Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Seonsaengnim (Chapter 16 B)

$
0
0

A Storyline Present by @diantrf

 

Seonsaengnim (Chapter 16 B)

 

Main Cast:

Xiao Luhan, Park Chanyeol, Kim Junmyeon/Suho (EXO) | Park Cheonsa (OC)

Other Cast:

Oh Sehun, Kim Jongdae/Chen, Kim Minseok/Xiumin, Zhang Yixing/Lay, Wu Yifan/Kris, Byun Baekhyun (EXO) | Kim Myungsoo/L (Infinite) | Jung Jinyoung (B1A4) | Lee Gikwang (Beast) | Kang Jihyun/Soyou (Sistar)

 

Genre: Fantasy, Romance, Mystery, School-life | Rating: PG-17 | Length: Chaptered

 

Prev:

Part-1 | Part-2 | Part-3 | Part-4 | Part-5 | Part-6 | Part-7 | Part-8 | Part-9 | The Princess of Darkness (Teaser) | Intro Charas | The Princess of Darkness (1) | The Princess of Darkness (2) | Part-10 | Part-11 | Part-12 | Two Souls (Teaser) | Two Souls (1) | Two Souls (2) | Part-13a | Part-13b | Part-13c | Part-14 | Part-15 | Part-16a

0o0

 

Bintang selalu terlihat indah menerangi malam. Angin pun tak kalah semangat menunjukkan keberadaannya, memutari ruang luas ini sembari bermain dengan dedaunan. Sesekali kelopak anyelir jatuh di pangkuanku, warnanya merah muda dengan corak putih di tengahnya. Sangat cantik, hidupku serasa damai dibuatnya.

 

“Terlalu puitis.”

 

Luhan benar-benar memiliki bakat untuk mengacaukan pengandaian orang lain. Aku menatapnya tajam yang disambut tawa senangnya. Ia sangat cantik, seperti perempuan. Apa mungkin Luhan dulunya juga seorang wanita? Hih, membayangkannya saja membuatku ngeri sendiri.

 

Tawanya terhenti dengan sendirinya, lalu tanpa kata ia bangkit dari duduknya dan menjauhiku sebentar. Aku hanya mengangkat bahu dan memutuskan untuk kembali menikmati udara dingin malam yang menyenangkan. Tak lama, kurasakan seseorang kembali duduk di sampingku. Aroma darah memasuki hidungku.

 

“Luhan?”

 

Kulihat ia menggores pergelangan tangannya dengan serpihan batu darah yang pipih dan tajam. Darahnya berwarna merah tua dan pekat, aromanya seperti buah terlezat yang pernah kucium baunya. Mungkin hanya penggambaran otakku semata.

 

Darahnya menetes ke batu darah yang berada dalam tangan satunya, berbentuk bulat dan agak pipih. Luhan menggenggamnya sebentar, sampai cahaya kemerahan muncul dalam tangannya. Batu itu berubah menjadi batu darah yang lebih cantik, dengan ukiran di pinggirannya. Oh, terdapat tali yang mengikat padanya.

 

Mungkinkah sebuah kalung?

 

“Kautahu bahwa aku tak bisa selalu berada di dekatmu. Jadi, pakailah ini untuk mencegah transformasimu kembali menjadi manusia.”

 

Kemudian ia memakaikan kalung itu di leherku, mengalungkannya dengan hati-hati. Rasanya ada seusatu yang aneh saat kalung itu resmi menggantung padaku. Aku merasakan sesuatu, seperti detak jantung namun itu tak berasal dari rongga dadaku. Ada sesuatu ketika aku memakai kalung ini.

 

“Luhan, ada yang aneh—“

 

Ia memelukku tiba-tiba dan menjatuhkan kepalanya di bahuku, kurasa ia memejamkan matanya. “Tak ada yang aneh, sayang. Memang seperti itu rasanya memakai batu darah.”

 

Oh, seperti itu ternyata. Aku mengangguk pelan lalu perlahan mengusap kepalanya dengan jemariku, memainkan rambut cokelatnya dengan lembut. Luhan sangat manis saat ini. “Aku lelah, Cheon. Sangat lelah sampai ingin mati rasanya.”

 

A-apa? Apa sih yang Luhan pikirkan? Mengapa bicara seperti itu? Ada apa dengannya? Aku tak suka suasana seperti ini. Membicarakan kematian dan rasa lelah karena menjalani hidup yang sulit. Aku tak suka, karena aku juga mengalami hal yang sama. Terlalu lelah sampai ingin mati rasanya.

 

“Aku terlahir dari garis vampir yang menyandang kedudukan tinggi. Menjadi putra mahkota tak semenyenangkan ketika semua mata memandang kagum dan iri padaku. Semuanya terasa menyebalkan.”

 

Mungkinkah Luhan sedang menceritakan masa lalunya? Sepertinya ia mengalami depresi yang cukup berat.

 

“Ayahku ialah vampir yang lembut dan penuh kasih, berbanding terbalik dengan ibuku yang berpemikiran rasional dan perfeksionis. Mereka tak pernah berniat jahat pada siapapun, maka dari itu aku sangat kecewa dan marah saat mereka dibunuh, dilenyapkan begitu saja. Membunuh darah murni merupakan dosa yang akan ditanggung sampai mati.”

 

Aku tak pernah tahu jika rasa kecewa yang Luhan alami begitu besar seperti ini. Tak pernah ada hal yang kuketahui, aku selalu melupakan segalanya dan mengetahuinya kembali seperti orang bodoh. Terlambat menyadari segalanya dan sama sekali tak memiliki kepekaan terhadap memoriku sendiri. Apakah kami sama-sama mengenaskan?

 

“Awalnya aku ingin menjadi seperti Ayah yang lembut dan bijaksana, namun keadaan selalu memaksaku untuk menjadi lawan dari apa yang kukehendaki. Aku memutar otak dan berpikir kritis, bahwa aku tak semestinya menjadi lembut untuk para vampir kotor seperti yang lain.”

 

Luhan masih tak mau menatapku, hanya memelukku dan memejamkan matanya seperti ini. Mungkin ini adalah batas kesabarannya, batas hatinya untuk menahan segala hal menyakitkan dalam hidupnya. Ya, seperti yang sering semua vampir darah murni katakan padaku. Hidup abadi bukanlah hal yang patut untuk dibanggakan atau disyukuri. Semuanya hanyalah sebuah kepalsuan dan sangat menyebalkan. Untuk apa berlelah-lelah hidup lama namun tujuan pastinya hanyalah neraka? Tak ada yang bisa dibanggakan dari semua itu.

 

“Aku mencari sihir terhitam dalam dunia vampir. Hingga aku menemukannya, sihir paling menakutkan yang bahkan mengucapkannya saja lidahku masih gemetar sampai saat ini. Membuat sebuah lubang di mana di dalamnya hanya ada kesedihan dan penyesalan, tak ada yang sanggup menggunakan sihir itu. Tak ada, kecuali aku.”

 

“Sayang, mengapa terbangun? Apakah ada sesuatu?”

 

“Apa hubungannya tiga warna itu dengan halaman kosong yang dimantrai ini?”

 

“Anhel, kurasa kau tidak perlu mengetahui apa isi dari lembaran kosong itu.”

 

“Kumohon jangan pernah berusaha untuk membuka lembaran itu. Kumohon…”

 

Huh? Apa yang barusan itu? Khayalankah? Atau masa lalu? Seperti aku dapat melihat sebuah ruangan dengan rak buku tinggi dan Chanyeol… Mungkinkah ruang kerja Chanyeol dalam istana?

 

Aku menatap kosong langit malam, sesuatu mengusik pikiranku secepat kilat. “Historical of Vampire, apakah sihir hitam itu ada di dalamnya? Apa ayahmu yang menulisnya?”

 

Kupikir yang barusan hanyalah pertanyaan yang kukatakan dalam pikiran, sampai Luhan akhirnya kembali menegakkan tubuhnya, menatapku dengan matanya yang menyiratkan sesuatu. “Kau mengingat sesuatu, Cheon?”

 

Heh? Jadi benar yang tadi itu bukan hanya khayalanku melainkan sebuah kepingan memori lainnya? Apakah ini juga berarti bahwa segala memori tentang Luhan dalam tempat ini bukanlah merupakan rekayasa Luhan melainkan memang kejadian yang sebenarnya? Benarkah demikian?

 

“I-itu…”

 

“Bagaimana kautahu jika sihir itu tertulis dalam buku ayahku? Bagaimana kautahu bahwa ayahku yang menulis buku itu?”

 

Oh, ini bencana. Bahkan hal itu kuketahui tanpa sengaja. Aku hanya pernah mendengarnya di suatu waktu yang mungkin kulupakan. Hanya itu, dan Luhan menanyaiku seolah aku adalah orang yang baru sembuh dari amnesia permanen. Ini membingungkan.

 

Aku ketakutan. “Entah… Cheonsa hanya mengingat beberapa hal, bahkan baru saja mengingatnya saat Luhan menceritakan hal itu padaku.”

 

Aura Luhan berubah, dingin yang mencekam menyapaku kali ini. Apakah Luhan marah? Tapi marah untuk apa? Ada apa sebenarnya dengan Luhan, dan siapa Luhan sebenarnya?

 

Kini Luhan menggenggam tanganku, walaupun agak sedikit meremasnya namun aku tahu bahwa Luhan memang benar-benar penasaran. “Apakah kau juga mengingat tentang warna? Lalu lembaran kosong?”

 

Yap, skakmat karena aku hanya bisa mematung mendengarnya. Bagaimana Luhan bisa tahu apa yang baru saja terlintas dalam pikiranku? Atau bolehkah kuralat lagi analisaku, bahwa memang Luhan yang mengatur semua ini dan ia hanya berpura-pura tak tahu di depanku?

 

“Luhan… jangan menatapku seperti itu…”

 

Sungguh, aku benar-benar ketakutan sekarang. Aku menunduk dan mungkin hampir menangis jika aku secengeng itu. Namun tidak, aku sekuat tenaga menahan tangis. Luhan tidak jahat, ia hanya penasaran dan kecewa, aku tahu itu. Luhan tak mungkin menyakitiku.

 

“Cheonsa?”

 

Tangan dinginnya menyentuh satu pipiku, mencoba mengangkat wajahku namun aku menepisnya. Ini aneh, sangat aneh dan menjadi semakin aneh jika aku pikirkan lagi. Mengapa memori itu datang satu per satu dan sama sekali tak berurut? Mengapa harus di tempat ini? Mengapa harus di hadapan Luhan?

 

“Maaf membuatmu ketakutan.” Kurasakan Luhan mencium keningku, dan saat itulah sepertinya air mataku jatuh cukup banyak. Aku menahan terlalu lama, kesedihan dan juga rasa kecewa. Aku selalu menahan semuanya dengan baik, tapi sepertinya segalanya memang harus memiliki batasan.

 

Tuhan tak pernah membatasi kesabaran manusia. Ia memberikan kesabaran yang tak ada habisnya sebagai anugerah saat manusia dilahirkan. Tapi memang manusia itu sendiri yang membatasi kesabarannya, dikarenakan beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Fitrah dasarku memanglah seorang manusia, dan kurasa batas kesabaranku telah habis sampai di sini. Aku kecewa.

 

Hingga akhirnya aku menatap matanya, berkilau lembut seperti biasanya. “Maaf, kau tentu tahu aku hanya penasaran. Jika ingatanmu kembali seluruhnya, mungkin segalanya tak akan serumit ini. Jadi, tolong bilang padaku apa yang kau lihat.”

 

Aura dinginnya menghilang, dan ia tersenyum kecil padaku. Luhan memang tahu bahwa aku bukan tipe orang yang bisa dipaksa atau diperlakukan kasar, aku tidak suka dan mungkin bisa menangis seperti anak kecil. Ia pintar memainkan suasana hatiku.

 

Jadi aku memutuskan untuk menceritakan segalanya, mulai dari perpisahan kami di mansion sampai aku yang ikut Chanyeol ke istana dan akhirnya berujung perjalanan ekstrem bersama Baekhyun. Oh, aku juga menceritakan tentang gaun dan tiara batu darah yang kutemukan di kamar. Sampai akhirnya aku menceritakan tentang bayangan ruang baca dan Chanyeol serta percakapan antara kami yang baru saja muncul di pikiranku.

 

“Luhan? Mengapa hanya diam?”

 

Ini menjadi semakin aneh karena sepanjang ceritaku Luhan hanya diam tanpa ekspresi. Kuyakin Luhan tengah memikirkan sesuatu dan sialnya aku tak tahu apakah itu merupakan perkara yang baik atau justru sebaliknya, Luhan memikirkan sesuatu yang lebih buruk dari segala pemikirannya yang terdahulu.

 

“Luhan—“

 

DUAR!

 

“Cih, sialan!”

 

Segalanya begitu cepat membuatku mematung tanpa kata. Suara ledakan dari mana itu? Lalu, Luhan menghilang begitu saja meninggalkanku sendirian di sini. “Luhan!”

 

Mataku lalu menangkap kumpulan asap tebal di pintu batu bangunan tempat para naga. Oh tidak, apa yang terjadi di sana? Langsung saja aku berlari seperti orang kesetanan. Kenapa bisa seperti itu? Ada apa?

 

“Chanyeol, cepat kau keluar dari sini! Mengertilah jika bayi naga tidak boleh mendengar suara keras!”

 

“Maka cepat beritahu di mana Cheonsa dan aku akan pergi.”

 

Suasana di dalam kacau. Princess ketakutan dan bersembunyi di balik tubuh Lily, Luhan terlihat sangat marah, Milan terluka di sudut ruangan dan Chanyeol masih mengeluarkan kobaran api dari tangannya. Bagaimana bisa Chanyeol ada di sini?

 

Kakiku dengan sendirinya berlari menghampiri Milan, mengabaikan Luhan dan Chanyeol yang sedang emosi satu sama lain. Ini keterlaluan, setidaknya Chanyeol dapat datang baik-baik jika memang ia ingin membawaku pulang, tak harus seperti ini caranya. Darah masih keluar dari tubuh Milan, dan ia hanya diam, mungkin menahan sakit.

 

“Milan? Apa yang harus kulakukan? Lukanya… lukanya mengeluarkan darah,” racauku semakin tak jelas karena panik. Jika kubilang aku panik maka benar-benar definisi dari panik. Bagaimana ini? Bagaimana?

 

Tiba-tiba seseorang menggenggam tanganku, mencengkeramnya cukup kuat. Tak butuh waktu lama untuk mengetahui  bahwa ini adalah tangan Chanyeol. “Cheonsa, ayo pergi dari sini.”

 

Matanya berkilau biru, mungkin ia sangat marah padaku saat ini. Aku hanya bisa menggeleng, sepertinya air mataku keluar dengan sendirinya. “Aku tak mau! Milan terluka parah dan—“

 

“Park Cheonsa, cepat pulang sekarang!”

 

Ia tetap menarikku dengan paksa, membuatku mau tak mau berjalan mengikutinya keluar dari sini. Luhan hanya menatapku datar, sama sekali tak ada minat untuk menghampiriku dan membuatku tetap di sini. Kenapa? Kenapa Luhan tak menahanku untuk tetap di sini? Apakah semuanya palsu? Kasih sayangnya, apakah hanya kepalsuan?

 

Bahkan sampai keluar pun Luhan sama sekali tak menyusul kami. Diriku yang kecewa hanya terdiam dan mengikuti ke mana Chanyeol menarikku. Ia menyuruhku untuk menaiki kudanya dengan ia yang duduk di belakangku. Aku melupakan fakta bahwa aku datang kemari bersama tuan kuda, entah ke mana ia karena begitu aku menoleh ke pepohonan, kuda itu telah menghilang.

 

Aku terdiam, hanya memandang lurus pada pepohonan hutan yang menjulang dengan kaku di pinggiran jalan. Kami telah melewati perbatasan dimensi hutan karena sekilas tadi aku mencium bau darah Chanyeol. Aku tak ingin memikirkan apa-apa lagi setelah ini. Segalanya cukup rumit dan membuatku sakit kepala.

 

Mungkin Chanyeol tengah kesal bahkan marah sekarang, karena ia benar-benar membakar habis segala yang menghalangi jalan kami seperti dahan pohon atau benda-benda aneh lainnya. Aku juga melihat Rin di kejauhan, dan ia hanya memandang diam laju kuda yang aku dan Chanyeol tunggangi.

 

Aku memang pernah menerima amarah Chanyeol sebelumnya, namun untuk yang kali ini aku tak tahu apakah setelahnya nanti aku masih dapat hidup atau ia akan memenggal kepalaku di halaman istana. Siapa yang tahu?

 

Hingga tanpa kusadari kami telah keluar dari gerbang batas terluar hutan ini. Kuda masih melaju membelah taman istana dan keadaan malam benar-benar hening, semuanya mencekam dan tak ada yang membuatku bisa lebih panik lagi ketimbang suasana ini. Kami sampai di kandang kuda lalu Chanyeol memasukkan kembali kuda itu ke kandangnya dan kembali mengalihkan pandangannya padaku. Matanya masih berkilat biru yang berarti amarahnya belum reda sama sekali. Aku benar-benar akan dibunuh.

 

Ia kembali menarik tanganku dan ternyata langsung membawaku ke kamar. Penerangan di sini hanya berasal dari jendela kaca dan membuat suasana semakin mencekam. Ini menakutkan, mungkin aku akan menangis jika saja tak menangkap maksud lain dari tatapan Chanyeol. Ia kecewa, sangat kecewa. “Bisa tolong jelaskan apa yang terjadi, sebelum khayalanmu tentang aku yang memenggal kepalamu menjadi nyata?”

 

Tuhan, Chanyeol benar-benar marah dan akan membunuhku. “Itu… tak ada apa-apa, Chan, memangnya ada apa?”

 

Bruk!

 

Bodoh, Cheonsa yang bodoh karena masih bisa berkata hal konyol seperti itu. Chanyeol mendorongku hingga membentur dinding dan menjadikanku benar-benar terjebak dalam tubuhnya. Ini menakutkan, aku ingin mati saja rasanya.

 

“Kenapa kau bertemu dengan Luhan? Kenapa, Cheon? Kau sudah tak menghormatiku sebagai suamimu? Kenapa?!”

 

Ini salah, aku bukan gadis penakut yang bisa termakan bentakan seperti ini. Ke mana Park Cheonsa yang angkuh? Mengapa aku jadi lemah seperti ini? Semua ini bukan salahku, bukan juga mauku jika aku mengalami hari-hari yang buruk. Bukan keinginanku juga terlahir seperti ini, jadi mengapa aku harus takut dengan semua ini? Aku bukan berada di posisi yang salah.

 

“Memangnya salah jika aku bertemu Luhan? Itu sebuah ketidaksengajaan, Chan. Semua ini tak akan terjadi jika kau tak terlalu sibuk dengan urusanmu. Apa salah jika aku mengikuti instingku untuk datang dan mencari Milan? Bahkan kau sama sekali tak tahu jika Milan hilang untuk waktu yang sangat lama. Kau menelantarkan semua makhluk yang peduli denganmu. Terlalu banyak kenangan di sini, Chan. Aku hampir gila rasanya memikirkan segala kemungkinan mengapa bisa ada bayangan Luhan di istanamu. Sebenarnya hal apa saja yang pernah terjadi di sini? Apa?!”

 

Plak!

 

Aish, rasanya sangat sakit luar dan dalam ketika orang yang kaupikir mencintaimu menamparmu dengan mudahnya seperti ini. Chanyeol benar-benar keterlaluan.

 

“Puas bicaranya? Asal kautahu, kau hampir membunuh anak kita. Tak bisakah kau menoleh barang sebentar ketika mendengar suara Sehun yang memanggilmu? Ia sekarat karena tergores batas dimensi saat mengikutimu. Kau dengan mudahnya bermesraan dengan pria lain saat aku berusaha untuk mengobati Sehun sendirian. Ah, atau mungkin kau tak akan pernah kembali lagi ke sini jika saja aku tak menjemputmu?”

 

Kali ini mungkin rasanya lebih sakit ketimbang mati karena dipenggal. Tubuhku merosot dengan sendirinya di lantai, kakiku kehilangan fungsinya untuk menopang tubuh. Aku syok, sangat. Mungkin bisa mengakibatkan kegilaan dan stres berkepanjangan jika saja aku tak terlanjur terbiasa mendengar hal-hal mengejutkan hari-hari sebelumnya.

 

Apakah aku memang seegois itu? Mengorbankan segalanya hanya demi mencari jati diri di masa lalu, berusaha keras mengingat segalanya hanya untuk mengetahui ada apa antara diriku dengan Luhan. Chanyeol benar, tak bisakah aku hanya fokus dengan waktu sekarang? Menjalani hidup yang normal dan merawat anakku dengan baik, bukannya melukainya seperti ini. Apakah aku sekejam itu?

 

Aku menundukkan kepalaku, menangis dalam diam dan berharap Chanyeol tak mengetahui keadaan diriku yang hancur. Namun sepertinya ia sangat tahu, dan bahkan tak berniat untuk menenangkanku. Ia ingin aku merasa bersalah. “Datanglah ke kamar Sehun jika kau telah merenungkan semuanya. Aku ada di ruang kerjaku.”

 

Begitu saja ia menghilang, meninggalkanku seorang diri dalam kamar yang dingin ini. Ia sungguh tak berperasaan, kekonyolan dan sikap hangatnya selama ini hanya sebuah kepalsuan. Chanyeol yang asli hanyalah seorang pria egois yang perfeksionis dan membatasi diri, vampir dingin yang menganggap kekuasaannya adalah segalanya dalam roda hidupnya yang monoton.

 

“Hiks… bahkan Chanyeol sama sekali tak menyadari jika Cheonsa hampir kembali menjadi manusia. Sebenarnya ia mencintaiku atau hanya terobsesi memilikiku?”

 

0o0

 

“Kau tak boleh egois, Chanyeol. Aku butuh bertemu dengan Cheonsa sekarang.”

 

Uh, tubuhku sakit semua karena terlelap dalam posisi yang sama dengan kali terakhir Chanyeol meninggalkanku. Lain kali ingatkan aku untuk tidak jatuh tertidur sambil duduk meringkuk di lantai.

 

Entah mimpi pula atau tidak, tapi aku seperti mendengar kegaduhan dari luar kamar. Untuk beberapa detik aku terdiam untuk menyesuaikan tubuhku kembali dengan merenggangkannya perlahan, rasanya sangat menyakitkan. Pipiku bahkan masih terasa sakit saat kusentuh. Ternyata tamparan Chanyeol tidak main-main, ia benar-benar emosi.

 

Setelah merasa lebih baik aku mulai berusaha berdiri meski kaki ini rasanya seperti jeli. Hampir saja aku jatuh terduduk lagi jika saja tanganku tak sigap berpegangan pada dinding. Sepertinya aku tengah sekarat, jika saja semua ini tak berlebihan.

 

“Kau harus mengerti situasi saat ini, Chanyeol. Tak hanya dirimu yang membutuhkan Cheonsa.”

 

Sepertinya aku kenal suara ini. Suara Kris Seonsaeng.

 

“Kau pikir Cheonsa tak dibutuhkan di sini? Sehun sedang sakit karena ulah ibunya sendiri, bagaimana mungkin aku dapat dengan mudah membiarkannya pergi?”

 

“Tapi ini lain hal, Chanyeol. Jongdae sekarat dan sangat membutuhkannya.”

 

Apa? Jongdae Sunbae sekarat dan ia membutuhkanku? Memangnya aku bisa apa? Aku masih kehilangan kekuatanku, lagipula ada Dokter Zhang di mansion. Mengapa Kris Seonsaeng rela datang ke sini untuk menjemputku dengan dalih seperti itu?

 

“Lalu apa peduliku?”

 

“Kau tak memiliki perasaan rupanya. Sehun bukanlah satu-satunya anak Cheonsa. Masih ada Jongdae dan sekarang ia membutuhkan ibunya.“

 

“Kau masih saja percaya omong kosong Luhan tentang pernikahan mereka itu?”

 

Itu adalah lain hal yang masih abu-abu dalam pikiranku. Saat rapat kala itu aku memang syok dan tak menangkap maksud penuh dari segala hal yang diperdebatkan antara Luhan dan Chanyeol. Yang kuingat ialah bahwa Luhan bersikeras bahwa aku telah hidup jauh sebelum tahun di mana sejarah dan ingatanku dimulai.

 

Semua itu juga diperjelas dengan kepingan masa lalu yang kuterima di istana ini, tentang aku dan Luhan kecil yang mungkin seumuran sedang bermain dengan para naga dan Rin yang juga masih dalam wujud kecil. Apakah itu bukti yang kuat bahwa aku ternyata hidup lebih lama daripada yang bisa kubayangkan? Bahwa nyata adanya jika aku kemungkinan besar pernah menikah dengan Luhan dan memiliki anak?

 

Tapi di sisi lain aku juga mempertimbangkan argumen Chanyeol bahwa tak pernah ada kejadian di mana aku menikah dengan Luhan dan segalanya hanya sebuah kepalsuan fatal yang Luhan utarakan. Juga, jika memang benar seperti itu adanya, mengapa kenangan tentang Luhan baru muncul sekarang sedang sebelumnya lebih dominan kenanganku bersama Chanyeol?

 

Tetapi lagi, jika benar aku pernah menikah dengan Luhan dan memiliki seorang anak yang adalah Jongdae Sunbae, bukankah aku seorang ibu yang kejam? Jongdae Sunbae mungkin menderita selama kematianku yang entah karena apa hingga aku hidup kembali menjadi adik dari Diavol dan ia adalah pengawal pribadiku. Oh, bahkan kami pernah hampir dijodohkan!

 

Segalanya sangat rumit, membuat kepalaku semakin sakit dan rasanya ingin tidur saja. Entah seharian, atau mungkin selamanya.

 

Brak!

 

“Cheonsa, kau baik-baik saja? Wajahmu pucat, dan suhu tubuhmu dingin sekali. Kau sakit? Atau terluka?”

 

Aku sama sekali tak menangkap suara Kris Seonsaeng yang dengan sigap merangkul tubuhku yang lagi-lagi hampir jatuh karena syok. Dari ujung pandanganku aku bisa melihat Chanyeol yang mematung di daun pintu dan menatapku datar, antara kecewa atau sedih. Atau bahkan marah?

 

“Kau harus pulang, Cheon. Jongdae membutuhkanmu, ayolah pulang. Ini aneh, tapi Jinyoung bahkan tak bisa berbuat apa-apa untuk Jongdae.”

 

Mustahil jika seorang Master tak bisa menyembuhkan Ergasist-nya. Mustahil jika bahkan Jinyoung Sunbae yang merupakan Strămoș tak bisa berkutik hanya karena hal yang bisa dibilang sepele.

 

“Mungkin sudah saatnya ia kembali pada orangtuanya, Cheon. Jongdae membutuhkanmu dan Luhan. Aku telah meminta Minseok dengan diantar Baekhyun untuk menjemput Luhan di hutan. Kau harus pulang denganku.”

 

Tuhan, mataku ingin langsung terpejam dan pikiranku tak dapat lagi berputar sebagaimana mestinya. Tubuhku kehilangan dayanya, aku sangat lelah. Ini semua aneh dan membingungkan. Bagaimana ceritanya Jongdae Sunbae bisa menjadi manusia dan bahkan seorang Ergasist untuk waktu yang lama sementara jelas-jelas ia adalah keturunan Luhan yang merupakan darah murni?

 

Lalu apa yang terjadi jika aku meninggalkan Sehun dan Chanyeol di sini untuk pulang ke mansion dan bertemu Luhan di sana?

 

Sadar atau tidak, walaupun aku tak mengingat apa pun tapi nyatanya instingku masih bisa bekerja walau hanya sekelebat saja. Aku tak ingin menjadi orangtua yang buruk untuk kedua kalinya. Aku tak bisa mengorbankan salah satunya jika memang benar keduanya adalah anak kandungku.

 

Di sisi lain aku ingin tinggal dan merawat Sehun, namun sisi lawannya menyuruhku untuk segera pulang karena akan ada sesuatu yang terjadi.

 

“Kris Seonsaeng, bolehkah Cheonsa tinggal di sini dan merawat Sehun untuk beberapa hari? Setelah itu Cheonsa akan pulang dan melihat keadaan Jongdae Sunbae.”

 

Mencoba tersenyum pun percuma, aku tak bisa merasakan tubuhku sendiri. Entah ini efek dari perasaan bersalah atau memang ada hal lain yang menjadi faktor utama.

 

“Hanya dua hari, tak boleh lebih,” jawab Kris Seonsaeng akhirnya setelah menatapku cukup lama untuk memastikan. Aku mengangguk sebagai balasannya.

 

Kris Seonsaeng menuntunku untuk duduk di ranjang. Chanyeol akhirnya ikut masuk ke dalam dan memerhatikan kondisiku. “Kau sakit, Cheon,” ujarnya pelan namun aku masih bisa mendengarnya.

 

Kau benar, Chan, hatiku masih sakit. Bahkan sepertinya tak dapat terobati dengan mudah.

 

Aku yakin Chanyeol mendengar kata hatiku, tapi nampaknya ia sama sekali tak peduli karena raut wajahnya sama sekali tak berubah, tetap angkuh dan dingin. Tak lama, Chanyeol menoleh ke arah pintu dan bersamaan dengan masuknya Baekhyun juga Minseok Seonsaeng.

 

Plak!

 

“Kau keterlaluan, Anhel. Tentunya kau tahu konsekuensi melukai naga yang memiliki tuan, kan? Kau hampir membunuh istrimu.”

 

Oh, God. Mungkinkah melukai atau membunuh naga bertuan akan berdampak pula pada sang tuan itu sendiri? Jadi tubuhku yang lemah ini merupakan dampak dari terlukanya Milan kemarin?

 

“Milan sekarat dan Sheol berusaha mengobatinya. Harusnya kau tidak langsung menarik înger pergi dan membiarkannya mengobati Milan terlebih dahulu. Sheol terlihat pucat saat kami mendatanginya, bahkan lebih pucat lagi saat tahu anaknya tengah sekarat.”

 

Baekhyun masih terus bicara, dan aku bisa merasakan hawa kelam di sampingku. Kris Seonsaeng nampaknya sangat marah dan kecewa. “Yasya, kuminta agar kau mengantar înger ke Seoul dua hari lagi setelah ia merawat Drake. Aku mulai tak percaya dengan makhluk satu ini,” ujarnya sinis sembari menatap tajam ke arah Chanyeol.

 

Kris Seonsaeng mengusap kepalaku sekilas lalu bangkit dari duduknya dan mengajak Minseok Seonsaeng untuk pulang. Setelah mereka menghilang, aku mencoba kembali berdiri dan menatap Baekhyun. “Yasya, bisa tolong antarkan aku ke kamar Drake?” tanyaku pelan. Ia hanya mengangguk lalu menghampiriku dan merangkulku agar aku tidak jatuh.

 

“Akh…” Kepalaku sangat sakit, rasanya berputar dan ingin sekali kupukul sekuat-kuatnya agar sakit ini hilang.

 

“înger, kau sedang tidak sehat. Lebih baik istirahat dulu di sini. Kau bisa melihat Drake setelah istirahat nanti. Aku yang akan merawatnya.”

 

“Tidak, Yasya, aku sehat—“

 

Seiring rasa sakit yang semakin menjadi, aku sadar jika saat ini mataku menutup dengan sendirinya. Karena yang terakhir kali kuingat ialah suara teriakan Baekhyun dan mungkin pelukan Chanyeol di tubuhku, sebelum aku benar-benar lenyap dalam kegelapan ini lebih dalam lagi.

 

 

TBC

 

 

Setelah ini ada side story about Luhan. Mungkin akan diprotect kkk tapi ga tau juga. See ya!



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles