Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

The only thing that i can do

$
0
0

CYMERA_20150506_204046

The only thing that i can do

 

The only thing that i can do is an Oneshoot story from the author named Rain with Ulzzang’s Baek Sumin as Song Jinhee and Exo’s Sehun as his self. This story is about a hurt, romance, and idol-life. The cast is belong to god and their self. I just own the storyline, tell me if there is similiarities with other.

 

Happy reading, lovelies.

Song Jinhee membasuh wajahnya dengan air penuh di kedua telapak tangannya. Ada lingkaran kecoklatan dikedua mata cantiknya, pertanda, dia lebih sering terjaga sepanjang malam dari biasanya. Rambutnya yang berwarna natural, hitam dan memanjang melewati pinggang di belah menjadi dua bagian dengan tanpa poni yang memberi kesan kuat, kini dia ikat dengan tanpa kerapihan. Kenangan tentang rambut indahnya lebih banyak dari yang ia duga, mungkin dia memang harus sedikit memangkasnya dan memberikan sentuhan berbeda dari biasanya.

“Dan membiarkan semua tahu jika aku sedang patah hati? Astaga, bodoh,” ia menanggapi pemikirannya sendiri. Memang, memotong rambut identik dengan patah hati. Konon, wanita dikorea biasa memotong rambutnya jika patah hati. Mungkin, Jinhee juga mesti mencobanya, walaupun ia tak yakin dia bisa. Oh, dia butuh waktu beberapa tahun untuk memanjangkan rambut ini secara alami. Dan, rambut ini adalah salah satu hal yang paling seseorang dari masa lalunya sayangi. Masa lalu? Bukankah terlalu dini jika di sebut masa lalu? Oh, mereka berpisah tidak lebih dari tiga pekan. Jinhee duduk diatas shofa ruang tengahnya, ia selalu di sergap kebingungan di waktu kosong seperti ini. Belakangan dia selalu mencari kesibukan di luar batas. Alasannya, berdiam diri hanya membangkitkan kenangan indah yang belakang terasa menyayat hatinya. Semua hal dalam hidupnya selalu berKaitan dengan lelaki itu, oh, bahkan, televisi yang baru saja dia nyalakan mendukung Jinhee untuk merindukannya lebih banyak. Bagaimana kebetulan ini sungguh menyakitkan?

Segera Jinhee mematikan kembali televisinya yang secara gamblang menampilkan wajah close up-nya yang tengah tersenyum manis. Ah, gadis berwajah pualam itu tak kuasa lagi, dia sudah menghabiskan seluruh air matanya tiga pekan ini dan dia tak mau menghabiskan stock terakhir. Dan dia rasa, satu-satunya orang yang merasa tersakiti adalah dia. Nyatanya, pemuda rupawan dengan jutaan penggemar itu tak pernah terlihat bersedih. Wajarlah, dia seorang pekerja hiburan dan tidak boleh terlihat murung. Jinhee menghela nafas untuk yang kesekian kalinya. Astaga, dia lupa akan sesuatu hal, satu-satunya hal yang akan dan selalu ia lakukan adalah menuruti segala keputusannya. Sakit atau tidak. Dari awal dia sudah berkomitmen, menjalin hubungan dengan seorang idola memang beresiko tinggi. Jika beruntung berakhir seperti Jinhee dan jika kurang beruntung, berakhir ditangan penggemar yang sadis itu. Ah, setidaknya ada satu hal yang masih Jinhee syukuri.

Gadis itu beranjak, mengatur langkahnya menuju dapur. Dia berjinjit membuka lemari dan meraih sebungkus ramen instan. Jinhee lupa kapan terakhir kali ia makan nasi atau makan sayuran. Jinhee yang selalu hidup sehat sudah berubah sejak pemuda mempesona dengan kesan wajah polos tanpa ekspresi itu memutuskan hubungan mereka. Jika ingat Jinhee meminum vitamin, jika tidak, yah tidak saja. Sakit perut sudah biasa, kepala pusing sudah sering, sakit hati? Oh jangan ditanya lagi.

Dengan semangkuk ramen di hadapannya, Jinhee meraih ponselnya yang bergetar.

Lee Nahyun

“Astaga, kenapa dia lebih rewel dari ibuku? Sudah tiga kali dia menelpon dalam satu hari,”Jinhee bergumam. “Ada apa lagi, nona cerewet?” Tanpa basa basi Jinhee memotong salam ceria dari gadis di sampingnya.

“Astaga, Kenapa kau galak sekali? Aku hanya mengingatkan, jangan makan ramen lagi, aku sudah lelah berbohong kepada ibumu!”Jinhee memutar bola matanya jengah.

“Iyah, iyah. Kenapa juga kau harus menjawab ibuku?”

“Karena kau tak pernah mengangkat telponnya!”Jinhee membuang nafas.

“Baiklah, sudah yah, ramenku sudah dingin. Anyeong!” Tak peduli dengan teriakan nyaring gadis berambut sebahu di sebrangnya, Jinhee memutuskan sambungan telpon diantara mereka. Dimenatap ramen di hadapannya, astaga, kenapa dia benar-benar menyukai makanan yang dulu sangat dia benci itu? Mungkin, ini bentuk rasa rindunya kepada pemuda itu. Yah, pemuda itu yang mengenalkan Jinhee dengan makanan instan yang dulu Jinhee benci.

“Astaga, kenapa hidupku jadi kacau seperti ini?” Ponselnya kembali bergetar. “Astaga, ada apa lagi, Nahyun? Iyah, ramennya tak ku makan, puas? Jangan ganggu aku lagi, Aku benar-benar sedang pusing!” Tanpa basa basi, Jinhee meluapkan amarahnya. Emosinya memang sering tak terkontrol belakangan, ia jadi lebih mudah marah, lebih mudah menangis dan sangat sensitif. Tapi, dia selalu berakhir dengan membuang nafas dan meminta maaf. Jinhee bukan seorang pemarah biasanya. “Maafkan aku, Nahyun. Aku tidak-”

“Kau kenapa?” Suara itu membuatnya tercekat. Ini bukan suara Nahyun, bukan juga ibunya. Ini suara pemuda yang tengah menjalani promosi album terbarunya. Pemuda yang sangat sibuk belakangan. Dan pemuda yang memutuskan hubungan mereka dengan alasan karirnya. Astaga, kenapa dia menghubungi Jinhee lagi?

“Kau… bukan Nahyun,” jelas bukan. Jinhee sendiri tahu siapa dia. Tapi, apa lagi yang dapat ia katakan selain kalimat itu. Astaga, tak pernah Jinhee merasa segugup ini bertukar suara dengan pemuda ini. Ini pertama kalinya mereka bertukar kata melalui telpon setelah berakhirnya hubungan mereka.

“Kau menghapus nomorku? Ah, seharusnya aku tahu. Apa kabarmu?”Jinhee terdiam. Apakah dia harus menjawab? Pemuda itu harusnya sudah tahu jika Jinhee tidak dalam keadaan yang baik-baik saja.

“Aku, baik-baik saja. Ada apa?”

“Ah, tidak. Jinhee, jaga kesehatanmu, makanlah dengan benar.”

.

.

.

Pemuda jangkung dengan pakaian casual yang terlihat pas di tubuhnya berjalan dengan kepala tertunduk, ia menghela nafas. Kembali dengan keadaan lebih sendu dari sebelumnya membuat beberapa pemuda lain yang menyadari kehadirannya mengernyit.

“Ada apa?” Pemuda dengan nama panggung Kai di sampingnya lebih dulu bertanya daripada yang lain.

“Jangan menangis~” Baekhyun yang terkenal banyak bicara berusaha menggoda. Namun, anggota termuda dari mereka tak bereaksi sedikitpun. Ia hanya terduduk dengan wajah menunduk.

“Aku tak apa,” Semua menatap kearah Kai -yang diketahui lebih dekat dengan Sehun daripada siapapun. Kai mengangkat bahunya dengan ragu. Raut wajahnya mengatakan bahwa ia tahu sesuatu. Kai memang tahu segalanya, termasuk tentang gadis manis yang dulunya adalah teman sekelas kai. Oh, kai yang mengenalkan dia pada Sehun. Beberapa tahun yang lalu, saat dia berada di tingkat dua.

Maaf mengganggumu, Sehun-ah, aku sudah lelah dengan keka- ah, mantan kekasihmu maksudku, mungkin ini bukan urusanmu lagi tapi kurasa ini semua karenamu. Ibunya benar-benar khawatir dengannya, bahkan aku juga. Belakangan dia jarang tidur, sering sakit dan kesibukannya di luar batas. Entah kapan terakhir kali dia bertemu dengan nasi, setiap hari memakan ramen. Astaga, ini gara-garamu. Kumohon, beritahu dia, kau tahu seberapa keras kepalanya dia, bukan? Terima kasih. Anyeong~

 

Kai mengernyit sesaat setelah ia membaca pesan yang ditunjukan Sehun kepada Kai. Pemuda berwajah malas itu menatap Sehun dengan prihatin.

“Kau sudah menghubunginya?”Sehun mengangguk. Ia menghela nafas. “Apa yang dia katakan?”Sehun hanya terdiam. Dia membuang nafas seraya menyandarkan tubuhnya kesandaran shofa. Bagaimana keputusan dirinya sendiri membuatnya merasa sesakit ini? Dia anggap ini yang terbaik tapi nyatanya, ini sungguh jauh dari kata terbaik. Dia tersakiti dan gadisnya tersakiti. Melihat Jinhee tersakiti adalah hal paling menyakitkan dalam hidupnya. Salahkan saja Kai untuk semua ini. Salahkan Kai karna telah mengenalkan Sehun kepada gadis yang memberikan kesan pertama yang terlalu sempurna kepada Sehun. Salahkan kai yang mengenalkan Sehun kepada sosok sempurna dengan senyum termanis yang pernah Sehun lihat. Oh, sepertinya Kai adalah orang paling bersalah karena mengenalkan Sehun kepada sosok jelita yang tak dapat Sehun lupakan sedetikpun. Sebut saja kai yang menjerumuskannya untuk menaruh segenap hati kepada gadis itu. Tapi, dirinya tak bisa mengabaikan impiannya. Dia tak mau jika hubungannya akan menghambat karirnya, dia ingin fokus pada karirnya. Ia ingin fokus pada masa depannya. Dia sedang mencoba untuk tak egois, ini bukan hanya tentang dirinya, tapi juga orang disekitarnya, keluarga dan seluruh penggemarnya. Jadi, maafkan Sehun atas keputusannya. Hehurt his self by hurting her.

“Aku akan bicara padanya, kau tenang saja.”

.

.

.

Jinhee memandang panorama kota seoul selepas hujan mengguyur kawasan itu beberapa waktu lalu. Suara khas dari fergie mengiringi lamunannya dengan big girls don’t cry. Dia menyesap coklat panas di cangkir biru langit yang dia genggam dengan kedua tangan penuhnya. Ah, lagi-lagi kenangan indah mereka berputar lamban dalam otaknya sesaat dia menutup matanya. Teringat ketika pemuda itu memeluk tubuhnya dari belakang saat Jinhee tengah berdiri mematung di hadapan jendela besar apartementnya, sama seperti posisinya saat ini, lalu mengecup pipinya, membuat Jinhee tersenyum dengan mata terpejam. Tapi, kenyataan memang pahit, hal itu takkan pernah terjadi dikemudian hari.

Jinhee menyimpan cangkirnya di atas meja, tempat dia berkutat dengan segala kesibukannya. Dia adalah seorang mahasiswi semester akhir di salah satu perguruan tinggi di seoul, wajar saja dia sibuk dengan skripsinya. Dia terduduk dan menatap layar benda berbentuk persegi dengan simbol apel tergigit di salah satu sisi di hadapannya. Bekerja dengan jarinya untuk menelusuri isi dari benda itu hingga sampai pada sebuah folder rahasia yang dia kunci. Jinhee menghela nafas, membuka folder itu yang menampilkan ratusan photo dirinya bersama pemuda itu. Ia mengklik salah satu photo dan muncullah wajahnya yang tersenyum bahagia selagi pemuda disampingnya mencium puncak kepalanya. Yang selanjutnya, keduanya memakai penutup kepala dan berciuman. Yang lainnya adalah Sehun yang tengah memeluk tubuh mungilnya dari belakang. Lalu, sekarang sebuah video berdurasi pendek.

“Jinheeku, sedang apa?” Dia terlihat menatap Jinhee yang sibuk membalik majalah ditangannya. Wajahnya sangat tampan, tanpa riasan dan sangat alami.

“Oh, kau merekamku? Astaga, Aku tidak siap!”Jinhee menutupi wajahnya dengan majalah. Sehun tersenyum dan menarik majalah dari wajah Jinhee.

“Kenapa harus siap? Kau terlihat mempesona kapanpun, sayang,”Jinhee merenggut. “Astaga, manis sekali,”

“Dasar perayu!”Jinhee menutupi wajah Sehun dengan tangannya yang lalu digenggam oleh Sehun dan dikecupnya pelan. Jinhee tersenyum manis. Mereka saling menatap satu sama lain, saat wajah keduanya mendekat, videopun selesai. Jinhee ingat, saat itu Sehun mencium Jinhee. Entah sejak kapan danau kecil dimatanya itu tumpah. Satu persatu gambar dalam folder itu Jinhee amati sampai tiba pada satu video terakhir. Itu pertemuan terakhir sebelum Sehun memutuskan hubungan mereka. Didalam video itu, Jinhee yang merekamnya.

“Hey, nona cantik, aku mencintaimu. Sungguh dan terlampau, aku tahu kau pun seperti itu, hmm? Jangan pernah tinggalkan aku, tunggu aku, kita akan selalu bersama, bukan? Aku sangat mencintaimu, sangat mencintaimu!”Sehun mendekat dan mengecup kamera yang digenggam Jinhee pelan.

Tangis Jinhee tumpah, bagaimana bisa pemuda yang selalu mengucapkan kata cinta kepadanya adalah satu-satunya pemuda yang mengucapkan kata pisah. Dia yang meminta Jinhee untuk tidak meninggalkannya tapi dia yang akhirnya meninggalkan Jinhee. Apa-apaan dia!

“Kenapa kau melakukan ini? Apa salahku? Selama ini, aku selalu mengalah padamu, aku selalu menuruti apapun yang kau katakan, semua itu kulakukan karena aku takut kau meninggalkanku! Aku tak bisa tanpamu!” tangisnya tumpah dalam teriakan nyaring. Tak ada yang akan mendengar, apartementnya kedap suara. Bel berbunyi mengintrupsi tangisannya.

“Siapa yang datang? Astaga, apa tamu itu tak tahu aku sedang dalam keadaan yang tak sanggup menerima tamu? Ya tuhan ,”

.

.

.

“Kau terlihat lebih kurus dari terakhir kita bertemu,”Jinhee menatap aneh kearah pemuda yang terduduk di hadapannya. Astaga, makhluk aneh itu tak ada kesibukan lain selain menemuinya di sore yang ingin Jinhee lalui seorang diri ini?

“Untuk apa kau kemari? Jika managernu tahu, habislah kau!”Jinhee memutar bola matanya jengah.

“Makanya jangan sampai dia tahu, kau menangis?” Kai menilik wajah Jinhee dengan teliti. Oh, dia tidak bodoh untuk menyadari mata basah dan puncak hidung yang terlihat lebih merah dari biasanya.

“Tidak, cepat ada apa? Atau tidak, aku akan menghubungi managermu dan memberitahunya bahwa kau tersesat kemari,”

“Ya tuhan, Jinhee. Sejak kapan kau menjadi lebih buas seperti ini? Aku berniat baik kali ini,” Kai sesungguh dengan ucapannya. Dia menatap Jinhee dengan kesal.

“Kebaikanmu selalu menjerumuskanku kepada penderitaan!”Jinhee membentak dengan kasar. Pemuda dengan selisih umur satu bulan dengannya itu melunak. Ia tahu seberapa besar luka dihati Jinhee. Gadis yang diketahui bersahabat dengannya sedari mereka berada ditingkat pertama sekolah menengah. Oh, bahkan para penggemarpun tahu jika keduanya bersahabat.

“Jangan katakan kau menyalahkanku atas semua ini? Setelah sekian lama kau menjalin hubungan dengannya dan saat berpisah kau baru menyalahkanku? Apa kabar dengan dulu, Jinhee? Ya tuhan, kenapa hidupku selalu salah di matamu?” Kai memijat pelipisnya dengan wajah kesal. Sedangkan gadis yang menjadi satu-satunya sahabat wanita yang Kai miliki kini tengah melipat tangan di dada dengan tatapan lebih sendu. “Sudah jangan bersedih,”Jinhee mengalihkan wajahnya.

“Aku menghargai keputusannya. Bagaimanapun, hanya ini yang aku lakukan. Aku menghargai karir dan impiannya jadi aku membiarkan dia pergi dari sisiku walau sangat menyakitkan. Tapi, aku sadar akan sesuatu, Kim.” Kai hanya mendengarkan Jinhee yang tengah menatap datar meja persegi yang menjadi pemisah keduanya. “Aku yang terlampau mencintainya dan dia yang terlampau mencintai impiannya. Aku hanya berpikir, untuk apa selama ini dia sesumbar dengan cintanya jika kenyaataan yang dia berikan tak sesuai bahasanya, aku hanya merasa bodoh dan aku merasa sungguh naif karna hingga detik inipun aku masih percaya akan kata cintanya, and the only thing that i can do is loving him even more and more.”

“Impiannya sebesar impianku, Song. Mungkin aku lebih ambisius daripadanya, kau tahu itu, tapi dia lebih berperasaan. Dia cenderung memikirkan masa depan dan kemungkinan-kemungkinan yang ada, jika dia hanya memikirkanmu, dia takkan bisa meraih masa depannya. Dia tidak ingin egois, Song.”Jinhee menunduk, ia membiarkan rambut tebalnya menutupi wajah pualam yang kini tengah memangku luka di ulu hati. “Jangan menyiksa dirimu sendiri, Song, Hiduplah dengan baik. Menyiksa dirimu sendiri hanya akan membuat kau dan dia merasakan sakit yang lebih lagi,”Kai mengakhiri kalimatnya dengan hembusan nafas khawatir. Ia menatap Jinhee yang menangis tersedu dengan iba. Ini pertama kalinya sejak beberapa tahun terakhir Kai melihat Jinhee menangis. Semenjak Sehun hadir, Jinhee menjadi sosok kuat yang tak pernah menangis.

“Makanlah makanan yang sehat, minum vitamin agar kau tak sakit lagi. Tubuhmu seperti kekurangan gizi, astaga, lain kali aku akan membawakanmu makanan enak!”Jinhee menyeka air matanya dengan kasar.

“Seperti kau mampu meneraktirku, astaga, kim jongin, kau itu pelit mana berani meneraktir makanan enak, lucu sekali kau!”Jinhee kembali berucap kasar dengan delikan judes mata bulatnya. Kai terkekeh pelan.

“Aku ini idola papan atas, jadi aku mampu meneraktir sahabatku yang sedang patah hati seperti kau!”Jinhee mencibir.

“Baiklah, idola papan atas pasti sibuk dan kenapa membuang waktu untuk mengganggu gadis yang patah hati sepertiku?”

“Karna aku teman yang setia, mulai sekarang makanlah dengan baik. Dia sangat sedih mendengar keadaanmu, Song.”

“Lee Nahyun!”Jinhee menggeram kesal. “Selain memberitahu Sehun dia juga memberitahumu? Dia belum merasakan bagaimana kerasnya pukulanku,”

“Saking khawatir dengan kesehatanmu, dia murung sepanjang waktu,”

.

.

.

Sudah mencapai pekan keempat sejak Kai menemui Jinhee di apartementnya. Jinhee kini terlihat berbeda, rambut yang tergerai melewati pinggang kini hanya mampu mencapai dadanya dengan sedikit ikal di ujung. Oh, Gadis itu terlihat lebih manis dengan poni jarang yang berjejer dibatas alis. Jika bukan karena Nahyun, rambut indahnya mungkin hanya mencapai pertengahan lehernya. Tapi, Nahyun saat itu berucap, “Jangan sampai kau menyesal, memotong rambutmu sependek itu takkan membuatmu tiba-tiba melupakannya.” terkadang, gadis itu ada benarnya.

Dengan shortoverall yang menutupi kaos dengan lengan pendek bermotip aztec di dalamnya, Jinhee berjalan santai di samping Nahyun. Keduanya tengah mengisi waktu kosong dengan mengitari sebuah pusat perbelanjaan yang entah mengapa lebih ramai dari biasanya. Wajahnya diberi sedikit riasan, mata bulatnya semakin menonjol dengan sapuan segaris eyeliner dimasing-masingnya, pipinya terlihat merona dan bibir pink alaminya sedikit di beri sentuhan lip balm. Itu semua hasil karya Nahyun. Bahkan bandana yang berupa sebuah pita di kepala Jinhee juga ulah Nahyun. Jinhee hanya mengikuti langkah ceria Nahyun dengan sebelah telinga tersumbat sebuah earphone berwarna mint blue.

“Ah, Sebaiknya kita mengunjungi tempat lain!”Jinhee mengernyit saat tergesa Nahyun berbalik dan menarik tangannya menjauh dari sebuah toko sepatu yang terlihat sangat ramai oleh para gadis di depannya.

“Ada apa?” Tanya Jinhee malas.

“Sudah, ayo!”Nahyun kembali menarik tangan Jinhee namun gadis itu kembali menghempaskannya.

“Kau ini ken-” Kebingungan Jinhee terinterupsi sesaat setelah beberapa gadis menghampirinya.

“Kau Song Jinhee, kan? Sahabatnya Kai oppa?” Gadis yang masih berbalut seragam sekolah dengan kacamata tebal yang ia kenakan. Jinhee mengernyit, kenapa mereka bisa mengenalinya?

“Ya tuhan, itu benar kau! Apakah kau akan menemui oppa?” tanya gadis lainnya, lebih cantik dari yang pertama. Jinhee menggeleng, astaga, dosa apa dia sampai ditanyai seperti ini.

“Benarkah? Bagaimana bisa kebetulah, unnie, Kai oppa bersama dengan Baekhyun oppa dan Sehun oppa sedang ada di toko itu!”Jinhee terdiam mendengar pernyataan gadis itu. Dia menoleh kearah Nahyun yang hanya tersenyum bodoh kearahnya.

“Sudah yah, kami ingin belanja kemari, tidak tahu sama sekali jika mereka disini. Anyeong~”Jinhee dan Nahyun membungkuk dengan senyum semanis mungkin kearah mereka.

“Astaga, dia lebih cantik dari yang kukira,”

“Dia benar-benar cantik dan manis,”

“Mata dan bibirnya benar-benar indah, aku ingin seperti itu!”

Terdengar jelas dari pendengaran Jinhee dan Nahyun decakan kekaguman itu. Oh, salahkan Kai juga karna hal ini. Jika saat kelulusan mereka tak tertangkap kamera sedang mengobrol bersama diiringi tawa dan jika saat itu Kai tidak mengajaknya berselca dengan wajah jelek, takkan terungkap jika dirinya adalah sahabat karib Kai.

“Jadi ini alasanmu, eoh?”Nahyun tersenyum bodoh. Jinhee mendelik kesal.

“Aku mendengar gadis-gadis itu menyebut nama mereka jadi-”

“Sudahlah, aku lapar.”

.

.

.

“Oppa, apa kau bertemu dengan Song Jinhee unnie?” mendengar seorang fans yang menyebut nama Jinhee membuat Sehun yang paling pertama menoleh lalu Kai sesaat kemudian. “Tadi aku melihatnya berjalan menjauh dari toko sepatu ini,” Merasa bahagia karena dua pemuda dihadapannya menanggapi ucapannya selagi satu pemuda lain tengah sibuk akan sesuatu.

“Tidak, benarkah? Kau beruntung berjumpa dengannya,”Kai menanggapi manis. Ia melirik Sehun di sampingnya.

“Dia benar-benar cantik, oppa! Kenapa kau tidak berkencan dengannya? Kalian akan terlihat sangat serasi,” Yang lain menanggapi. Kai tertawa.

“Dia sudah mempunyai kekasih,” seraya melirik Sehun. Gadis-gadis disana berteriak melihat tawa Kai yang sangat tampan dimata mereka. Sedangkan Sehun masih tetap terdiam. Pikirannya terus tertuju pada Jinhee. Gadis itu disini? Apa ia melihat Sehun? Sehun sangat ingin melihat Jinhee, ia benar-benar merindukan Jinhee lebih dari segalanya.

“Sehun oppa, kenapa wajahmu terlihat sedih?” teriak fans membuat Sehun tersadar, dia menoleh dan tersenyum menggemaskan yang sontak membuat fans berteriak histeris. Ah, dasar fans.

.

.

.

“Kau masih memikirkan ucapan fans tadi? Yang mana yang menjadi masalahmu?”Kai sedikit mendorong pundak Sehun dengan sikutnya. Dia menyadari perubahan raut wajah Sehun semenjak mendengar nama Jinhee di sebutkan. Entah sihir apa yang terkandung dalam nama itu sehingga membuat Sehun selalu berubah dalam waktu sepersekian detik setelah mendengarnya.

“Apakah dia melihat kita?”Sehun menoleh kearah Kai.

“Entahlah, kukira kau marah padaku karena fans yang memintaku kencan dengannya,”Sehun mendelik kearah Kai.

“Kau dan dia sudah dipasangkan sejak dulu kala, itu sebabnya dia malas membuka akunmediasocialnya,”Sehun mendengus. Ia membayangkan wajah Jinhee yang selalu mengomel setiap melihat Hater yang mencacinya karena Kai ataupun fans yang memasangkannya dengan Kai. Walaupun tak terlalu banyak. Wajahnya sungguh menggemaskan jika tengah mengomel. Memikirkan hal itu, Sehun semakin merindukan Jinhee.

“Kenapa kau tak menemuinya jika kau merindukannya?”Kai berucap setelah melihat Sehun yang tengah melamun dengan senyum simpul di wajahnya. Dia benar-benar tengah memikirkan Jinhee saat ini.

“Tidak, menemuinya hanya membuatku lebih berat melepasnya, aku tak sanggup melihat luka di matanya,”Sehun menghela nafas. Dia menatap jauh keluar jendela van hitam yang dia tumpangi.

“Jinhee…,”Sehun tak yakin dengan penglihatannya. Dia menepuk pundak Kai, mencoba memastikan bahwa ini bukan ilusinya. Gadis yang tengah melangkah beriringan dengan gadis lain yang lebih tinggi darinya.

“Oh, itu Jinhee, kan? Hanya saja dia terlihat berbeda,”Kai menyahuti. “Astaga, itu benar-benar Jinhee,”Sehun tak kuasa mengalihkan pandangannya, bahkan setelah van mereka melewati sosok manis itu, kepalanya masih dia putar. Dia benar-benar senang melihat gadis yang semakin terlihat mempesona itu. Dia merindukan Jinhee, itu bukan wacana. Itu faktanya, namun ia tak dapat melakukan apapun. Satu-satunya hal yang mampu dia lakukan adalah merindukan Jinhee hingga akhirnya ia harus menyerah pada kerinduannya. Ia hanya mampu mencintai Jinhee dalam kenangannya. Sosok gadis itu terlalu membutakan Sehun. Lelaki tampan itu selalu melupakan segala hal setiap kali bersama dengan gadis itu. Ia bahkan mampu melepaskan segalanya demi Jinhee. Dulu, ia sempat ingin menyerah dengan impiannya saat Jinhee lelah dengan hubungan mereka.

“Jika kau lelah karena harus menyembunyikan hubungan ini, baiklah, aku akan memberitahu seluruh dunia bahwa kau adalah kekasihku. Kau hanya pantas denganku, bukan dengan Kai, aku tak peduli jika aku kehilangan karirku, aku tak peduli dengan impianku!” itu kalimat Sehun dulu, ah, dulu Sehun masih belum dewasa. Ia masih labil dengan dirinya, ia masih berumur 19 tahun kala itu. Dan sekarang, ia sudah menginjak 22 tahun. Ia sudah mencapai usia matang, dia tidak lagi diizinkan untuk egois. Impiannya harus diatas segalanya.

.

.

.

“Dulu dia sesumbar akan meninggalkan karirnya demi aku, nyatanya dia meninggalkan aku demi karirnya, harusnya aku benar-benar mengakhiri hubunganku dengannya dulu saat hatiku belum semenggila ini padanya,”Nahyun memutar kedua bola matanya. Ini pernyataan entah ke berapa puluh kalinya Jinhee sejak gadis itu patah hati.

“Astaga, aku lelah mendengar pernyataan itu,”Jinhee memejamkan matanya. Ia menghela nafas berat.

“Dan aku lelah dengan rasa sakit ini,” mendengar betapa lirihnya suara Jinhee dalam indera pendengaran Nahyun, membuat gadis dengan beanie yang menghias rambut sebahu dengan campuran warna terang itu menghela nafas dengan tatapan iba. Harusnya Sehun mendapat penghargaan karena dengan berhasil membuat gadis kuat dihadapannya ini tak berkutik, Jinhee sudah seperti kucing rumahan yang ditinggal pemiliknya. Sehun mampu menjadi alasan dalam sebulan terakhir, Jinhee menjadi lebih sering mengalami gangguan kesehatan. Astaga, semua karena Sehun.

“Apakah aku harus mencari penggantinya?” Dan Jinhee berubah menjadi sosok tanpa pemikiran. Belakangan dia selalu memutuskan sesuatu dengan cepat. Dan, menyesal. Seberapa buruk pengaruh patah hati itu? Mengapa bisa membuat seseorang berubah dengan singkat?

“Jangan terburu-buru, Jinhee.”

“Aku hanya bercanda, lagipula aku tidak berniat menjalin hubungan untuk sementara,”Jinhee kembali menolak suapan dari Nahyun. Ah, gadis itu sedang meringkuk diatas ranjangnya dengan suhu badan yang hampir mendidih. Tadi pagi, Nahyun dengan terburu menemui Jinhee setelah gadis itu memintanya membelikan obat penurun panas dan Nahyun dikagetkan dengan suhu badan Jinhee yang sangat tinggi. Namun,kesekian kalinya, ia tak ingin pergi ke rumah sakit.

“Tapi, di masa depan kau juga harus menikah, kau harus segera bangkit, melupakannya dan kembali membuka hatimu,”Nahyun menyerah menyuapi Jinhee, dia meletakan mangkuk berisi bubur di atas meja disamping ranjang Jinhee. “Sepertinya aku harus ke kampus sekarang, jangan lupa minum obatnya lagi nanti, mungkin aku kembali pukul delapan. Jaga dirimu, hmm?”Jinhee mengangguk. Ia kembali menidurkan dirinya sesaat sebelum ponselnya bergetar.

Ia meraih ponselnya. Itu sebuah penanda. Gadis manis dengan piyama bermotif horizontal itu termenung setelah sekian detik mencerna apa yang ada di dalam layar ponselnya. Dia kembali terduduk, menggigit bibir bawahnya pelan.

“Haruskah…,”

.

.

.

Pukul delapan tepat, Nahyun berada di apartementJinhee. Namun, ia tak menemukan gadis yang tidak memakan bubur yang Nahyun buatkan tadi pagi. Dengan kekhawatiran penuh, Nahyun berusaha menghubungi gadis dengan selisih beberapa bulan dengannya itu. Namun, bukan Jinhee yang menyahut, tapi operator. Nahyun hampir putus asa, sebelum ia mendapati sebuah note di nakas samping ranjang Jinhee.

Aku pergi ke suatu tempat, jangan khawatir, aku sudah lebih baik. Jangan tunggu aku, ahya, aku meninggalkan ponselku jadi jangan hubungi aku. Chu~

 

“Kemana bocah idiot itu? Ya tuhan, aku berharap tak terjadi apa-apa padanya,”Nahyun mendengus, ia tidak bisa menyembunyikan ke khawatirannya mengingat seberapa tinggi suhu badan Jinhee tadi pagi. Nahyun menemukan ponsel Jinhee di balik bantal, ia mengetuk ponsel bersilikon biru itu.

“Jangan-jangan dia…,”Nahyun bergumam setelah menyadari sesuatu yang tampil setelah Nahyun membuka kunci ponsel Jinhee.

.

.

.

“Lalu, aku harus bagaimana?”Kai bertanya dengan nada bingungnya. Baru saja dia di kejutkan dengan telpon dari Jinhee dengan pemilik suara yang bukan Jinhee melainkan Nahyun. Gadis itu menceritakan semuanya berharap Kai dapat membantu, selain Kai, siapa lagi yang dapat ia tanyai tentang hal ini. Setahunya, Jinhee hanya mempunyai dia dan Kai yang menjabat sebagai sahabat terdekatnya.

“Apakah Sehun pernah bercerita tentang rencana perayaan 4 tahun hubungan mereka?”Kai berpikir sejenak.

“Dia tidak pernah menceritakan hal seperti itu, haruskah aku bertanya sekarang padanya?”

“Kurasa, iyah. Tapi, jangan ceritakan tentang ini,”

“Baiklah, akan ku hubungi kau lagi nanti,” percakapan pertama mereka berakhir. Sebenarnya, Kai tidak terlalu akrab dengan Nahyun, begitupun sebaliknya. Mereka berbeda kelas dulu, sedangkan Nahyun telah mengenal Jinhee sedari sekolah menengah pertama, itu sebabnya mereka sangat dekat.

“Hyung, kau melihat Sehun?”Kai bertanya tanpa basa basi setelah keluar dari kamarnya. Suho yang ditanyai menatap Kai dengan bingung.

“Aku baru kembali jadi tak tahu,”Kai berdecak. Baru ia melangkah menuju kamar Sehun, Chanyeol menginterupsi.

“Dia bilang akan pergi ke suatu tempat,”Kai termenung. Jangan sampai apa yang Kai pikirkan benar dengan kenyataan.

“Asataga, bagaimana jika benar?” ia bergumam pelan.

.

.

.

Hembusan angin malam membuat helaian indah dengan warna kelam yang tergerai bebas itu menari menyapu permukaan wajah manis yang terlihat pucat. Mata bulatnya menatap pada satu titik dan bibir indah yang terlihat pasi itu terkatup sempurna. Dinginnya angin malam yang mulai menusuk pori-pori kulit terasa mencengkram walau ia berusaha melindunginya dengan kaos bermotif horizontal paduan warna hitam dan putih yang dipadukan celana jeans yang cukup ketat lalu di lapisi coat berwarna biru redup. Lagu demi lagu yang mencerminkan perasaannya mengalun memprovokasinya selama satu jam lebih. Kakinya sudah merengek pegal karena berdiri selama itu tapi hatinya menolak pergi. Masa bodoh dengan kepalanya yang terasa semakin pening. Ia hanya ingin lebih lama berada di tempat ini. Disini, pertama kalinya ia berkencan bersama Sehun. Dan tempat ini, adalah sebagian dari rencana perayaan empat tahun hubungan mereka yang pada akhirnya hanya tinggal rencana tanpa pewujudan. Jinhee menghela nafas, ia masih setia memandangi deru air sungai han yang terkenal ini, segurat kesenduan terpatri dalam sorot matanya.

“Aku ingin bertemu denganmu, untuk terakhir kalinya. Aku ingin kau tahu jika bahkan hingga detik inipun aku masih mencintaimu, dan itu satu-satunya hal yang dapat aku lakukan. Aku tak bisa melupakanmu, aku tak sanggup membencimu dan aku terlalu banyak merindukanmu. Setidaknya, kau harus bertanggung jawab dengan hal ini, kenapa kau menyakituku sangat dalam?”Jinhee terlalu sulit menahan tangisnya. Walaupun dalam tenang, air mata itu tetap mengalir dengan deras mengiringi setiap senyuman keduanya yang terputar dalam memorinya. “Terima kasih, Oh Sehun atas empat tahun yang berharga dalam ingatanku, Nahyun benar, aku harus segera bangkit dan kembali membuka hatiku untuk lelaki lain. Lagipula, aku harus menjadi istri seseorang di masa depan. Aku akan tetap mencintaimu dalam kenangan, walau rasanya begitu menusuk. Aku tahu, melepasmu haruslah perlahan, seperti melepas nyawa, sedenyut demi sedenyut,”Jinhee berusaha melepas kalung berbandul cincin yang ia kenankan sebelum ia terkesiap dengan tangan dingin yang menahan jari-jarinya yang tengah beraktifitas. Jantungnya berdetak cepat, nafasnya tersendat. Ia cukup takut. Pasalnya, sungai han tengah dalam keadaan yang sepi malam ini.

“Jinhee…,” lirih yang ia dengar tak terlalu keras membuat aliran darahnya kembali normal. Ah, salah, justru sebaliknya. Dia semakin tergugup saat mendapati hangat tubuh pemuda itu dengan tangan yang melingkari perut Jinhee yang sudah semakin kurus. Tuhan, katakan bahwa ini hanya ilusinya. “Ini adalah puncak dimana aku tak kuasa menahan rinduku,” gumaman itu terlepas selagi tangannya memperkuat dekapan rindu pada gadis itu.

“Aku merindukanmu, Sehun.”Jinhee tak kuasa menahan air matanya untuk tidak mengalir lebih deras.

“Rindukan aku lebih banyak lagi, Jinhee, agar aku mempunyai alasan untuk menyerah pada segalanya untukmu,”

.

.

.

“Kau sakit?”Sehun masih tak kuasa mengalihkan tatapannya dari wajah cantik yang terlihat lebih pucat dari beberapa waktu yang lalu. Jinhee tak menoleh, ia tak mau Sehun tahu. Tapi, membohongi Sehun serupa dengan membohongi dirinya sendiri, ia takkan mampu. “Aku tahu,”Sehun menggenggam tangan Jinhee erat. Ia tak mau melepasnya lagi, namun, ia akan. Pandangan Jinhee masih lurus pada sungai yang mengalir tenang. Sehun menarik dagu Jinhee agar gadis itu menatap wajah tampannya. Namun Jinhee tak sanggup menatap wajah Sehun, ia tak sanggup menunjukan lukanya kepada Sehun.

“Jangan pergi dariku, Sehun, kumohon.” Ia bergumam lirih. Sehun terdiam mendengar ungkapan Jinhee. Apakah dirinya sejahat itu?

“Jinhee, semuanya salahku. Jangan menangis,”Sehun mendekap erat tubuh Jinhee yang mungil itu. Dia sungguh merindukan sosok ini. Tapi, seberapa engganpun Sehun melepasnya, ia tetap harus. Haruskah ia kembali menyalahkan Kai? “Setiap bersamamu, aku tak kuasa melepasmu. Tapi, aku harus, Jinhee. Maafkan aku,”Jinhee terisak dalam pelukan Sehun. Jinhee harusnya tahu, Sehun datang bukan untuk kembali padanya. Tidak, Jinhee tidak sebanding dengan impiannya.

“Setidaknya, beri aku alasan untuk melupakanmu,” Ucap Jinhee di sela isakannya. Sehun terdiam, dalam hati dia menyanggah ucapan Jinhee. Jangan, jangan lupakan Sehun, Jinhee. Sehun mohon. Tapi, Bukankah ia akan terlihat lebih jahat dari ini jika ia melakukannya?

Sehun melepaskan dekapannya. Dia menyeka air mata Jinhee. Menumpu manik kecoklatannya di manik hazelJinhee yang sungguh indah. Keindahan itu tergores oleh luka atas kesenduan yang Sehun buat. Oh, ini salahnya. Menakup kedua sisi wajahnya dan mengelus pelan pipi porselen yang lama tak ia sentuh. Jinhee menggenggam telapak Sehun yang berada dikedua belah pipinya.

“Apa yang harus aku lakukan, Sehunie?” genangan itu kembali tumpah sesaat ia melihat kristal bening yang tumpah dari mata pemuda di hadapannya.

Sehun mendekat, sepersekian detik kemudian, dia sudah menumpu bibirnya dengan bibir Jinhee. Keduanya terpejam, air mata menyatu di pipi keduanya. Ini ciuman terdramatis yang pernah mereka rasakan. Sehun memiringkan kepalanya, melumat bibir Jinhee. Beberapa saat kemudian, perlahan Sehun melepaskan pautan bibir mereka. Mata keduanya masih terpejam dan air mata masih mendominasi setiap sudut mata Jinhee.

“Aku… akan memberi alasan untukmu melupakanku, dengarkan aku dengan baik,”Sehun menatap Jinhee dengan sendu. Ia tak dapat mengatakan semua ini pada gadis itu, ia tak sanggup melihat lebih banyak luka di mata indah itu. “Kau tidak lebih berharga dari segala yang ku miliki saat ini, kau bukan masa depan yang aku impikan. Kau hanya sekeping kenangan yang dapat menghancurkanku dengan pelukanmu, kau satu-satunya penghalang dalam segala impianku. Pergilah dariku, Jinhee, aku tak ingin bersamamu.”Sehun tak dapat menahan air matanya. Dia memang lelaki, tapi, seorang lelaki akan menangis untuk gadis yang ia cinta, bukan? Dan Sehun menangis untuk Jinhee. Satu-satunya gadis yang ia cintai. Jinhee tersenyum dengan air mata yang lebih deras dari sebelumnya. Ia memejamkan matanya, rasa sakit di kepalanya tak sebanding dengan hatinya. Walau kebohongan jelas di wajah pemuda itu, tapi, Jinhee tetap merasakan kesungguhan dari ucapan Sehun.

“Terima kasih, Sehun, aku akan mencintaimu dalam kenangan,”Jinhee bangkit. Ia tersenyum dan melangkah pergi dengan tertatih. Tangan mereka masih berpautan hingga semakin jauh Jinhee melangkah, semakin terlepas genggaman yang berusaha Sehun pertahankan itu.

“Aku juga akan tetap mencintaimu, Jinhee, karena itu adalah satu-satunya hal yang dapat kulakukan,”

.

.

.

Gadia itu tak mampu melangkah lagi. Di tepi jalan yang sepi nan kelam, dia menumpu tubuhnya dengan kedua kaki yang lelah. Hatinya menjerit menahan pilu dan kepalanya berdenyut menahan pening. Air mata semakin menderas, ia merasa untuk seminggu kedepan, air mata ini takkan pernah kering. Ini lebih menyakitkan dari saat Sehun menutuskannya dengan penjelasan singkat. Kisah cintanya selama empat tahun, berakhir dengan luka yang amat dalam. Kenangan demi kenangan mengalun dalam ingatannya. Menemani tubuhnya yang menbentur aspal dengan sempurna, ia terlalu lemah untuk menyadari, kakinya sudah tak sanggup menahan bebannya dan matanya lelah terbuka. satu hal yang ia ingat sebelum semuanya menjadi gelap, senyuman lelaki itu saat mereka pertama berjumpa.

Even its hard, i want to say goodbye. i’ll forget everything about you and I’ll stop myself for missing you. But in the end, i still in love with you and the only thing that i can do is loving you in my memories.

 

 

-END-



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles