus bertemu kembali dengan mantan pacarnya, ia minum air putih banyak sekali karena ia grogi harus bertemu dengannya.
Take kali ini mengharuskan Yoo Jin untuk berlari menghindari sipir sambil melompati mobil. Ia berhasil melakukannya dengan baik, meskipun adegan tersebut harus diulang kembali karena seorang pemain pengganti lainnya melakukan sebuah kesalahan.
Selesai melakukan adegannya, Yoo Jin kembali ke tempat tunggu. Ia mengambil ponselnya dan mendapati tiga panggilan tak terjawab. Semuanya dari Oh Se Hun. Yoo Jin hendak menelepon kembali Se Hun karena takut sesuatu penting terjadi. Namun, ternyata Se Hun telah menelepon kembali. Yoo Jin segera mengangkatnya.
“Yeoboseyo,” kata Yoo Jin.
“YA! Kenapa kau tidak mengangkat teleponku dari tadi?” Protes Se Hun seperti anak kecil.
“Aku baru saja melakukan adegan film baru,” jawab Yoo Jin singkat.
“Ah… Oke. Setelah ini kau akan kujemput untuk berakting sebagai kekasihku. Kali ini kau harus lembut. Tidak brutal seperti yang baru saja kau perankan,” Se Hun menutup sambungan telepon terlebih dahulu. Yoo Jin sedikit mengomel karena ia sebenarnya tidak mau mengikuti kemauan Se Hun. Kalau Se Hun bukanlah temannya, tidak mungkinn ia mau menjadi seorang wanita cantik yang akan menjadi istri seorang pemilik hotel terkenal di Seoul.
“Eomonim, annyeonghaseyo…,” ujar Yoo Jin berlagak menjadi seorang wanita manis. Sifat itu sedikit bertolak belakang dengan dirinya yang suka mendaki gunung, berkelahi—dalam film tentunya, dan jarang menggunakan rok.
***
“Sebelum menemui ibuku, kau harus berdandan secara wanita terlebih dahulu. Aku akan membawamu membeli baju dan pergi ke salon sebentar,” kata Se Hun kepada Yoo Jin. Sekarang, mereka berada di dalam mobil Se Hun yang sedang melaju kencang.
“Whatever! Asal tidak ketahuan saja,” timpal Yoo Jin, “oh, ya. Aku tidak mau sesuatu terjadi pada rambutku ini. Aku tidak mau rambutku dibuat ikal ataupun digelung. Aku ingin rambutku tetap lurus seperti ini.”
“Aku mengerti. Kau cerewet sekali,” goda Se Hun. Yoo Jin hanya mendengus saja mendengar Se Hun berkata seperti itu.
Setelah perjalanan beberapa belas menit dari arena syuting film Yoo Jin, sampailah mereka di sebuah mall di Seoul. Mereka langsung berjalan menuju tempat penjualan baju-baju. Se Hun memilihkan beberapa baju untuk Yoo Jin, tetapi semuanya ditolak oleh Yoo Jin.
“Se Hun-ah, aku bingung harus memilih yang mana. Aku malu ketika memakainya nanti,” curhat Yoo Jin. Ia tidak yakin bahwa dirinya akan percaya diri melangkah sebagai wanita yang benar wanita.
“Ya, sudah. Kalau kau bingung biar aku saja yang memilih,” ujar Se Hun sambil memilih-milih pakaian yang cocok untuk Yoo Jin, “emm…bagaimana jika kau pakai ini?” Tunjuk Se Hun pada gaun terus berwarna putih dengan model rok lebar.
“Aku harus memakai rok?” Tanya Yoo Jin polos.
“Tentu saja harus. Kau ini wanita,” jawab Se Hun, “ingat, kau harus jadi wanita lemah lembut,” tambah Se Hun yang membuat Yoo Jin ingin segera melarikan diri. Namun, ada sesuatu yang membuat Yoo Jin tak bisa pergi begitu saja jika di dekat Se Hun.
“Ah…baiklah,” Yoo Jin berpasrah saja.
***
Se Hun keluar dari mobil ferrari-nya dengan gagah. Ia berjalan mantap masuk ke rumahnya. Namun, sepertinya ada yang ketinggalan. Kepala Se Hun menengok mobilnya yang terparkir di depan rumahnya. Ia balik lagi menuju mobilnya.
“Kenapa kau tidak keluar?” Tanya Se Hun pada orang yang berada di mobilnya, Yoo Jin. Ia mengetuk kaca jendela mobilnya—menyuruh Yoo Jin untuk keluar.
Di dalam mobil, Yoo Jin mengatur napasnya. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya. Pintu mobil Se Hun ia buka pelan. Hatinya berdegup kencang. Hari ini Se Hun akan mengenalkannya kepada Ibu Se Hun. Tentu saja Yoo Jin sebagai pengganti kekasih Se Hun yang sedang di Amerika.
“Ayo masuk,” ajak Se Hun. Lagi-lagi Se Hun berjalan duluan di depan Yoo Jin.
Keduanya memasuki rumah besar Se Hun. Rumah yang banyak sekali pepohonannya. Pepohonan yang rindang itu menjadikan rumah Se Hun begitu asri.
“Eommaaa…,” teriak Se Hun seperti anak kecil yang terpisah dari ibunya di pasar.
“Ish…jangan teriak-teriak Se Hun. Bagaimana kalau ibumu sedang tidur?” Ujar Yoo Jin.
Dari pangkal tangga, terlihatlah Ibu Se Hun yang sedang menuruni tangga. Wajahnya berseri-seri melihat Se Hun membawa seorang wanita cantik.
“Eommaaa…,” Se Hun menghambur menuju ibunya. Ia memeluk erat ibunya sampai-sampai ibunya ingin melepaskan diri darinya.
“YA! Lepas, Se Hun. Aku tertekan di pelukanmu,” protes Ibu Se Hun bermaksud untuk guyon. Segera Se Hun melepaskan pelukannya dari ibunya dengan wajah sedih.
“Dia siapa?” Tanya Ibu Se Hun sambil menunjuk Yoo Jin menggunakan dagunya.
“Emm…seseorang yang Eomma harapkan,” jawab Se Hun sambil malu-malu.
“Calon istri?”
“Bingo!” Jawab Se Hun semangat. Ia mengisyaratkan Yoo Jin untuk memperkenalkan diri pada ibunya.
“Annyeonghasimnika, Eomonim,” Yoo Jin membungkuk hormat pada Ibu Se Hun, “nama saya Seo Yoo Jin. Senang bertemu Anda,” ujar Yoo Jin sambil memamerkan senyum termanisnya.
“Aah…cantik sekali,” kata Ibu Se Hun. Hal itu membuat wajah Yoo Jin seperti kepiting rebus. Melihat Yoo Jin dengan wajah meronanya, Se Hun tersenyum sendiri.
“Nak Yoo Jin, mari duduk,” ajakan Ibu Se Hun pada Yoo Jin untuk duduk bersama membuat Se Hun protes karena tidak diajak duduk juga. Kata Ibu Se Hun, “terserah kau, Se Hun.”
Yoo Jin dan Ibu Se Hun duduk berdampingan, sedangkan Se Hun duduk di sofa seberang Yoo Jin. Yoo Jin terlihat begitu kalem di hadapan “calon mertunya”. “Sayang, kau tidak dipaksa Se Hun untuk menikah, kan?” Tanya Ibu Se Hun pada Yoo Jin.
Yoo Jin sedikit terkikik sebelum menjawab pertanyaan ringan Ibu Se Hun, “Tentu saja tidak, Eomonim.”
Selama berjam-jam mereka bertiga berbincang dan bergurau bersama layaknya sebuah keluarga yang sedang berkumpul. Rasa gugup Yoo Jin hilang begitu saja begitu Ibu Se Hun mulai bergurau.
***
“Setelah bertemu dengan ibumu, aku harus apa lagi?”
“Belajar memasak. Ibuku menyukai wanita yang pandai memasak.”
Yoo Jin menghela napas mendengar Se Hun berkata seperti itu. Di hadapan Ibu Se Hun ia benar-benar dituntut untuk menjadi wanita seutuhnya. Yoo Jin tidak pernah memasak kecuali membuat mi instan dan menggoreng telur. Sepertinya ia memang tidak layak untuk menjadi seorang wanita.
“Yoo Jin-ah, halooo,” teriak Se Hun di sambungan telepon mereka.
“Baiklah,” Yoo Jin berpasrah.
***
Se Hun menjemput Yoo Jin di rumahnya untuk pergi ke sebuah restoran milik sepupunya. Ia memperhatikan Yoo Jin yang sedang menutup pintu rumahnya. Setelan pakaian Yoo Jin kembali seperti hari-hari biasanya sebelum ia bertemu Ibu Se Hun. Yoo Jin memakai jins biru ketat dengan kaos berwarna putih dilapisi dengan jaket baseball. Rambut panjang coklatnya dikuncir kuda—memperlihatkan leher mulusnya yang sempurna.
“Astaga, baru sehari tidak bertemu ibuku sudah berubah total gayanya,” cerca Se Hun pada Yoo Jin ketika Yoo Jin membuka pintu mobilnya.
Yoo Jin berdecak, “Aku tidak peduli,” katanya.
“Hm…,” mesin mobil mulai dinyalakan oleh Se Hun, “oh, ya, omong-omong kemarin kamu sudah sukses memerankan Madelaine. Aku tidak menyangka kau bisa berubah menjadi wanita anggun,” kata Se Hun. Entah itu maksudnya pujian atau sindiran, Yoo Jin membalasnya dengan menepuk-nepuk dadanya karena bangga.
“Eits, jangan bangga dulu. Sekarang kamu harus tenang dan siapkan mental,” ujar Se Hun—membuat semua rasa kebanggaan Yoo Jin hilang. Wajah Yoo Jin menjadi merengut.
“Kita mau ke mana? Kita mau apa?” Tanya Yoo Jin dengan wajah galak. Matanya menatap tajam Se Hun yang berada di sampingnya, “Se Hun, kau tahu bahwa aku tidak suka hal yang menegangkan, misalnya aku dibentak. Kau tidak akan melakukan itu, kan, Se Hun?”
“Lihat saja nanti,” jawab Se Hun. Sebuah senyuman nakal terukir di wajahnya.
Se Hun melajukan mobilnya dengan sangat kencang. Yoo Jin memegangi sabuk pengamannya erat-erat. Perasaannya semakin tak keruan. Rasa cemas dan takutnya menghadapi tantangan Se Hun bercampur dengan rasa tegang yang sangat memacu adrenalin.
Tiba-tiba, Se Hun mengerem mobil dengan mendadak. Yoo Jin merasa badannya seperti terhempas ke udara, “Hhh…kau gila,” teriak Yoo Jin.
Se Hun keluar dari mobil dan menunggu Yoo Jin. Ia berkacak pinggang sambil melihat Yoo Jin yang keluar mobil dengan gelimpungan. Dengan berpegang pada moncong mobil, Yoo Jin berjalan mendekati Se Hun. Terdengar tawa yang menggelegar dari mulut Se Hun. Begitu puasnya Se Hun melihat Yoo Jin lemah.
“Aah…aku tidak kuat jalan,” Yoo Jin terduduk dengan lemas di depan mobil Se Hun. Kepalanya sangat pusing. Perutnya terasa diputar-putar dan dikocok-kocok setelah perjalanan tadi.
“Eh, eh, jangan duduk di situ,” Se Hun meraih kedua tangan Yoo Jin. Ia ingin membuat Yoo Jin berdiri, tetapi Yoo Jin tidak mau. Acara mereka berdua hari ini sangatlah penting. Yoo Jin tidak boleh membatalkan acara tersebut.
Se Hun berjongkok di depan Yoo Jin, berniat untuk menggendongnya. Untung saja Yoo Jin tidak meronta ketika akan digendong oleh Se Hun. Se Hun berjalan menuju suatu tempat melalui pintu belakang restoran itu. Ah, lebih tepatnya pintu dapur.
Se Hun memasuki sebuah dapur. Ia mendapati punggung seseorang yang berdiri membelakangi pintu dapur, “Jong In-ie,” panggilnya.
Se Hun menurunkan Yoo Jin dengan tiba-tiba. Yoo Jin tidak terlalu sadar ia telah diturunkan dari punggung Oh Se Hun. Ia masih merasakan pusing dan mual-mual. Tak kuat berdiri tegak, tubuh Yoo Jin oleng. Jong In berbalik badan dan mendapati tubuh seorang gadis yang hampir terjatuh. Ia langsung menahan tubuh gadis agar tidak terjatuh. Namun…
“Uwek…,” Yoo Jin hendak memuntahkan isi perutnya, tetapi tak ada yang keluar dari mulut Yoo Jin. Jong In mendorong Yoo Jin. Ia sedikit merasa jijik dan takut menjadi korban Yoo Jin.
“Yoo Jin-ah, sadar!”
To be Continued
