Title : It’s Okay, It’s Prince (Chapter 16 – End)
괜찮아, 황자님이야
Cast :
Park Chan Yeol (EXO)
Kim Joon Myeon – Su Ho (EXO)
Jung Se Jung (OC)
Byun Baek Hyun (EXO)
Kim Jong In (EXO)
Nam Bo Ra (OC)
Seo Mi Rae (OC)
Other
Genre : Romance, Angst, Life Slide
Author : Lee Young
Length : Multichapter
PG-17
Previous : [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15] [16-Now]
Note : Akhirnya, fanfiksi ini menemui ujung-nya juga. Saya akan menjawab pertanyaan teman di Chapter selanjutnya tentang proyek mall 6 lantai Pr.C, apakah Chan Yeol mengambil alih? Jawabannya, tidak :D. Kemarin sudah dijelaskan –melalui dialog Mi Rae dan pihak Mall, jika pihak Mall membatalkan kontrak dan meminta ganti rugi 100% atas tawaran Mi Rae, biar kasus mall 6 lantai nggak dibawa ke jalur hukum. Karena Mi Rae sadar kalau Pr.C yang salah, dan Mi Rae tahu dia nggak bakal bisa membela diri di depan hukum.
Kita semua tahu ya, Pr.C adalah perusahaan kontruksi, jadi proyek mall 6 lantai bukan milik Pr.C, Pr.C hanya membangunkan saja dengan kontrak yang sudah disetujui. Tapi… jejeng.. kita semua tahu kalau Nam Bo Ra beserta Yoo Jae Sang mengacaukannya. Dan ternyata, pihak mall sudah berkonspirasi *kemarin dijabarkan melalui percakapan Bo Ra, Jae Sang, dan Mr.Choo (pemilik mall) sebelum Bo Ra masuk ke mobil. Pelik banget ya? -_-v maaf jika membuat bingung. Kadang saya malah terlarut membeberkan masalah bisnis Pr.C hhaha. Oh ya, dan Chan Yeol juga belum memegang Pr.C kok, dia harus sekolah dulu ke Amerika. Oke, itu saja jawabannya.
Selamat membaca, dan mohon tanggapannya. Tanpamu, author hanya butiran debu :D
(Chapter 16 – End)
Su Ho terdiam di belakang meja kerjanya. Seluruh pekerjaan laki-laki itu tidak ada yang 100% ditangani dengan sepenuh hati, hari ini. Su Ho masih belum bisa berdamai dengan perasaan tak nyaman dalam dirinya.
Laki-laki itu menatap jam tangan sekilas. Pukul 1 siang. Jam istirahat Jung Se Jung baru saja dimulai. Otak Su Ho sudah membeku ketika laki-laki itu meraih ponsel yang tergeletak jauh di ujung meja. Dia membuka kunci ponsel. Mencari kontak Jung Se Jung. Dan langsung menghubunginya begitu saja. Tanpa berpikir panjang sama sekali.
Nada tunggu terdengar nyaring di telinga Su Ho. Sebelum akhirnya suara renyah Se Jung menyambut dari seberang, “Yoboseyo, Su Ho-ssi?”
Su Ho terdiam. Dengarlah! Suara Se Jung begitu menyenangkan jika hanya berakhir untuk dilupakan. Suara gadis itu terdengar lembut. Mengalun ke gendang telinganya. Mengetarkan tiga tulang pendengaran, hingga merambat ke rumah siput telinga dalam. Meninggalkan bekas yang begitu berarti di setiap saraf kepala Su Ho. Su Ho tak akan pernah rela melupakan suara itu. Sedikit pun, Su Ho tak akan pernah mampu melupakannya.
Su Ho menelan ludah. Air mukanya berubah gelisah. Matanya berkaca. Rasanya terlalu menyakitkan jika mengingat bahwa dia tak akan pernah bisa memenangkan hati gadis itu. Gadisnya yang paling berharga– Jung Se Jung.
“Su Ho? Kau baik-baik saja?” Se Jung terdengar khawatir ketika Su Ho tak segera menanggapi sapaannya.
Su Ho masih terdiam. Laki-laki itu hanya ingin mendengarkan suara Se Jung. Berusaha menenangkan dirinya sendiri. Tapi semua malah terasa semakin menyayat hatinya. Dan apa tadi? Baik-baik saja? Su Ho ingin berteriak tidak. Dia tidak akan pernah baik-baik saja selama Se Jung tak berada di sampingnya. Dan faktanya…. Se Jung memang tak akan pernah bisa berada di sampingnya. Sekeras apapun Su Ho mencoba.
Suara kemerosak panik terdengar dari seberang. Se Jung terus memanggil nama Su Ho. Suara gadis itu semakin lama semakin meninggi. “Su Ho? Su Ho kau masih disana?,” panggil Se Juang panik.
Su Ho tersenyum hambar, “Aku disini, Jung Se Jung,” kata Su Ho setelah begitu lama terdiam.
Helaan napas lega terdengar dari seberang. “Syukurlah, Su Ho-ssi. Aku pikir, sesuatu yang buruk terjadi kepadamu. Kau yakin baik-baik saja?,” Se Jung mengulang pertanyaannya.
Su Ho menggeleng. Tentu saja tidak. Sesuatu yang buruk memang terjadi kepada laki-laki itu. Seandainya saja Se Jung bisa melihat, kondisi Su Ho begitu menyedihkan hari ini. Jiwa laki-laki itu seakan sudah tak melekat dalam dirinya lagi. Tapi, sayangnya Se Jung tak pernah bisa melihat. Sekali pun Se Jung berada tepat di hadapannya. Sekali pun gadis itu sudah Su Ho paksa untuk bisa melihatnya. Jung Se Jung, tak akan pernah bisa melihat Su Ho.
“Aniyo, aku baik-baik saja,” Su Ho berusaha meredam suaranya yang bergetar. Laki-laki itu menghela napas, “Oh ya, apa kau ada waktu luang malam ini?
Hening. Jung Se Jung berpikir di seberang. Su Ho tahu akan hal itu.
“Malam ini? Kau tidak berniat berkunjung ke Gyeongsang lagi,kan?”
“Jika aku berniat, bagaimana? Kau mau melarangku? Bahkan….” Su Ho melihat ke sekeliling ruang pribadinya, “…aku tengah berada di perjalanan ke Gyeongsang,” bohong Su Ho. Suaranya melirih di akhir kalimat.
Suara helaan napas lagi-lagi terdengar. Kali ini, mengisyaratkan sesuatu yang berbeda. Tapi Su Ho berusaha keras untuk tak memikirkannya. Dia hanya mengikuti setiap perintah spontan dari otaknya. Otaknya yang sama sekali tak normal.
“Kalau pun aku menolak, aku tidak akan bisa,kan?” Se Jung mengalihkan kecanggungan dengan terkekeh pelan, “Geurae… nanti malam berkunjunglah. Aku tutup teleponnya?”
“Ye”
Klik
Su Ho segera memejamkan mata. Dia menghantamkan punggungnya ke sandaran kursi. Su Ho sama sekali tak mengerti dengan setiap tindakannya kali ini. Semua kalimat Su Ho tadi, terlontar begitu saja. Tanpa pertimbangan.
Sesaat kemudian, laki-laki itu menatap kearah ujung meja yang berbeda. Kearah kotak merah jambu dengan tutup transparan, yang menampilkan sebuah cincin putih yang berkilau indah. Mungkin jika Su Ho tak bisa melakukan hal yang lebih tega dari sebelumnya, setidaknya Su Ho masih bisa mencoba peruntungan terakhirnya. Ya, peruntungan. Karena dia tahu, Jung Se Jung berhutang banyak. Sangat banyak.
Su Ho meraih kotak cincin lalu menatapnya dengan begitu lekat.
***
Chan Yeol mengenggam erat tangan ibunya yang terbaring di ranjang rumah sakit. Wajah Seo Mi Rae tampak begitu pucat. Bibirnya putih. Tubuhnya panas sekali. Diagnosa dokter, Mi Rae mengalami stress yang berakibat pada kondisi fisik wanita itu. Membuat Chan Yeol hanya bisa menatap ibunya sejak laki-laki itu tiba di rumah sakit pagi tadi.
Suara hembusan pengharum ruangan terdengar diantara keheningan kamar. Bersamaan dengan Jong In yang masuk ke dalam. Laki-laki itu membawa satu rantang makanan di tangan kanannya.
“Bibi belum bangun juga?,” tanya Jong In sebari meletakkan rantang ke meja di dekat sofa. Well, ruang inap Mi Rae memang lebih mirip kamar hotel dibanding rumah sakit. VVIP.
Chan Yeol menghela napas. Laki-laki itu melepaskan genggaman tangannya dari tangan Mi Rae. Dia menoleh, “Ajik,” kata Chan Yeol lirih.
“Mungkin bibi memang harus banyak istirahat. Kata ayahku, tidak masalah,” Jong In menenangkan. Laki-laki itu tampak membuka rantang dan mengeluarkan piring serta makanan dari sana. “Kau belum makan siang,kan? Ibuku memaksa mu agar makan siang. Menunya lumayan” lanjut Jong In. Dia meringis.
“Makanlah. Aku nanti saja. Toh seharusnya kau yang banyak makan. Kau terlalu berkorban untukku. Kau tidak tidur?,” tanya Chan Yeol.
“Berkorban apanya? Aku hanya melakukan hal yang seharusnya aku lakukan sebagai sahabat. Dan masalah tidur, aku sudah tidur sejak jam 7 hingga jam 1 siang tadi. Tidak masalah. Sekarang kau harus makan,” kata Jong In. Laki-laki itu meletakkan beberapa makanan ke atas piring untuk Chan Yeol.
Chan Yeol tak segera menanggapi melainkan berjalan kearah Jong In untuk duduk di sampingnya.
“Biar aku yang mengambil sendiri. Kau urus dirimu,” kata Chan Yeol. Jong In mengangkat bahunya acuh.
Chan Yeol menghela napas, “Jong In,” panggil Chan Yeol.
“Wae?”
“Kata sekretaris Im, Nam Bo Ra keluar,” jawab Chan Yeol.
Jong In menganggukkan kepala, “Bagus kalau begitu”
“Apanya yang bagus? Nam Bo Ra keluar dan ibuku sakit. Aku berpikir ibu sakit karena Bo Ra keluar,” tanggap Chan Yeol.
Jong In yang berniat memasukkan kimbab ke dalam mulut, mengurungkan niat. Sepertinya, dia harus menceritakan semuanya. Semua yang dia lihat semalam. Sesuatu yang mengejutkan.
Jong In meletakkan kembali kimbab ke piring, “Kemarin… aku melihat sesuatu yang mengejutkan,” kata Jong In. Nada bicara Jong In yang berubah serius membuat Chan Yeol mengerutkan kening. Heran.
“Sudah sepantasnya Nam Bo Ra keluar dari Pr.C,” lanjut Jong In.
“Apa katamu?”
Jong In menghela napas. Laki-laki itu menatap Chan Yeol, “Selama ini dia menipumu. Nam Bo Ra yang kau kenal bukan Nam Bo Ra yang sebenarnya, Chan Yeol. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri,” jelas Jong In. Kening Chan Yeol semakin berkerut. Tidak mengerti dengan arah pembicaraan Jong In siang ini. Apa maksudnya Nam Bo Ra yang dikenalnya bukan Nam Bo Ra yang sebenarnya?
“Ya! Ya! Bisakah kau lebih jelas? Aku tak mengerti,” kata Chan Yeol.
“Nam Bo Ra, bukan gadis biasa seperti yang kita kenal selama ini. Dia sama sekali tak sederhana,” Jong In menggelengkan kepalanya, “Bodohnya, aku tak sadar jika sudah pernah memergoki Nam Bo Ra, dulu. Ketika itu dia menyamar sebagai Jin So Min– seseorang yang melakukan operasi plastik hingga mirip Nam Bo Ra. Tapi, semalam aku tahu jika tidak ada Jin So Min. Yang ada hanyalah Nam Bo Ra dengan segala kemewahan yang setara denganmu, Chan Yeol”
Chan Yeol mengurut keningnya. Kepalanya berdenyut ketika dia berusaha keras untuk meraba arah pembicaraan Jong In. Tapi, Jong In malah tersenyum. Laki-laki itu menarik napas panjang sekali lagi.
“Semalam, ketika aku tengah berada di perjalanan menuju ke rumah…. ”
Flashback
Jong In menghentikan mobilnya ketika merasa jika ban bagian belakang mulai tak beres. Laki-laki itu berdecak kesal, sebelum akhirnya keluar dari mobil. Dia mendengus ketika mendapati ban mobilnya lagi-lagi kempes. Padahal pagi tadi dia baru saja mengganti ban mobil ketika mereka masih di Gyeongsang.
“Aigooo… sekarang apa yang harus aku lakukan, eoh?” umpat Jong In sendirian. Laki-laki itu melihat ke sekeliling, mencoba mencari bantuan sebelum mengambil jalan pintas– telepon jasa mobil derek.
Matanya menelusuri sepanjang jalanan Seoul. Tidak ada yang dikenalnya. Sama sekali. Jong In mendengus, lalu merogoh ponsel di sakunya. Tapi, niatnya langsung teralihkan ketika melihat sosok yang begitu familiar membungkuk dan masuk ke dalam sebuah mobil mewah yang berhenti di depan halte.
Jong In kembali menurunkan ponsel.
Nam Bo Ra tampak begitu jelas memberi hormat kepada seseorang di dalam mobil. Jong In tahu, mobil itu bukan mobil Seo Mi Rae.
“Taksi,” teriak Jong In ketika sebuah taksi melintas pelan. Taksi berhenti, dan laki-laki itu segera masuk sebari terus menatap kearah mobil mewah yang mulai merambat pelan. Jong In berniat mengikuti Nam Bo Ra. Dia ingin tahu segalanya. Demi Park Chan Yeol– sahabatnya.
“Ikuti mobil itu. Jangan terlalu dekat,” perintah Jong In. Supir taksi hanya mengiyakan sebari mengangguk singkat. Taksi mulai bergerak pelan di belakang mobil yang dimasuki Nam Bo Ra. Jong In sibuk memerhatikan, semakin mengintenskan pandangannya.
Lampu rem mobil yang ditumpangi Bo Ra menyala merah, bersamaan dengan sinar kekuningan yang berkedip kearah kiri. Ke sebuah bangunan besar kantor perusahaan kontruksi yang tak kalah tenar dari Pr.C– YB Contruction.
Jong In sempat menahan napas, sebelum dia sadar jika dia tak bisa jika terus mengikuti mobil. “Seonsaengnim, berhenti disini,” kata Jong In. Laki-laki itu menyipitkan mata ketika menatap kearah pekarangan kantor YB Contruction. Nam Bo Ra keluar dari dalam mobil dan langsung dihampiri oleh seorang pria paruh baya. Pria paruh baya itu menepuk lengan Bo Ra sesaat, sebelum berjalan cepat bersama satu rekannya yang seumuran. Nam Bo Ra tampak mengikuti dari belakang.
Dan betapa terkejutnya Jong In saat melihat beberapa karyawan dan petugas keamanan membungkuk hormat ketika Nam Bo Ra melintas. Jong In segera tahu jika Nam Bo Ra bukan orang sembarangan.
Flashback off
Jong In menghela napas. Laki-laki itu mengeluarkan ponsel dari dalam saku, membuka sesuatu, dan menunjukkannya kepada Chan Yeol. Foto silsilah keluarga Nam Bo Ra yang ditulis tangan.
“Percaya atau tidak, tapi aku berhasil mendapatkannya,” kata Jong In.
“Nam Bo Ra terbukti adalah keponakan Yoo Jae Sang, CEO YB Contruction. Rival terbesar Pr.C,” lanjut Jong In.
Mata Chan Yeol membulat seketika. Tidak mungkin! Tolong seseorang katakan kepada Chan Yeol jika Jong In tengah mengerjainya! Tapi melihat wajah serius Jong In, semua orang tahu jika laki-laki itu tidak sedang bercanda kali ini. Jong In serius!
“Tidak mungkin..” lirih Chan Yeol. Dia masih sangat tidak percaya. Terlebih, semua ini dilakukan oleh Nam Bo Ra. Gadis yang dulu sempat mengisi hari Park Chan Yeol.
Chan Yeol segera menatap Jong In. Sorot mata laki-laki itu sudah berkilat tak jelas. Antara tak percaya, marah, dan kecewa. Chan Yeol sudah tak mengerti perasaan apa lagi yang bergemuruh dalam dadanya kali ini. Yang pasti, mendengar semua itu membuatnya ingin mengumpat tanpa henti.
“Kau pasti bercanda Kim Jong In,” kata Chan Yeol tajam.
Jong In mengerdikkan bahunya, “Kau lupa seberapa akurat informasi yang aku berikan? Aku Kim Jong In.”
Chan Yeol menelan ludah. Ya, Jong In selalu akurat dalam memberi informasi. Laki-laki berkulit gelap itu adalah orang paling terpercaya jika berhubungan dengan informasi semacam ini. Chan Yeol tak mungkin jika harus menolak informasi ini. Laki-laki itu terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menatap ibunya yang terbaring di ranjang. Matanya sudah berkilat marah.
Satu kesimpulan besar mulai muncul di kepala Chan Yeol. Nam Bo Ra menipu mereka semua.
Hening.
Tidak ada satupun yang bersuara kecuali suara kecil pengharum ruangan yang menyemprot ke udara. Hingga akhirnya, Chan Yeol terkekeh hambar, “Jika begitu, apa maksud semua ini, eoh?,” kata Chan Yeol sarkastik. Laki-laki itu menahan dirinya untuk tetap bersikap tenang. Walau faktanya, sekarang dia sudah sangat amat marah. Marah sekali.
Jong In menggeleng, “Molla. Tapi yang pasti, dia melakukannya untuk sebuah tujuan yang jelas. Dia– ”
“Titip ibuku, Kim Jong In,” Chan Yeol memotong kalimat Jong In ketika laki-laki itu berdiri dari sofa dan melangkah lebar untuk keluar ruangan. Semua sudah tak bisa jika harus berakhir dibicarakan. Chan Yeol harus menemui gadis itu. Dia harus meminta penjelasan atas semua ini.
Jong In tak bisa menahan. Laki-laki itu hanya menatap punggung Chan Yeol yang menghilang di balik pintu.
Jong In menghela napas. “Aku doakan, kau baik-baik saja,” ucap Jong In lirih. Laki-laki itu kembali mengambil sumpit dan memakan kimbabnya sebari menatap kearah pintu keluar. Ya, semoga Park Chan Yeol baik-baik saja.
***
“Sial!,” umpat Chan Yeol ketika panggilannya tak diangkat oleh Nam Bo Ra. Chan Yeol mendengus sebari menjejalkan kembali ponselnya ke saku. Baiklah. Jika gadis itu tak mengangkat panggilannya, dia sendiri yang akan menghampirinya. Ya, Chan Yeol berpikir untuk langsung saja ke YB Contruction. Masa bodoh dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya. Perbuatan Bo Ra sudah kelewat batas.
Chan Yeol memacu gas secepat yang dia bisa. Kemarahan dan kekecewaan sudah menguasainya. Membakar Chan Yeol hingga merasa menjadi manusia bodoh sepanjang masa. Bisa-bisanya dia tidak sadar jika selama empat tahun terakhir dia telah menjadi korban pembodohan seorang Nam Bo Ra. Empat tahun. Camkan itu!
Tak butuh waktu lama bagi Chan Yeol untuk sampai ke kantor YB Contruction. Laki-laki itu memarkir motornya asal. Bersamaan dengan sebuah mobil mewah yang berhenti tak jauh dari motor Chan Yeol. Seorang gadis berpenampilan mewah tampak keluar dari bagian kemudi. Nam Bo Ra.
Tidak ada yang dipikirkan Chan Yeol selain melepaskan helm lalu mendekat dengan langkah kasar. Tidak ada permisi. Chan Yeol segera meraih lengan Bo Ra yang akan masuk ke dalam kantor. Kasar.
Nam Bo Ra segera terseret mendekat kearah Chan Yeol. Mata gadis itu membulat. Tak menyangka jika Chan Yeol akan memergokinya di tempat ini. Sementara Chan Yeol mendongak sejenak, demi meredakan napasnya yang tersengal. Mata laki-laki itu sudah memerah. Marah.
“Park..Chan Yeol…” bisik Bo Ra– setengah bergetar. Gadis itu menelan ludahnya berulang kali. Menatap wajah Chan Yeol sore ini membuat ketakutan langsung menyelimuti diri Bo Ra.
“Apa maksud semua ini, eoh?,” Chan Yeol bertanya lirih, “Jelaskan padaku, apa maksud semua ini?!!!,” Chan Yeol berteriak.
Bo Ra hampir terlonjak dibuatnya. Gadis itu segera mengalihkan pandangannya dari Chan Yeol. Kacau. Bo Ra tak menyangka jika semua akan terbongkar secepat ini. Wajah Bo Ra berubah gusar seketika. Khawatir. Laki-laki itu pasti akan sangat membencinya.
Mata Nam Bo Ra, berkaca.
“Wae?,” suara Chan Yeol kembali melirih. Laki-laki itu mengoyangkan lengan Bo Ra yang dicengkeramnya dengan begitu erat, “Kenapa kau melakukan ini semua kepadaku?,” lanjut Chan Yeol.
Bo Ra menggerakkan tangannya, berusaha melepaskan cengkeraman Chan Yeol. Satu bulir airmata mengalir dari mata indah Nam Bo Ra.
“Dan… sejak kapan kau melakukan semua ini, eoh? Sejak 4 tahun lalu?”
“Maafkan aku,” ucap Bo Ra lirih. Airmata semakin banyak membasahi wajahnya.
“Maaf? Setelah apa yang kau lakukan kau hanya meminta maaf? Tak bisakah ka– ”
“Ini semua salahmu,” potong Nam Bo Ra. “Ini semua salahmu dan seluruh keluargamu, kau tahu?,” Bo Ra berteriak. Membuat Chan Yeol membulatkan mata tak percaya.
“Kau pikir… hanya kau yang berada di pihak paling benar? Tahu kah kau jika aku seperti ini karena siapa?,” Bo Ra terkekeh miris diantara isakannya.
“Aku seperti ini karena kau dan Pr.C-mu yang kejam itu! Kalian menusuk kami dari belakang. Kalian merontokkan kepercayaan orang-orang atas usaha kami selama ini. Kalian membunuh orang tuaku!! Kalian yang membuatku seperti ini. Ini semua salah kalian!!!”
“Ap..apa?”
“Kau tak tahu, kan? Bagus sekali. Empat tahun….”
“Empat tahun bukan waktu yang lama jika dibandingkan dengan penderitaan yang aku rasakan. Ayahmu membunuh kedua orang tuaku, dan kau…,” rahang Bo Ra mengeras, “membunuh jiwaku, Park Chan Yeol,” kini wajah Bo Ra melembut. Gadis itu memberanikan diri menatap Chan Yeol di hadapannya.
“Aku pun… mencintaimu,” suara Bo Ra melirih di ujung kalimat.
Mata Chan Yeol membulat. Bukan karena pengakuan cinta Nam Bo Ra, tapi karena semua ucapan Bo Ra yang baru didengarnya. Tentangnya yang membuat hidup Bo Ra berantakan. Tentang ayahnya yang membunuh kedua orang tua seorang Nam Bo Ra. Jangan bercanda!
“Aku… aku tak punya pilihan lain selain melakukan semua ini, Chan Yeol. Dan kau tahu… aku menyesal… aku sangat menyesali semua ini, Park Chan Yeol,” Bo Ra terisak semakin memilukan.
Dan sekarang, Chan Yeol tahu jika Bo Ra benar-benar melakukannya. Gadis itu, menipu mereka.
“Jadi… kau yang melakukan kekacauan ini? Kau yang membuat Pr.C mengalami semua hal merugikan ini? Kau?,” Chan Yeol bertanya tak percaya. Laki-laki itu berharap untuk mendengar jawaban tidak, tapi Bo Ra malah meraih tangannya. Gadis itu menggenggam tangannya dengan begitu erat.
“Maafkan aku… aku..” tak terduga. Nam Bo Ra benar-benar melakukan semua itu.
Chan Yeol menghempaskan tangannya. Permintaan maaf Nam Bo Ra sudah cukup membuat Chan Yeol yakin jika gadis itu terlalu licik untuk Chan Yeol kasihani. Bo Ra berakhir terduduk di tanah sebari memegang dadanya. Gadis itu seperti ditusuk pedang tepat di dadanya.
“Aku tak menyangka jika kau bisa melakukan ini semua, Bo Ra,” Chan Yeol berkata tajam, “Aku pikir… kau tak seperti itu. Aku kecewa,” lanjut Chan Yeol.
Bo Ra segera meraih kaki Chan Yeol. Gadis itu segera memeluk kaki laki-laki itu erat. Tak ingin Chan Yeol pergi dengan kebencian yang muncul karena perbuatannya. Tapi Chan yeol tampak menggerak-gerakkan kakinya. Berusaha menyingkirkan Nam Bo Ra yang tengah meminta ampun. Laki-laki itu sudah tidak sudi melihat gadis licik ini sekali lagi.
“Aku mohon Chan Yeol. Aku mohon maafkan aku… aku tak bermaksud… aku tak bermaksud melakukan ini.. aku…”
Bo Ra terlempar. Chan Yeol berhasil menggerakkan kakinya hingga membuat Bo Ra melepaskan cengkeramannya. Laki-laki itu melirik Bo Ra tajam. “Jangan pernah muncul di hadapanku lagi, Nam Bo Ra. Sekalipun… jangan pernah,” kata Chan Yeol. Laki-laki itu segera melangkah cepat untuk menghindar. Meninggalkan Bo Ra yang terisak di tanah. Menyedihkan.
***
Satu bulir airmata mengalir dari mata bulat Chan Yeol. Laki-laki itu duduk di halte bus, berusaha meredam seluruh emosinya terhadap Bo Ra. Gadis yang pernah diinginkannya.
Seketika, seluruh ingatannya tentang Nam Bo Ra menghantam. Terlebih, ketika dia ingat jika dia selalu menduakan Se Jung dengan Nam Bo Ra. Chan Yeol merasa begitu bodoh. Bisa-bisanya dia hampir meninggalkan Jung Se Jung hanya untuk si licik Bo Ra? Bodoh sekali.
Chan Yeol menyibak rambutnya ke belakang.
Amerika. Nama Negara itu langsung melintas di kepalanya. Seketika juga Chan Yeol ingat jika dua hari lagi, dia harus ke Amerika. Demi menemani Nam Bo Ra. Tapi, semua berakhir dengan sangat tidak menyenangkan. Chan Yeol tak mungkin pergi ke Amerika bersama orang yang sekarang sudah sangat dibencinya.
Chan Yeol memaki dirinya ketika sadar jika pergi ke Amerika juga berarti pergi meninggalkan Jung Se Jung sendirian. Betapa bodohnya Chan Yeol yang tersulut emosi ketika itu. Hingga begitu mudah berniat untuk melupakan Se Jung dengan pergi ke Amerika.
***
Aku ingin bertemu denganmu, Se Jung.
Aku mencintaimu….
From : Virus
Se Jung menghela napas ketika membaca pesan singkat dari Chan Yeol. Pesan yang semakin membuat dada Se Jung bergemuruh tak jelas. Bagaimana tidak, sekarang Su Ho sudah duduk di ruang tamu, sebari menyeruput teh hangat.
Se Jung seketika merasa bersalah. Tak seharusnya dia berduaan dengan Su Ho sore ini. Tapi gadis itu segera mengatur ekspresi wajah. Se Jung tersenyum, “Jadi… apa tujuanmu datang, Su Ho-ssi?” tanya Se Jung.
Su Ho meletakkan cangkir teh ke tatakan. Laki-laki itu tersenyum lembut, sebari menatap tepat kearah manik mata Jung Se Jung.
“Apa boleh jika aku langsung mengatakannya?,” tanya Su Ho. Se Jung mengangguk, “Tentu saja”
Su Ho menarik napas dalam. Laki-laki itu berdiri, lalu berpindah tempat untuk duduk di samping Jung Se Jung. Tepat di sampingnya. Tangan kanan Su Ho bergerak cepat meraih jemari Jung Se Jung, sementara tangan kirinya merogoh saku jaket yang dia kenakan.
Se Jung menelan ludah. Sebuah kotak merah muda dengan tutup transparan segera tertangkap oleh matanya. Cincin. Se Jung membulatkan mata sebari menatap Su Ho tak percaya.
“Aku sudah tidak tahu harus melakukan apa lagi,” Su Ho tersenyum. Laki-laki itu membuka kotak cincin di genggamannya hingga menampilkan kemilau indah cincin dari sana. “Aku merasa jika sudah tidak ada lagi ungkapan yang tepat untuk menggambarkan betapa aku menginginkanmu hadir di hidupku, Se Jung”
Hening.
Se Jung merasa jika jantungnya hampir melompat keluar rongga dada. Satu tebakan mulai melintas di hadapan Se Jung saat ini juga. Su Ho tampak menghela napas.
“Maukah…. kau menikah denganku?,” ucap Su Ho lirih. Suara laki-laki itu terdengar bergetar. Matanya pun bersinar lain.
Se Jung terdiam seketika. Apa? Menikah? Seketika bayangan Chan Yeol berkelebatan. Tidak bisa!! Se Jung tidak bisa meninggalkan Chan Yeol hanya untuk Su Ho.
Su Ho tersenyum, “Gwenchanna. Kau tak harus menjawabnya sekarang. Tapi…” Su Ho mengeluarkan cincin dari dalam tempatnya. Laki-laki itu tanpa meminta ijin apapun, langsung menyematkan cincin itu ke jari manis Se Jung. “…pakai ini hingga kau berniat memberiku jawaban,” lanjut Su Ho.
Se Jung menatap cincin yang sudah tersemat di jemarinya, nanar. Dia tidak bisa menerima semua ini. Dia tidak bisa membalas cinta Su Ho. Sedikit pun, Se Jung tidak akan bisa melihat Su Ho lebih dari seorang teman.
Su Ho melepaskan genggaman tangannya. Laki-laki itu masih tersenyum, “Hanya itu saja. Aku harap, kau menerimanya,” kata Su Ho. Laki-laki itu menghela napas, “Baiklah. Sepertinya aku harus pulang, Se Jung,” Su Ho beranjak.
Laki-laki itu berjalan keluar rumah dengan Se Jung yang mengikuti dari belakang. Terdiam. Kecanggungan yang luar biasa langsung menyelimuti mereka. Hingga Su Ho meraih pintu keluar. Laki-laki itu menoleh, untuk sekedar melambaikan tangan. Sebelum akhirnya Su Ho memejamkan mata sesaat. Hatinya nyeri sekali. Karena dia tahu…. Se Jung tidak akan pernah menerimanya. Tidak akan pernah.
***
“Chan Yeol,” suara Mi Rae terdengar lemah ketika Chan Yeol membuka pintu kamar Mi Rae. Laki-laki itu tersenyum, beringsut mendekat. “Eomma…”
“Chan Yeol, anakku…” Mi Rae menggerakkan tangannya. Chan Yeol meraihnya dan langsung menempelkannya di pipi. Wajah pucat Mi Rae terlihat begitu sembab. Memperlihatkan seluruh kesedihan yang selama ini tersimpan di dalam sana.
“Maafkan aku, eomma,” balas Chan Yeol. Mi Rae menggerakkan tangannya lembut di sepanjang wajah Chan Yeol.
“Nam Bo Ra keluar, Chan Yeol. Maafkan eomma,” kata Mi Rae. Chan Yeol menggeleng, “Ani. Kenapa kau harus minta maaf? Tidak apa-apa”
“Tidak. Eomma tidak bisa membuatmu bahagia. Alasanmu pergi ke Amerika hanya Nam Bo Ra,kan? Kau mencintai gadis itu,kan?”
“Aniyo. Semua ini tidak seperti yang kau bayangkan. Aku memang mencintainya, dulu,” Chan Yeol tersenyum. Laki-laki itu menghela napas, “Eomma… jangan khawatir. Karena sudah sepantasnya Nam Bo Ra keluar”
“Tapi… kau pasti– ”
“Eomma…” Chan Yeol memotong kalimat ibunya, “Aku akan tetap ke Amerika. Tanpa atau dengan Nam Bo Ra. Aku akan melakukan semua ini untukmu, eomma. Untuk keluarga kita,” lanjut Chan Yeol lirih.
Mi Rae memejamkan matanya, membuat airmata yang tertumpuk disana luruh seketika. Dia tak menyangka jika Chan Yeol bisa berubah dengan begitu cepat. “Ya Tuhan…. Aku harap aku tak bermimpi…”
Chan Yeol menggeleng samar, “Kau tak bermimpi. Ini nyata. Hanya saja… aku minta satu hal darimu, eomma…,” suara Chan Yeol menajam di ujung kalimat. Membuat Mi Rae segera menatap tepat di manik mata anak semata wayangnya. Keseriusan terpancar jelas dari sana.
“…biarkan aku menentukan pilihan masa depanku sendiri. Yang terpenting, aku akan tetap bersama Pr.C, dan bersamamu. Cukup sampai disini saja kau mengantarkanku, eomma. Aku berjanji akan menjaga Pr.C baik-baik. Bagaimana?”
Mi Rae semakin terisak. Entah kenapa, mendengar kalimat Chan Yeol membuat Mi Rae merasa jika tak seharusnya dia terlalu memaksakan kehendaknya terhadap Chan Yeol. Anak itu– disadari atau tidak, sudah terlalu banyak berbuat demi memenuhi tuntutannya.
“Seharusnya aku yang minta maaf Chan Yeol, bukan kau. Aku yang salah. Maafkan eomma…”
“Tidak. Kau ibuku… kau selalu ingin aku bahagia. Aku tahu itu. Maafkan aku…”
Chan Yeol semakin mengeratkan genggaman tangannya. Bersamaan dengan bayangan Se Jung yang memenuhi ruang tempurung kepalanya. Dia pun akan selalu membuat Se Jung bahagia. Dia berjanji.
***
Kriiing….
Ponsel Se Jung berdering ketika gadis itu tengah duduk di ruang tengah sebari menatap cincin pemberian Su Ho kemarin.
Virus calling….
“Yoboseyo?”
“Haruskah kau menyapa dengan sapaan itu kepada kekasihmu sendiri?,” suara Chan Yeol yang menggoda langsung terdengar dari seberang. Se Jung terkekeh dibuatnya. Mereka belum pernah sekalipun membuat kesepakatan menjadi sepasang kekasih.
“Kekasih? Kapan?” balas Se Jung.
“Eii… ada apa dengan pertanyaanmu, eoh? Kita berdua sama-sama mencintai. Bukankah itu yang dilakukan sepasang kekasih? Jelas, kau kekasihku”
“Ada-ada saja,” tanggap Se Jung. Suara kekehan renyah terdengar dari seberang. Gadis itu menghela napas, “Wae? Kenapa kau menelepon?,” tanya Se Jung.
Kini, suara helaan napas yang terdengar dari seberang.
“Jung Se Jung,” panggil Chan Yeol.
“Hm?”
Hening. Se Jung mengerutkan keningnya heran.
“Waeyo?”
“Besok aku ke Amerika,” jawab Chan Yeol singkat. Jawaban yang mampu membuat mata Se Jung membulat. Pandangan gadis itu mengabur seketika. Chan Yeol pergi ke Amerika?
“Amerika?” tanya Se Jung retoris.
“Ye, Amerika. Benua Amerika. Aku kuliah disana selama 4 tahun. Dan aku tidak akan kembali kesini sebelum menyelesaikan pendidikanku, Se Jung,” suara Chan Yeol di seberang terdengar bergetar.
Se Jung ternganga. Jadi, Chan Yeol akan meninggalkannya?
“Kau… meninggalkanku?”
Hening.
“Kenapa kau bisa berkata seperti itu, eoh? Justru aku yang seharusnya takut kau meninggalkanku ketika aku di Amerika. Kau….,” Chan Yeol terkekeh, “..kau begitu mudah membuat orang jatuh cinta, kau tahu? Aku khawatir”
Se Jung menggelengkan kepalanya kuat. Satu bulir airmata segera luruh dari matanya. “Aniya… apa yang kau katakan, eoh? Aku bisa gila jika meninggalkanmu. Aku tak mungkin melakukannya, Park Chan Yeol,” Se Jung mulai terisak.
“Aigooo… uljima…”
“Empat tahun bukan waktu yang sebentar. Aku…takut kehilanganmu…”
Suara kekehan terdengar dari seberang. “Kau tahu? Aku bahagia mendengarmu mengatakan hal itu, Se Jung. Setidaknya aku tahu jika kita sama,” suara Chan Yeol terdengar sengau, “Mulai sekarang, aku ingin kau berjanji untuk selalu menungguku. Tak peduli apapun yang terjadi. Tak peduli seberapa lamanya aku jauh darimu. Dan tak peduli seberapa jauh jarak memisahkan kita. Aku ingin, kau tetap berada di sampingku. Hanya untukku”
Se Jung tak bisa menjawab. Gadis itu sudah menutup mulutnya dengan telapak tangan. Terisak. Baru beberapa hari yang lalu hubungannya dengan Chan Yeol membaik, tapi besok laki-laki itu sudah harus meninggalkannya. Semua ini terasa begitu tidak adil.
“Uljima… cukup katakan iya, Jung Se Jung. Aku menunggunya…”
“Iya, Park Chan Yeol. Iya…,” ucap Se Jung lirih. Sangat lirih.
“Jalhada,” suara Chan Yeol semakin bergetar.
“Park Chan Yeol…..”
***
Lee Young Hyun – I Guess Not
Se Jung sudah memutuskan semuanya. Gadis itu tidak bisa jika menggantungkan dua harapan sekaligus. Hanya boleh ada satu harapan yang harus tetap dipertahankan. Ya, hanya satu harapan. Harapan cintanya bersama Park Chan Yeol.
Pagi ini, Se Jung sudah berdiri tegak di depan kantor utama Kim Groups, Seoul. Gadis itu menatap bangunan megah di hadapannya sebari memainkan selempangan tas. Pagi ini pertama kalinya dia berniat memasuki kantor Kim Groups, dan mungkin pagi ini juga akan menjadi kesempatan terakhirnya untuk berhubungan dengan segala hal yang berkaitan dengan Kim Groups.
Keputusan Se Jung sudah bulat. Dia harus melepaskan semuanya.
***
Lee Young Hyun – I Guess Not
Su Ho membulatkan mata ketika mendapati Se Jung sudah membungkuk dalam. Laki-laki itu tak pernah menyangka jika Se Jung akan muncul di hadapannya di dalam gedung utama Kim Groups. Su Ho menegakkan posisi duduknya, bersiap untuk berdiri.
“Maaf jika menganggumu, Su Ho-ssi. Kau tidak perlu mendekat,” kata Se Jung.
Su Ho menahan gerakannya. Laki-laki itu mengerutkan kening. Se Jung tampak berjalan mendekat sebari merogoh sesuatu dari dalam tas. Sebuah amplop putih dan kotak cincin.
Gadis itu menatap amplop dan kotak cincin di tangannya, sekilas. Dia meletakkan kedua benda itu ke atas permukaan meja sebari menggesernya pelan. Membuat hati Su Ho ikut berdesir tak nyaman ketika mendengar suara kecil gesekan kotak dengan meja. Nyeri sekali.
“Apa yang kau– ,” kalimat Su Ho terpotong ketika lagi-lagi gadis itu membungkukkan tubuhnya sopan. Membuat mata Su Ho berkaca seketika. Oke…dia tahu maksud kedatangan Se Jung pagi ini.
Se Jung tersenyum. Mata sayu gadis itu menatap Su Ho yang mulai gusar di kursinya. “Maaf telah lancang, Su Ho-ssi. Tapi…. aku tidak bisa menerima semuanya,” kata Se Jung lirih.
Hening.
“Aku sadar, jika tak seharusnya aku melakukan semua ini. Kau sudah terlalu baik kepadaku, Su Ho,” suara Se Jung terdengar tajam di telinga Su Ho. Laki-laki itu menatap Se Jung yang masih tersenyum hambar di hadapannya, “Tapi… aku tidak akan bisa jika terus menerimanya. Aku takut melukaimu jika semua ini dilanjutkan, Su Ho. Terima kasih telah memberiku segalanya,” lanjut Se Jung.
Satu bulir airmata mengalir dari mata Su Ho. Laki-laki itu menatap Se Jung nanar.
“Aku bukan wanita yang pantas mendapatkan semua ini. Itulah kenapa, aku memutuskan untuk melepaskannya, Su Ho. Sekali lagi, terimakasih,” Se Jung membungkukkan tubuh sekali lagi.
“Aku pergi,” kata Se Jung.
Gadis itu segera berbalik untuk keluar dari ruang pribadi Su Ho. Meninggalkan Su Ho yang masih terdiam di kursinya. Meninggalkan laki-laki itu sendirian, dengan airmata yang mulai buncah keluar.
Suara pintu ditutup terdengar. Bersamaan dengan Su Ho yang mengusap wajahnya frustasi. Sesuai dugaan. Se Jung tak akan pernah bisa dia raih. Bahkan dengan senjata terampuh yang dimiliki lelaki untuk menaklukkan wanita sekali pun. Melamar.
Su Ho memukul meja kerjanya berulang kali. Laki-laki itu meraih kotak cincin yang terletak di hadapannya, dan melemparkannya begitu saja. Su Ho berakhir terisak keras. Mengasihani dirinya sendiri yang begitu menyedihkan. Menangisi dirinya yang sudah seharusnya menyerah. Ya, Su Ho menyerah.
Sementara itu, Se Jung segera berlari begitu keluar dari kantor Kim Groups. Gadis itu kelabakan mencari taksi untuk mengantarnya hingga ke bandara Incheon. Dia harus bertemu dengan Park Chan Yeol.
“Taksi!,” teriak Se Jung ketika sebuah taksi yang baru menurunkan penumpang mulai merambat di pinggir jalan. Gadis itu segera beringsut untuk masuk. Mengatakan tujuannya dengan kalimat belepotan.
Sepanjang perjalanan, Se Jung hanya mampu menggigit jemarinya. Gadis itu menatap keluar jendela gelisah, sebari sesekali berkata kepada supir taksi untuk menambah kecepatan. Se Jung harus sampai ke bandara sebelum Chan Yeol naik ke atas pesawat. Dia harus melihat wajah Chan Yeol sebelum menjalani hidup selama empat tahun tanpa kehadiran laki-laki itu.
“Seonsaengnim, bisakah kau lebih cepat?”
***
Lee Young Hyun – Love Like This
Hiruk pikuk bandara menjadi hal paling dominan sejauh mata memandang. Suara bising mesin pesawat terdengar sayup diantara kegaduhan bandara. Orang-orang sibuk mendorong tumpukan koper. Melintas, menuju ke pintu keberangkatan. Beberapa diantara penumpang terlihat menunggu di barisan kursi ruang tengah. Wajah mereka tenang, kecuali satu laki-laki jangkung yang sejak tadi tak bisa melepas matanya dari arah luar bandara.
Gadis itu belum juga datang.
“Chan Yeol-a… kau harus baik-baik disana, ya?” Mi Rae mengelus lembut lengan Chan Yeol. Membuat Chan Yeol yang sedikit melamun, tersentak. Laki-laki itu berakhir tersenyum kaku. Pikirannya masih melayang memikirkan Jung Se Jung.
“Tentu saja, eomma,” jawab Chan Yeol. Mi Rae tersenyum sebari semakin sering mengusap lengan Chan Yeol.
Jong In yang berdiri di samping Mi Rae segera merentangkan tangannya, “Aigooo… sahabatku…” kata Jong In. Chan Yeol menyambut pelukan Jong In. “Kau harus berjanji tidak melupakanku. Baik-baik disana,” kata Jong In.
Chan Yeol mengangguk. Tapi, laki-laki itu segera menghela napas kecewa, “Dia tidak datang,” kata Chan Yeol lirih. Jong In terkekeh. Laki-laki berkulit gelap itu menggerakkan dagunya kearah lain. Memberi isyarat kepada Chan Yeol jika tak selamanya feeling Chan Yeol akurat.
“Kau belum melihatnya lagi. Jeogi bwa…” ucap Jong In.
Chan Yeol menolehkan kepala kearah dagu Jong In. Dan, matanya langsung berbinar ketika melihat seorang gadis sibuk berlarian dari arah pintu keluar. Jung Se Jung hadir ke bandara dengan raut wajah khawatir yang entah kenapa malah terlihat begitu manis di mata Park Chan Yeol. Rambut gadis itu bergoyang, seirama dengan langkah kakinya yang mendekat. Berantakan. Tapi, tidak masalah. Chan Yeol suka bagaimana mata Se Jung menyorotkan kegelisahan yang begitu besar. Gadis itu datang juga. Hanya untuk dirinya.
Chan Yeol segera berlari mendekat ketika informasi untuk keberangkatan Chan Yeol terdengar menggema di seluruh penjuru bandara. Pesawat Chan Yeol sebentar lagi akan take off.
“Park Chan Yeol!!!” teriak Se Jung. Gadis itu masih berlarian. Dia mengulum bibirnya, dengan wajah yang sembab. Chan Yeol tahu, gadis itu pasti menangis di sepanjang jalan.
Chan Yeol tersenyum, lalu merentangkan tangannya lebar. Tak peduli jika banyak pasang mata yang sudah memperhatikan mereka. Termasuk Seo Mi Rae dan Kim Jong In.
“Jung Se Jung…” balas Chan Yeol ketika Se Jung menubruk tubuh tingginya. Gadis itu memeluknya dengan begitu erat. Seakan tak ingin melepaskan seorang Park Chan Yeol. Chan Yeol memejamkan mata sekilas. Menikmati kehangatan tubuh Se Jung dan ketenangan yang menjalar ke seluruh bagian tubuhnya. Laki-laki itu pun sesekali tampak mencium puncak kepala Se Jung.
Se Jung tak mengatakan apapun kecuali terisak di pelukan Chan Yeol.
“Uljima, Jung Se Jung… uljimayo,” kata Chan Yeol lirih. Laki-laki itu melepaskan pelukannya, lalu mencengkeram lengan Se Jung. Dia tersenyum lebar. “Aigoo…apa wajah sejelek ini yang harus kau tunjukkan untukku? Tega sekali kau,” goda Chan Yeol sebari mencubit hidung Se Jung.
Se Jung tak bisa tertawa. Gadis itu memalingkan wajah untuk menahan airmatanya. Jemari Chan Yeol tampak bergerak pelan untuk mengusap sisa airmata Se Jung. Dan, sesuatu yang tak pernah Chan Yeol duga dilakukan oleh Jung Se Jung. Gadis itu mendekatkan wajahnya dan mengecup Chan Yeol begitu saja. Menunjukkan kepada laki-laki itu jika dia akan selalu berada di pihak Park Chan Yeol, apapun yang terjadi.
Chan Yeol sempat terbelalak tak percaya. Jung Se Jung menciumnya.
Se Jung melepaskan kecupannya. Gadis itu tersenyum dengan wajah sembab, “Apapun yang terjadi, aku tidak akan meninggalkanmu, Park Chan Yeol. Apapun yang terjadi,” kata Se Jung lirih.
Dada Chan Yeol berdesir. Kalimat itu terdengar begitu indah di telinga Chan Yeol siang ini. Kalimat itu adalah kalimat yang sangat ditunggu Chan Yeol selama nama Jung Se Jung hadir di dalam kehidupannya. Gadis itu berjanji tak akan meninggalkannya. Ya, gadis itu sudah berjanji tepat di hadapannya.
Chan Yeol tersenyum sesaat setelah Se Jung mengatupkan bibirnya. Laki-laki itu menatap Se Jung dalam, sebelum meraih wajah gadis itu lembut.
Kali ini, gilirannya.
**********
5 years later….
Pengadilan Pusat Seoul.
“Teman dari anak korban, Kim Jong In mengatakan bahwa anda yang merencanakan penipuan ini. Apakah itu benar, terdakwa?,” jaksa penuntut membacakan berita acara.
Hening.
Gadis itu tampak begitu gelisah. Tak segera menjawab. Dia tahu, riwayatnya sudah hancur mulai detik ini.
“Apakah benar, terdakwa?” kini giliran hakim ketua yang bertanya. Bo Ra semakin terdiam seribu bahasa. Tampak Yoo Jae Sang dan tuan Choo duduk diantara Bo Ra. Tepat di tengah ruang sidang.
Seo Mi Rae, manajer Yong, Kim Jong In, dan beberapa pihak Pr.C tampak duduk di deretan kursi belakang. Menatap kearah tengah ruang sidang dengan segala kebencian yang terpancar jelas.
Hari ini, persidangan besar tengah berlangsung di Seoul. Persidangan yang melibatkan dua rival besar – Pr.C dan YB Construction.
***
Baek Ji Young – After A Long Time
New York, Amerika
Sinar matahari masuk melalui jendela kamar Chan Yeol. Menerpa wajah Chan Yeol yang sibuk menggambar sebuah desain rumah untuk pesanan pertamanya. Kabar tentang sidang YB Contruction membuat moodnya membaik setelah sempat kehabisan tiket pesawat untuk pulang ke Seoul hari ini.
Chan Yeol melepaskan kacamatanya. Laki-laki itu meletakkan pensil, lalu meraih ponsel yang ada di ujung meja. Menatap wallpaper ponselnya yang baru diperbarui tiga jam lalu.
Se Jung, Jong In, dan Baek Hyun berfoto sebari membawa kertas yang bertuliskan, ‘Kami Merindukanmu, Park Chan Yeol’.
Chan Yeol tersenyum, lalu mengusap lembut layar ponsel. Mengusap lembut wajah Se Jung yang begitu cerah tampil di wallpaper ponselnya.
Kriiing… Kriiing….
Ponselnya berdering. Memecah lamunan Chan Yeol tentang Jung Se Jung. Laki-laki itu segera menempelkan ponsel ke telinga.
“Hyeong…” sapa Chan Yeol.
“Ya!!! Bagaimana pesananku?! Aigooo… aku pelanggan pertamamu dan minggu depan aku melamar calon istriku, kau tahu? Jangan mengacaukannya lagi!,” omelan langsung terdengar dari seberang. Tanpa basa-basi.
Chan Yeol terkekeh. Laki-laki itu melihat desain rumah yang sudah sempurna di meja kerjanya. Mengelusnya lembut.
“Apa maksudnya dengan lagi, Su Ho hyeong?” goda Chan Yeol. Ya, pelanggan pertama Chan Yeol adalah Kim Joon Myeon. Mengejutkan, bukan? Bahkan dulu mereka bak air dan minyak. Kucing dan anjing. Sama sekali tak bisa dipersatukan.
Tidak banyak yang tahu, tapi satu bulan setelah kepergian Chan Yeol, Su Ho langsung menyusul ke Amerika. Kedua laki-laki itu menyelesaikan masalah mereka. Membuat kesepakatan jika harus bersaing dengan cara sehat. Ketika itu, Su Ho masih belum rela jika akhirnya Chan Yeol yang mendapatkan Jung Se Jung. Hingga seorang gadis kelahiran Gyeonggi yang menjadi teman satu bangku Su Ho ketika di pesawat, membuat perhatian Su Ho teralihkan. Su Ho berakhir melepaskan Se Jung dengan jatuh cinta kepada gadis lain. Gadis lain yang bisa membalas seluruh perasaan Su Ho. Gadis lain yang membuat Su Ho merasakan sebuah cinta yang begitu indah. Gadis lain, selain Jung Se Jung.
Suara helaan napas terdengar dari seberang, “Jangan pura-pura bodoh. Aku tak ingin lamaranku gagal karena kau lagi. Cukup Se Jung, jangan Na Ra,” omel Su Ho.
“Geurae… aku juga tidak tertarik dengan Na Ra-mu itu. Aku lebih tertarik dengan calon istriku sendiri,” balas Chan Yeol.
“Tsk, belum lamaran sudah lancang, Ya! Yang terpenting cepat kau pulang! Aku butuh desain rumah itu, Chan Yeol”
Chan Yeol terkekeh, “Ne, hyeong. Tiga hari lagi aku pulang. Oh iya, jika kau melamar Na Ra noona dengan desain rumah, apa yang harus aku lakukan untuk Jung Se Jung?,” Chan Yeol bertanya lirih. Seulas senyum samar melengkung di bibirnya.
Sementara itu, di Seoul, Jung Se Jung tengah sibuk bekerja di sekatnya. Kini, Se Jung sudah menjadi bagian dari perusahaan SK. Gadis itu mencoba kembali peruntungannya setelah ditolak 5 tahun lalu. Dan hasilnya memuaskan. Se Jung berhasil memasuki kantor yang dia idamkan sejak dia berada di bangku kuliah.
“Kopimu, Se Jung,” seorang senior meletakkan kopi ke meja Se Jung. Se Jung mendongak, “Ye, kamsahamnida, seonbae..” kata Se Jung. Gadis itu meraih cup kopi, dan berniat melanjutkan pekerjaan sebelum matanya menangkap bingkai foto yang terletak di ujung meja kerjanya.
Sebuah foto yang menampilkan empat deret gambar Park Chan Yeol sebari memegang kertas yang bertuliskan ‘I Love You’, ‘I Need You’, ‘I Miss You’. Tangan Se Jung terulur untuk mengambil bingkai foto. Gadis itu menatap gambar ke-empat. Gambar yang paling besar diantara tiga gambar lainnya. Gambar yang bertuliskan, ‘Would You Marry Me?’
Se Jung tersenyum. Gadis itu mengelus wajah Chan Yeol dalam gambar dengan tangan kanan. Ya, Se Jung bersedia. Akan selalu bersedia.
Angin musim semi berhembus sepoi di luar sana. Menerbangkan kelopak bunga yang mulai bermekaran di pinggir jalan. Membawa aroma segar rerumputan dan bunga-bunga ke setiap garba penciuman yang melintas di trotoar. Lihatlah…langit kota Seoul pun bersinar dengan begitu cerah. Secerah langit kota New York di kejauhan.
Detak jarum jam terdengar sayup, menemani Se Jung yang kembali sibuk mengetikkan pekerjaannya di komputer. Menemani pilinan perasaan Se Jung dan Chan Yeol yang sudah menembus hingga langit ke-tujuh. Pilinan perasaan yang tak kenal zona waktu, siang-malam, atau pun rentang jarak yang memusingkan. Pilinan perasaan mereka yang memiliki satu nama indah. Pilinan perasaan itu…. Cinta.
Park Chan Yeol, telah menjadi pangeran yang melengkapi pilinan cinta di hati Jung Se Jung. Tak peduli apapun yang terjadi. Karena… It’s Okay, It’s Prince…
END
Jjajajan… akhirnya setelah sekian lama, cinta mereka bertepuk tangan juga. Dan author akui, ending part ini bikinnya cukup sulit. Saya-nya nggak tega masukin Bo Ra ke penjara…
Bagaimana? Masih kurang puas? Iya? Mau After Story? Tapi nggak ada sekuel ya *pede amat.. emang ada yang minta? -_-v.
Nggak usah aja ya? Hhe-hee.. Saya bocorin deh, di After Story nanti Chan Yeol melamar Se Jung. Cukup.
Saya sebagai author meminta maaf atas segala salah saya di fanfiksi ini. Jika terlalu panjang, terlalu bertele-tele, terlalu… terlalu… pokoknya saya minta maaf. Saya terharu masih ada teman-teman membaca tulisan saya. Walau fanfiksi ini bukan termasuk jajaran fanfiksi you-know-what-the-priority-of-making-ff :p tapi saya sangat menikmati setiap waktu saya menulis ff ini – tanpa peduli berapa banyak komentar atau like yang saya terima *walau kadang itu ngaruh ke mood juga sih lol *halah. Karena dengan menulis, saya bisa bercerita. Bukan saya harus bercerita dengan menulis. Karena menulis adalah saya – dan kita yang suka dengan dunia menulis, bukan menulis untuk menunjukkan siapa saya atau siapa kita *ribet amat. Intinya, terima kasih sejuta semilyar setriliyun telah menerima ff ini dengan pikiran terbuka :D
Karena saya sadar, fanfiksi ini adalah fanfiksi ter-nggak ada moral value-nya hhha-hhahha *harusnya diprotes dong saya-nya -_-v. Oke sekian, sampai jumpa di Unlogical Married :D
Salam sayang, Lee Young.
Big Thanks. Lee Young. See You In the Next FF
