Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Cat (Chapter 1)

$
0
0

Cat

cat

TITTLE : Cat [1/2]
AUTHOR
: Than
GENRE
: Family, Comedy(maybe), Fantasy
LENGHT
: Twoshot
RATE
: PG-15, T
MAIN CAST
: Park Miyeon (OC), Park Chanyeol
DISCLAIMER
: Cerita murni dari imajinasi akut author. Fanfict ini dipost di beberapa blog dengan author yang sama.
NOTE
: Author cinta readers aktif.

.

.

.

–Cat–

.

Bantingan pintu kamar disertai seorang gadis berpenampilan acak-acakan yang sudah berdiri di depan pintu kamar, mengundang teriakan dari dapur.

“YA! UCAPKAN SALAM JIKA MASUK KE RUMAH, NONA PARK!”

NE, EOMMA!”

Gadis itu berteriak tak kalah keras dari dalam kamarnya. Tas sekolah dilemparkan asal sebelum berjalan gontai menghadap cermin setinggi tubuhnya lebih. Diperhatikan sejenak pantulan dirinya. Kusut bukan main. Merasa gerah dan lelah sekali, dilepaskan seragam dari tubuh rampingnya. Kini tinggal hotpants serta tanktop putih yang melekat, seperti biasanya. Ia berpenampilan seperti ini tentu saja saat sendirian dan—

Meong.

Gadis itu menoleh ke belakang, ke ranjang. Tangannya meraih tubuh hewan peliharaan yang paling dicintainya—bahkan kakak lelakinya kalah—bersamaan dengan jatuhnya ia ke ranjang empuk.

“Yeolli!”

Kucing berjenis kelamin jantan itu menggeliat ketika terus menerus diciumi sang majikan. Miyeon tertawa melihat kelakuan ‘pacar’nya. Kucing jantan itu menegang merasakan tubuhnya diayunkan ke atas sebelum jatuh di perut si gadis.

“Kau semakin tampan saja, Chanyeolli.” Diusap-usap kepala si kucing. “Kau sudah makan? Aku tadi mampir untuk membeli es krim. Sebentar,”

Tergesa gadis itu meraih kantong plastik di sisi ranjang dan mengeluarkan satu kotak es krim. Kucing itu terus memperhatikan majikannya yang sibuk membuka bungkus es krim lalu menyuapkan sesendok ke mulutnya sendiri. Miyeon tertawa kecil, merasakan sensasi es krim cokelat di mulutnya. Diambilnya sesendok lagi tapi kali ini bukan untuknya, melainkan untuk si kucing.

Begitulah kelakuan sepasang majikan dan hewannya, romantis. Miyeon sangat menyayangi kucing jantan itu. Keluarganya pun selalu geleng-geleng kepala melihat kelakuan Miyeon kepada Chanyeolli. Gadis itu memperlakukan kucing hadiah ulang tahun itu layaknya teman sehidup semati. Spesial sekali.

Pernah suatu kali, Jungsun, kakak laki-lakinya, tak sengaja mengagetkan kucing itu hingga si kucing lompat ke bawah. Miyeon yang melihatnya dari lantai atas, geram bukan main. Secepat kilat ia menggendong peliharannya lalu memeluk dengan erat seakan takut kucing itu terluka parah. Lantas gadis itu berjalan menaiki tangga menuju kamar seraya mengelus-elus kepala kucingnya diiringi jeritan kesakitan dari lelaki di lantai bawah.

Gadis itu menampar kencang wajah Jungsun.

“Enak? Besok aku akan beli … eum … apa, ya?”

Mulut gadis itu mengemut ujung sendok, pura-pura berpikir. Tapi kepura-puraannya berhenti begitu mendengar suara ponsel bergetar, menandakan sebuah pesan masuk. Diraih ponselnya lalu ia mulai membaca isi pesan tersebut. Ia biarkan kucingnya menjilat-jilat es krim.

“Hah?!”

Kucing itu mendongak dan mendapati wajah sang majikan yang terpaku dengan mata menghadap layar ponsel. Baru ingin melangkah mendekati sang majikan, Miyeon sudah mengangkat badan kucing itu lalu berdiri dan berputar-putar.

“Chanyeolli~” tubuh Miyeon terhempas ke sofa. “Dia membalas pesanku dan aku … sangat … BAHAGIA!”

Jika saja gedoran dari luar tidak terdengar, mungkin kucing itu sudah memuntahkan es krim yang baru saja dinikmatinya karena terus-terusan diajak berputar.

“Malam ini kita coba mengiriminya pesan. Semoga dia membalas lagi.”

Miyeon tertawa tatkala merasakan gelitikan diperutnya yang tentu saja diakibatkan Chanyeolli si kucing paling tampan di seluruh dunia—menurut gadis itu.

.

*****

.

Miyeon berjalan menuju rumah dengan lemas. Masa bodoh dengan tubuhnya yang basah kuyup terkena ribuan bahkan jutaan atau milyaran tetes air yang menghantam tubuhnya lumayan keras. Air yang mengalir dari sepasang matanya, menyatu dengan tetesan air hujan.

Sial.

Ini hari paling sial untuk dirinya.

Bodoh.

Hari ini ia melakukan hal paling bodoh sedunia.

Makian untuk dirinya sendiri terus keluar dari bibir yang sudah bergetar. Isakan kini mulai terdengar disela suara hujan. Biar saja. Ia tak peduli. Toh tidak ada yang menyadarinya.

Oke, ini sejujurnya sangat tidak ingin diingat kembali. Tapi … ah! Entahlah.

Tadi, di sekolah, gadis itu bertemu dengan orang yang kemarin membuatnya bahagia setengah mati hingga Chanyeol, si kucing, hampir pingsan karena dipeluk erat-erat. Miyeon yang entah baru merasakan cinta atau bagaimana, tiba-tiba saja menemui lelaki jangkung kelas sebelah lalu mengeluarkan isi hatinya. Dengan kata lain, ia menembak lelaki itu.

“Kau ini bicara apa? Kita baru saja berkenalan beberapa hari yang lalu.”

“Ta-tapi, maksudku—“

“Maaf, aku harus pergi.” Sosok jangkung itu menjauh, meninggalkan luka menganga di hati.

“ARGH!”

Kembali gadis itu menyela suara hujan di siang hari ini.

“Bodoh sekali kau, Park Miyeon …”

Tak lama setelah terus menerus merutuki diri sendiri, sekelebat cahaya menghantam matanya kemudian semuanya gelap.

.

*****

.

Perlahan-lahan mata milik Miyeon terbuka. Ditatapnya sekeliling. Ia di dalam kamarnya ternyata. Sekilas Miyeon melirik jam dinding.

9.30 PM

Hah?!

Baru saja tubuhnya akan bangun, kepala seekor kucing menyembul dari balik selimut. Kucing itu kemudian berguling lalu berhenti di dekat leher si gadis. Miyeon membiarkan kepala kucingnya menempel di leher jenjangnya.

Siapa yang membawaku kesini?

Miyeon menatap tubuhnya. Lagi-lagi alisnya berkerut.

Siapa pula yang mengganti bajuku?

Chanyeolli di lehernya bergerak, membuat sensasi geli di sana sesaat. Perlahan diangkat tubuh kecil namun termasuk besar bagi sejenis mereka dan dipindahkan ke atas dadanya. Kucing tampan itu menggeliat sejenak sebelum memejamkan matanya lagi.

“Miyeon-ah,”

Suara dari luar sana melenyapkan sunyi. “Masuk, Eomma.

Senyum Miyeon mengembang melihat ibunya berjalan mendekat lalu duduk di sisi ranjang. Kening ibunya berkerut melihat keadaan sang anak. Wajah gadis itu nampak pucat dan lemas.

“Ada apa, Eomma?”

Telapak tangan ibunya menyentuh kening gadis itu sesaat. “Kau demam.”

Miyeon terdiam lalu terkekeh. “Berarti besok aku tidak masuk sekolah? Akhirnya,”

Sedang sakit bukan berarti anak dan ibu itu berhenti bertengkar. Sekarang saja jitakan cukup keras dilayangkan ke kepala Miyeon dan sukses membuat gadis itu menjerit lalu mencubit lengan sang ibu. Sang ibu tak terima, lantas kembali tangannya memukul paha si gadis. Terus saja sepasang ibu dan anak itu saling membalas.

Romantis, bukan?

Tapi itulah cara keluarga Park yang satu ini untuk menunjukan kasih sayang sesama anggota keluarga. Memukul, mencubit, menjitak, meneriaki, bahkan mengolok-olok—yang terakhir hanya terjadi diantara Jungsun dan Miyeon. Walaupun kehidupan mereka dipenuhi hal-hal ‘romantis’ seperti itu, bukan berarti mereka terus saja bertengkar. Terkadang mereka akur sekali.

“Berhenti membalasku, Park Miyeon! Atau uang jajanmu akan kupotong!”

Miyeon melotot. “Mwo?! Seenaknya saja memotong-motong uang jajanku. Eomma juga berhentilah mencubit pahaku. Sakit, tahu.”

“Berhenti menjawab ucapanku!”

Eomma juga berhenti menyiksaku!”

Nyonya Park mendengus lalu keluar kamar. Miyeon di ranjang mengerucutkan bibirnya kesal. Beberapa menit kemudian beliau kembali dengan nampan berisi air putih dan tiga buah tablet obat. Kembali adegan ‘romantis’ terjadi. Miyeon yang jarang minum obat, dicekoki oleh ibunya. Semakin gadis itu meronta, semakin bertambah pula siksaan sang ibu. Bahkan sampai sang ibu berjongkok di kasur dengan mata membesar. Alhasil gadis itu menerima terpaksa obat pahit di mulutnya kemudian mendorongnya ke perut dengan segelas air.

“Anak baik.”

Miyeon membelalakan matanya sedetik saat sang ibu mengacak kasar rambutnya sebelum berbalik menuju pintu kamar. Tak lupa senyum lebar tanda kemenangan tercetak di wajah wanita paruh baya itu.

Selepas kepergian sang ibu, Miyeon merenung. Tangannya tak lepas mengusap kepala Chanyeolli. Ia merenung, galau. Otaknya tiba-tiba saja bekerja memutar waktu beberapa jam kebelakang.

“Hah! Dasar jangkung menyebalkan! Aku membencimu, Choi Minho!”

Seandainya aku tak mengenalnya. Seandainya Soojung tak meminta nomer ponselnya. Seandainya aku tak mengiriminya pesan.

Tanpa sadar air mata kembali keluar dari sudut matanya. Ia benar-benar kesal. Dan ia juga harus benar-benar melupakan sosok jangkung anak kelas sebelah yang membuatnya malu setengah mati. Setengah jam menangis, dirinya ikut memejamkan mata bersama sang kucing di pelukannya.

.

6.00 AM

Jungsun dengan tak sabaran mengetuk pintu kamar adiknya berkali-kali. Ia hari ini berusaha agar amarahnya tak memuncak jika berhadapan dengan Miyeon. Ayolah, lelaki itu kini baru akan mendobrak pintu cokelat itu jika tak ada jawaban dari dalam.

“PARK MIYEON KELUAR KAU!”

Bukannya Miyeon yang menjawab, malah dirinya yang kembali diteriaki oleh ibunya.

“YAK! BERISIK KAU PARK JUNGSUN! ADIKMU SEDANG SAKIT! DIA TAK AKAN BERANGKAT KE SEKOLAH!”

Baiklah. Bagus kalau begitu. Lelaki itu mengambil tas dan kunci mobil lalu berangkat ke kampus tanpa takut macet atau terlambat. Pagi ini moodnya sedikit membaik.

.

12.00 PM

Oh tidak, ini cukup memalukan. Tapi karena dia sedang sakit berarti wajar dan harap dimaklumi. Percaya tak percaya, Miyeon baru bangun jam segini. Tengah hari. Itupun karena kepala Chanyeolli yang digosokan ke wajah miliknya dan juga kepalanya yang sedikit pusing.

“Chan,”

Si kucing berhenti menggosok-gosok lalu menaruh kepalanya di kening gadis itu, seakan mengecek suhu tubuh majikannya. Kucing itu kemudian menelusupkan kaki belakangnya ke baju Miyeon, menggelitik pelan di bagian pinggang. Sejenak gadis itu tertawa lalu kembali diam.

“Aku pusing.”

Gadis itu berusaha bangkit dan menatap cermin dengan setengah sadar. Kepalanya semakin pusing. Eh? Miyeon memperhatikan tubuhnya. Bajunya sudah berganti lagi. Sekarang ia memakai T-Shirt dan celana panjang. Tumben Eomma mau mengurusku.

Masih linglung, Miyeon menjatuhkan diri lagi ke ranjang. Hari ini kepalanya pusing sekali. Semoga saja nanti malam pusingnya sembuh dan besok ia bisa masuk ke sekolah dan semoga saja ia tidak bertemu Choi Minho.

Meong, meong, meong.”

“Ada apa, Yeolli? Kau belum makan?”

Kucing itu menggelengkan kepala beberapa kali. Miyeon mendesah pasrah. Pasalnya ia juga kelaparan. Baru saja akan bangkit untuk memanggil sang ibunda tersayang, orang yang akan dipanggil mengetuk pintu. Panjang umur.

“Masuk,”

Nyonya Park mendekati anaknya yang semakin terlihat pucat. “Ini Eomma masakan bubur untukmu.”

Ne, gomawo, Eomma.”

Sang ibu mengangguk. Punggung tangan beliau menyentuh kening Miyeon, mengecek keadaan anak gadis satu-satunya. “Suhumu semakin tinggi, Miyeon-ah. Sekarang kau cepat makan lalu minum obat.”

Miyeon melirik mangkuk berisi bubur sejenak. “Eomma belom memberi makan Chanyeol?”

“Oh iya.” Nyonya Park menepuk kening. “Eomma lupa.”

Mata gadis itu memutar malas melihat cengiran khas ibunya. Selalu begitu. Beliau selalu melebarkan senyumnya jika Miyeon meminta tolong sesuatu lalu beliau lupa mengerjakan. Sudah biasa.

Eomma jangan tega seperti itu kepada Chanyeolku. Mentang-mentang aku sakit, Eomma tak mau mengurus Chanyeol.”

“Bukan begitu—“

Eomma, kan, tahu kalau aku sangat mencintai Chanyeol.”

“Iya, tapi—“

“Jadi, jika aku sedang sakit seperti ini, tolong urus Chanyeol. Minimal memberinya makan.”

“YA! JANGAN POTONG OMONGANKU!” sentilan maut telah sampai di telinga Miyeon. “Eomma bukannya tak mau mengurus kucing itu! Tapi Eomma lupa!”

Miyeon mendengus seraya mengusap-usap telinganya yang panas. Ibu macam apa ini yang tega menyiksa anaknya yang sedang sakit? Untung saja gadis itu rela disentil.

“Intinya sekarang kau makan bubur ini lalu makan obat. Eomma mau masak dulu.”

Kaki Nyonya Park melangkah keluar. Tapi sebelum tubuhnya benar-benar hilang dari pandangan, beliau berucap sekali lagi. “Dan jangan coba-coba membuang obatnya, paham?” Ibu-ibu itu menjentikan jarinya dan mengedipkan sebelah mata.

BLAM

Mata Miyeon serta Chanyeoli terpejam erat disertai ringisan. Huh! Kekuatan milik ibu Park itu memang tak ada duanya. Menutup pintu saja membuat dinding bergetar. Apalagi jika benar-benar marah seperti waktu itu. Satu rumah bergetar semua dan Tuan Park beserta anak-anak juga si kucing, menjauhi beliau beberapa radius meter saking mengerikannya.

Miyeon terkekeh jahil. Chanyeol di pangkuannya, diangkat, dipindahkan ke ranjang sementara dirinya meraih obat-obat aneh itu dan segera berlari ke tong sampah. Niatnya untuk membuang obat-obat itu nyatanya gagal karena Chanyeolli yang tiba-tiba mencakar tangannya.

“AW!”

Meong!

Miyeon menatap kucing itu dengan ringisan. Kenapa ‘pacar’nya tiba-tiba galak?

“Aku tidak suka obat. Kau lebih baik makan buburku. Aku akan membuang obat-obat tak enak ini.” Miyeon beranjak ke tong sampah kecil di dalam kamar.

Kembali si kucing berulah. Kini rambut sang majikan yang ditarik, mengakibatkan jeritan kencang dan tubuh yang lebih besar dari si kucing ambruk. Nyonya Park mengecilkan suara lagu dari radionya mendengar sesuatu terjatuh dengan keras. Tergopoh-gopoh beliau menuju kamar anaknya.

“KAU KENAPA?!”

Miyeon mengerang kesakitan. “AKU TAK APA! JANGAN KHAWATIRKAN AKU!”

Nyonya Park kembali ke dapur seraya bersenandung. Lagu yang sempat terhenti, diputar kembali.

“Kenapa kau mencakar dan menarik rambutku? Sakit.”

Bekas cakaran itu mengeluarkan darah dan helaian rambut berserakan di atas ranjang. Kucing jantan itu diam memperhatikan Miyeon yang mengerang kecil sambil membereskan rambutnya yang rontok. Seakan merasakan bahwa si kucing diam tak bergerak—merasa bersalah, Miyeon menatap manik mata biru kucing tersebut. Senyum menandakan aku-tidak-marah ia tunjukan.

Miyeon membaringkan lagi tubuhnya di ranjang. Senyumnya terkembang lagi membiarkan perutnya diberi beban cukup berat. Sesendok demi sesendok ditelannya bubur hambar yang ibunya berikan. Tak lupa si pemberi beban di perut kena suapannya.

“Chanyeolli, kau begitu tampan, eoh.” ujar Miyeon disertai senyuman. Jemarinya mengusap-usap tubuh dan kepala Chanyeolli.

Setelah makan, keduanya kini mendengarkan lagu dan sesekali gadis bermarga Park tersebut bersenandung dengan suara yang tak ada bagus-bagusnya. Alias, fals. Tak bisa dipungkiri, suara fals itu turunan dari kedua orang tuanya.

Jika di sekolah ia menyanyi seorang diri, pasti Soojung atau Najin menggebuknya dengan buku. Jika di rumah, pasti Jungsun melemparnya dengan sandal. Hanya Chanyeolli yang—sepertinya—dengan senang hati mendengar suara ‘emas’ tersebut.

“Yeolli,”

Kucing yang berdiri di jendela mendekati sang majikan lalu seperti biasa, duduk di samping kepala Miyeon.

“Aku ingin bercerita. Kemarin, aku melakukan hal yang paling-paling bodoh. Oh, bahkan aku malu untuk mengatakannya padamu.” Miyeon menenggelamkan kepala ke bantal sebelum melanjutkan kata-katanya. “Argh! Intinya aku benci dia! Aku akan melupakannya! Camkan kata-kataku. Aku. Akan. Melupakan. Si jangkung kelas sebelah!”

Kaki kanan depan Chanyeolli digenggam Miyeon, seakan mereka sedang bersalaman. Tindakan yang cukup konyol, betul? Tapi she don’t care. Intinya kucing jantan kesayangannya menjadi saksi.

Hening.

Miyeon sibuk dengan pikirannya. Berucap seperti tadi malah membuatnya semakin galau. Ia harus banyak-banyak berdoa agar sekolahnya lancar besok.

“Ya, Chanyeolli.”

Kucing tak bisa menjawab, si jantan itu hanya menatap iris majikannya. Hening sesaat sebelum Miyeon meneruskan kata-kata.

“Kenapa kau sangat setia padaku, eoh? Kau membuatku semakin menyayangimu. Tak terasa kita bersama sudah lama sekali, ya. Sejak kau resmi menjadi peliharaanku, hanya kau yang bisa membuatku tertawa. Membuatku melupakan segala hal memusingkan di sekolah. Kau adalah pacar terbaikku. Kita harus membuat banyak moment! Dan— Hey, hey, kau tersentuh dengan kata-kataku, eoh? Kau menangis?”

Tawa kecil Miyeon keluar manakala kucing jantan itu menatapnya seperti sendu kemudian menggosok-gosokan ke kepala ke wajah gadis Park. Kucing jantan itu sungguh lucu.

“Seandainya kau adalah manusia, kuyakin kau adalah lelaki paling tampan untukku. Si Jungsun itu pasti akan merasa tersaingi olehmu. Aku menyayangimu, Park Chanyeol!”

Buktinya, Jungsun pernah ingin membuat Chanyeolli jatuh ke lantai bawah gara-gara kucing itu selalu diperhatikan lebih dulu daripada Jungsun. Hey, Jungsun cemburu kepada seekor hewan.

.

*****

.

Akhirnya, doa Park Miyeon terkabul. Hari ini suhu tubuhnya kembali normal dan badannya kembali fit. Kebiasaan gadis itu, jika telah mendapat sesuatu yang menyenangkan, maka akan dirayakan bersama Chanyeolli. Untuk merayakan kesembuhannya, gadis itu mengajak kucing tersebut mandi bersama. Bagaimanapun juga, kucing itu berjenis kelamin jantan dan gadis itu harus menutupi tubuhnya minimal dengan celana pendek dan tanktop. Selama mandi, dua makhluk hidup itu bersenang-senang.

Ralat.

Maksudnya merusak fasilitas kamar mandi. Lihat saja, selesainya mandi, bukannya kamar mandi menjadi bersih, malah sebaliknya. Tentu saja dua makhluk itu sudah siap dengan segala resiko mereka—dijewer Nyonya Park.

Belum selesai di situ. Saat memakai seragam pun mereka bersenang-senang dulu, melakukan hal konyol lainnya. Seraya mengeringkan rambut, gadis itu beputar-putar sambil bernyanyi. Selepas itu ia memakai seragamnya sambil melompat-lompat di atas ranjang. Si kucing yang tenaganya lebih kecil, terpental-pental. Sudah puas dan sudah selesai dandan, senyum lebar menghiasi wajah Miyeon. Digendong Chanyeolli juga tas sekolahnya menuju ruang makan.

“Hentikan senyum mengerikanmu, Miyeon. Kau membuat perutku ingin memuntahkan lagi makanan.” Jungsun menatap tajam tampang konyol itu.

Ucapan Jungsun tak digubris. Ia menciumi ibu dan ayahnya lalu menuju Jungsun untuk menciumnya juga tapi tak jadi, karena lelaki itu sudah mengacungkan kepalan tangannya. Melihat itu, tentu saja Miyeon mundur dengan cengiran terpampang di wajah.

Sungguh, Park Jungsun ingin memukul wajah kucing itu sekarang juga. Ditatapnya sengit kucing yang sedang bermesraan dengan Miyeon. Tangan gadis itu juga ingin Jungsun pukul. Tangan itu terus menyuapkan makanan kepada kucing jelek itu!

“Aku berangkat dulu ya, Sayang. Aku mencintaimu, Chanyeolli.”

Miyeon melirik sekilas wajah sang kakak yang berpura-pura muntah.

Di sekolah, gadis itu disambut riuh oleh sekelas. Semua anak bertanya-tanya akan dirinya kemarin yang tidak masuk. Dengan santai tapi sok-sokan, Miyeon menjawab dengan kaki yang terus menuju bangkunya.

Wajah gadis itu berubah sangar ketika berhadapan dengan Soojung, teman sebangkunya. Baru saja Soojung akan menyapa, tangan miliknya sudah lebih dulu memegang leher temannya itu hingga membuat Soojung meringis.

“YA! LEPASKAN, PARK MIYEON BODOH! AKU BISA MATI!”

Gusar Soojung melepas cekalan di lehernya kemudian menoyor keras kening Miyeon.

“Kenapa kau kemarin tidak masuk, heh?”

Miyeon mencibir. “Aku sakit. Itu gara-gara kau, Jung Soojung sialan.”

“Enak saja! Aku tidak memberimu racun, tahu!” telunjuk Soojung menekan kening Miyeon cepat.

“Tapi gara-gara kau aku harus menanggung malu atas Choi Minho!”

Soojung terbahak. Ia jadi ingat tampang memelas Miyeon setelah menembak Minho. “Itu salahmu sendiri.”

Miyeon mendesis kesal dan jitakan cukup keras mendarat di kepala Soojung. Setelah perdebatan ini, Soojung terus menggoda Miyeon sampai bel pulang berbunyi. Sementara terus diganggu, gadis itu pasrah saja. Baru ketika akan pulang ke rumah, di gerbang sekolah, Miyeon menendang bokong Soojung lalu kabur terbirit-birit membiarkan Soojung terduduk kesakitan di aspal.

.

*****

.

“AKU PULANG!”

Teriakan gadis itu menggema ke seluruh penjuru rumah, namun tak ada sahutan. Bingung, Miyeon menuju kamar sang ibu, ternyata beliau tidur dengan damai. Dengan mengendap-endap, didekati sang ibu, dikelitiki hidung ibunya, lalu melesat ke kamar dengan tawa nista.

Satu …

Dua …

Tiga …

Empat …

“PARK MIYEON! AWAS KAU!”

Tawa Miyeon menyembur mendengar teriakan yang berasal dari kamar ibunya. Secepat kilat ia masuk ke kamar dan tak lupa menguncinya. Dengan susah payah gadis itu meminimalkan tawanya sampai benar-benar berhenti. Dibuang tasnya asal sambil mengatur napas. Mengerjai orang juga butuh tenaga, kan?

Miyeon berjalan perlahan ke arah cermin, namun berhenti. Matanya tiba-tiba saja menangkap sosok tubuh yang sedang duduk di ranjangnya. Wajah sosok itu menghadap ke arah jendela kamar. Mata Miyeon menyipit seraya berjalan ke arah sosok di sana pelan-pelan. Dengan penuh keberanian, gadis itu bersuara.

“Si-siapa kau?”

Jantung Miyeon hampir copot ketika sosok tersebut menoleh, menatapnya datar sesaat, lalu tersenyum manis. Sangat manis. Hingga gadis itu terpana dibuatnya. Tampan sekali. Didekatinya lagi ranjang. Sosok itu masih menatapnya dengan senyuman.

“Kau siapa? Bagaimana bisa masuk ke kamarku? Kau tamu?”

Tak ada jawaban. Miyeon yang sangat penasaran, naik ke ranjang, lalu merangkak mendekati sosok itu tanpa takut karena rasa penasarannya lebih besar. Sosok tersebut masih terdiam, dibiarkan gadis itu semakin mendekat.

Kini wajah Miyeon sudah berada tepat di beberapa puluh senti di hadapan sosok itu. Diteliti wajah sosok yang ternyata berjenis kelamin lelaki dengan sedetail-detailnya.

Rambut lucu namun keren …

Telinga lebar …

Hidung mancung …

Bibir yang terus tersenyum …

Mata … biru?

Dan … kalung yang sama seperti punyaku?

Tunggu! Kenapa lelaki ini— Sontak mata Miyeon membulat antara percaya dan tidak percaya.

“KAU PARK CHANYEOL?! KUCINGKU?!”

Sosok itu tersenyum lebar lalu tertawa kemudian mengangguk mantap, membuat Miyeon menganga saking kagetnya. Demi apa pun! Ini … ini … benar-benar gila!

“Kau serius?! Tidak mungkin! Chanyeolli? Chanyeolli? Kau dimana?!” Miyeon mengedarkan pandangannya takut lalu kembali menatap wajah sosok di depannya.

“Aku Chanyeolli,”

Miyeon terkejut setengah mati ketika rambut milik sosok itu menggosok-gosok pipinya, seperti yang biasa kucing jantan miliknya lakukan. Tidak mungkin! Miyeon menjatuhkan diri ke belakang, memberi jarak dengan yang mengaku-ngaku kalau dia kucing milik Miyeon.

Chanyeol menatap Miyeon memelas. Dan ekspresi tersebut membuat Miyeon meneguk salivanya susah payah. Orang di depannya terlalu imut untuk melakukan raut seperti itu! Dan lelaki itu tak cocok jika menjadi seekor kucing! Dia bukan Chanyeolku! Miyeon berusaha menepis pikirannya.

Tapi jika dilihat-lihat, dari segi fisik dan kelakuan yang Miyeon dapat, lelaki tampan itu memang memilik beberapa kesamaan dengan kucing miliknya. Mata biru, kalung yang sama, juga kelakuan yang Miyeon biasa terima dari kucingnya.

“Ka-kau benar-benar Chanyeolliku?”

Sosok itu mengangguk.

“Ku-kucingku?”

Dia mengangguk lagi.

Oh Tuhan, tolong pukul Miyeon sekarang juga. Gadis itu benar-benar syok setengah mati. Lagipula, bagaimana bisa orang setampan itu berubah menjadi seekor kucing jantan? Dan bagaimana bisa seekor kucing berubah menjadi lelaki setampan dia? Argh, Miyeon malas memikirkan itu!

Sudah merasa berani, gadis itu mendekatkan lagi wajahnya ke wajah tampan itu. Sudah dikatakan, gadis itu belum percaya. Bahkan gadis itu kini menangkup wajah Chanyeol lalu menggerak-gerakan tangannya. Ini benar-benar asli!

“Bagaimana bisa?!” Miyeon bertanya histeris.

“Apanya?” tanya lelaki itu polos.

Sungguh, Chanyeol yang sekarang membuat Miyeon menjadi frustasi.

“Kau! Kenapa kau bisa berubah, hah?! Kenapa kau tampan sekali, hah?! Jawab aku! Jawab aku Chanyeolli! JAWAB!”

Pintu kamar tiba-tiba saja digedor disusul suara menyeramkan.

“MIYEON-AH, KAU KENAPA?!”

Miyeon mendesah kesal. Orang di luar mengganggu sekali. “AKU TAK APA!”

Orang di luar tak menyahut lagi. Miyeon yakini ibunya sudah kembali dengan aktifitasnya sendiri. Kembali lelaki itu ditatapnya intens.

“Jawab! Atau kau—“

Belum selesai mengucapkan kata-katanya, Chanyeol sudah menggigit pipi gadis di depannya sampai merah. Senyum lebar tanpa dosa dipasang setelahnya. Sementara Miyeon sendiri, mengerjapkan mata berkali-kali seraya menyentuh pipi bekas gigitan Chanyeol dengan mata membelalak ke arah lelaki tersebut tak percaya.

“Aku benar-benar Chanyeol. Kucingmu, Nona Miyeonku,”

Sekarang apa lagi?! Tubuh Chanyeol mendekati tubuh milik Miyeon lalu mendekap gadis itu erat. Tak lupa kepala Chanyeol digosok-gosok ke rambut sang majikan. Argh! Chanyeol membuat Miyeon benar-benar frustasi!

“Aku … belum … percaya ….”

“Kau harus percaya. Aku ini Park Chanyeol. Kucing milikmu.” Chanyeol menatap tepat ke mata Miyeon. “Mataku biru.”

Oke, oke! Miyeon harus percaya sekarang. Gadis itu kini percaya. Ya. Ia sangat percaya. Cukup sudah semua kelakuan lelaki jelmaan kucing itu kepadanya.

Setelah tenang di keheningan, perlahan Miyeon bangkit dari duduknya menuju kamar mandi.

“Mau kemana, Miyeonku? Aku ikut.”

What?! Miyeon melirik kaku Chanyeol. Oh … lelaki ini benar-benar ….

“Jangan.”

“Kenapa?”

Kenapa katanya?! “Aku perempuan, dan kau laki-laki. Kita berbeda jenis kelamin.”

“Tapi biasanya—“

Cukup. Ini sudah beda. “Tidak, pokoknya. Lebih baik kau diam di ranjang.”

Chanyeol pun menurut. Dengan wajah setengah memohon, ia kembali duduk di ranjang. Ingat? Dia masih dalam kuasa majikannya. Jika disuruh diam, ya diam. Dan ia diam tak melakukan apa pun, hanya memandang ke depan. Tampak bodoh tapi tampan.

Di dalam kamar mandi, Miyeon mengeluarkan unek-unek. Ia menatap kosong cermin di kamar mandi lalu membasuh wajah berkali-kali hingga tubuhnya ikut basah. GILA! Iya, ini gila. Membingungkan dan membuat syok. Dipukulnya cermin lalu gadis itu mengacak rambut gusar. Setelah ini berarti dia harus memperlakukan Chanyeol dengan berbeda. Tidak semaunya seperti dulu. Oh tidak! Ini membuat Miyeon merindukan kucingnya.

“Sudah selesai?” tanya Chanyeol polos kepada gadis yang baru keluar dari kamar mandi dengan tampang kaku.

“Sudah selesai, Miyeonku?” tanyanya lagi.

Gadis itu terdiam lalu berjalan menuju ranjangnya untuk memperhatikan Chanyeol lagi. Lelaki itu tersenyum lebar dan merubah posisi menjadi menghadap Miyeon. Biru dari mata Chanyeol bertumpu dengan cokelat milik Miyeon.

“Kau umur berapa?”

Kening Chanyeol berkerut. “Aku?”

“Tentu saja, Chanyeolli,”

“Aku … tidak tahu.”

“Kau terlihat setara denganku. Umurku tujuh belas tahun.”

Mata bulat di depan Miyeon terbelalak. “Eh? Tua sekali. Aku harus masuk televisi.”

Miyeon tertawa geli. Konyol sekali jelmaan kucing itu. Yah, namanya juga kucing, hanya suka menonton tivi, makan, tidur, bangun lagi, terus kembali menonton, makan, tidur, bangun lagi, terus seperti itu.

“Aku harus bersyukur sudah diberikan umur panjang seperti ini.” tambahnya.

“Kau harusnya sudah memiliki banyak anak, Chanyeolli,”

“Kawin maksudmu?”

Miyeon mengangguk sambil memainkan ponselnya.

“Aku tidak tahu harus kawin dengan siapa agar memiliki anak.”

“Berubahlah menjadi kucing, lalu pergi ke luar dan cari pacarmu di sana. Banyak kucing cantik berkeliaran.”

Chanyeol bukannya menurut, malah mendekati Miyeon. Gadis itu sedikit takut ketika tubuh besar Chanyeol sudah hampir menindihnya.

“Mau apa kau?”

Senyum miring tercetak di wajah tampan Chanyeol. Didekatkan bibir miliknya ke telinga kanan Miyeon lalu berbisik seduktif, membuat gadis itu ketakutan setengah mati.

“Tapi aku inginnya memiliki banyak anak darimu, Miyeonku,”

HAH?!

.

–CAT–

.

.

.

Haiii, Thania kembali! *tawa nista*

Btw maaf ya aku bikin Chanyeolnya jadi kucingL entah kenapa lucu juga punya kucing kaya Chanyeol/?

Makasi yang udah bacaaa~

–22515.2316—

Regard,

Istri Park Chanyeol



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles