Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Ten Years Forwarded (Chapter 6)

$
0
0

Ten Years Forwarded

Ten Years Forwarded

A fanfiction by marceryn

Rating : PG-15

Length : Multichapter

Genre : AU, Soft-romance, fantasy, married-life

Casts : EXO’s Chanyeol, Ryu Danbi [OC], supporting by EXO’s members and others OCs

Disclaimer :: Except the storyline, OCs, and cover, I don’t own anything.

Note :: Oke, aku kembali ke atas lagi. Sebelum membaca ini, tolong cek dulu part 5 versi repost, karena ada bagian ketinggalan di sana yang sebaiknya dibaca sebelum mulai yang ini >///< Jeongmal joesonghamnida~ Dan, sayangnya chapter kali ini nggak sepanjang sebelumnya, karena minggu ini aku nggak punya banyak waktu. Hehe. Maaf juga kalau ada typo dsb dsb. Yah, itu saja. Aku menyiapkan kejutan lain lagi untuk chapter berikutnya(?) jadi nantikan yaaa XD *apaansih* Ehem. Silakan berkomentar sesuka kalian dan tinggalkan XOXO kalau punya pertanyaan (atau hanya ingin kubalas, haha XD)

fanfiction ini dipublikasikan juga di akun wattpad pribadi

~Ten Years Forwarded~

 

 

“Tidak mungkin!”

Danbi memukulkan tinjunya ke meja makan, membuat Chanyeol dan Kyungsoo tersentak kaget di kursi masing-masing dengan tampang anak murid tertangkap menyontek.

“Aku tidak mungkin hamil! Kita tidak—maksudku aku tidak—aish!” Danbi mengacak-acak rambutnya frustasi. “Apa yang harus kulakukan sekarang?” erangnya.

“Te-tenang dulu—”

Danbi memicing ganas pada Chanyeol dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung mancung laki-laki itu. “Ini semua salahmu!”

“Apa? Bagaimana bisa itu salahku?” sahut Chanyeol tidak terima. “Aku tidak pernah melakukan apa-apa padam—eh?”

Danbi berdiri dan berjalan gontai ke arah kamar.

Chanyeol ikut berdiri. “Ya—”

Danbi mengangkat satu tangannya acuh tanpa menoleh. “Jangan bicara padaku,” selanya datar.

Chanyeol kembali duduk dan membenamkan kepalanya di antara tangannya yang terlipat di atas meja.

“Sepertinya masalah besar yang akan kau hadapi,” komentar Kyungsoo.

Chanyeol menggumam-gumam tidak jelas.

“Sekarang kalian tidak akan bisa ke mana-mana meski pun kalian mau,” lanjut Kyungsoo tanpa diminta. “Dia akan mual-mual terus selama beberapa bulan, dan emosinya yang labil itu sudah pasti akan membuat hidupmu jadi neraka. Persiapkan dirimu.”

“Hebat,” balas Chanyeol dengan suara teredam karena wajahnya yang tersembunyi. “Di mana aku bisa mengubur diriku sendiri?”

Melihat keadaan sahabatnya itu, kadang Kyungsoo merasakan dilema antara harus prihatin ataukah tertawa. Sungguh bentuk kehidupan yang tidak akan ia mengerti seumur hidup. Ia berdoa semoga Minji dan dirinya tidak pernah mengalami hal-hal gila seperti ini. “Oh ya,” tambahnya, “dokter tadi bilang tubuh Danbi rentan sakit, jadi kau harus menjaganya baik-baik. Kecuali kau tidak peduli pada bayi itu.”

“Apa kau benar-benar perlu mengatakannya seperti itu?” gerutu Chanyeol.

“Memangnya salah?” tanya Kyungsoo.

Chanyeol tidak menjawab.

Kyungsoo berdiri dan menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku mantel. “Kalau begitu aku pulang dulu.”

Chanyeol mengangkat kepala. “Sekarang?”

Eo. Aku punya kehidupan juga, kau tahu. Lagipula, ini adalah sesuatu yang harus kau urus sendiri. Kau yang berbuat, jadi kau yang—”

Kyungsoo melesat pergi sebelum Chanyeol sempat menyambar apa pun di dekatnya untuk menimpuk kepalanya.

 

***

 

Danbi menyeret koper besarnya keluar dari kamar. Ia tidak membuat suara gaduh, tapi Chanyeol yang duduk di depan televisi langsung menoleh, nyaris seakan-akan laki-laki itu sudah menunggunya keluar sejak Danbi mengunci diri di kamar siang tadi.

“Kau mau ke mana?” tanyanya bingung.

“Kita akan pulang ke Seoul besok,” jawab Danbi datar.

Chanyeol meletakkan bantal sofa yang dipeluknya dan berdiri. “Tidak.”

“Apanya tidak?”

Chanyeol menghampirinya dan menarik koper itu dari tangannya. “Lupakan saja. Kita tidak jadi berangkat.”

Danbi menegakkan punggung dan bersedekap defensif. “Lalu kau mau tinggal diam sampai kapan?”

Chanyeol berkacak pinggang dan menunduk menatap Danbi lekat-lekat. “Dengar. Kita tidak akan pergi ke mana-mana sampai bayi itu lahir.”

Danbi memutar bola matanya. “Jangan bodoh.”

“Aku serius,” balas Chanyeol. “Bagaimana pun itu bayiku, kita tidak boleh membahayakannya.”

“Oh, ya ampun.” Danbi mundur selangkah dan wajahnya mengkerut dengan ekspresi jijik yang tidak perlu dibuat-buat. “Tidak ada yang tahu ini bayi siapa.”

“Maksudmu kau berselingkuh?”

Maksudku, bisa jadi bayi ini tidak nyata! Itulah yang ingin Danbi katakan, tapi kalimat yang meluncur dari bibirnya malah, “Untuk berselingkuh, kita harus punya hubungan dulu.”

“Kita menikah,” jawab Chanyeol, dan ia terdengar serius.

“Yang benar saja.” Danbi membuang muka dan mendengus keras. “Kau tidak ingat kalau kau yang ngotot bahwa itu tidak mungkin?”

Chanyeol tidak menghiraukannya. “Pokoknya sekali ini dengarkan aku. Aku punya firasat tentang hal ini. Kita tidak bisa mengambil risiko. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi dan… kita justru terjebak di masa ini selamanya?”

Danbi merasa perkataan Chanyeol cukup masuk akal, tapi tentu saja ia tidak akan mengakuinya. Lagipula, terjebak di masa ini selamanya… hei, itu tawaran yang cukup menggoda.

Suara dering ponsel menginterupsi mereka. “Itu pasti eomma-ku. Aku mengirim pesan padanya kalau kita tidak jadi datang besok. Kurasa dia baru membacanya.”

Chanyeol berjalan kembali ke sofa dan menjawab teleponnya. Danbi tetap bergeming di tempatnya, bersedekap, melihat Chanyeol mondar-mandir sambil berbicara riang pada ponsel yang menempel di telinganya.

“Bukan, bukan masalah pada pesawat,” kata Chanyeol pada ibunya di seberang sana. “Danbi, hmm, sedang sakit. Kurasa kami tidak bisa pulang untuk sementara waktu.”

“Sakit? Sakit apa?” ibunya bertanya, khawatir. “Apakah aku perlu datang ke sana?”

“Tidak perlu,” sahut Chanyeol cepat. “Bukan masalah besar, hanya saja, eh…”

“Ada apa?” tanya ibunya tidak sabaran. “Cepatlah, aku tidak suka membuang-buang uang untuk mendengarmu ber-‘ah-oh’ ria.”

“Begini, Eomma, hmm….” Chanyeol melempar tatapan pada Danbi, yang dibalas Danbi dengan mengangkat satu alisnya. “Danbi hamil.”

“APA?!”

Chanyeol buru-buru menjauhkan ponsel dari telinganya untuk menyelamatkan pendengarannya. Danbi tersentak kecil seakan ia juga bisa mendengar suara menggelegar itu.

“Danbi—astaga. Kau serius? Ini hebat sekali!” Ibunya terdengar persis seperti gadis remaja yang ditawari paket wisata bersama idola kesayangan. “Aku akan berangkat ke sana, segera!”

“Ya ampun—Eomma, tidak perlu! Maksudku, kami bisa mengurus segalanya di sini,” seru Chanyeol panik. “Danbi baik-baik saja. Eomma tidak perlu datang ke sini. Ini bukan masalah besar.”

“Masalah? Ini kejutan terbaik seumur hidupku! Yeobo, kau akan segera jadi kakek!” Ibunya berteriak pada ayah Chanyeol yang entah sedang apa di sana.

Eomma, Eomma, hentikan.” Chanyeol mengusap dahinya. “Kami akan baik-baik saja di sini, sungguh. Jangan khawatir. Dan tidak perlu repot-repot, nanti Eomma akan membuat Danbi merasa tidak nyaman.”

Danbi mengerutkan dahinya, dan Chanyeol menatapnya seolah berusaha berkata padanya, Apa? Aku benar, kan?

Setelah diyakinkan beberapa kali lagi, akhirnya ibu Chanyeol mengalah. “Baiklah, sekarang berikan teleponnya pada Danbi.”

Chanyeol menuruti dengan tampang ragu-ragu. “Kemari. Eomma ingin bicara padamu.”

Danbi mendekat dan menerima ponsel itu dengan tampang merengut, tapi suaranya terdengar ramah dan manis pada ponsel, “Ne, Eomeonim.”

Setelah sepuluh menit monolog panjang tentang nasihat dan saran-saran yang Danbi yakin akan dilupakannya dalam dua detik, ibu Chanyeol mengakhiri panggilan dengan suara riangnya. Danbi mengembalikan ponsel itu dengan tampang aneh.

Eomma bilang apa?” tanya Chanyeol.

“Banyak,” jawab Danbi singkat. “Aku lelah. Aku mau tidur. Menyingkirlah dari sini.”

“Kau mau tidur? Di sini?” Chanyeol menudingkan telunjuknya pada sofa.

Eo,” balas Danbi dengan nada memangnya-kenapa-hah.

Chanyeol bersedekap. “Aku mau tidur di sini.”

Entah kenapa satu kalimat bernada perintah itu justru membuat Danbi salah tingkah. Jadi ia mendengus dan berbalik dengan lagak sok terbaiknya. “Terserah saja.”

 

***

 

Pagi berikutnya, Danbi terkapar di sofa setelah aktivitas paginya di kamar mandi—alias memuntahkan seluruh isi perut. Rasa-rasanya si bayi yang belum berwujud ini jadi melunjak sejak diketahui keberadaannya.

Danbi diam-diam bersyukur ia tidak akan pergi ke mana-mana malam ini. Memikirkan harus menahan mual dan berusaha tidur di ketinggian ratusan kilometer… Danbi tidak paham bagaimana, tapi samar-samar ia tahu rasanya melewati turbulensi pesawat ketika terbang landas dan mendarat. Bukan hal yang menyenangkan, terutama dengan tubuh seperti ini.

Bayi. Yang benar saja. Danbi tidak pernah memikirkan akan punya anak seumur hidupnya. Ide itu terdengar lebih konyol daripada mendadak menikah dengan—

“Ini.”

Chanyeol membuyarkan lamunan Danbi dengan meletakkan mangkuk porselen putih ke atas meja kopi yang berisi sesuatu yang bagi Danbi tampak seperti apa yang baru saja keluar dari perutnya.

“Apa itu?” tanya Danbi jijik.

“Ini bubur gandum,” jawab Chanyeol polos. “Kau tidak tahu?”

Danbi mengerutkan wajahnya. Bahkan namanya saja terdengar menjijikkan.

Chanyeol mendudukkan dirinya di dekat kaki Danbi yang terjulur di atas sofa dalam posisi yang sama sekali tidak anggun. “Ayo makan.”

“Kau bercanda?” Danbi tersentak, seakan-akan ia baru mendengar dirinya disuruh memakan sandal. “Singkirkan benda itu dari sini.”

“Ini bagus untuk pencernaan.”

“Kalau begitu kau saja yang makan.”

“Aku mau-mau saja, tapi yang hamil kan bukan aku.”

“Aku tidak hamil sungguhan,” bantah Danbi dengan wajah terbakar. “Aku hanya terjebak di dalam tubuh dan masa yang salah.”

“Yeah, dan karena itu tubuh pinjaman, kau bertanggung jawab untuk menjaganya, tahu tidak?”

“Kau terdengar seperti orang tua.”

“Hei, aku memang calon orangtua.”

Bukan itu maksudku, adalah yang ingin Danbi ucapkan, tapi yang keluar dari mulutnya hanya, “Lupakan saja.”

Chanyeol mengambil mangkuknya dari meja dan menyodorkannya pada Danbi. “Ja, ayo makan.”

Danbi membuang mukanya dengan tegas. “Tidak.”

“Makan.” Chanyeol mengangkat satu sendok penuh.

“Aku tidak mau.”

“Lalu kau mau makan apa?”

Danbi menjawab tanpa ragu, “Cokelat, puding karamel. Cheese cake.”

“Oke,” Chanyeol langsung menyanggupi. “Akan kubelikan setelah kau menghabiskan ini.”

Danbi menyipitkan matanya curiga. “Aku tidak percaya padamu.”

Chanyeol meletakkan mangkuknya kembali ke atas meja dan berdiri dari sofa. “Baiklah. Aku akan pergi sementara kau makan. Tapi kalau setelah aku pulang kau belum makan juga, kau tidak akan dapat apa-apa.”

Danbi menyengir anggun. Bagus, ia bisa membuang bubur aneh itu ke tempat sampah dan bilang kalau ia sudah menghabiskannya.

“Dan kau tidak boleh membuangnya,” tambah Chanyeol, menebak jalan pikiran Danbi dengan sempurna. “Kalau kau membuangnya…”

“Apa?” tantang Danbi.

Chanyeol berpikir sedetik. “Aku akan menggambari mukamu dengan spidol permanen saat kau tidur.”

Danbi meledak dalam tawa. “Ancaman macam apa itu?”

“Aku serius,” balas Chanyeol, lantas beranjak mengambil mantel bepergiannya, dan kembali ke ruang tengah. Sambil memakainya, ia menambahkan, “Aku bisa menggambar kucing yang sangat lucu. Bye.” Ia mengedipkan matanya jahil, lalu melambai dan pergi.

Danbi berdecak. “Menggambar kucing. Dia kira umurnya masih dua puluh tiga bulan apa?” gumamnya. Kemudian ia melirik ragu-ragu mangkuk porselen yang masih hangat itu. Sungguh, ia hanya memaksakan dirinya untuk makan karena perutnya kelaparan, dan bukannya ia peduli pada ancaman konyol ataupun usaha Park Chanyeol. Sungguh.

 

***

 

Danbi menghabiskan seliter es krim stroberi, tiga cup puding, dan sebotol yoghurt dalam seperempat jam, seorang diri.

“Kau makan dengan baik sekarang,” kata Chanyeol ketika Danbi membuka cup puding terakhirnya, tanpa maksud apa-apa.

Tapi Danbi memasang tampang galak. “Aku sudah muntah berhari-hari, tahu tidak? Bubur aneh itu tidak membuatku kenyang. Jangan banyak bicara.”

“Aku sedang bersyukur,” Chanyeol membela diri.

“Berisik.”

Chanyeol mengulum senyum. Sementara itu, Danbi sedang menyuapkan puding ke dalam mulutnya dalam suapan besar. Gadis itu—ataukah sekarang Chanyeol harus memikirkannya sebagai wanita?—tidak peduli rambut hitamnya acak-acakan, wajahnya kusam, dan di sudut-sudut bibirnya ada bekas es krim. Dan ia mulai merasa, terlepas dari tatapannya yang dingin dan ketus, sebenarnya Danbi cukup cantik. Mungkin tidak menawan seperti Baek Jinhye, tapi wajahnya manis. Jenis yang menarik dan tidak membosankan.

Dan… kepribadiannya unik. Terkadang Danbi sangat menyebalkan, tapi bisa bersikap baik kalau ia mau. Sinis dan lucu di saat yang sama. Selalu tampak kuat dan mandiri, meski sebenarnya ia banyak menangis ketika sendirian. Di luar pikirannya yang kaku dan dewasa, ia juga punya sosok anak manja, seperti saat ini. Danbi punya banyak sisi yang sama sekali tidak pernah Chanyeol bayangkan ada pada dirinya.

“Kenapa melihatku begitu?” bentak Danbi galak. “Ada masalah?”

“Oh? Tidak. Tidak ada apa-apa.” Chanyeol memalingkan wajah. Astaga, ia merutuki dirinya sendiri. Apa-apaan itu yang baru saja ia pikirkan?

“Aku tahu aku memang keren,” kata Danbi dengan gaya angkuh, lalu tertawa ala Santa dan melahap suapan terakhir pudingnya. “Ya, Park Chanyeol, mana tadi cokelatnya? Aku masih lapar.”

Dan mendadak Chanyeol menyesali kenapa ia baru menyadari semua itu sekarang.

 

***

 

Hujan turun deras sekali malam ini.

Chanyeol sedang berbaring di sofa sambil mengutak-atik aplikasi aransemen lagu di ponselnya dan mendengarkan lewat earphone, tapi ia tidak bisa tidak menyadari Danbi yang sedari tadi bolak-balik keluar kamar, entah melakukan apa. Ia berpikir untuk mengabaikannya saja, tapi lama-lama kegelisahan gadis itu mengganggu juga.

Ketika Danbi keluar kamar untuk yang kesekian kalinya, Chanyeol melepaskan earbud dari telinganya, menegakkan punggung, dan menegur gadis itu, “Kau sakit perut atau apa?”

Danbi tersentak kaget. “Apa? Tidak,” jawabnya cepat.

“Lalu kenapa kau mondar-mandir terus dari tadi?”

Chanyeol nyaris bisa menemukan ekspresi salah tingkah pada wajah Danbi. Gadis itu berdeham dan menjawab sok santai, “Aku, eh, hanya mengambil air. Abaikan saja.”

“Tidak bisa kalau kau terus-terusan membanting pintu,” kata Chanyeol.

“Baiklah, aku akan menutup pintu lebih pelan,” jawab Danbi dengan nada menggerutu, lalu kembali ke kamarnya dengan langkah berderap.

Chanyeol berbaring lagi di sofa, sekarang berusaha benar-benar tidur. Telinganya menikmati suara berisik hujan selama beberapa saat, lalu mendadak terdengar gemuruh di kejauhan, disusul kelebatan cahaya terang dan suara petir yang memekakkan telinga.

Danbi keluar dari kamarnya lagi—gadis itu berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan suara, tapi Chanyeol masih bisa merasakannya dan langsung menegakkan punggung lagi. “Danbi-ya.”

Gadis itu nyaris terlompat karena terkejut. “Apalagi? Aku sudah pelan-pelan,” gerutunya.

Chanyeol merasa tidak ada gunanya berusaha tidur sementara Danbi masih akan terus bolak-balik tidak jelas, jadi ia menawarkan pada gadis itu, “Kau mau duduk di sini dulu?”

Danbi mengerjap-ngerjap dan terlihat benar-benar senang dengan tawaran itu. “Memangnya kau tidak mengantuk?”

Tentu saja mengantuk, tapi Chanyeol menggeleng. Toh ia tidak akan bisa tidur kecuali Danbi sudah tenang.

Chanyeol beringsut ke ujung sofa dan melipat kakinya dalam posisi sila untuk memberi tempat duduk pada Danbi. “Ada apa?” tanyanya setelah gadis itu duduk.

“Apanya?” Danbi balas bertanya, jelas tampak pura-pura bodoh.

“Apa yang membuat Ryu Danbi kami tersayang gelisah dan tidak bisa tidur?” Chanyeol bertanya dengan nada sok resmi.

Danbi mengerutkan wajahnya geli. “Ada kalanya orang-orang tidak bisa tidur tanpa sebab. Kau sendiri sedang apa?”

“Aku? Aku sedang membuat lagu baru.”

Danbi memasang tampang meremehkan. “Mana?”

Chanyeol membusungkan dadanya. “Aku tidak boleh menunjukkannya sebelum dirilis.”

“Cih. Dasar pembual sombong,” kata Danbi, tapi ia mengatakannya dengan nada bercanda.

Di luar, petir menyambar sekali lagi dengan cahaya terang dan gelegarnya. Chanyeol melihat Danbi seolah mengerut di tempatnya, dan mendadak ia tahu.

“Kau takut petir.”

“Tidak juga,” balas Danbi galak.

Chanyeol menyengir. “Pantas saja kau sepertinya tidak tenang sejak hujan turun.”

“Aku tidak takut petir,” sangkal Danbi, tapi wajah salah tingkahnya mengatakan sebaliknya. “Aku suka hujan, hanya saja suara berisiknya membuatku tidak bisa tidur.”

Wajah Danbi memerah sampai-sampai Chanyeol tidak tega menggodanya. Jadi ia mengganti topik, “Sekarang aku tahu kenapa namamu Danbi.”

Danbi mengerjap-ngerjap tidak paham.

“Danbi. Sweet rain—hujan yang manis. Jadi kau hanya suka hujan yang menenangkan.”

Danbi memutar bola matanya dan mendengus geli. “Berarti kau dinamakan Chanyeol karena suka demam waktu kecil?”

Chanyeol tergelak. “Tidak ada hubungannya dengan itu.”

“Masa bodoh.”

Mereka tertawa beberapa saat lagi, kemudian suara hujan mengisi keheningan beberapa saat.

“Sebenarnya, aku takut.”

“Apa? Petir?”

“Bukan. Masa depan. Saat ini.”

Chanyeol menoleh pada Danbi yang sekarang duduk dengan memeluk kedua kakinya dan meletakkan dagunya di atas satu lututnya.

“Aku tidak pernah akur dengan orangtuaku. Ayahku tidak peduli padaku dan ibuku membenciku. Aku berusaha berteman, tapi aku sering kesulitan menghadapi orang lain. Aku berusaha mati-matian belajar agar bisa mendapat pekerjaan yang jauh dan pergi selamanya, tapi itu pun tidak begitu berhasil,” gumam Danbi. “Melihat bagaimana kehidupanku, aku tidak pernah berpikir untuk memiliki keluarga sendiri. Aku sudah gagal sebagai anak, gagal menjadi seseorang, aku tidak ingin gagal sebagai apa pun lagi.”

Chanyeol tidak tahu bagaimana menanggapi pernyataan itu. Rasanya seakan-akan Danbi sedang mengatakan bahwa keadaan mereka saat ini adalah kesalahan. Memang, tadinya Chanyeol juga berpikir begitu, tapi…

“Karena itulah, aku iri padamu,” lanjut Danbi. “Kau punya segalanya. Wajah, uang, orangtua yang menyayangimu, teman-teman yang selalu ada untukmu, gadis yang kausukai setengah mati ada di sisimu. Kau tahu jelas apa yang ingin kau lakukan, dan kau tidak pernah meragukan dirimu sendiri. Kau tertawa sepanjang waktu seperti orang bodoh. Sungguh menyebalkan.”

Danbi tertawa pelan, tapi Chanyeol dapat merasakan kepedihan dalam kata-katanya yang santai.

“Aku dan Jinhye tidak seperti kelihatannya.”

Danbi berhenti tertawa dan menoleh.

Chanyeol mengangkat bahu, lantas tanpa sadar ikut-ikutan memeluk kedua kakinya seperti Danbi. “Aku menyukai Jinhye setengah mati, itu benar. Tapi dia tidak menyukaiku sebesar itu.”

Danbi sepertinya terkejut mendengar pengakuan itu. Chanyeol tidak bisa menyalahkannya. Ia sendiri terkejut. Mungkin selama ini ia sudah tahu, hanya saja pura-pura tidak menyadarinya.

“Aku berusaha melakukan yang terbaik untuk membuatnya bahagia, tapi Jinhye bukan tipe gadis yang bisa bertahan lama dalam satu hubungan. Dia sering bilang aku membuatnya merasa terkekang, jadi dia mulai dekat dengan orang lain, kemudian kami berpisah. Tapi aku tidak bisa menyerah begitu saja, dan aku selalu berhasil meyakinkannya untuk kembali padaku. Lagi dan lagi, berulang seperti itu.” Chanyeol meluruskan kembali kepalanya. “Mungkin akhirnya aku sadar dan berhenti mencoba, karena itulah kami benar-benar berakhir.”

Suara hujan di luar mulai mereda. Gemuruh sudah berhenti.

“Ini memang tidak ada apa-apanya bagimu, tapi mungkin bisa membuatmu merasa lebih baik,” kata Chanyeol pelan. “Bahkan orang paling bahagia pun punya sesuatu yang membuatnya sakit.”

Danbi menggigiti bibir bawahnya dengan salah tingkah, lalu menunduk. “Yah, sebenarnya tidak benar-benar membantu, tapi terima kasih.”

Chanyeol tersenyum kecil. Entah kenapa, sikap sok itu justru membuatnya senang. Jika Danbi mencoba memberikan reaksi positif, mungkin malah akan terdengar palsu. Ia lebih suka Danbi yang seperti itu.

Chanyeol mulai memikirkan kehidupan ini dalam perspektif yang berbeda. Mereka berdua terjebak di masa ini tanpa ingatan apa-apa mengenai sepuluh tahun terakhir. Saat Chanyeol ingin pergi, tidak ada petunjuk apa pun untuk membantunya. Begitu bertemu dengan Kyungsoo dan merasa menemukan titik terang, Danbi membuatnya bingung. Dan sekarang, saat mereka sepakat untuk mencari bersama dari awal, muncul masalah bayi. Mungkinkah takdir sedang mencoba memberitahunya untuk menerima keadaan?

Chanyeol menoleh, dan menemukan kepala Danbi terkulai ke samping.

“Danbi-ya?”

Gadis itu tidak pingsan, kan?

Chanyeol mengguncang bahunya sedikit. “Ryu Danbi?”

Gadis itu menggumam tidak jelas.

Chanyeol menghela napas. Ternyata hanya tertidur. “Ya, bangunlah dan tidur di kamarmu. Ini tempatku.”

Danbi membalas dengan suara kumur-kumur dan malah membaringkan dirinya.

“Astaga. Ya, Ryu Danbi, jangan tidur di sini.”

Danbi tidak mendengarkan.

Baiklah. Chanyeol menarik napas dalam-dalam dan mengangkat tubuh Danbi dalam gendongannya. Ia bisa merasakan dadanya berdebar-debar antara panik—takut gadis itu jatuh atau apalah—dan semangat yang aneh—karena ini pertama kali Chanyeol menggendong seorang perempuan. Tubuh Danbi ternyata tidak seberat dugaannya. Setidaknya tangannya tidak akan patah dalam sekali percobaan.

Chanyeol membuka pintu kamar dengan sikunya, kemudian hati-hati memosisikan Danbi di atas tempat tidur dan menarik selimut sampai ke lehernya. Selama beberapa detik, ia menatap wajah gadis itu. Wajah gadis yang melewati banyak hal seorang diri. Chanyeol membayangkan bagaimana wajah itu ketika masih kecil, terus hingga beranjak remaja.

Mungkin tidak ada salahnya menerima.

“Selamat malam,” ia berbisik pada sepasang mata yang terpejam pulas itu.

Dan sebelum Chanyeol bisa berpikir, ia mencondongkan tubuhnya perlahan dan mencium bibir gadis itu. Ciuman untuk Ryu Danbi kecil yang tidak mendapat kasih sayang orangtuanya, untuk Ryu Danbi muda yang merasa pesimis pada kehidupannya, dan untuk Ryu Danbi yang saat ini menemaninya.

 

=to be continued=



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles