RAVENS THE CHINESE DANGER
Chapter 5
Author
@galaxysyf
Genre
Action, Crime, Multicultural, OOC
Cast
Kris Wu / Wu Yi Fan 吴亦凡 || Xi Lu Han 西鹿晗 || Huang Zi Tao 黄子韬 || Lay / Zhang Yi Xing 张艺兴 || Xia Zi Liu 侠字刘 (OC)
Disclaimer
It’s all not mine but storyline and OC.
****
Night Club, Myeongdong
Shindong—dengan kondisinya yang berantakan—duduk kembali di kursi ruangannya, berhadapan dengan enam orang pria yang dipanggilnya berberapa jam lalu melalui telpon. Orang-orang yang jelas berbeda dengan para The Ravens, memegang kekuasaan seluruh club malam di daerah Myeongdong.
Kali ini pria bulat itu mau bermain dengan maut dengan memanggil sekelompok pembunuh berdarah dingin itu ke club miliknya yang masih dalam kondisi sangat berantakan. Tujuan apalagi jika bukan mengadukan kejadian apa yang sudah terjadi di clubnya itu kepada orang yang menguasai daerah itu.
“Jadi,” kata salah pria bersuara berat. “Ada yang mencariku.”
“Iya. Kau bisa lihat apa yang mereka lakukan pada klubku,” ujar Shindong jengkel.
Pria itu menengok sekitarnya yang masih sangat berantakan. Juga jika dia mengingat saat dia datang kemari, kondisi dibawah jauh lebih parah. Klub ini memang berantakan, seperti habis diterjang angin topan yang datang entah dari mana.
“Aku mengalami rugi besar. Itu sebabnya aku memanggil kalian kemari. Aku ingin memperingati kalian,” tambah Shindong.
Yongguk terkekeh pelan. Sebenarnya dia ragu dengan Shindong yang memanggilnya kemari. Tak mungkin ada orang yang baru saja diancam akan buka mulut begitu saja. Hanya orang idiot yang mau melakukan itu jika bukan karena dia menginginkan sesuatu.
Pria itu menarik salah satu kursi yang menganggur disana. Untuk masalah seperti ini, kakinya bisa pegal karena berdiri terus-terusan. Matanya tertutup oleh kacamata hitam tapi semua orang tahu kalau dia sedang menatap Shindong tajam dengan penuh ancaman.
“Siapa yang datang ke tempatmu ini dan membuat tempat ini jadi berantakan hanya demi mencariku?” tanyanya dingin.
“Oke, aku akan beritahu. Tapi aku ingin kepastian untuk masa depan klubku. Gara-gara hal ini, aku harus tutup selama berberapa minggu dan merenovasi ulang. Itu akan menghabiskan banyak uangku,” ucap Shindong dengan nada marah-marah.
Yongguk menarik nafas panjang. Dia tahu betul kalau pria bulat itu minta uang padanya. Jika dia tidak membutuhkan informasi dari Shindong, Yongguk tidak akan mengeluarkan uang sepeserpun untuk pria mata duitan itu.
“Himchan,” panggil Yongguk.
Seorang pria lain berjalan mendekat ke arah meja Shindong. Dia merogoh sesuatu di balik mantelnya. Sebuah amplop coklat yang tebal—berisikan uang dengan jumlah yang besar ia lempar ke arah hadapan Shindong dengan kasar. Uang sebanyak itu seharusnya cukup untuk pria bulat mata duitan itu untuk angkat bicara.
“Cukup?” tanya Yongguk.
Shindong melihat dan menghitung uang yang baru saja diberikan padanya itu. Dia tersenyum saat melihat uang sebanyak 5.000 dollar Amerika—yang seharusnya cukup untuk pria itu buka mulut—berada ditangannya sekarang. Dia bukan hanya bisa merenovasi klubnya dengan uang sebanyak itu.
“Kau sebaiknya bicara sekarang,” kata Yongguk dingin.
“Baiklah. Ada lima orang Cina yang datang kemari; 4 pria dan satu wanita. Yang ku kenal dari pria-pria itu hanya Tao. Orang itu pernah membuat bisnisku hancur berberapa tahun lalu. Lalu si Wanita—dia sangat sexy tapi juga sangat kejam. Luka di bahuku ini adalah ulahnya,” ujar Shindong menunjuk pundaknya yang diperban akibat luka yang cukup parah.
“Hanya itu?” tanya Yongguk kurang puas. Shindong mengangguk, masih sibuk menghitung ulang uang yang baru didapatnya.
“Ku rasa mereka The Ravens,” ucap pria lain. Pria yang terlihat yang paling muda dari keenam anggota The Hurricanes. “Empat pria dan 1 wanita. Orang Cina. Pasti The Ravens.”
Zelo terlihat lebih tahu soal ini. Mengingat dengan umurnya yang masih mudah, jaringannya terhadapan kelompok lain bisa saja lebih luas. Hal itu tak pernah diragukan Yongguk sebelumnya.
“Oh iya. Ada satu lagi,” kata Shindong. “Salah satu dari dari mereka adalah seorang mantan pembalap. Aku pernah melihat wajahnya di TV dan baru-baru ini membuat ulah di balapan Tokyo.”
“Itu Luhan,” celetuk pria lain bernama Daehyun. “Berita itu banyak tersebar di internet. Dia membunuh pembalap bernama Toshiro dalam balapan itu.”
“Jadi benar,” kata Yongguk. “The Ravens.”
“Ku dengar mereka sudah mengicar kita sejak lama,” kata pria bernama Yongjae—yang sedang duduk memainkan berberapa pajangan di ruangan itu. Tangannya rasanya gatal kalau tidak menyentuh apapun disana.
“Apa yang kau beritahu pada mereka?” tanya Yongguk.
Shindong diam membatu, berhenti dengan uangnya. Seperti baru ingat kalau dia memberikan informasi pada The Ravens tentang Yongguk. “Aku tidak memberitahu mereka apapun. Aku sudah bersumpah untuk tidak memberikan informasi apapun.”
Yongguk terkekeh pelan. “Kau pikir aku percaya? Ravens tidak mungkin membiarkanmu hidup jika kau tidak memberikan informasi apapun pada mereka.”
Dia mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya, mengacungkan benda itu lurus pada Shindong. Harus sekeras apa Yongguk membuat pria bulat itu untuk jujur jika mengahadapinya sebagai malaikat maut tidak bisa mempan.
Melihat atasan meeka bergerak, Jongup dan Zelo langsung menahan Shindong dan mendorong tubuhnya hingga kepalanya berada di atas meja bahkan ada perintah dari Yongguk. Untuk sekali lagi Shindong dibuat tidak bisa bergerak oleh 2 kelompok berbeda. Hal ini juga menandakan kalau Shindong terancam menemui ajalnya untuk kedua kalinya dalan sehari ini.
Yongguk berdiri dari kursi yang didudukinya. Kakinya melangkah mendekati meja Shindong. Tangannya secara reflek terus mengacungkan pistolnya hingga mulut pistol itu menyentuh kepala Shindong. Seharusnya keadaan seperti ini membuat Shindong tidak punya pilihan lain selain berkata yang sebenarnya pada Yongguk.
“Kau punya pilihan untuk mati atau bicara sekarang,” kata Zelo mewakili bossnya.
“Aku—aku tidak bicara apapun. Aku tidak bicara apapun!” Shindong masih saja mengelak dan berbohong. Hal itu membuat Yongguk tak puas.
“Patahkan tangannya!” ucap Yongguk.
Zelo dan Jongup siap untuk mematahkan lengan yang sudah dari tadi mereka pegangi jika mereka mau. Apalagi ini perintah dari bossnya. Mereka akan dengan senang hati melakukan itu tanpa ada rasa segan sedikitpun. Kedua orang itu menarik kuat lengan Shindong. Memastikan cara mereka benar dan bida bisa mematahkan lengan besar itu dengan mudah dan cepat.
“AAAAH!! JANGAN!!“ Shindong berteriak kesakitan.
Teriakan Shindong membuat Zelo dn Jongup berhenti. Jika saja diteruskan sebentar, lengan Shindong mungkin sudah mulai retak. Sekarang sudah tidak ada pilihan lagi untuk Shindong jika tidak ingin kehilangan kedua lengannya.
“Mau bilang?” tanya Yongguk dingin.
“Oke—oke.. Aku—aku hanya bilang soal TUPE Club. Sumpah! Aku hanya bilang soal itu,” ucap Shindong penuh pengharapan nyawanya tidak akan hilang hari ini. “Sumpah! Hanya itu yang ku bilang.”
Yongguk menarik kembali pistolnya. Jawaban Shindong cukup bisa memuaskannya. Kepalanya mengisyaratkan kedua anak buahnya; Jongup dan Zelo untuk melepaskan Shindong.
“Hari yang melelahkan, bukan?” ujar Yongguk mengeringai, seraya kakinya yang melangkah pergi.
Himchan adalah orang pertama yang berjalan di belakang Yongguk. Diikuti keempat anggota The Hurricanes yang lain, meninggalkan pria bulat yang harinya sudah dirusak oleh 2 kelompok secara berturut.
“Habisi dia!” perintahnya pelan pada Himchan.
Himchan menjadi satu-satunya orang yang berhenti disaat yang lainnya mulai menuruni tangga saat keluar melewati pintu merah itu. Dia menarik sebuah pistol semi-automatic dari balik mantelnya dan…
DORRRR!!!
****
South Korea Police Departement
Wanita itu duduk melamun di mejanya. Entah apa yang sedang mengganggu pikirannya saat ini sampai dia membiarkan layar komputer dihadapanya tetap menyala dengan file-file yang masih terbuka. Tak biasanya seorang Moo Eunjin bisa tidak fokus saat bekerja seperti ini jika bukan sesuatu yang besar yang sedang menggangunya.
Eunjin menopang dagunya sambil mengahadap ke arah layar komputernya dengan tatapan yang kosong. Tangannya yang lain memegang mouse namun tidak bergerak sama sekali. Secangkir kopi yang sebelumnya sudah ia sediakan pun sekarang sudah dingin akibat ditinggal lama untuk melamun.
Kebiasaan Eunjin yang baru ini terjadi setelah dia dan keempat rekannya kembali dari dari Tokyo. Suho sudah menegurnya dua kali akibat kedapatan melamun disaat bekerja. Eunjin akan dapat masalah jika Suho kedapatan dia melamun untuk ketiga kalinya.
Mungkin semua ini karena Kris. Kris yang telah mengganggu pikirannya. Bahkan sejak dia berada di Rumah Sakit di Tokyo, Kris sudah dengan lancang masuk ke dalam pikirannya. Terlebih lagi semua itu didukung dengan file tentang Kris yang ada di atas meja. Ini pertama kalinya seorang penjahat terus menerus mengacaukan pikirannya.
“EUNJIN!”
Spontan Eunjin berdiri karena latah. Lamunannya langsung buyar saat seseorang berteriak tepat di telinganya. Butuh waktu sepersekian detik untuk benar-benar sadar dan kembali ke dunianya yang nyata.
Eunjin menoleh. Suho berdiri dengan melipat kedua tangannya, menatap Eunjin tidak senang. Ini masalah bagi Eunjin karena dia sudah kedapata melamun 3 kali oleh Inspektur. Bisa-bisa Eunjin dapat surat peringatan.
“I—Inspektur,” kata Eunjin salah tingkah.
“Melamun lagi, Letnan?” tanya Suho dengan nada menyindir.
“Maaf, oppa—maksudku—Inspektur,” ujar Eunjin. Dia tidak berani untuk menatap Suho untuk saat ini.
“Kau sudah tiga kali kedapatan melamun, Eunjin. Ada sesuatu yang ingin kau ceritakan?” kata Suho dingin.
“Tidak, Inspektur,” jawab Eunjin singkat.
“Kau sudah kedapatan melamun 3 kali tapi kau bilang tidak apa-apa,” kata Suho dengan nada yang sedikit naik, menunjukkan kalau dia sedang tidak senang dengan bawahannya itu.
Eunjin hanya diam. Dia kehabisan alasan—atau lebih tepatnya—tidak punya alasan untuk menyelamatkan dirinya dari amarah Suho yang kecewa. Eunjin akan diam jika dia memang salah. Sekarang dia hanya menunggu hukuman dari atasannya itu.
“Ayo kita bicara,” kata Suho. “Ku traktir kau kopi.”
———
“Jadi…” kata Suho.
Dia menyeruput sedikit kopi hitam favoritnya, menunggu bawahannya; Eunjin bicara soal alasan tentang penurunan kualitas kerja wanita itu. Sebuah Coffee Shop dipilih Suho karena letaknya bersebelahan dengan gedung kantor kepolisian. Dia menatap Eunjin—yang hanya diam saja sambil memegangi cangkir espresso yang ia pesan.
“Ayolah, Eunjin! Kami kehilangan semangatmu. Ada apa?” kata Suho menekan.
“Hanya sedikit pikiran. Bukan sesuatu yang penting,” jawab Eunjin berusaha menutupi.
“Jangan bohong padaku, Letnan! Jika bukan sesuatu yang penting, tidak mungkin sampai mengganggumu begitu,” bantah Suho tegas.
Eunjin hanya diam. Dia sampai tidak tahu lagi harus ngomong apa pada atasannya itu. Matanya bahkan tidak berani untuk menatap pria yang sudah berkerja dengan selama lebih dari 3 tahun itu. Mungkin karena ini kali pertamanya mengecewakan Inspektur Suho.
“Apa yang pernah Kris katakan padamu, Jin? Apa yang dia katakan padamu di Tokyo kemarin?”
Suho dapat beranalisis dengan mudah. Kemampuannya menganalisis hanya dengan melihat dari ekspresi orang menjadi salah satu kemampuannya yang paling berguna bagi kepolisian. Apalagi jika mengingat hal terakhir yang kemungkinan dihadapi Eunjin adalah Kris, tidak salah lagi wanita itu punya masalah dengan Kris.
“Jika kau bermasalah dengan Kris, aku tidak akan melibatkanmu lagi dalam misi berikutnya.”
Ekspresi Suho sangat serius. Sama seriusnya dengan niatnya dengan mengeluarkan Eunjin dari misi. Meski Eunjin sudah seperti adiknya sendiri, tapi itu bukan alasan untuk memperlakukannya tegas seperti polisi yang lain. Bahkan saat dia tahu, hal itu bisa menyakiti wanita itu.
“Tidak! Jangan, oppa! Aku—Hal ini tidak akan terjadi lagi. Aku janji. Tapi biarkan aku tetap di misi ini.” Eunjin benar-benar memohon. Dia tidak mungkin keluar dari misi ini.
“Jangan pernah biarkan Kris mempengaruhi pikiranmu! Apapun yang pernah ia katakan padamu. Akn ku beri kau kesempatan sekali lagi.” Suho berdiri dari kursinya seraya meraih mantel yang ia sangkutkan di kursi. “Jika kau tidak bisa bersikap profesional, dengan berat hati aku akan mengeluarkanmu dari tim.”
Langkah Suho meninggalkan Eunjin menjadi suatu peringatan bagi wanita itu. Untuk pertama kali dia bersikap tidak profesional yang membuat pekerjaanya terancam. Eunjin hanya bisa melihat punggung atasannya yang pergi semakin jauh dan kemudian menghilang dari pandangannya dengan perasaan menyesal dan kecewa.
****
The Ravens kembali berkumpul untuk merundikan misi mereka selanjutnya setelah 2 hari pengintaian. Kris telah menyusun rencana sesuai dengan keahliannya. Ambisi menjadi semakin besar seiring dengannya yang semakin dekat denga Bang Yongguk.
“Aku ingin Bang Yongguk mati,” ucap Kris sebagai pembuka. “Semua informasi sudah terkumpul, kan?”
“Yap. Baiklah,” kata Lay memulai. “Yongguk biasanya datang ke club kisaran jam 11 malam hingga jam 3 pagi. Dia tidak pernah datang sendiri. Dia selalu bersama dengan seorang anggota Hurricanes yang lain, Kim Himchan.”
“Lalu bagaimana dengan keamanan di club itu?” tanya Liu.
“Keamanannya sama seperti club lain. Tidak ada yang khusus,” jawab Lay sebagai orang yang sudah mensurvey tempat itu sebelumnya.
“Jika memang tak ada pengamanan yang ketat, apa semua ini tidak akan jadi terlalu mudah?” ujar Tao menyampaikan isi pikirannya.
“Tak mungkin akan jadi mudah, Tao. Tapi memang…” kata Kris. “Mudah kelihatannya. Maka dari itu kita harus melakukannya dengan cepat, tepat dan bersih. Memanfaatkan kelengahan adalah kunci utama. Bang Yongguk yang kerjaannya bersantai-santai di sebuah club akan menjadi titik kelengahannya, bukan?”
Tao menganggukan kepala—tanda mengerti. Lagi pula rencana sudah dibuat, hanya tinggal dilakukannya saja. Ibaratkan sebuah pistol sudah tersedia namun belum dirakit. Perlu untuk merakit pistol itu menjadi satu dan utuh untuk bisa menarik pelatuknya. Prisipnya sama, kan?
“Entahlah Kris..” kata Liu dengan ekspresi cemas—yang sebelumnya tak pernah ia tunjukkan. “Perasaanku tidak begitu bagus untuk hal ini.”
“Kenapa?” tanya Luhan.
“Yang kutakutkan adalah Shindong. Apa dia tidak akan bilang pada Yongguk? Maksudku—Yongguk adalah penguasa di daerah itu dan tidak mungkin jika Shindong tidak mengadu, kan?” ujar Liu mengatakan tentang apa yang ia khawatirkan.
Kris diam sejenak, memikirkan perkataan Liu barusan. Tentang kekhawatiran wanita itu soal Shindong. Namun apalah arti kekhawatiran jika Kris punya rencana—itulah prinsip kerja Kris selama ini.
“Itu tidak akan jadi masalah. Meski Shindong memang sudah memberi tahu Yongguk soal kita, rencana ini tetap akan membuat Yongguk kehilangan nyawanya,” kata Kris kalem. “Seperti apa yang dia lakukan kepada ayahku.”
*****
Sesuatu hal yang biasa terjadi di dalam kediaman The Ravens adalah kebiasaan Kris yang tidak tidur, duduk di balkon, menonton bintang-bintang di langit malam sambil memikirkan sesuatu. Tidak sering, tapi tetap saja bukan kebiasaan yang baik. Satu-satunya anggota Ravens yang bisa tidak tidur seharian memang hanya Kris. Karena semua permasalahan beserta dengan pemikiran untuk jalan keluarnya ada dalam otak Kris. Hal itu terkadang menjadi beban tersendiri untuknya.
Malam menjadi satu-satunya teman disaat Kris sendiri. Saat member yang lain terlelap, Kris akan bertingkah seperti kelelawar sebagai makhluk yang tidak akan tidur di malam hari. Otaknya selalu memikirkan tentang ayahnya. Ini semua karena ayahnya.
Terkadang Kris berpikir kalau dirinya sendiri ini selalu bersikap egois yang hanya memikirkan kepentingannya. The Ravens berdiri semata-mata hanya untuk membalaskan dendam Kris terhadap The Hurricanes yang membunuh ayahnya 3 tahun lalu.
Saat itu—di hari pemakaman ayahnya—Kris pernah bersumpah di hadapan peti mati ayahnya; dia akan membalaskan apa yang pernah dilakukan Yongguk pada ayahnya. Dia juga ingat, saat itu Liu yang menjadi saksinya. Seorang perwira wanita angkatan darat yang bersedia begitu untuk membantu Kris.
“Sudah ku duga.”
Suara itu memecah suasana. Suara yang membuat Kris berbalik melihat ke arah sumber suara. Seorang wanita yang hanya ada satu-satunya di rumah ini. Pakaian santai selayaknya orang yang baru bangun tidur—atau hendak tidur; baju you-can-see dan celana pendek.
Liu duduk di atas kursi lain yang masih kosong—tepat di sebelah Kris. Baru saja Kris memikirkan tentang wanita itu dan dia kemudian datang.
“Tidak tidur?” tanya Kris kalem.
“Kau sendiri tidak? Aku tidak bisa tidur,” ujar Liu. “Sudah ku bilang tadi, perasaanku tak enak.”
“Kau selalu berperasaan tak enak terhadap semua hal, Liu,” keluh Kris dengan sedikit candaan.
Liu tertawa. Tawanya adalah salah satu yang menjadi favorit Kris dari wanita yang satu ini. Kris sudah mengenal Liu selama lebih dari 7 tahun dengan begitu Kris tahu banyak soal Liu. Maka dari itu menurut Kris, member yang paling mudah untuk diatur adalah Liu.
“Wajar, kan? Aku ini wanita,” kata Liu mencibir kesal.
“Really? Ku kira kau pria.” Kris tertawa renyah menertawai candaannya sendiri, terlebih lagi saat candaannya itu berhasil mengoda Liu hingga wanita itu memekik.
“KRIS! AAH!” Liu berkali memukul Kris dengan niat menghukum pria itu yang telah meledeknya.
Bukannya jera, tawa Kris justru semakin keras. Dia malah menikmati tubuhnya yang terus dipukuli Liu. Wajar karena Liu tidak memukul seperti biasanya dia memukul orang dengan tinjuan mautnya. Hal yang jarang sekali dilihat dari seorang Liu; senyum dan tawa yang manis dan juga tingkahnya yang seperti layaknya seorang wanita.
“How can you said that? Memangnya aku tak pernah bersikap seperti wanita di depanmu, hah?” ucap Liu kesal.
“Tidak jika pistol dan pisau sudah ada di tanganmu. Terkadang aku lebih suka melihatmu begini.” Kris tersenyum tipis memandangi wajah Liu yang polos tanpa make-up yang selalu menempel—juga senyum favoritnya yang masih telihat merekah di wajah itu.
“Ingat, kah saat misi setahun yang lalu?” tanya Kris.
“Which one?”
“Saat kau menyamar menjadi seorang ibu muda yang sedang hamil tua. Ingat, kah kau saat itu?”
Liu tertawa keras. Membayangkan kembali saat itu. Saat di menyamar dengan perut yang dibuat seolah sedang hamil 7 bulan hanya untuk membunuh salah satu ketua mafia di Thailand setahun yang lalu.
“Ahahaha… Kau masih ingat itu? Aku saja hampir melupakannya,” kata Liu masih dengan tawanya yang sangat girang.
“Kau sangat menjiwai peranmu saat itu. Seola-olah kau hamil sungguhan. Hahahah…” tambah Kris. “Bahkan kau benar-benar seperti wanita hamil.”
“Aku memang saat itu berpikir bagaimana jika aku hamil sungguhan. Punya bayi kecil yang lahir dari rahimku sendiri dan menjadi seorang ibu,” ujar Liu. “Suatu hari aku berharap bisa menjadi seperti itu.”
“Kau harus punya suami dulu, setelah itu baru kau bisa punya seorang bayi,” kata Kris.
“Kalau mau jadi ayahnya, aku tidak keberatan.” Liu tertawa dengan gurauannya sendiri. “Tapi sayangnya anakku tidak mau punya ayah sepertimu.”
Liu tak bisa berhenti tertawa bersama Kris yang tertawa dengan gummy smilenya. Seolah mereka ini bukan siapa-siapa—hanya orang biasa yang menertawai hidup mereka yang keras dan sulit. Mereka berdua yang sama-sama tidak tahu tentang apa yang akan terjadi di masa depan mereka. Menjalaninya seperti air yang mengalir.
“Thank you,” ucap Kris spontan.
“Thank you for what?”
“For staying on my side.”
Liu tersenyum—berseri menyambut rasa terima kasih itu. “You don’t have to worry about it.”
“Masih punya perasaan tak enak untuk besok?” tanya Kris.
“Little bit,” jawab Liu singkat.
“Tenang saja. Tak akan ku biarkan apapun terjadi padamu,” ujar Kris menghibur.
*****
TUPE Club
Malam yang indah saat gemerlap lampu di club itu menyinari seluruh sudut ruangan. Ramainya orang-orang yang menari mengikuti lantunan lagu keras sembari menghilangkan semua masalah mereka seolah mereka hidup tanpa beban. Bahkan di salah sudut bisa dua orang pria yang duduk santai—hanya berdua—dengan 2 botol Bourbon di atas meja mereka.
Bersama dengan wanita murahan bukanlah gaya mereka. Tidak heran kalau tak ada satupun wanita yang bersama mereka meski banyak pelacur yang sering lalu lalang di depan mereka. Lagi pula, privacy is number one. Banyak yang bisa mereka bicarakan, termasuk segala macam rencana dan masalah mereka. Diharamkan kalau sampai ada yang mendengar percakapan mereka sekecil apapun.
Sesekali Yongguk melirik alroji yang ia kenakan di pergelangan tangan kirinya. Matanya juga selalu awas terhadap sekelilingnnya meskipun dia sudah ratusan kali datang ke club ini. Sesuatu telah membuatnya dirinya tidak nyaman di wilayahnya sendiri dan tak ada yang tahu pasti karena apa, termasuk Himchan yang sedari awal sudah bersama pria itu.
“Ada yang mengganggumu?” tanya Himchan di saat bibirnya menyentuh gelas dan mulai meneguk isinya.
“You know what I’m thinking,” ujar Yongguk singkat.
“I know?” ulang Himchan.
Yongguk diam. Tangannya sudah gatal untuk meraih gelas Bourbon miliknya yang belum ia sentuh. Dengan membiarkan temannya bingung karena tidak tahu apapun, dia minum dengan santai—menegak perlahan cairan beralkohol itu.
Tak lama setelahnya, Yongguk berdiri—seraya mengeluarkan dompet miliknya. Dia menarik berberapa lembar uang dan menaruhnya di atas meja. Untuk sekali lagi, dia menegak Bourbon sebagai yang penutup.
“Aku pergi duluan! Kau bayar nanti pakai uang itu. Aku ada urusan,” ujarnya.
“Kau tidak mau aku ikut?” tanya Himchan.
“Tetaplah disini! Kau tahu apa yang harus kau lakukan.”
Yongguk melangkahkan kakinya meninggalkan meja yang selalu menjadi tempat nongkrongnya tanpa mengatakan apapun lagi. Dia mulai mengenakan jaketnya saat tubuhnya menerobos kerumunan orang yang sedang menari sesuai dengan iringan lagu. Dia sendiri pada akhirnya berhasil keluar melalui pintu depan setelah menerjang kerumunan orang itu.
Waktu menunjukkan pukul setengah 2 dini hari. Bukan hal yang baru untuk seorang Yongguk berkeliaran di tengah malam—atau nyaris pagi buta begini. Bahkan saat udara dingin menyerangnya pun tidak akan pernah menjadi masalah—selama hal itu tidak berdampak besar untuknya.
Butuh waktu sekitar lebih dari 30 menit berjalan kaki untuk sampai ke tempat dimana Yongguk tinggal. Tempat yang hanya anggota The Hurricanes saja yang tahu dan termasuk Yongguk sendiri.
Semakin lama, jalanan semakin sepi. Tak ada lagi orang yang melintas, bahkan kendaraan-kendaraan yang biasanya akan memenuhi jalan di siang hari tak ada satupun yang lewat. Maklum saja. Ini jam setengah 2 pagi.
Tak ada rasa curiga sebelumnya saat kedua kaki Yongguk melangkah menelusuri trotoar. Semua terasa wajar bagi Yongguk yang sudah jutaan kali melewati jalan ini. Sampai pada akhirnya ketajaman insting menangkap sesuatu. Sesuatu yang terasa sangat mengganggu. Mungkin pada awalnya Yongguk bisa mengacuhkannya.
Namun indera pendengarannya menangkap suara yang memecah kesunyian malam. Dia menoleh. Tidak ada apa pun atau siapa pun di sana. Dipikirannya mungkin suara itu hanya lah suara yang ditimbulkan oleh seorang gelandangan atau hewan liar. Hal seperti itu akan sering ditemui di jalan ini.
Yongguk melanjutkan langkahnya lagi—berusaha tidak memperdulikannya karena yang diinginkannya sekarang ini adalah pulang. Semeter-dua meter ditempuhnya sembari mengawasi sekitarnya, termasuk bagian yang dibelakanginya. Dia akan terus waspada sampai instingnya yang kuat tidak menangkap apapun lagi.
Kletek… Kletekk…
Yongguk sigap berbalik. Sebuah kaleng menggelinding tanpa sebab, menimbulkan suara yang membuat kewaspadaan Yongguk berada di puncaknya. Untuk orang awam, sesuatu yang bergerak tiba-tiba pasti akan mengarahkan pikiran mereka pada hal-hal mistis. Namun bagi Yongguk, benda yang bergerak tiba-tiba adalah pertanda kalau musuh berada di dekatnya.
Rasa penasarannya menuntun Yongguk untuk lebih dekat dengan kaleng itu—mencari tahu bagaimana kaleng itu bisa menggelinding ke jalanan. Sebenarnya agak sedikit berlebihan jika orang seperti Yongguk merasa hal seperti itu adalah suatu hal yang harus diwaspadai dengan extra. Namun tidak ada salahnya juga jika hanya ingin memeriksa.
Nothing..
Tak ada apapun yang mencurigakan. Ada tempat sampah penuh di sudut jalan. Mungkin kaleng itu terjatuh dengan mudah oleh angin karena tempat sampah itu terlalu penuh. Memang berlebihan jika menganggap hal itu terlalu serius. Hal itu membuat Yongguk menertawai kebodohannya sendiri.
Yongguk melangkah mundur berberapa langkah dan berbalik setelah langkah-langkah itu. Tapi langkahnya berhenti begitu saja setelah ia mendapatkan mulut pistol yang sudah mengacung ke arahnya dengan jarak yang cukup dekat. Pria itu terkejut saat tiba-tiba ada orang muncul secara gaib di hadapannya denga pistol yang ditodongkan.
“Setelah 3 tahun aku bersusah payah mencarimu, akhirnya aku bisa menemuimu sekarang, Bang Yongguk.”
Yongguk diam saja. Dia masih ingin mencari tahu siapa pria jangkung yang menyerangnya pagi buta begini. Pria berpakaian serba hitam—kaos, jaket kulit, celana bahkan sepatu—sehingga terlihat menyatu dengan malam. Yongguk sendiri tidak yakin kalau dia mengenal pria itu.
“Kau mengenalku. Tapi aku sama sekali tidak mengenalmu,” ujar Yongguk santai. “Ah! Let me guess! Hmm…”
“Kris from The Ravens. Am I right?”
Kris menatap tajam Yongguk tanpa mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya. Tatapan disaat kau sedang berada di hadapan musuh yang sudah sekian lama kau cari. Tatapan yang menggambarkan perasaan yang bercampur secara bersamaan; marah, dendam, dan murka. Tak akan pernah Kris lupakan apa yang pernah di lakukan Yongguk.
“Suatu kehormatan bagiku bisa bertemu dengan seorang Kris Wu. Aku selalu berharap bisa bertemu denganmu,” kata Yongguk penuh dengan omong kosongnya. “Apa yang membawamu kesini?”
“Apa kau ingat? Seorang kepala kepolisian Kanada yang kau bunuh bersama anak buahmu di malam natal 3 tahun lalu. Seharusnya kau masih ingat,” ucap Kris dengan emosinya yang sudah meluap sejak tadi.
Yongguk berlaga seolah berpikir dan mencoba mengingatnya. Memperlihatkan kalau dia mencoba mengingat satu dari jutaan tindak pembunuhan yang pernah ia lakukan.
“Ah, yes.. I remember. Si Pak Tua Li—The Old Man Li. Aku tidak akan lupa polisi yang satu itu. Seharusnya dia tidak bekerja di malam natal apalagi sampai mengganggunku,” ujar Yongguk kalem tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. “Let me guess again! He’s your father right? I’m not surprise. Bahkan saat marga kalian berbeda.”
“Aku akan membuatmu membayar kematian ayahku, Yongguk. Kau akan menyesali apa yang sudah kau perbuat.” Kris siap menarik pelatuk pistolnya. Semua dendamnya akan terbalaskan hanya dengan satu peluru yang akan tertanam di dahi Yongguk.
BUUGG!!
Kris tiba-tiba jatuh berlutut ke atas trotoar yang keras. Seseorang telah memukul Kris dengan benda tumpul dari belakang. Tidak cukup dengan sekali pukulan, pelaku pemukul itu melayangkan pukulannya sekali lagi yang membuat Kris merintih kencang akibat rasa sakit yang di terimanya.
Pandangan Kris menjadi kabur. Kepalanya terasa sangat sakit dan pusing. Hanya suara dengungan kencang yang bisa terdengar dari telinganya. Tak ada yang bisa dilakukannya sekarang selain menahan rasa sakit dan membuat dirinya sendiri tetap terjaga.
BUGG!!!
Kris dipukul untuk sekali lagi hingga dia benar-benar jatuh menelungkup di atas trotoar. Meski begitu kesadarannya belum sepenuhnya hilang. Dia masih bisa membuka matanya meskipun pandangannya sekarang menjadi buram.
Yongguk sendiri hanya tersenyum sinis memandangi musuhnya sudah terkapar di atas tanah. Dia puas karena Kris berhasil masuk jebakannya yang sudah ia siapkan berkat informasi dari Shindong.
“Ternyata mudah untuk menjebak ketua The Ravens,” gumam Yongguk dengan senyum kemenangannya. “Finish him, Himchan.”
Himchan menjatuhkan tongkat pemukul baseball yang ia gunakan sebelumnya. Kemudian, dia menarik sebuah pistol dari balik jaketnya. Dia siap untuk mengakhiri hidup Kris dengan sekali tembak, seperti apa yang ingin dilakukan pria yang sudah tak berdaya itu sebelumnya pada Yongguk. Yang perlu dilakukannya sekarang hanyalah menarik pelatuk pistol yang sudah mengacung ke arah kepala Kris.
WUUUSSSS!!
Sebuah tongkat meluncur lurus hingga mengenai pistol yang berada di genggaman Himchan. Pistol itu terhempas lepas begitu saja dan sangat cepat hingga Himchan sendiri hampir tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Tao sudah ada disana dan dia siap untuk melempar tongkat yang lain. Lemparan sangat terarah hingga akan munstahil untuk Yongguk ataupun Himchan bisa menghindar. Tapi Himchan yang menjadi target berikutnya mampu memperkirakan waktu yang tepat untuk mengelak dari serangan tongkat maut itu.
Dari sisi lain, Liu menerjang Yongguk secara tiba-tiba dengan mengunci gerakan pria itu dengan lengannya yang melingkar di leher Yongguk dan tangan yang lain mengunci lengan kiri Yongguk. Yongguk berusaha melepaskan diri dari wanita berbahaya itu, namun usahanya gagal. Dengan seluruh kekuatan yang ia punya, Liu tetap berusaha membuat Yongguk tak bisa bergerak atau bahkan melawannya.
“CEPAT! BAWA KRIS PERGI DARI SINI!” teriak Liu tepat saat Lay dan Luhan berlari ke arah Kris. Mereka berdua langsung membawa tubuh besar Kris menuju sebuah mobil yang entah sejaka kapan berada tak jauh dari mereka di saat Himchan sedang sibuk melawan Tao dan Yongguk terus tertahan oleh Liu.
Himchan mencoba terus mengelak dari setiap serangan mematikan yang ditujukan padanya tanpa mencoba untuk membalasnya satupun. Dia memang orang yang sangat cekatan dan lincah, namun pada saatnya dia tidak bisa mengelak dari tendangan melingkar Tao. Hanya dengan sekali tendang membuat Himchan jatuh dan tak beranjak berdiri.
“TAO! KAU JUGA!” teriak Liu lagi saat melihat Tao telah menang.
Tao berlari menuju mobil, namun dia berhenti saat dia tidak merasakan kalau Liu akan mengikutinya dari belakang. Dia melihat Liu masih sibuk dengan Yongguk yang berusaha untuk melepaskan diri.
“Apa lagi yang kau tunggu? CEPAT MASUK! SURUH LUHAN JALANKAN MOBILNYA!”
“Tapi—“
“SEKARANG!”
Lay menarik masuk Tao tepat sebelum mobil itu melaju meninggalkan tempat itu—dan Liu. Tao memandangi dari kaca belakang saat Liu semakin lama semakin jauh. Mereka tahu kalau mereka telah meninggalkan Liu bersama dengan musuh mereka. Bahkan Kris yang kesadarannya tipis pun tahu.
“Kita—tidak boleh… Me—ninggalkannya,” ucap Kris lemah.
“Tapi Liu menyuruh kita untuk meninggalkannya. Dia pasti bisa menanganinya,” kata Lay mencoba meyakinkan.
DORR!!!
Terdengar suara tembakan namun tidak dalam jarak yang dekat. Tao menjadi orang pertama yang melihat kembali ke belakang. Matanya bulat membesar, kaget luar biasa dengan apa yang dilihatnya. Meski jauh dia bisa melihat, dua pria berdiri di saat seorang wanita terkapar di atas trotoar.
“JIEJIE!!!!” Tao histeris kencang.
Lay kemudian ikut menengok. Dia tak kalah kagetnya saat dia menyadari kalau Yongguk ataupun Himchan menembak Liu hingga wanita itu tak lagi bergerak di atas trotoar. Dia tidak bisa melakukan apapun. Bahkan Luhan pun bisa melihat kejadian itu dari kaca spion. Tak ada yang bisa mereka perbuat saat air mata mereka semua mengalir deras. Terlebih Kris yang diam mematung dengan mata terbelalak akibat pukulan hebat pada mentalnya.
Kenyataan terpahit yang diterima The Ravens kalau mereka telah kehilangan salah satu anggota mereka. Anggota wanita satu-satunya dalam tim. Wanita terhebat yang pernah mereka temui.
———
Yongguk dan Himchan berdiri memandangi wanita yang tumbang akibat sebuah peluru yang menembus perutnya. Wajah wanita itu hampir seluruhnya tertutupi oleh rambut panjangnya yang lebat, namun mereka sangat yakin kalau wanita itu sudah tidak bernafas lagi.
“Mau kita apa kan mayatnya?” tanya Himchan.
“Biarkan saja disini. Biar polisi yang menemukannya. Mereka akan sangat suka saat menemukan mayat salah satu anggota The Ravens,” ucap Yongguk santai seraya berjalan meninggalkan tempat itu.
To be continue
