Tittle : FALLEN | CHAPTER 6B: TAK ADA YANG MENYELAMATKAN
Author : @dearmydeer_
Main Cast : -Lucinda Price : Park Gi Eun (OC)
-Daniel Grigori : Xi Luhan (EXO-M)
-Cameron Briel : Wu Yi Fan a.k.a Kris (EXO-M)
-Arriane Alter : Amber Josephine Liu (F(X))
-Pennyweather Van Syckle-Lockwood : Lee Sun Kyu a.k.a Sunny (SNSD)
-Gabrielle Givens : Lee Hyori (OC)
-Roland Sparks : Roland Sparks (OC)
-Mary Margaret ‘Molly’ Zane : Choi Jin Hee (OC)
-Sophia Bliss : Kim Hyun Jin—Miss Kim (OC)
-Randy : Kim Joon-myun a.k.a SuHo (EXO-K)
-Callie : Jung Ji Hyun (OC)
-Todd Hammond : Park Chanyeol (EXO-K)
-Trevor : Trevor (OC)
Genre : Western-Life, Paranormal Romance, Supernatural Romance, Young Adult Fiction, Fantasy
Sumber : FALLEN karya Lauren Kate
Ps : mian kalo banyak typo dan bahasanya susah untuk di mengerti .-.V
CHAPTER 6B:
TAK ADA YANG MENYELAMATKAN
Rambut Gi Eun masih meneteskan air dan kedua kakinya masih telanjang ketika ia berpikir-pikir di depan pintu ruang angkat beban yang luas. Tadinya ia bermaksud langsung pergi ke ruang ganti untuk menukar pakaian dan mengeringkan tubuh. Ia tidak tahu kenapa masalah Hyori ini begitu mengganggunya. Luhan boleh berpacaran dengan siapa pun yang ia mau, bukan? Mungkin Hyori suka dengan cowok yang mengacungkan jari tengah padanya.
Atau, kemungkinan yang paling benar, peristiwa itu tidak terjadi pada Hyori.
Tapi tubuh Gi Eun lebih menguasai pikirannya ketika ia melihat Luhan sekilas. Cowok itu memunggunginya dan berdiri di pojok memilih tali skipping dari tumpukan kusut. Gi Eun memperhatikan saat cowok tersebut memilih tali tipis biru dengan pegangan kayu, lalu pindah ke tempat kosong di tengah ruangan. Warna kulit Luhan yang keemasan nyaris bersinar, dan tiap gerakan yang dibuatnya, baik saat ia memutar lehernya yang jenjang untuk peregangan atau membungkuk untuk menggaruk lutut, membuat Gi Eun terpesona menatapnya. Ia bersandar pada pintu masuk, tida sadar geliginya menggemeletuk dan handuknya basah.
Ketika Luhan memposisikan talinya di belakang tumit tepat sebelum ia mulai melompat, Gi Eun merasa diterjang gelombang déjà vu. Bukan karena ia merasa pernah melihat Luhan lompat tali sebelumnya, tapi lebih pada cara Luhan berdiri terasa tidak asing. Cowok itu berdiri dengan kedua kaki mengangkang (?) selebar pinggul, melemaskan lutut, dan mendorong bahunya ke bawah saat ia mengisi paru-paru dengan udara. Gi Eun nyaris bisa menggambarnya.
Baru pada saat Luhan mulai memutar tali Gi Eun terbangun dari ketidaksadarannya, dan memasuki alam pikiran yang lain. Seumur hidup, ia berlum pernah melihat orang yang bisa membuat gerakan seperti itu. Luhan seakan terbang. Tali melesat ke atas dan melewatu tubuhnya yang tinggi begitu cepat sehingga gerakannya tidak tampak, lalu kedua kakinya—kaki yang langsing dan indah—apakah keduanya menyentuh lantai? Ia bergerak begitu cepat, bahkan mungkin cowok itu sendiri tidak bisa menghitungnya.
Geraman keras dan suara berdebum di sisi lain ruang angkat beban mengalihkan perhatian Gi Eun. Chanyeol terpuruk di bawah salah satu tali simpul untuk memanjat. Sesaat Gi Eun kasihan pada Chanyeol, yang menunduk menatap telapak tangannya yang melepuh. Sebelum Gi Eun bisa menoleh kembali kea rah Luhan untuk melihat apakah cowok itu memperhatikan, aliran hitam yang dingin pada kulitnya membuat Gi Eun bergidik. Awalnya bayangan itu menyapu dirinya dengan lambat, sedingin es, suram, tidak bisa dilihat dengan jelas. Lalu, tiba-tiba saja menjadi kasar, bayangan itu menabrak tubuh Gi Eun dan mendorongnya ke belakang. Pintu ruang angkat beban terbanting menutup di depan wajahnya dan Gi Eun sendirian di lorong.
“Aw!” ia berseru, sebenarnya bukan karena merasa sakit, tapi karena ia belum pernah disentuh bayangan. Ia menatap kedua lengannya yang kosong, rasanya seakan ada tangan –tangan yang mencengkeramnya, mendorongnya ke luar ruang olahraga.
Ini tidak masuk akal—ia hanya kebetulan berada di tempat yang aneh; pasti ada angin keras yang bertiup ke dalam ruang olahraga. Dengan gelisah Gi Eun mendekati pintu yang menutup dan menekankan wajahnya pada kaca segi empat kecil di pintu.
Luhan menoleh ke sekelilingnya, seakan mendengar sesuatu. Gi Eun yakin Luhan tidak tahu dirinyalah yang menimbulkan suara: Cowok itu tidak mengerutkan kening.
Gi Eun memikirkan saran Roland yang menyuruhnya menanyakan apa yang terjadi pada Luhan, tapi dengan segera menyingkirkan pikiran itu. Sangat tidak mungkin menanyakan apa pun pada Luhan. Ia tidak ingin membuat kening Luhan berkerut.
Lagi pula, pertanyaan apa pun yang akan ditujukannya sepertinya percuma saja. Ia sudah mendengar apa yang perlu diketahuinya tadi malam. Rasanya ia akan menjadi orang yang kejam sekali jika harus membuat Luhan mengakui memang berpacaran dengan Hyori. Gi Eun berbalik kembali mneuju ruang ganti ketika menyadari bahwa ia tidak bisa pergi.
Kuncinya.
Kunci itu pasti terlepas dari genggamannya saat ia terhuyung ke luar ruangan. Ia berjinjit untuk mengintik ke bawah melalui panel kaca kecil di pintu. Disanalah kuncinya, benda perunggu payah di atas matras senam berwarna biru. Bagaimana kuncinya bisa sampai sejauh itu ke seberang ruangan, begitu dekat dengan tempat Luhan berolahraga? Gi Eun menghela napas dan membuka pintu, berpendapat jika memang harus ke dalam, setidaknya ia akan melakukannya dengan cepat.
Sambil meraih kunci, ia mencuri pandang sekali lagi kea rah Luhan. Lompatan cowok itu mulai melambat, makin lambat, tapi kedua kakinya masih nyaris tidak menyentuh lantai. Kemudian, dengan gerakan terakhir yang seringan udara, ia berhenti dan berpaling untuk menatap Gi Eun.
Sesaat, cowok itu tidak berkata apa-apa. Gi Eun bisa merasakan dirinya merona dan benar-benar berharap tidak mengenakan pakaian renang mengerikan ini.
“Hai,” hanya itu kata yang terpikir oleh Gi Eun.
“Hai,” sahut Luhan, dengan nada yang jauh lebih tenang. Lalu, member isyarat kea rah pakaian Gi Eun, ia bertanya, “Apa kau menang?”
Gi Eun tertawa menyedihkan dan menggeleng. “Jauh dari kemenangan.”
Luhan mengerutkan bibir. “Tapi kau selalu…”
“Aku selalu apa?”
“Maksudku, kelihatannya kau perenang yang andal.” Cowok itu mengangkat bahu. “Itu saja.”
Gi Eun melangkah mendekati Luhan. Mereka berdiri hanya terpisah tiga puluh sentimeter. Butiran air jatuh dari rambut Gi Eun dan menetes seperti hujan di alas senam. “Bukan itu yang hendak kaukatakan tadi,” Gi Eun berkeras. “Kau bilang aku selalu…”
Luhan menyibukkan diri dengan menggulung tali di pergelangan tangan. “Yah, yang kumaksud bukan kau kau. Maksudku secara umum. Mereka biasanya membiarkanmu memenangkan pertandingan pertama di sini. Semacam kode etik tak tertulis untuk murid-murid lama.”
“Tapi Hyori juga tidak menang,” balas Gi Eun, emlipat tangan di depan dada. “Padahal dia anak baru. Ia bahkan tidak masuk ke kolam renang.”
“Dia bukan benar-benar anak baru, hanya baru kembali dari… jeda.” Luhan mengangkat bahu, tidak menunjukkan perasaan apa pun terhadap Hyori. Sikap cowok itu yang jelas-jelas menunjukkan ketidakpedulian semakin membuat Gi Eun cemburu. Gi Eun memperhatikan bagaimana Luhan terus melilitkan tali hingga membentuk gelungan, bagaimana kedua tangannya bergerak nyaris secepat kedua kainya. Dan Gi Eun beridir di sini dengan kikuk, sendirian, kedinginan, dan diabaikan soal segalanya oleh semua orang. Bibirnya bergetar.
“Oh, Park Gi Eun,” Luhan berbisik, menghelas napas dengan berat.
Seluruh tubuh Gi Eun menjadi hangat mendengar kata-kata itu. Suara cowok itu begitu intim dan tidak asing.
Ia ingin Luhan mengucapkan namanya lagi, tapi cowok tersebut sudah berbalik. Ia menyangkutkan tali ke pasak di dinding. “Aku harus berganti pakaian sebelum masuk kelas.”
Gi Eun menahan lengan Luhan dengan tangannya. “Tunggu.”
Cowok itu tersentak seperti disetrum—dan Gi Eun marasakannya juga, tapi ini semacam setruman yang menyenangkan.
“Apa kau pernah merasa…” Gi Eun mengangkat tatapannya ke mata Luhan. Dalam jarak sedekat ini, Gi Eun bisa melihat betapa tidak biasanya kedua mata tu. Dari kejauhan, kedua mata tersebut kelihatan berwarna kelabu, tapi pada jarak sedekat ini tampak ada bercak-bercak ungu didalamnya. Ia pernah kenal orang yang bermata seperti itu…
“Aku berani bersumpah kita pernah bertemu,” Gi Eun berkata. “Apa aku sudah gila?”
“Gila? Bukankah karena alas an itu kau berada di sini?” cowok itu berkata, mengejek Gi Eun.
“Aku serius.”
“Aku juga.” Wajah Luhan kosong. “Dan asal kau tahu”—ia menunjuk keatas, kea rah berkedip yang dipasang dilangit-langit—“merah selalu memonitor penguntit.”
“Aku tidak menguntitmu.” Tubuh Gi Eun menegang, ia amat menyadari jarak diantara tubuh mereka. “Apa kau bisa mengatakan dengan sejujurnya bahwa kau sama sekali tidak tahu apa yang ku maksud?”
Luhan mengangkat bahu.
“Aku tidak percaya padamu,” Gi Eun berkeras. “Tatap mataku dan katakana aku salah. Bahwa aku tidak pernah melihatmu seumur hidupku sebelum minggu ini.”
Jantung Gi Eun berdebar ketika Luhan melangkah kea rahnya, meletakkan kedua tangan di bahu Gi Eun. Ibu jari cowok itu begitu pas dalam lekukan tulang bahu Gi Eun, dan ia ingin memejamkan mata dalam kehangatan sentuhan Luhan—tapi ia tidak melakukannya. Ia memperhatikan saat Luhan menunduk hingga ujung hidungnya nyaris menyentuh ujung hidup Gi Eun. Gi Eun bisa merasakan napas Luhan pada wajahnya. Ia bisa menghirup sedikit aroma manis pada kuliat Luhan.
Luhan melakukan apa yang diminta Gi Eun. Cowok itu menatap mata Gi Eun dan berkata, perlahan-lahan, dengan sangat jelas, sehingga kata-katanya tidak mungkin disalah artikan.
“Kau tidak pernah melihatku seumur hidupmu sebelum minggu ini.”
To Be Continue
Buat yang udh baca chapter ini jangan lupa tinggalin comment ya…
Don’t be a silent readers
Gomawo ^^
