「Ten Years Forwarded」
A fanfiction by marceryn
Rating : PG-15
Length : Multichapter
Genre : AU, Soft-romance, fantasy, married-life
Casts : EXO’s Chanyeol, Ryu Danbi [OC], supporting by EXO’s members and others OCs
Disclaimer :: Except the storyline, OCs, and cover, I don’t own anything.
fanfiksi ini dipublikasikan juga di akun wattpad pribadi
~ ten years forwarded~
Kakek-kakek itu tersenyum santai seolah sedang bertemu kawan lama. “Ah, jadi di sini kalian tinggal. Kalian tidak keberatan kalau aku masuk, kan?” Tanpa menunggu respon, kakek itu lewat di antara Chanyeol dan Danbi dan secara ajaib membuka pintu apartemen mereka tanpa memasukkan password di panel tombol.
Chanyeol dan Danbi masih tercenung di tempat sampai kakek itu melongokkan kepala dari dalam apartemen dan menegur riang, “Suhunya agak menggigit di luar sana. Kalian tidak mau masuk saja?”
Mereka berdua mengikuti kakek itu ke dalam dengan linglung. Tanpa sadar mereka saling berpegangan tangan erat—atau Chanyeol yang menyambar tangan Danbi dan memeganginya agar gadis itu tidak mencoba hal konyol seperti lari dan meninggalkannya dengan makhluk ajaib itu.
Kakek itu berdiri di tengah ruangan dengan kedua tangan di belakang punggung dan memerhatikan sekitarnya dengan sorot mata puas seolah-olah ialah yang menciptakan semua ini. “Kalian melakukan lebih baik dari yang kuduga. Hebat sekali.”
Chanyeol berdeham dan bertanya takut-takut, “Siapa kau?”
Kakek itu berbalik menatap Chanyeol. “Ah, Park Chanyeol. Kurasa kau sudah tahu siapa aku. Bukankah kita pernah bertemu? Di hutan malam itu, ingat? Aku tidak percaya kau melupakanku begitu saja.” Ia terkekeh ringan.
“Kau yang mengirim kami ke sini,” kata Danbi. “Aku tidak tahu bagaimana, tapi kau mempercepat waktu sepuluh tahun sejak malam itu ke masa depan.”
Kakek itu gentian menatap Danbi dan senyumnya melebar, menunjukkan deretan gigi yang bersih dan rapi untuk penampilannya yang tampak cukup tua. “Ah, Nona Muda dan otaknya yang tajam,” katanya. “Ya, benar, tapi tidak tepat seperti itu.”
Chanyeol dan Danbi sama-sama mengerjap-ngerjap tidak mengerti.
“Biarkan aku duduk dulu. Tulang-tulangku sudah renta.” Kakek itu berjalan ke sofa dan menghempaskan tubuhnya di sana, kemudian menghela napas dengan wajah damai. “Ah, iya. Sebelum mulai monolog panjang dan membosankan, izinkan aku memperkenalkan diri. Namaku Takdir. Aku menghabiskan waktuku mengunjungi anak-anak muda yang penuh harapan seperti kalian secara acak. Omong-omong, kalian boleh melepaskan tangan. Aku tidak berencana menculik siapa pun.”
Mereka berdua melepaskan pegangan dengan salah tingkah.
“Sampai mana aku tadi? Oh, iya. Nah, aku tidak mempercepat waktu atau pun membawa kalian ke masa depan seperti yang kaupikirkan. Itu pekerjaan yang mustahil, dan lagi sia-sia. Masa yang kalian jalani saat ini kusebut sebagai Kemungkinan. Seperti namanya, rangkaian kejadian ini adalah sesuatu yang bisa saja memang terjadi, atau tidak akan terjadi, tergantung dari keputusan-keputusan yang mungkin kalian buat di masa lalu. Ada banyak Kemungkinan dalam satu kehidupan, dan aku berbaik hati menunjukkan salah satunya.”
“Maksudmu, semua ini tidak nyata?” tanya Chanyeol.
“Ya dan tidak,” jawab kakek itu dan terkekeh ringan. “Ketidakpastian adalah intinya di sini. Menarik, bukan?”
“Aku tidak mengerti,” kata Danbi.
“Kalau ini hanya Kemungkinan, kenapa ingatan kami hilang?” sahut Chanyeol.
“Dan kenapa kami terjebak bersama?” imbuh Danbi.
“Memangnya apa yang salah dengan terjebak bersamaku?”
“Kau masih bertanya?”
“Ya!”
“Oh, kalian benar-benar anak muda yang manis.” Komentar kakek itu sukses membungkam perdebatan kecil mereka sebelum berkembang. “Biar kuberitahu sebuah rahasia kecil,” katanya dengan suara sok berahasia. “Perasaan dapat mengikat ingatan. Ketika kalian mengunjungi Kemungkinan sepuluh tahun mendatang, ingatanmu,” ia menatap Chanyeol, “menetap pada usia dua puluh tiga karena perasaanmu pada Baek Jinhye, seperti yang terjadi pada ingatanmu,” ia beralih pada Danbi, “karena Park Chanyeol.”
Chanyeol menyengir bahagia. “Jadi kau tidak pernah menyerah tentangku sejak awal.”
Danbi merasa wajahnya terbakar malu dan ia buru-buru mengalihkan topik, “Apa yang terjadi pada orang-orang yang tidak memiliki perasaan apa pun?”
“Perasaan bukan hanya tentang cinta,” jawab kakek itu. “Kebencian, dendam, iri, sakit hati, semua itu juga perasaan. Ingatanmu akan menetap pada masa ketika perasaan itu menyentuh hatimu yang terdalam. Untuk kasus ini, memang agak istimewa karena ingatan kalian terikat di saat yang sama.”
Hening sementara mereka berdua berusaha mencerna teori baru ini. Beberapa saat kemudian, Danbi membuka suara, “Baiklah, anggap saja itu semua benar. Sekarang apa yang membuatmu muncul di hadapan kami lagi?”
Sepasang mata kakek itu tampak berkobar dengan aura yang aneh. Tidak jahat, tapi berkuasa. “Aku datang membawakan pilihan untuk kembali.”
“Kembali, seperti… ke umur dua puluh tiga lagi?” tanya Danbi.
“Tepat sekali.”
Chanyeol dan Danbi sontak berpandangan. Kemudian, Danbi kembali menatap si kakek. “Kau mengatakan bahwa perasaan mengikat ingatan,” katanya sangsi. “Kalau begitu, apa yang akan terjadi ketika kami kembali? Apakah ingatan kami sekarang akan mengikuti kami?”
“Perasaan memang hal misterius yang kuat,” kata kakek itu dengan suara sendu. “Tapi perasaan juga hal yang terlalu semu dan tidak stabil.”
Jawaban itu menohok dada Danbi. Ia tidak mengerti dengan jelas, tapi ia kira-kira tahu maksudnya. Dan ia tidak akan suka mendengarnya.
Kakek itu pasti bisa membaca pikiran Danbi, karena alih-alih tetap diam, ia sengaja menegaskan, “Ketika kalian kembali, kalian tidak akan mengingat apa pun yang terjadi pada masa ini.”
Tidak akan ingat. Danbi akan melupakan segalanya yang pernah terjadi. Kehidupan singkat yang ia bagi dengan Park Chanyeol selama beberapa minggu terakhir akan hilang begitu saja. Itu berarti, mereka akan terbangun di suatu tempat sebagai bukan siapa-siapa seperti semula. Lalu apa gunanya menunjukkan semua ini padanya? Untuk mempermainkannya? Takdir macam apa yang begitu kejam?
“Tidak ada yang sia-sia di dunia ini,” kata kakek itu tenang, lagi-lagi membaca pikiran Danbi dengan tepat. “Orang-orang yang kembali dari Kemungkinan selalu menjadi lebih bijak dan memandang kehidupan nyata yang mereka jalani dengan lebih baik. Pembicara di televisi itu, para pekerja sukarelawan, dan banyak lagi orang-orang luar biasa, mereka telah melewati Kemungkinan dan mendapatkan kebaikan dari sana—meskipun mereka sendiri tidak sadar, tentu saja.”
Kakek itu tersenyum jemawa melihat kebingungan di mata kedua orang di hadapannya. “Pertemuan dan perpisahan adalah hal kecil. Bahagia dan duka hanya dipisahkan selembar kulit tipis. Kehidupan adalah hal yang rentan. Tidak ada yang tidak mungkin. Itulah intinya.”
Kakek itu tersenyum jemawa melihat kebingungan di mata kedua orang di hadapannya. “Pertemuan dan perpisahan adalah hal kecil. Bahagia dan duka hanya dipisahkan selembar kulit tipis. Kehidupan adalah hal yang rentan. Tidak ada yang tidak mungkin. Itulah intinya.”
Kakek itu merogoh saku celananya dan mengeluarkan dua lembar tiket persegi panjang dan meletakkannya di atas meja kopi. “Bukankah kalian berencana nonton pertunjukan teater? Nah, karena telah melalui Kemungkinan dengan sangat luar biasa, ini hadiah kecil dariku.”
Chanyeol mau pun Danbi tidak tahu bagaimana dan kenapa, tapi mereka sama-sama tahu, itu bukan sekedar hadiah. Ini pasti sama seperti yang kakek itu lakukan di perkemahan malam itu dengan selembar uang.
“Sudah larut malam, kurasa sebaiknya aku pulang dan membiarkan kalian beristirahat sekarang.” Kakek itu berdiri dan berjalan melewati mereka berdua.
“Tunggu.”
Kakek itu berhenti di ambang pintu. Danbi menoleh pada Chanyeol yang baru menemukan kembali suaranya.
“Kau bilang, kau datang membawa pilihan untuk kembali,” kata Chanyeol lagi.
“Ya.”
Chanyeol berbalik menatap kakek itu. “Kalau begitu, kami bisa menolak, kan?”
Kakek itu menyeringai misterius. “Terserah saja.”
***
Suara pintu ditutup seolah menggema di ruang tengah itu. Chanyeol dan Danbi bergeming. Terpana, bingung, sama-sama tidak yakin harus melakukan apa.
“Aku… kupikir kita…” Danbi terbata-bata. Ia melirik Chanyeol yang mengeraskan rahang, kemudian tiket pertunjukan teater di atas meja kopi. Ia beringsut mendekati meja itu dan mengulurkan tangan untuk mengambilnya.
“Jangan,” mendadak Chanyeol berseru.
Danbi tersentak menarik tangannya kembali
“Kita tidak akan menerimanya,” kata Chanyeol dengan nada memerintah. “Kita tidak akan ke mana-mana.”
“Park Chan—”
“Kita sudah melewati banyak hal selama berminggu-minggu,” geram Chanyeol. “Aku tidak akan kembali hanya untuk membuat segalanya jadi sia-sia.”
Danbi menggigiti bibir bawahnya dengan gugup. Ia sungguh ingin berkata bahwa ia juga tidak ingin kembali. Tapi kakek itu berkata…
“Kenapa kita harus memedulikannya?” Chanyeol berkata seolah bisa membaca pikiran Danbi juga. “Dia bilang ini adalah pilihan. Kita bisa melakukan apa yang kita inginkan.” Chanyeol mendekat dan menyambar tiket di atas meja, kemudian merobek-robeknya hingga menjadi potongan-potongan kecil yang bertebaran di lantai. “Termasuk tinggal di sini.”
Danbi meneguk ludah. “Tapi…”
“Ryu Danbi!” Chanyeol terdengar putus asa dan sakit hati. “Kau dengar apa katanya tadi. Kita tidak akan mengingat apa pun. Kau tahu artinya, kan? Kita akan menjauhi satu sama lain seperti semula. Aku akan kembali bersama Jinhye dan melupakan perasaanku padamu. Itukah yang kau inginkan?”
Danbi merasa seluruh tubuhnya gemetar. Bahkan membayangkannya saja membuatnya takut. Untuk pertama kali dalam hidupnya, laki-laki yang ia cintai balas mencintainya. Danbi baru saja menemukan pintu kebahagiaan yang dicarinya praktis selamanya. Ia tidak bisa kehilangan Park Chanyeol sekarang, atau kapan pun. Apa artinya sepuluh tahun dibandingkan laki-laki itu?
Tapi…
Danbi menatap Chanyeol, mencari pegangan dalam matanya. Danbi selalu menyukai matanya yang besar dan ceria. Melihatnya saja membuatnya melupakan masalah apa pun sejenak, bahkan ketika masalahnya disebabkan si pemilik mata.
Mereka bisa tinggal di sini selamanya, membiarkan waktu yang terlewat hilang selamanya dan berbahagia. Tapi itu berarti mereka menyalahi aturan dan tidak mengikuti alur kehidupan yang seharusnya. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi jika salah satu dari mereka meninggal di sini? Apa yang akan terjadi pada yang lainnya? Dan bagaimana dengan satu lagi kehidupan di dalam tubuh Danbi?
Dan yang terpenting, apakah mereka bisa benar-benar bahagia dengan kehidupan yang telah dirancang sedemikian rupa dan bukan mendapatkannya dengan usaha sendiri?
Kehidupan adalah hal yang rentan. Pertemuan dan perpisahan adalah hal kecil.
“Kita harus kembali,” Danbi mendengar kalimat itu meluncur serak dari tenggorokannya.
“Danbi—”
“Tidak, dengarkan aku,” sela Danbi. “Kita harus kembali. Ini bukan masa kita.”
Chanyeol merapatkan bibirnya.
“Kita tidak akan kehilangan apa pun. Semua yang terjadi di sini bukan bagian dari kehidupan yang sebenarnya.” Danbi mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya, meyakinkan diri sendiri bahwa ini adalah hal yang benar. “Jika kita memang bisa bersama, aku ingin itu terjadi tanpa bantuan apa pun dan siapa pun. Bukankah kita adalah anak-anak muda yang penuh harapan?” Ia mengutip perkataan kakek tadi dan tertawa getir. “Kitalah yang menentukan bagaimana kehidupan kita seharusnya.”
Chanyeol menarik napas dalam-dalam untuk paru-parunya yang sesak dan kedinginan. “Kau benar,” akhirnya ia berkata lemah. “Tapi, kakek itu sudah pergi, dan aku sudah merobek tiket sialan itu,” lanjutnya dengan nada setengah berharap.
Tepat ketika ucapannya selesai, dua lembar tiket yang sama meluncur lewat bawah pintu apartemen. Mereka tidak bisa tidak memerhatikan karena benda itu menggesek lantai dengan suara yang anehnya berisik.
“Well, kau tahu? Semua ini mulai benar-benar seram,” hanya itu yang bisa Chanyeol katakan.
Danbi mengambil tiket itu. Baris ketikan yang tertera di sana bertuliskan:
Broadway Theatre, 1681 Broadway, 53rd Street, NYC.
REALTIME TURN.
10:10 A.M, Sunday.
Itu lusa. Berarti mereka punya satu hari tersisa.
“Ada waktu dan tempatnya,” kata Danbi. “Apakah maksudnya kita benar-benar harus pergi ke sana atau apa?”
Setelah hening sejenak, Chanyeol menggumam lelah, “Kita akan pikirkan lagi besok. Sudah larut malam. Sebaiknya kita istirahat sekarang.”
Danbi setuju. Ini hari yang panjang dan berat.
***
Danbi yakin ia jatuh tertidur dengan barikade tinggi yang memisahkannya dari Chanyeol, tapi pagi ini ia terbangun dengan lengan laki-laki itu memeluknya seperti hari pertama mereka di tempat ini.
Yah, tidak ada gunanya ia menyingkirkan tangan itu sekarang.
Danbi berbalik pelan-pelan, menemukan wajah Park Chanyeol yang tampak tenang di dekatnya. Mungkin satu-satunya saat Chanyeol bisa diam hanya saat tidur. Ragu-ragu, Danbi mengulurkan tangan dan menyentuh bibirnya dengan ujung jarinya. Sentuhan lembut itu membuat Chanyeol langsung membuka mata.
“Kau sudah bangun?” tanyanya.
“Kau tidak tidur?” Danbi balas bertanya.
“Tidak bisa menghentikan pikiranku,” gumam Chanyeol.
“Apa yang kaupikirkan?”
“Kau.”
“Apa kau mengatakan hal yang sama pada Jinhye juga?”
“Nah, tunggu sebentar. Aku tidak pernah tidur dengan Jinhye.”
“Benarkah?”
Chanyeol menyipitkan matanya. “Apakah pacaran hanya tentang tidur bersama dan semacamnya? Dasar kau gadis berotak mesum.”
Danbi menyentil dahi Chanyeol cepat. Laki-laki itu sontak mengaduh dan mengelus-elus dahinya dengan tampang merengut yang membuat Danbi menyengir.
“Baiklah, waktunya bangun. Hari ini kita akan sangat sibuk,” Chanyeol mengumumkan dengan wajah sok penting. “Ada Museum of Modern Art, Gedung Empire State, dan Chinatown yang harus kita kunjungi.”
Danbi mengerjap-ngerjap heran. “Apa?”
“Kita tinggal di Upper East Side tapi belum pernah melihat museum seni. Dan aku ingin melihat—”
“Bukan,” sela Danbi tidak sabar, “maksudku, untuk apa?”
“Aku berutang satu kencan padamu,” jawab Chanyeol. “Karena Broadway sudah jadi stasiun pulang, aku memikirkan tempat-tempat lain yang bisa kita kunjungi.” Kemudian matanya berubah sendu. “Dan, karena ini hari terakhir…”
Kesadaran ini membuat dada Danbi sesak, tapi ia tersenyum lebar. “Baiklah. Sekarang singkirkan tanganmu dari pinggangku, kau laki-laki mesum.”
“Kau kan istriku.”
“Ya!”
***
Menjelang akhir bulan Oktober, suhu semakin menggigit tulang dan orang-orang meninggalkan tempat tinggal mereka dengan mantel tebal berwarna gelap untuk menghalau dingin. Tapi langit hari ini di luar dugaan cerah. Matahari bulat sempurna seakan diletakkan begitu saja di atas dasar biru.
“Kita belum pernah naik subway di sini,” kata Chanyeol. “Mau mencoba? Aku sudah mem-print peta rutenya semalam. Lihat.” Dari saku mantelnya, Chanyeol mengeluarkan empat lembar kertas yang ia lipat-lipat dan membukanya. “Kita bisa naik kereta nomor enam dari stasiun Seventy Seven di Lexington.”
“Inikah yang kau lakukan dan bukannya tidur?”
“Sudah kubilang aku tidak bisa tidur,” bantah Chanyeol. “Daripada melamun sepanjang malam, aku menyusun rencana untuk kencan hari ini.”
Danbi berdecak-decak. “Kau sungguh luar biasa.”
Chanyeol menyengir lebar dalam setengah detik. “Iya, kan? Kau terpesona, kan? Aku tahu, aku memang sangat keren.”
Danbi menelan pujiannya bulat-bulat. “Lupakan saja apa yang kukatakan barusan.”
“Terlambat, aku sudah mendengarnya,” kata Chanyeol puas dan mengantongi kertas-kertasnya lagi. “Nah, stasiunnya dekat dari sini. Tidak apa-apa kalau kita jalan kaki, kan? Kau tidak lelah, kan? Bayiku akan baik-baik saja, kan?”
Danbi sudah bosan membantah tentang bayi, sehingga ia hanya mengangguk.
Chanyeol meraih tangan gadis itu dan mereka berjalan menyusuri trotoar dengan berpegangan tangan. Bangunan-bangunan persegi panjang menjulang membentuk bayang-bayang teduh sepanjang jalan bagi keduanya. Mereka tidak memikirkan apa pun kecuali rencana bersenang-senang sepanjang hari itu.
Mereka berhasil menaiki kereta bawah tanah tanpa tersesat dan berhenti di stasiun Fifty Six kira-kira lima menit kemudian. Dari sana, mereka berjalan lagi menuju tempat tujuan. Ketika menyeberangi Madison Avenue, mata Chanyeol tidak sengaja menangkap sesuatu yang menarik perhatiannya dan menghentikan langkahnya. Ia mendadak mendapat ide.
“Danbi-ya, kau lihat itu?” Chanyeol menunjuk sebuah butik bridal elite dengan tangannya yang bebas.
“Eo. Kenapa?”
Chanyeol tidak mengatakan apa-apa dan menarik Danbi mengikutinya melangkah masuk ke butik itu. Lagu klasik dan aroma potpourri menyambut kedatangan mereka. Seorang pegawai asing berseragam putih-hitam menghampiri dan menanyakan kebutuhan mereka.
“Ya, ya, ya.” Danbi menarik-narik tangan Chanyeol dengan gemas. “Memangnya kau bisa berkomunikasi dengan mereka?”
Chanyeol menyengir sok. “Lihat dan pelajari ini, Nona Muda.” Ia merogoh ponselnya, mengutak-atik sebuah aplikasi, kemudian bicara pada benda itu seperti mikrofon. “Kami ingin mencoba setelan dan gaun untuk pernikahan.” Sedetik kemudian, ia menunjukkan layar ponselnya pada pegawai itu.
Pegawai itu mengangguk dan mengatakan sesuatu, kemudian Chanyeol gantian melihat terjemahannya pada layar ponselnya dan berkata, “Dia bilang ada satu gaun yang baru tiba hari ini dan akan cocok sekali untukmu.”
Danbi mengerjap-ngerjap. Chanyeol hanya mengangkat bahu seolah berkata, Apa? Aku pintar, kan?
Danbi diantar pegawai itu untuk mencoba sebuah gaun pengantin. Gaun bertabur permata dengan bahu terbuka kini melekat ketat pada tubuhnya, ekor gaunnya menjuntai sampai lantai dan melebar seperti ekor putri duyung. Danbi tidak pernah merasa seksi, tapi kenyataannya gaun itu membuat lekuk tubuhnya semakin menonjol, dan menilai ekspresi Chanyeol—yang sudah memakai kemeja putih dan setelan hitam standar untuk pernikahan—ketika melihatnya, laki-laki itu pasti terkesan.
“Bagaimana?” tanya Danbi.
Mata besar Chanyeol mematut tubuh gadis itu dengan sorot aneh. “Daebak.”
Menyadari ke mana mata Chanyeol terarah, Danbi menyilangkan tangan di depan dadanya. “Kau lihat apa, hah?!”
Chanyeol tertawa pendek dan melompat ke sebelah Danbi, lalu menyalakan kamera ponselnya. “Ayo berfoto bersama. Untuk kenang-kenangan.”
Mereka tersenyum manis ke arah kamera, berikutnya memamerkan gigi masing-masing dengan jari membentuk huruf V, lalu sama-sama membuat raut muka jelek. Seorang pegawai yang sedari tadi menahan senyum melihat tingkah konyol tamunya itu menawarkan diri untuk memotret mereka dengan benar.
“Aku akan membayar gaun dan jas itu,” kata Chanyeol setelah mereka selesai berganti pakaian lagi.
Danbi menatapnya dengan alis menukik. Ia tidak tahu pasti harga gaun pengantin, tapi tidak perlu sekolah tinggi untuk menebak bahwa harganya sangat mahal. “Untuk apa? Kita tidak membutuhkannya.”
“Kenapa tidak?” balas Chanyeol. “Kau kelihatan cantik dengan gaun itu. Dan lagi kita akan pergi besok, jadi tidak apa-apa.”
“Ya, Park—”
Tapi Chanyeol sudah memberikan kartu kreditnya pada seorang pegawai.
Danbi mendengus sebal. Sekali pun kehidupan ini tidak benar-benar nyata, ia tetap benci membuang-buang uang. “Aku tidak tahu kenapa aku mau-mau saja menikah dengan orang sepertimu,” gerutunya.
“Aku tahu,” balas Chanyeol ringan, kemudian tersenyum menggodanya. “Karena kau mencintaiku setengah mati dan tidak punya pilihan lain.”
“Hah.” Danbi tertawa sarkastik. “Yang benar saja.” Tapi ia tidak bisa membantahnya.
Setelah meninggalkan butik itu—gaunnya akan diantar ke apartemen besok pagi—mereka melanjutkan acara jalan-jalan hari itu. Mereka mengikuti tur di museum seni dan melihat-lihat banyak hasil karya bernilai tinggi yang menarik (meski sebenarnya Danbi tidak mengerti benar dan lebih banyak menguap), kemudian mereka berhasil naik ke puncak Gedung Empire State dan memandang kota New York yang menakjubkan dari ketinggian, dan menghabiskan sisa sore di Chinatown yang tetap meriah dan padat kesibukan orang-orang berwajah Asia.
Tapi, seperti segalanya yang indah, bahkan hari itu pun harus berakhir.
***
Mereka berdua kembali ke apartemen ketika langit sudah gelap. Setelah mandi dan memakai pakaian paling nyaman, Chanyeol dan Danbi duduk berselonjor di tempat tidur dan menonton film yang diputar di saluran televisi kabel. Tapi karena tidak satu pun dari mereka memerhatikan apa yang terjadi dalam film itu, akhirnya Chanyeol mematikannya.
“Ah, benar.” Chanyeol mendadak teringat. “Aku baru ingat aku mau menelepon seseorang,” katanya dan meraih ponselnya.
Meski sudah hampir jam dua belas, Kyungsoo di seberang sana menjawab dengan suara masih terjaga penuh. “Oi, Hyeong.”
Chanyeol memutar bola matanya. “Sudah kubilang jangan memanggilku begitu.”
“Terserahlah.”
“Sedang apa?”
“Aku ingin bilang ‘tidur’, tapi tidak. Aku sedang membaca. Ada apa?”
“Tidak apa-apa. Hanya ingin mendengar suaramu.”
“Menggelikan.”
Chanyeol tertawa. Ia bisa membayangkan Kyungsoo sedang mengerutkan seluruh wajahnya sekarang. “Kyungsoo-ya, mungkin aku belum pernah mengatakan ini, tapi aku benar-benar berterima kasih atas segalanya yang kau lakukan untukku selama ini sejak kita berteman.”
Kyungsoo mengerjapkan matanya di seberang sana. “Ya, kau tidak sakit, kan?” tanyanya serius. “Ada yang terjadi? Bukan Jinhye, kurasa. Apa Danbi baik-baik saja?”
“Semua akan baik-baik saja sekarang.” Ketika berkata begitu, Chanyeol meraih tangan Danbi dan menggenggamnya di atas lututnya. “Terima kasih banyak, Kyungsoo-ya. Saranghae.”
“Ih, jijik.” Kyungsoo seketika berhenti serius. “Apa yang salah denganmu?”
Chanyeol tersenyum. “Itu saja. Sampai jumpa lagi.” Tanpa menunggu jawaban, ia memutus sambungan.
“Apa itu tadi? Pengakuan cinta?” tanya Danbi.
“Kadang kau harus mengungkapkan perasaanmu dengan gamblang lewat kata-kata. Itu akan membuat hatimu lebih lega,” kata Chanyeol. “Kau juga, cobalah.”
“Pada siapa? Kau?” gurau Danbi.
“Ibumu.”
Danbi membeku sedetik, kemudian mendengus. “Tidak ada yang ingin kukatakan padanya.”
“Ada, banyak,” balas Chanyeol. “Hanya saja kau tidak tahu harus mulai dari mana.”
Karena Danbi diam saja, Chanyeol bangkit dari tempat tidur dan mengambilkan ponsel gadis itu. “Lakukan sajalah.”
Danbi menyerah terpaksa. Ia menelepon nomor ibunya dan menunggu sambungan seraya berharap, Jangan angkat, jangan angkat, jangan angkat—
“Ya, Ryu Danbi!”
Baru mendengar suaranya saja, Danbi sudah ingin memutus sambungan. Tapi Chanyeol memegangi tangannya lagi dan menatapnya dengan tatapan tegas yang mendukung, memintanya kuat, jadi Danbi bertahan.
“Eo, ini Danbi,” kata Danbi. “Kabarmu baik, Eomma?”
Danbi menggigit bibir selama ibunya mengomel dan menyumpah-nyumpah di seberang sana. Danbi tidak tahu apakah perkataan ibunya atau genggaman tangan Chanyeol yang membuatnya ingin menangis. Setelah bertahun-tahun sendirian, Danbi baru menyadari betapa kesepian dirinya. Ia merindukan sosok ibu, ayah, teman, juga sandaran hidup yang tidak pernah ada.
Tapi ia memilikinya sekarang, meski akan kehilangan lagi dalam beberapa jam.
“Aku minta maaf,” Danbi mendengar dirinya sendiri berkata. “Kita sudah bertengkar seumur hidup. Aku membuatmu marah sepanjang waktu selama bertahun-tahun ini. Tapi, aku ingin kau tahu, yang paling kuinginkan sebenarnya hanya perhatianmu.”
Tiba-tiba saja saluran telepon jadi sangat hening.
“Aku mungkin tidak akan pernah mengerti kesulitanmu sebagai seorang ibu, tapi aku bisa belajar menjadi anak yang kau inginkan, jika kau mau mengajariku bagaimana caranya.” Danbi menarik napas dalam-dalam. Sekarang ia-lah yang menggenggam tangan Chanyeol kuat-kuat. “Aku akan pulang. Saat kita bertemu lagi, ayo pergi minum bersama, kau dan aku.” Satu air matanya jatuh, dan Danbi berhasil berbisik serak sebelum memutus sambungan, “Aku menyayangimu.”
Danbi melempar ponselnya ke atas nakas dengan wajah merah padam.
“Bagaimana?” tanya Chanyeol lembut.
Danbi membersit hidungnya dengan punggung tangan. “Tidak sesulit dugaanku.”
Chanyeol tersenyum dan mengelus puncak kepalanya. “Memang benar-benar Ryu Danbi yang keren.”
Danbi mau tidak mau ikut tersenyum dan mengusap sisa air mata dari wajahnya.
“Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu,” kata Chanyeol kemudian. Ia beranjak membuka lemari kamar dan mengeluarkan sebuah gitar dalam tas kulit. Sambil mengatur senarnya, ia melanjutkan, “Aku menulis sebuah lagu untukmu. Sebenarnya liriknya belum selesai, tapi karena kita kehabisan waktu, kurasa aku akan memberikannya sekarang saja.”
Sudut bibir Danbi terangkat otomatis. Chanyeol menulis lagu? Untuknya?
Chanyeol berdeham dan mulai memetik gitarnya. Nada-nada manis melantun memenuhi ruangan, membuat Danbi memikirkan banyak hal indah di dunia—sinar matahari pertama di waktu fajar, secangkir cokelat panas di kala hujan, hangatnya tangan Chanyeol hari ini.
Chanyeol melantunkan sebait lirik dengan suara beratnya, “Whether you’re the sunshine or the thunder light, I’ll still be the fool that only looks at you. Whether you’re the sweet rain or the stormy sky, I still be the fool that loves you. Even if we’re born again as a different person, this feeling will find its way.”
Lama setelah Chanyeol mengakhiri lagunya, Danbi baru menemukan kembali suaranya. “Terima kasih,” katanya serak. “Kau memang jenius.”
Chanyeol mengembalikan gitarnya ke tempat semula. “Sebaiknya kita tidur sekarang. Kau pasti lelah.”
Danbi mengangguk. Dengan berat hati, ia mengganti posisi duduk berselonjornya dan berbaring, lantas Chanyeol mengikuti di sebelahnya. Tidak ada pembatas dibangun di antara mereka malam itu. Pengecualian terakhir.
Semenit berlalu hening.
Chanyeol memiringkan tubuhnya menghadap Danbi dan bertanya, “Apa penyesalan terbesarmu sebelum kita kembali?”
Danbi berpikir sejenak. Seluruh hidupnya adalah penyesalan, kecuali hari ini. “Aku menyesal tidak bisa menunggu perutku membesar, jadi aku tidak punya kesempatan berkata pada setiap orang yang melihatku, ‘Bukan salahku. Ini perbuatan Park Chanyeol’,” candanya dan tertawa. Tapi ia menyadari tawa yang keluar dari mulutnya sarat kesedihan. “Bagaimana denganmu?”
Chanyeol butuh waktu berpikir lebih lama lagi sebelum menjawab, “Aku menyesal karena terlambat menyadari bahwa aku membutuhkanmu.” Hening beberapa saat lagi, lalu ia melanjutkan, “Aku ingin tahu sejak kapan aku mulai membutuhkanmu. Mungkin sejak malam itu.”
Danbi mengerutkan dahinya dan memiringkan tubuh menghadap laki-laki itu. “Kapan?”
“Malam berkemah itu. Setelah kita melihat Jinhye dan Jongin bersama, aku marah dan membuang kalung yang tadinya ingin kuberikan pada Jinhye, tapi kau mengambilnya kembali untukku dan menyuruhku berhenti terluka karenanya,” cerita Chanyeol. ”Saat itu kau terlihat begitu… berbeda.”
Danbi terlihat bingung. “Aku tidak ingat ada kejadian seperti itu.”
“Benarkah?” Chanyeol mengerjap-ngerjap. “Aku mengingat itu ketika melihat kalung yang sama di leher Jinhye. Aku juga tidak tahu kenapa kalung itu ada padanya sekarang. Atau kenapa aku mendadak teringat hal itu. Kalau dipikir-pikir, seharusnya itu tidak nyata, kan?” Melihat Danbi yang tampak sama tidak mengertinya, Chanyeol menghela napas. “Yah, kurasa beberapa pertanyaan akan tetap tidak terjawab.”
Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing selama sesaat. Kemudian Chanyeol bertanya lagi, “Apa yang akan terjadi pada kita setelah kembali nanti?”
“Aku tidak tahu,” gumam Danbi. Untuk pertama kalinya batas waktu benar-benar jelas baginya. Hanya tinggal beberapa jam, dan setiap detiknya berkurang sekarang. Rasanya seakan-akan ada sebuah jam yang berdetak dengan suara berisik di dalam kepalanya.
Tapi, bahkan meskipun waktu dan Takdir bersekongkol mempermainkannya, ada satu hal yang Danbi yakin tidak akan berubah.
“Yang pasti, aku akan tetap menyukaimu, seperti yang sudah kulakukan sampai sekarang.”
Mereka bertatapan selama detik-detik yang terasa seperti seabad. Salam perpisahan pada orang lain sudah dikatakan, tapi mereka belum mengucapkan selamat tinggal pada satu sama lain.
Chanyeol mendekat, satu tangannya meraih tengkuk Danbi dan ia mencium bibir gadis itu. “Saat kita kembali, aku akan mencintaimu lagi,” ia berbisik. Danbi mengangguk tanpa kata.
Ini adalah janji, dan Park Chanyeol akan menepatinya.
=to be continued=
Hai ._.)/
Oh, tidak terasa FF ini sudah menjelang penghujungnya~ *muka sedih* Oke, daripada ngomongin itu, sekarang aku kepingin mengadakan buka pendapat(?) nih kekekeke~
- Menurut kalian, siapa member EXO yang paling cocok jadi playboy? Dan alasannya?
- Seandainya para EXO-K (aku tahu EXO udah nggak terbagi, tapi maksudku di sini member-member yang tadinya tergabung dalam EXO-K itu haha) jadi kakak kalian (kalian=adik perempuan), mereka masing-masing bakal jadi kakak yang seperti apa?
Jawaban kalian bakal membantu banget buat proyekku berikutnya (kalo jadi sih HAHA), jadi tolong ya. Dijawab salah satu juga nggak apa-apa (kalo bisa dua-duanya sekalian #maksa)
Oke, itu saja. Seperti biasa, terima kasih sudah membaca! Sampai jumpa di chapter (terakhir) berikutnya. Hohoho~
XOXO! <3
