The Covenant
Judul : The Covenant _ Part.5
Author : Ririn_Setyo
Cast : Oh Sehun, Song Jiyeon, Kim Suho.
Genre : Romance, Family ( PG – 15)
Length : Chaptered
FF ini juga Publish di Blog pribadi Saiiya https://ririnsetyo.wordpress.com dengan cast yang berbeda.
*
*
*
Oh’s House
Sehun’s Room – 07.00 am
.
Senyum lebar Sehun masih terpatri dengan manis, mata laki-laki itu juga masih memandang objek yang sama sejak beberapa menit yang lalu. Memandang sosok cantik yang berdiri hanya dengan jarak 1 jengkalan tangan, terlihat sibuk menata penampilannya pagi ini sama dengan pagi-pagi sebelumnya sejak gadis cantik itu menganti nama depannya menjadi Oh.
Tangan kekar Sehun mulai bergerak merangkul pinggang langsing gadis yang masih menata tata letak dasi biru muda di lehernya, membuat gadis itu sedikit terkejut seraya mendonggakkan kepalanya, menatap Sehun lewat mata beningnya. Sehun hanya tertawa pelan menatap exspresi tekejut yang sudah sangat di hafal oleh Sehun, laki-laki itu memajukan wajahnya lalu mendaratkan kecupan hangat di kening gadis yang masih terkejut itu.
“Gomawo, Jiyeon-aa.” ucap Sehun dengan menyentuhkan ujung hidungnya pada hidung gadis yang terlihat semakin menegang, lalu mengoyangnya pelan.
Gadis itu Oh Jiyeon mengerjabkan mata beningnya saat kesadarannya mulai kembali, perlahan tangan lentik itu bergerak halus melepaskan rangkulan Sehun yang semakin mengerat. Menghindar dari suasana intim yang selalu Sehun ciptakan, suasana yang belum bisa di terima dengan baik oleh Jiyeon namun selalu mampu membuat jantung gadis itu berdetak tak normal.
Jiyeon tersenyum seraya membantu Sehun mengenakan jas kerjanya, kembali menatap penampilan Sehun sekali lagi lalu tersenyum puas saat mendapati laki-laki tinggi itu kini terlihat tampan sempurna.
Hubungan Sehun dan Jiyeon akhir-akhir ini semakin membaik, tidak ada lagi pertengkaran ataupun suasana kaku dan dingin yang dulu sempat menyelimuti hubungan mereka. Jiyeon pun terlihat sudah tak pernah sedih ataupun menangis, gadis itu bahkan terlihat selalu tertawa bahagia membuat Sehun perlahan mulai berubah menjadi sosok yang lebih hangat dan bisa menempatkan dirinya di posisi yang lebih rileks, tanpa bayang-bayang perjanjian yang selalu membuatnya takut.
“Oppa, nanti siang aku ingin mengunjungi ibu,” ucap Jiyeon saat Sehun meraih jemarinnya lalu menariknya keluar dari kamar, berjalan pelan menuruni anak tangga menuju meja makan.
“Ibumu?”
“Bukan, ibumu.”
“Ibuku?” tanya Sehun seraya menghentikan langkahnya diundakan terakhir anak tangga, menatap Jiyeon yang sudah mengangguk. “Waktu kita ke sana, aku sudah berjanji akan mengunjungi ibu lagi, bolehkah?”
Sehun tersenyum seraya mengangguk pelan. “Arraseo.” Jawab Sehun lalu kembali melanjutkan langkahnya, tersenyum ke arah bibi Jung yang sudah berdiri di pinggir meja makan dengan beberapa pelayan lainnya.
Ruang makan yang hanya di khususkan untuk Sehun dan Jiyeon, karena Sehun sangat tidak ingin kebersamaannya dengan Jiyeon menjadi kacau dengan kehadiran ayah ataupun Minra. Di desain sendiri oleh Jiyeon dengan gaya super minimalis dan warna biru yang mendominasi, berdekatan dengan dapur mini yang biasa Jiyeon gunakan untuk membuat cemilan sehat untuk Sehun.
Desain ruangan yang jauh dari kata glamour berbeda jauh dari ruang makan yang biasa mereka gunakan selama ini, namun tetap terlihat elegan dan hangat. Sehun bahkan baru mengetahui jika Jiyeon mempunyai hobi menata ruangan sejak gadis itu tersenyum lebar, seraya menunjukkan hasil karyanya di beberapa hari yang lalu untuk mengisi waktu luang.
“Zitao akan mengantar mu ke rumah ibu dan sorenya aku yang akan menjemput mu,” ucap Sehun seraya meminum jus orange yang baru saja di tuangkan oleh Jiyeon.
“Ne,” jawab Jiyeon dengan tersenyum.
****
Sehun’s House
Porch – 03.00 pm
.
Jiyeon kembali tertawa keras dari atas sofa putih yang di dudukinya bersama Oh Eunjung, saat mendengarkan cerita dari wanita itu tentang semua kekonyolan Sehun di waktu kecil. Gadis itu bahkan sampai mengusap sudut matanya yang berair karena terlalu banyak tertawa, bagaimana tidak Eunjung bercerita tentang Sehun yang ternyata sangat phobia dengan tikus putih.
Laki-laki dingin itu bahkan saat masih berumur 6 tahun pernah berlari sangat kencang hingga mendarat di kolam ikan yang ada di belakang rumah, saat sepupunya Jongin yang menakutinya dengan 2 ekor tikus putih.
“Dia bahkan sampai menangis dan tidak mau bertemu Jongin selama 3 hari,” lanjut Eunjung dengan tetap tertawa.
“Jinjjayo?” ucap Jiyeon di sela-sela tawanya.
“Eoh! Ya Tuhan jika dia tahu kita menertawakannya, dia pasti akan marah besar.” Eunjung memutar bolamatanya, membayangkan jika seorang Oh Sehun yang sudah mengamuk.
Eunjung tersenyum meraih cangkir teh melatinya di atas meja kaca di depannya, meminumnya dengan memandang pemandangan hangat di depannya. Bunga lily putih yang bermekaran dengan kumbang dan lebah madu yang saling bercengkrama ramah, hamparan rumput hijau bak permadani alam yang semakin menambah rasa sejuk yang memenangkan hati.
“Aku benar-benar tidak tahu jika Sehun oppa menyukai pasta,” ucap Jiyeon dengan kembali menikmati cupcake dengan toping warna warni yang di buatnya bersama Eunjung beberapa jam yang lalu, ikut menikmati pemandangan sore dengan menghirup udara segar yang menenangkan sebanyak yang dia bisa.
“Apa selama ini dia tidak pernah meminta mu untuk membuatnya?”
Jiyeon mengeleng. “Aku jarang memasak bu, hanya sesekali membuatkan kudapan yang aku suka dan ternyata Sehun oppa juga menyukainya.” Jawab Jiyeon tanpa mengalihkan pandangannya dari sepasang kumbang yang menari di atas bunga lily.
“Kalau begitu buatkan dia pasta sekali waktu, jangan terlalu pedas karena Sehun tidak terlalu suka dengan makanan pedas.” Jiyeon tersenyum seraya menganguk pelan.
“Eoh! Ngomong-ngomong bagaimana keadaan ibumu sayang? Apa sudah lebih baik,” Eunjung menatap Jiyeon yang terlihat murung, meletakkan kembali cangkir teh nya di atas meja, seraya mengusap bahu gadis itu.
“Dokter bilang keadaan ibu sudah lebih baik, ibumulai merespon segala sesuatu yang di sentuhkan dokter ke tubuhnya.” Jiyeon tersenyum seraya meyakinkan Eunjung, jika saat ini dia baik-baik saja. “Aku sangat berharap jika ibu ku segera bangun dari koma panjangnya, karena aku— aku sangat merindukannya,”
Setetes airmata jatuh tak tertahan dari sepasang mata bening milik Jiyeon, membuat Eunjung menarik pundak gadis itu lalu memeluknya dengan hangat. “Ibu yakin,— ibumu pasti akan segera sadar dan ibu juga sangat ingin bertemu dengan ibumu, bersabarlah,” Eunjung mengeratkan pelukannya, mengusap bahu Jiyeon yang bergetar halus dengan isakan kecil yang mulai terdengar.
***
Eunjung berdiri dengan bersandar di pintu kamarnya, tersenyum saat menatap Sehun yang duduk di tepi ranjang, menatap Jiyeon yang tertidur pulas sejak 2 jam yang lalu. Wanita cantik itu berjalan mendekat, mengusap bahu putra tersayangnya hingga Sehun mengalihkan pandangannya.
“Sepertinya dia kelelahan,” ucap Eunjung dengan setengah berbisik. “Aku akan membawanya pulang sekarang bu, ini sudah mulai senja.” Jawab Sehun seraya menatap penunjuk waktu yang melingkar di tangannya, jam 6 sore.
Eunjung menganguk dan membiarkan Sehun mengangkat tubuh munggil Jiyeon dengan kedua tangannya, Sehun mengeratkan rangkulan tangannya saat Jiyeon sedikit mengeliat di dalam tidurnya. Laki-laki itu berpamitan dengan sang ibu, lalu bergegas keluar dari kamar menuju mobil hitamnya yang terparkir di halaman depan.
“Dia gadis yang istimewa, apapun yang terjadi kau harus mempertahannya, Sehun-aa.” Ucap Eunjung sesaat setelah Sehun merebahkan tubuh Jiyeon di dalam mobil.
Sehun menatap sang ibu dengan senyum ragunya, ragu karena dia sendiri tak yakin bisa mempertahankan Jiyeon di takdir hidupnya. Sehun menarik nafas perlahan seraya tersenyum palsu, senyum yang membuat sang ibu meloloskan nafas leganya dan Sehun benar-benar terluka saat harus membohongi ibunya seperti ini.
****
Oh’s House
.
Sehun menatap Jiyeon yang masih tertidur dengan bersandar di bahunya, laki-laki itu mengerakkan tangannya mengusap wajah cantik Jiyeon dengan perasaan sayang yang tak terbendung. Kembali teringat saat gadis itu tidak menjawab apapun atas luapan perasaan yang di utarakannya beberapa malam yang lalu, walau gadis itu membalas perlakukan manisnya tapi tetap saja Sehun merasa jika hingga saat ini Jiyeon belum menyerahkan hatinya sedikit pun untuk dirinya.
Mata bening itu mengerjab saat tangan Sehun masih berada di pipi gadis itu, membuat gadis itu sedikit terkejut lalu segera menegakkan kepalanya, kembali mengerjab dan memutar kepalanya dengan pandangan binggung.
“Sehun Oppa? kenapa oppa bisa di sini?” Sehun hanya tersenyum kembali mengulurkan tangannya dan mengusap pipi Jiyeon dengan lembut. “Wae? Apa kau tidak tahu jika aku punya kekuatan super yang bisa membuat ku ada di mana saja,” jawab Sehun dengan terkekeh pelan.
“Mwo?” Jiyeon memajukan bibirnya kesal. “Apa kita sudah di rumah?” tanya Jiyeon dengan memandang ke arah luar jendela.
“Eoh! Kau tertidur saat aku menjemput mu tadi dan aku memutuskan untuk membawa mu pulang, karena jika menunggu mu terbangun bisa di pastikan kita akan menginap di rumah ibu, putri tidur,” Sehun kembali terkekeh saat Jiyeon terlihat kembali kesal, Sehun hafal betul jika Jiyeon yang punya hobi tidur di mana pun itu, akan memerlukan waktu yang lama jika sudah tertidur di atas kasur dan Sehun tidak pernah tega jika harus membangunkan gadis itu.
“Ne Tuan pemarah,” jawab Jiyeon seraya keluar dari mobil, membuat Sehun kali ini tertawa lalu ikut turun dari mobil.
Sehun berjalan 2 langkah di belakang Jiyeon yang kini sudah terlihat sangat senang, memandang Jiyeon yang sesekali menolahkan kepalanya kebelakang di sepanjang langkah mereka di beranda panjang yang ada di kediaman Oh ini.
“Apa saja yang kau kerjakan di rumah ibu?” tanya Sehun dengan rasa curiga saat Jiyeon menghentikan langkahnya, menatapnya dengan tawa yang tertahan.
“Membuat cupcake dan— menceritakan masa kecil mu, oppa.” Jiyeon kembali tertawa. “Aigoo ternyata Sehun oppa ku yang pemarah ini sangat takut dengan tikus putih yang mengemaskan itu,”
Sehun yang awalnya tersenyum saat Jiyeon menyebutkan namanya dengan embel-embel oppa ku, berubah menjadi terkejut dengan exspresi yang bergidik ngeri, laki-laki itu bahkan sampai mengusap bahunya saat rasa takut dengan makhluk putih berbulu itu mulai menjalari tubuhnya.
Jiyeon tertawa keras menatap Sehun yang terlihat benar-benar takut, namun itu hanya sesaat karena gadis itu mulai merasa bersalah saat Sehun yang memohon meminta Jiyeon untuk menghentikan lelucon yang sangat menakutinya itu.
“Mianhae,—“ ucap Jiyeon seraya melangkah mendekat, tersenyum kaku lalu mengusap jemari Sehun yang mendingin. “Aku akan membuatkan pasta untuk oppa sebagai permintaan maaf, bagaimana?” ucap Jiyeon dengan memiringkan kepalanya dan sesaat kemudian Sehun pun sudah menganguk setuju.
“Ibu bilang oppa sangat suka pasta dan pasta buatan ku di jamin enak,—“ Jiyeon melebarkan senyumnya. “Ayah dan ibu ku sangat menyukainya, Suho oppa juga,—“ seketika itu juga Jiyeon menghentikan ucapannya, terlihat menegang seraya menatap takut ke arah Sehun yang terdiam.
“Dia juga menyukai masakan mu?” ucap Sehun seraya mengusap kepala Jiyeon dengan tersenyum kaku, Jiyeon hanya bisa menganguk dan menyalahkan lidahnya yang salah berucap. “Ini sudah mulai malam, besok saja kita makan pasta buatan mu.” Jiyeon hanya diam menatap Sehun yang masih tersenyum dengan perasaan bersalah.
“Oppa,—“
“Pergilah ke kamar dan beristirahatlah, masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan terlebih dahulu,” Sehun mengecup kening Jiyeon sekilas seraya berjalan cepat menuju ruang kerjanya, meninggalkan Jiyeon yang terdiam dengan rasa bersalah di belakang sana.
****
Next’s Day
Dining Room – 11.00 am
.
Jiyeon menatap beberapa bungkus pasta yang ada di atas meja, memilih bumbu yang akan di gunakan seraya memasang celemek berwarna biru di tubuhnya. Hari ini Jiyeon ingin membuatkan pasta untuk Sehun dan mengantarkannya langsung ke kantor suaminya itu, sebagai ungkapan rasa bersalah karena lelucon dan salah berucap kemarin.
Dengan terampil Jiyeon menyiapkan semua bahan masakan, bersenandung sesekali hingga membuat beberapa pelayan yang membantunya saat ini ikut tersenyum senang. Gerakan tangan Jiyeon memotong bawang Bombay terhenti saat seorang pelayan memberitahu jika ada panggilan telephone dari sang ayah untuk dirinya, Jiyeon pun memberi perintah kepada salah satu pelayan untuk melanjutkan pekerjaannya sebentar.
“Ada apa ayah?”
“Ada berita baik untuk mu sayang,”
“Apa?”
“Ibumu— ibumu sudah sadar dari koma dan dia memanggil nama mu,”
“MWO???”
****
Shinhwa Enterprise
Sehun Office Room
.
Sehun menghentikan gerakan tangannya menandatangi berkas perusahaan, saat Zitao memberi kabar jika Jieun ibu Jiyeon sudah sadar dari koma. Laki-laki itu bahkan merasa jika oksigen di sekitarnya menipis dengan rasa gundah yang sudah mengunci tubuhnya, rasa gundah itu pun berubah menjadi rasa cemas yang memuncak saat handphone Sehun di atas meja mulai bergetar, menampilkan satu nama yang tak di harapkannya memberi kabar kelam baginya secepat ini.
“Ada apa Jiyeon? Aku sedang sangat sibuk sekarang,” ucap Sehun dengan nada dingin guna menyembunyikan suaranya yang mulai bergetar.
“Mianhae— tapi aku hanya ingin memberitahu tentang kabar yang menggembirakan,” Sehun tersenyum samar saat mendengar tawa bahagia Jiyeon di seberang sana,
“Ibu ku— ibu sudah sadar oppa dan sekarang aku sudah di rumah sakit, maaf aku tidak meminta izin terlebih dahulu.”
“Itu bagus, setelah urusan ku selesai aku akan ke rumah sakit,”
Sehun langsung memutuskan sambungan telephone saat merasa jika dadanya mulai sesak, menahan semua rasa takut yang kian membelengu. Sehun menyandarkan tubuh tegabnya di sandaran kursi kuasanya, setetes airmata jatuh dari sudut mata sipit laki-laki itu.
Akhirnya waktu yang di takut-takuti Sehun datang juga, waktu untuk melepaskan cintanya dan mengembalikan semua yang sudah di rengut paksa oleh nya ke tempatnya semula. Menyisakan rasa kesendirian yang berulang, kesendirian yang selalu mampu membuat Oh Sehun menjadi sangat takut dalam menghadapi dunianya.
****
Seoul International Hospital
Jieun VVIP Room
.
Jiyeon mengeryitkan dahinya saat Sehun memutuskan sambungan telephone begitu saja, gadis itu hanya menghembuskan nafasnya dan kembali tersenyum saat mata beningnya kembali menatap Jieun yang terlihat baru saja selesai di periksa oleh tim dokter.
Di samping ranjang tampak Song Jongki memperhatikan dengan seksama keadaan sang istri, tersenyum lega seraya menatap Jiyeon yang mulai melangkah mendekat saat tim dokter meninggalkan mereka dan menyatakan jika keadaan Jieun terlihat jauh lebih baik dari yang di prediksi sebelumnya.
“Maafkan ayah baru mengabari mu siang ini Jiyeon, karena ayah benar-benar ingin memastikan keadaan ibumu yang sebenarnya,” ucap Jongki sekali lagi, menjelaskan jika Jieun sudah sadar dari koma sejak tadi pagi.
“Tidak apa-apa ayah, saat ini aku sudah sangat senang,” Jiyeon meneteskan airmatanya, duduk di samping sang ibu yang juga sudah meneteskan airmatanya.
Jieun tersenyum wanita yang masih merasakan sedikit kelu di lidahnya itu, mulai mengerakkan tangannya yang bergetar menyentuh wajah putrinya dengan perlahan. Meluapkan semua rasa rindu yang tertahan di sanubari lalu perlahan mulai memeluk Jiyeon dengan erat.
“Ji—Jiyeon-aa,” ucap Jieun dengan terbata, suara wanita itu terdengar serak saat airmatanya mengalir semakin deras.
“Ibu,—-“ Jiyeon pun tak mampu menahan luapan airmatanya, mengeratkan pelukannya pada sang ibu dengan mulai terisak pelan.
Jongki yang masih berdiri di samping ranjang pada akhirnya memilih untuk memeluk 2 wanita yang paling dia sayangi itu dengan erat, memeluk 2 harta yang paling berharga di hidupnya dengan setetes airmata yang mengalir dari sudut matanya.
Jongki mengeratkan pelukannya menghembuskan nafas lega karena pada akhirnya Tuhan mendengarkan doanya, mengembalikan sang istri yang sangat di cintainya dan putri tersayangnya yang sebentar lagi juga akan kembali, hingga membuat keluarga mereka bisa kembali berkumpul seperti sedia kala dan ini adalah anugrah Tuhan yang tak terlukiskan dengan serangkaian kata indah bagi Song Jongki.
***
1 jam berlalu Jiyeon pun terlihat sudah terlibat perbincangan hangat dengan kedua orang tuanya, jemari yang bertaut erat dengan sang ibu, tertawa pelan dengan rasa lega berselimut bahagia yang semakin mendominasi hati.
“Sayang, apa kau sudah memberitahu Suho jika ibu sudah sadar?” tanya Jieun dengan mengusap wajah cantik sang putri tercinta.
Mata bening Jiyeon mengerjab merasa terkejut karena tak menyiapkan jawaban untuk pertanyaan sang ibu, gadis itu benar-benar lupa jika hubungan Suho dan kedua orang tuanya terjalin sangat baik. Jieun bahkan sudah mengangap Suho sebagai putranya.
“Aku sudah menghubunginya, sebentar lagi dia akan datang.” Sela Jongki saat mendapati Jiyeon yang terlihat binggung. “Ada apa Jiyeon, kau terlihat binggung? Kau dan Suho baik-baik saja kan sayang?” tanya Jieun penasaran, menatap wajah Jiyeon yang tiba-tiba saja berubah tegang.
Jiyeon memutar pandangannya menatap sang ayah yang berdiri di hadapannya, berharap sang ayah akan membantunya menjawab pertanyaan sang ibu. Jieun yang menyayangi Suho sangat berharap jika Jiyeon menikah dengan Suho, wanita itu bahkan sudah berencana menikahkan mereka tahun ini jika saja kecelakaan itu tak pernah terjadi.
“Ibu— aku— kami,—“ Jiyeon terbata gadis itu benar-benar binggung bagaimana cara menjelaskan keadaan dirinya sekarang dengan sang ibu, gadis itu terlalu takut jika membuat kecewa Jieun di hari pertamanya siuman dari koma panjangnya.
“Sebenarnya ada apa? Apa ada banyak hal yang aku lewatkan selama aku terbaring koma?” tanya Jieun kepada Jongki tak sabar, membuat Jongki menghembuskan nafasnya seraya menarik sofa untuk mendekat ke ranjang lalu mendudukkan tubuhnya di sana.
“Sebenarnya Jiyeon dan Suho sudah,— mengakhiri hubungan mereka beberapa bulan setelah kau mengalami koma, Jieun-aa.” Jongki meraih tangan Jieun lalu mengengamnya erat. “Kenapa?” tanya Jieun dengan menatap Jiyeon.
“Karena,—“
“Karena kami sudah tidak ada kecocokan lagi bu,” seketika Jiyeon, Jieun dan Jongki menggerakkan kepalanya mereka, menatap ke sosok laki-laki yang baru saja bersuara.
“Suho,” seru Jieun seraya tersenyum hangat.
Suho tersenyum lega laki-laki itu berjalan mendekat, membungkuk ke arah Jongki dan Jieun. Laki-laki itu kembali tersenyum menatap Jiyeon yang menatapnya kaku, menatap gadis yang masih sangat di cintainya sampai sekarang.
“Aku dan Jiyeon sudah tidak cocok bu, kami— memutuskan untuk mengakhiri semuanya dan—“ Suho mengantungkan kalimatnya, mengalihkan pandangannya pada Jongki hingga membuat laki-laki itu mengerti dan mulai mengeluarkan suaranya.
“Dan— Jiyeon kini sudah menjadi istri dari Oh Sehun,” terang Jongki. “Apa?” Jieun kembali menatap Jiyeon, meminta jawaban dari hal mengejutkan ini langsung dari sang anak.
“Iya ibu itu benar— maafkan aku.” Gadis itu menunduk menghindar dari tatapan kecewa Jieun yang membuatnya merasa sangat bersalah. “Sudahlah sayang, mereka sudah dewasa dan ini adalah kehidupan mereka, jadi— kita hanya bisa mendukung kan?” Jongki berusaha menenangkan.
Keadaan pun mendadak berubah menjadi kaku, Jieun hanya diam dengan Jongki yang terus memberinya pengertian. Jiyeon terlihat hanya diam gadis itu memutar cincin pernikahannya dengan gusar dan berharap jika Sehun segera datang, hingga dia bisa mengenalkan laki-laki kaku itu pada sang ibu dengan harapan semuanya terlihat baik bagi ibunya.
Suho yang berdiri di ujung ranjang hanya menatap Jiyeon dan Jieun secara bergantian, laki-laki itu tersenyum manis hingga dapat menyembunyikan lukanya dengan sangat baik. Perlahan Suho melangkahkan kakinya berdiri di samping Jiyeon, seraya mengusap bahu gadis itu dengan lembut membuat Jiyeon tersentak dan sertamerta menatap Suho dengan luapan rasa yang sulit di artikan oleh hatinya. Perasaan di antara rindu bercampur rasa bersalah yang selalu mampu membuat mata gadis itu berembun.
“Ibu…” panggil Suho pada akhirnya, memecahkan suasana kaku yang semakin membuat semuanya tak terlihat lebih baik. “Aku senang sekali akhirnya ibu sadar dari koma,” lanjut Suho saat Jieun dan Jongki sudah menatapnya.
“Ibu tahu kalau putri ibu yang cantik ini selalu menangis, saat hubungan kami berakhir,” ucap Suho sambil membelai pelan kepala Jiyeon dengan lembut, tertawa pelan saat Jiyeon menatapnya dengan tatapan tidak terima. “Dia bahkan meminta untuk kembali menjalin hubungan dengan ku karena— aku terlalu tampan untuk di sia-siakan.” Suho terkekeh saat Jiyeon memukul lengannya.
“Oppa,—” Jiyeon mengembungkan pipinya kesal seraya mengeleng pelan, membuat Jieun tersenyum melihatnya sedangkan Jongki, laki-laki itu hanya menatap Suho dengan tatapan menyesal karena tak bisa di pungkiri jika laki-laki itu juga menyayangi Suho.
“Suho-aa ibu pikir dulu kalian akan berjodoh,” ucap Jieun seraya meraih tangan Suho dan mengenggamnya erat. “Walaupun kau tidak menjadi menantu ibu tapi sampai kapan pun,— kau tetap anak ku, ibu sangat menyayangi mu, Huang Suho.” Suho tersenyum dan mengusap pelan tangan Jieun dengan sebelah tangannya yang bebas
“Kau harus merelakan Jiyeon, ibu sangat yakin jika suatu hari nanti kau pasti akan menemukan jodoh mu dan hidup bahagia.” Suho pun menganguk pelan seraya memeluk Jieun dengan erat karena sungguh Suho sangat menyayanginya.
“Tenang saja bu, aku pasti akan mendapatkan gadis yang lebih cantik dari putri ibu yang punya hobi menangis ini,” ucap Suho saat baru saja melepaskan pelukannya, laki-laki itu kembali mengusap kepala Jiyeon dengan sayang.
“Yak! Itu bukan hobi oppa, hanya—“ Jiyeon mengantungkan kalimatnya saat Suho dan orang tuanya menatap kearahnya secara bersama-sama. “Hanya— terkadang aku merasa terharu dengan sesuatu hal,” bela Jiyeon dengan tergagap.
“Tapi— sejak kecil kau memang suka menangis sayang,” tambah Jongki dengan melirik Suho. “Eoh! Itu benar dia bahkan akan menangis hanya karena aku tinggal ke supermarket,” sela Jieun dengan tertawa pelan.
“Aish! Kenapa sejak dulu ayah, ibu dan kau Suho oppa,— selalu mengolok karena aku suka menangis? menyebalkan!” Jiyeon memajukan bibirnya kesal, gadis itu hafal betul jika sejak dulu Suho dan orang tuanya punya hobi mengolok-olok dirinya yang suka menangis.
Jiyeon pun terlihat semakin kesal saat orang tuanya dan Suho kini malah sudah tertawa bersama, gadis itu bahkan sudah berdiri dan memukul lengan Suho berharap jika laki-laki itu berhenti menertawakannya. Namun terlambat Jieun sudah memblokade aksi Jiyeon untuk memukul Suho, hal yang sejak dulu selalu dilakukan Jieun saat melihat Jiyeon yang akan memukul Suho saat merasa kesal dengan laki-laki itu.
Mereka tetap tertawa terbawa dalam rasa bahagia yang menyatu dalam 1 rasa yang dulu sempat mereka rasakan dan tidak pernah menyangka jika ada sosok lain yang mematung di ambang pintu. Sehun berdiri di sana, menatap suasana bahagia di hadapannya dengan rasa hampa yang semakin membumbung tinggi, mengikat diri hingga mata sipit laki-laki terasa memanas.
Tanpa bisa di cegah buliran airmata yang kian memenuhi pelupuk matanya menetes, membahasi pipi dengan rasa luka yang menyayat hati. Dalam satu gerakan laki-laki itu membalikkan tubuhnya, mengusap dengan kasar airmata yang kian tak terbendung turun dari soket matanya sesaat sebelum Sehun memutuskan untuk melangkah menjauh.
***
Sehun mempercepat langkahnya bayangan kebahagian Jiyeon bersama Suho dan orang tuanya masih terekam dengan jelas di benaknya, hingga membuat Sehun merasa sesak. Sehun menghentikan langkahnya di ujung koridor rumah sakit yang sepi, mengerang tertahan dengan memukul tembok yang ada di samping tubuhnya bertubi-tubi.
Tetesan darah kental berwarna merah pekat mulai mengalir dari buku-buku jari Sehun, terasa perih namun tak sebanding dengan rasa perih yang sekarang menyerang hatinya. Menyayat dan menyakiti hati laki-laki itu dengan sempurna, kembali airmata itu jatuh tak tertahan dan tanpa sadar tubuh tegab Sehun beringsut di lantai.
Sehun melipat satu kakinya dengan perlahan, membiarkan airmatanya terus mengalir dan mengabaikan tatapan prihatin dari seorang perawat yang tidak sengaja melewati tempat itu. Sehun mengalihkan tatapannya, mata sipit laki-laki itu menatap nanar cincin pernikahan yang sebentar lagi harus dia lepaskan dengan paksa, melepaskan ikatan hidupnya pada Jiyeon sang istri yang sangat di cintainya.
Sehun meraba cincin itu dengan tangan yang bergetar, menahan isak yang semakin menyakiti dadanya. Laki-laki itu mengangkat jarinya mencium cincin pernikahan itu dengan airmata yang tak berhenti mengalir, hingga seorang laki-laki tinggi bertubuh tegab datang dan berdiri di hadapan Sehun dengan tatapan ibanya.
“Tuan Oh Sehun,” sapa laki-laki itu dengan membungkukkan tubuhnya, tak ada jawaban dari Sehun laki-laki itu hanya diam dengan terus menatap cincin di jarinya.
Perlahan tangan laki-laki bertubuh tegab itu meraih lengan Sehun, menariknya pelan hingga Sehun tanpa sadar berdiri dari posisinya. Laki-laki itu tersenyum tanpa kata yang keluar dari mulutnya yang terkatub, pelan tapi pasti laki-laki itu mulai memapah Sehun untuk berjalan keluar dari rumah sakit menuju mobil hitam Sehun yang terparkir di luar gedung.
****
Oh’s House
Sehun’s Office Room – 08.00 pm
.
Jiyeon melangkah ragu berjalan mendekat hingga berdiri di ambang pintu ruang kerja Sehun, gadis itu tahu dari bibi Jung jika Sehun sudah pulang sejak 4 jam yang lalu dan mengurung diri di ruang kerjanya. Sebenarnya Jiyeon merasa sedikit kesal dengan Sehun karena tak memberinya kabar apapun, karena tidak jadi datang untuk menjenguk ibunya di rumah sakit. Sehun bahkan menolak panggilan telephone dari Jiyeon beberapa jam yang lalu, bahkan tidak membalas pesan singkat yang di kirimkan gadis itu.
Dengan menahan ragu Jiyeon pada akhirnya memberanikan dirinya untuk memutar knop pintu, memajukan kepalanya dan menatap Sehun yang terlihat sibuk di balik meja kerjanya. Jiyeon mulai melangkah masuk lalu berdiri di depan meja kerja Sehun, sedikit berdehem guna menghilangkan rasa gugup yang tiba-tiba saja sudah membelit tubuhnya.
“Ada apa Jiyeon, aku sedang sangat sibuk sekarang,” ucap Sehun tiba-tiba tanpa melihat ke arah Jiyeon sedikit pun.
“Mianhae aku hanya,—“ Jiyeon meremas jemarinya, saat Sehun meliriknya dengan dingin. “Kenapa oppa tidak jadi datang? Ibu menanyakan mu tadi dan kenapa oppa menolak panggilan telephone dari ku?”
Sehun menatap Jiyeon sekilas. “Hari ini aku sangat sibuk, sampaikan maaf ku untuk ibumu.” Jawab Sehun dengan nada dinginnya. “Mungkin jika besok aku tidak terlalu sibuk, aku akan mengunjungi ibumu.” Lanjut Sehun dengan membolak balik berkas yang ada di hadapannya.
Jiyeon menahan rasa kecewa dengan tersenyum samar, gadis itu menganguk mengerti dan berniat untuk meninggalkan ruangan. Namun gadis itu tidak sengaja menatap tangan Sehun yang memerah hingga membuat mata bening Jiyeon membulat, dengan rasa khawatir yang tiba-tiba saja sudah mengusai hatinya.
Tanpa perintah Jiyeon berjalan mendekat hingga berdiri di samping Sehun, gadis itu meraih tangan Sehun yang terluka, membuat laki-laki itu terkejut. “Oppa kenapa dengan tangan mu?” tanya Jiyeon cemas menatap punggung tangan Sehun yang benggak dengan darah yang terlihat sudah mengering, tapi Sehun malah menarik tangannya dari genggaman gadis itu.
“Tidak usah berlebihan Jiyeon ini hanya luka kecil,” jawab Sehun dingin. “Tapi tetap saja harus di obati oppa,” jawab Jiyeon seraya kembali meraih tangan Sehun.
“Untuk apa kau peduli pada ku Jiyeon? Apa sekarang kau menyukai ku?” Sehun menatap Jiyeon dengan tajam, memasang wajah sedingin mungkin guna mengembalikan hubungan yang seharusnya antara dirinya dan Jiyeon. Mengakhiri hubungan manis yang sempat terjalin, hubungan yang Sehun anggap sebagai kehabagian semu semata.
Sehun mulai merasa sangat lelah dengan perasaan gamang gadis itu, merasa jika semua pada akhirnya akan tetap terasa sia-sia. Gadis itu tak akan pernah menyerahkan hatinya untuk Sehun. “Kenapa diam? Kau tidak punya jawabannya?” Sehun kembali menarik tangannya seraya menegakkan tubuh tingginya.
“Sudah ku duga kau tidak punya jawabannya, jadi— mulai sekarang berhenti mengkhawatirkan ku dan pergilah ke kamar sekarang juga, masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.” Sehun menatap Jiyeon yang menatapnya dengan mata yang mulai basah, laki-laki itu mengepalkan tanganya menahan dirinya untuk tidak memeluk gadis yang terlihat menahan airmatanya itu.
“Aku— aku hanya mengkhawatirkan mu, Sehun oppa.” Jiyeon menahan luapan airmata yang siap meluncur dari soket matanya, gadis itu merasa sangat sakit dengan semua sikap dan perkataan Sehun saat ini.
Sikap Sehun yang selalu berubah-ubah membuat gadis itu semakin binggung dengan perasaan sebenarnya terhadap laki-laki itu, perasaan yang kian berkembang setelah laki-laki itu mengungkapkan perasaannya beberapa malam yang lalu. Ungkapan rasa yang mampu membuat Jiyeon merasakan sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya terhadap Sehun, perasaan tak ingin kehilangan sosok dingin yang kini masih menatapnya nyaris tanpa berkedip.
“Mianhae jika aku sudah mengangumu, tapi— tangan oppa harus segera di bersihkan dan di kompres aku takut luka itu akan infeksi jika tidak segera di obati,” Jiyeon tersenyum samar saat Sehun tak bergeming sedikit pun. “Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan dalam hidup ku, tadinya aku ingin merayakannya bersama mu oppa,” setetes airmata jatuh tak tertahan di pipi pucat Jiyeon.
Gadis itu kembali tersenyum sekilas lalu membalikkan tubuhnya, berjalan pelan meninggalkan ruangan dan Sehun yang terlihat menyesali sikapnya di belakang sana.
***
Sehun menatap punggung tangannya yang terasa semakin nyeri, laki-laki itu bahkan tak melakukan apapun sejak Jiyeon meninggalkannya setengah jam yang lalu. Merasa semakin menyesal dengan sikap brengseknya pada Jiyeon hari ini, merasa seharusnya dia memanfaatkan semua sisa harinya dengan gadis itu, bukan menyakitinya seperti sekarang.
Sejujurnya Sehun sangat senang saat Jiyeon mengkhawatirkannya, merasa melayang saat menatap wajah cemas Jiyeon yang sungguh semakin membuat Sehun jatuh di rasa cinta yang semakin dalam. Sehun mengerang saat rasa ingin menatap Jiyeon semakin mendominasi hati, dalam satu gerakan cepat Sehun keluar dari ruang kerjanya, berjalan tergesa menuju kamar tidurnya dan berharap jika Jiyeon akan menyambutnya dengan tersenyum.
Perlahan Sehun mulai melangkah memasuki kamarnya yang sangat luas itu, mengedarkan pandangannya di segala penjuru ruangan guna menemukan sosok cantik yang carinya. Namun nihil laki-laki itu tak melihat siapapun di kamar, membuat Sehun menghela nafas berat seraya berjalan menuju meja kecil di ujung kamar yang biasa dia gunakan untuk menyelesaikan pekerjaan kantor.
Sehun tertegun saat menatap obat luka, kassa, cairan anti septic dan perban yang ada di atas meja, kembali mengedarkan pandangannya seraya duduk di sofa yang ada di depan meja. Tanpa sadar senyum pun sudah merekah di bibir laki-laki itu, Sehun pun meraih cairan anti septic dan kassa lalu mulai membersihan luka di tangannya.
Namun gerakan tangan Sehun terhenti saat sepasang tangan kecil sudah menyetuh lengannya, membuat laki-laki itu mendongak dan menatap sosok cantik di hadapannya dengan terkejut.
“Jiyeon,— kau?”
“Aku di dalam walk in closet mu oppa, mengambil pakaian tidur untuk mu,” jelas Jiyeon seraya menunjuk piyama yang ada di atas meja untuk tatapan Sehun saat ini, gadis itu pun segera mengambil alih cairan anti septic dan kassa dari tangan Sehun lalu segera membersihkan luka laki-laki itu dengan hati-hati.
Sehun hanya bisa tersenyum dengan rasa bahagia yang menyelimuti hati, mata sipit Sehun menatap lekat Jiyeon yang terlihat sibuk dengan pekerjaannya sekarang.
“Apa hari ini aku melakukan kesalahan, hingga oppa marah pada ku?” tanya Jiyeon yang masih sibuk mengoleskan obat luka di tangan Sehun.
“Ania-— akulah yang melakukan kesalahan hari ini pada mu, Jiyeon.” Jawab Sehun dengan suara pelannya, Jiyeon pun mengangkat kepalanya menatap Sehun yang menatapnya dengan tatapan bersalah. “Maafkan aku, seharusnya aku menghubungi mu hari ini karena tidak bisa datang, seharusnya aku tidak memarahi mu tadi, seharusnya,—“
“Seharusnya oppa tidak ceroboh dan melukai tangan oppa seperti ini, hingga membuat ku sulit bernafas karena merasa sangat khawatir tadi,” sela Jiyeon dengan cepat, gadis itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan tidak menyadari wajah Sehun yang menegang karena ucapannya barusan.
Jiyeon membereskan semua yang ada di atas meja lalu menyimpannya kembali dalam kotak obat yang ada di ruangan kecil di samping kamar mereka, Jiyeon kembali duduk di sebelah Sehun seraya menyerahkan piyama tidur pada Sehun yang masih membisu.
“Apa masih sakit?” tanya Jiyeon dengan kembali meraih tangan Sehun dalam mengenggamnya, Sehun hanya mengeleng pelan. “Gomawo,” ucap Sehun dengan tulus, kembali menatap Jiyeon dengan lekat seakan-akan Jiyeon akan menghilang jika dia mengalihkan pandangannya.
“Oppa,—“
“Heemm,”
“Aku ingin berterima kasih,— berterima kasih atas semua yang sudah oppa lakukan untuk orang tua ku.” Ucap Jiyeon dengan tulus. “Sebenarnya sudah lama aku ingin mengatakan hal ini, karena semuanya menjadi membaik berkat kau oppa. Hari ini ibu ku sadar dari koma dan ayah sangat bahagia. Terima kasih, terima kasih untuk semuanya,” Jiyeon tersenyum dengan tulus, meluapkan rasa bahagianya atas kesembuhan sang ibu, karena bagaimana pun, sejak awal Sehun sangatlah berperan penting dalam menyelamatkan kedua orang tua yang sangat di sayanginya.
Tanpa di duga pandangan mata mereka bertemu, bertaut satu sama lain melebur dalam rasa yang perlahan sudah mengikat hati keduanya, hingga tanpa sadar membuat mereka saling mendekatkan diri dan entah siapa yang memulai tapi yang pasti kini bibir mereka sudah saling bertautan. Sehun mencium bibir Jiyeon dengan sangat lembut dan hati-hati, laki-laki itu sama sekali tidak ingin membuat Jiyeon menjadi takut, menarik secara perlahan tubuh langsing Jiyeon hingga berada di dalam rangkulan tangannya.
Jiyeon mengerjab pelan gadis itu ingin sekali menolak sentuhan Sehun saat ini, tapi otak gadis itu berkata lain karena saat ini tanpa sadar Jiyeon malah mulai memejamkan matanya, membalas kecupan Sehun di bibirnya, bahkan gadis itu sudah mengalungkan tangannya di leher Sehun, menikmati ciuman hangat laki-laki itu dengan rasa bahagia yang meluap-luap karena tak bisa di pungkiri jika setiap sentuhan lembut Sehun selalu terasa begitu memabukkan untuk Jiyeon.
Sehun mulai mengerakkan bibirnya dengan lebih cepat, menganti ciuman ringan mereka menjadi lumatan yang menggila seiring balasan yang Jiyeon berikan dan membuat Sehun terus memperdalam ciumannya. Tanpa sadar kini Sehun sudah mengangkat tubuh Jiyeon dengan kedua tangannya, merebahkannya di atas ranjang tidur mereka tanpa melepaskan tautan bibir mereka sedikit pun.
Tangan kekar Sehun mulai bergerak liar di atas tubuh Jiyeon hingga membuat tubuh bagian atas gadis itu kini sudah setengah terbuka, ciuman mereka pun semakin memanas dan menuntut, Sehun bahkan tak membiarkan mereka berhenti walau itu hanya satu helaan nafas, meluapkan semua rasa yang tak mampu lagi di tahannya, rasa untuk memiliki Jiyeon seutuhnya. Namun tiba-tiba bayangan Jiyeon yang sedang tertawa bahagia bersama Suho dan kedua orang tuanya, berkelebat masuk ke dalam pikiran Sehun, membuat laki-laki itu dengan seketika melepaskan pergulatan bibirnya dengan Jiyeon begitu saja.
Sehun terdiam dengan nafas yang masih memburu, mata laki-laki itu membuka lebar, menatap Jiyeon yang bahkan masih memejamkan matanya dengan tersenyum getir. Sehun terdengar mengerang sesaat sebelum beranjak dari atas tubuh Jiyeon begitu saja, membuat Jiyeon membuka matanya dan menatap terkejut ke arah Sehun yang sudah berjalan tergesa menuju pintu kamar hingga akhirnya menghilang di baliknya.
Jiyeon menatap kepergian Sehun dengan tatapan tidak mengertinya, gadis itu mengerjab, menghembuskan nafasnya yang masih belum kembali normal seraya meraba pakaiannnya yang sudah terbuka. Sesaat kemudian Jiyeon tersadar dengan cepat gadis itu mengancingkan pakaiannya, meraba pipinya yang memanas dan jantungnya yang masih memompa dengan cepat.
Jiyeon benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja di lakukannya dengan Sehun, bagaimana mungkin dia membalas ciuman laki-laki itu, bahkan mereka hampir saja melakukannya lagi dan untuk kali ini ada sebagian dari jiwa Jiyeon yang merasa kecewa saat Sehun menghentikannya dan merasa menginginkan laki-laki itu saat ini juga.
Jiyeon mulai berfikir apa mungkin dia sudah gila? Gila karena menginginkan laki-laki itu? entahlah Jiyeon juga tidak tahu jawabannya dan kini gadis itu hanya mengelengkan kepalanya berulang-ulang, mengacak acak rambutnya seraya menyembunyikan tubuhnya di balik selimut dan berharap jika rasa kantuk akan segera menghampirinya.
***
The Morning
.
Jiyeon yang baru saja hendak keluar dari walk in closet miliknya, terlihat sangat terkejut saat mendapati Sehun yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan pintu, laki-laki itu sudah terlihat rapi dengan setelan jas kerjanya. Jiyeon terlihat sangat gugup saat mata mereka bertemu, gadis itu pun segera bergerak ke sisi kiri bermaksud untuk beranjak dari tempat itu, namun ternyata Sehun juga mengerakkan tubuhnya ke sisi kiri.
Begitu juga saat Jiyeon bergerak ke sisi kanan, Sehun pun melakukan hal yang sama hingga pada akhirnya Jiyeon berhenti di tempat seraya menatap ke arah Sehun yang saat ini ternyata juga terlihat gugup sama seperti dirinya.
“Oppa,—“
“Mianhae— soal, heemm— semalam.” Ucap Sehun dengan terbata, laki-laki itu mengerakkan bolamatanya dengan gelisah seraya menggaruk tengguknya dengan tersenyum kaku. “Aku— benar-benar tidak,—“
“Gwenchana,— oppa.” potong Jiyeon dengan cepat, gadis itu tersenyum sekilas dengan rasa gugup yang semakin membekukan tubuhnya. Bayangan ciuman panas mereka semalam, kembali memenuhi pikiran Jiyeon membuat gadis itu merasa jika pipinya memanas.
Begitu pula dengan Sehun laki-laki itu juga terlihat sangat gugup bahkan rona merah samar-samar juga mulai terlihat di wajah tampannya, dengan cepat Sehun membalikkan tubuhnya saat merasa jika pipinya semakin merona. Dalam satu gerakan yang sama mereka terlihat sama-sama menghembuskan nafas gugup mereka, guna meredam detak jantung mereka yang sama-sama memacu tak terkendali.
“Hari ini kau sarapan sendiri, aku ada rapat mendadak pagi ini.” Ucap Sehun tanpa jeda seraya berjalan cepat meninggalkan kamar tidurnya, meninggalkan Jiyeon di belakang sana dengan alis yang bertaut.
***
Zitao membungkuk saat Sehun baru saja keluar dari rumah, laki-laki tinggi bertubuh tegab itu membukakan pintu untuk Sehun dengan kembali membungkuk.
“Apa pengacara Shin sudah menyiapkan berkas yang aku minta kemarin?” tanya Sehun saat baru saja mendudukkan dirinya di jok mobil, Zitao menganguk pelan. “Ne tuan Oh dan pengacara Shin sudah berada di kantor anda sekarang, guna membicarakan ini dengan tuan.”
Sehun mengangguk mengerti. “Bagus, terima kasih Zitao.” ucap Sehun sesaat sebelum Zitao menghidupkan mesin mobil.
Sehun menghembuskan nafas beratnya, menatap cincin pernikahannya seraya tersenyum getir. “Semuanya akan segera berakhir Jiyeon, aku janji.” Gumam Sehun dengan memejamkan matanya, memikirkan sekali lagi pembicaraannya dengan pengacar Shin tentang perceraiannya dengan Jiyeon, pembicaraan yang mampu membuat tubuhnya beku dalam rasa takut yang melumpuhkan.
Iya semuanya akan segera berakhir dan Sehun benar-benar sudah bulat dengan keputusannya, keputusan untuk melepaskan belahan jiwanya dan mengembalikan semua keadaan ke dalam garis takdir yang sebenarnya.
.
~ TBC ~
