Title : Yours, Only Me (Unpredictable Meeting)
Author : Leon (@itaitaws)
Genre : Romance
Length : Series
Rating : PG-15
Main Cast : Park Chanyeol (EXO) ; Choi Inhi (OC)
Warn : Typos & grammar (maybe)
“Name isn’t difficult to say, is it?”
Setiap manusia pasti akan mengalami saat-saat percobaan terbesar dalam hidupnya. Entah saat bayi, remaja, dewasa, maupun lansia. Tergantung Yang Maha Kuasa mengaturnya. Tergantung anggapan kita mengenai seberapa berat percobaan tersebut. Tergantung seberapa kuat kita menjalani percobaan itu.
Layaknya aku kini. Kurasa ini adalah percobaan Tuhan yang terbesar selama 21 tahun usiaku.
Perusahaan appa bangkrut dan beliau setiap hari dikejar para penagih hutang yang tidak berbelas kasih. Beruntung aku sudah semester akhir dan kini sedang pusing-pusingnya menyusun skripsi. Belum lagi soal beasiswa yang mesti kupertahankan mengingat kami harus sebisa mungkin menimaliskan pengeluaran.
Eomma pergi meninggalkan kami untuk kembali kepada mantan kekasihnya. Aku bahkan tidak menyangka kalau eomma sudah lama berhubungan di belakang appa dengan mantan kekasihnya tersebut. Awalnya eomma memang mengajakku pergi bersamanya. Tapi maaf saja, seumur hidup aku paling membenci orang yang selingkuh. Jadi sudah dipastikan aku tidak sudi menjadi bagian dari ‘keluarga baru’ mereka. Lagipula, dari awal eomma sudah bersikap seolah tidak membutuhkanku. Maksudku, eomma bersikap seolah hanya Ara-lah anaknya dan aku bukan lantaran kepribadian kami yang tidak pernah bisa cocok. Awalnya aku terpuruk, tentu saja. Namun seiring bergulirnya waktu, rasa itu hilang sedikit demi sedikit dan berubah menjadi, tidak suka?
Kakak laki-lakiku, Choi Minho, berada di london dan bekerja di sana. Minho oppa terbilang masih pemula dengan pekerjaannya. Jadi, walaupun dia sudah memberi sebagian besar tabungannya untuk appa, tetap saja kurang mengingat hutang appa yang nominalnya tidak biasa. Yang aku bingung, appa justru tidak pernah menggunakan uang dari oppa untuk membayar hutanganya. Appa bilang itu percuma, uang itu pasti kurang dan akan lebih baik bila digunakan untuk keperluan kami bertiga sehari-hari. Sebenarnya aku tahu alasan dibaliknya karena appa tidak tega menggunakan uang Minho oppa yang susah payah dia kumpulkan sejak awal merintis karier. Dan aku bertaruh, jika masalah ini selesai, pasti oppa akan menerima kembali uangnya dari appa, walaupun mungkin dengan jumlah yang berkurang
Adikku—yang untungnya hanya 1—Choi Ara. Dia ikut dengan appa bersamaku. Padahal kukira dia akan ikut eomma mengingat dirinya menempel sekali pada eomma kala itu. Meskipun keadaan berubah, tapi dia tetap mistis, tetap aneh. Dia mengatakan kepadaku kalau kebangkrutan perusahaan appa sudah ia prediksi sejak lama.
Dan kini aku dan Ara tinggal dengan appa, di rumah kami yang gelap tanpa tahu waktu. Entah pagi, siang, malam, keadaannya tidak berbeda. Gelap. Appa bilang, bila rumah gelap para penagih hutang itu akan mengira kami tidak ada di rumah. Tapi menurutku itu tidak efektif, buktinya mereka sering menggedor kencang pintu rumah hingga rasanya jantungku mau berhenti.
***
Ini dia kampusku. Salah satu universitas kedokteran terbaik se-Asia. Rasanya sudah lama sekali tidak menginjakkan kaki di sini lantaran penelitian yang kulakukan di luar kampus untuk skripsi.
Sebenarnya aku ke sini hanya untuk menghadiri seminar motivasi bagi semua mahasiswa sekaligus bertemu dengan teman. Nanti malam akan diadakan pesta ulang tahun pernikahan seniorku di kampus dulu, dan aku diundang. Sampai saat ini predikat mahasiswi populer masih melekat padaku sekalipun kabar soal kebangkrutan perusahaan appa sudah merebak cepat layaknya virus. Soal pacar, sekarang aku single. Lagipula aku tidak berminat memilikinya saat ini lantaran pribadiku yang tidak suka merepotkan orang.
Sebuah Chevrolet Spark EV biru berhenti mulus tepat di depanku. Kaca depan terbuka dan disitu muncul wajah datar Park Hyesa, orang yang membuatku menunggu. Kubuka pintu penumpang dan langsung meletakkan bokong di jok. Kakiku rasanya pegal sekali, walau hanya berdiri diam 15 menit. Bagaimana tidak, setiap hari aku selalu menggunakan heels dengan ketinggian minimal 10cm, termasuk hari ini. Tanganku bergerak asal memijit betis yang rasanya berada di puncak terpegal.
“Susah ya tidak ada mobil pribadi lagi?” Tanya Hyesa jelas-jelas menyindir. Tangannya bergerak gemulai mengendalikan stir dengan mata yang melirikku sesekali. Aku hanya nyengir tidak jelas sambil diam-diam memikirkan Porsche yang baru kupelihara selama 8 bulan. Pasalnya diantara mobil appa yang dulu berjejer di garasi, mobil itulah yang paling menarik perhatianku. Sayangnya mobil-mobil tersebut sudah berhasil dilelang tanpa menyisakan 1 pun.
“Kau naik apa ke sini tadi?”
“Bis.”
“W-whaat? Bus? Ugh, I won’t like that shit place!”
Sama sepertiku, Hyesa sudah menjalani hidup makmur sejak kecil. Tapi dia lebih beruntung karena tidak perlu merasakan kebangkrutan orang tua yang membuatnya susah.
“Tidak buruk juga. Pria yang duduk di sebelahku tadi cukup tampan. Kalau aku sedang mengenakan rok mini mungkin aku sudah mengangkatnya beberapa senti,” sahutku asal. Tawa kami menyembur begitu saja hingga mobil ini berhenti di destinasi selanjutnya.
***
Aku mulai menggeledah wardrobe khusus pakaian formal yang berada di paling ujung kamar. Sebangkrut-bangkrutnya appa, beliau tidak akan tega melelang baju, sepatu, atau segala barang yang berada di kamarku, kecuali aku mengizinkan. Beliau cukup pengertian mengenai sifat shopaholic yang harus kukubur dalam-dalam saat ini dan hanya mampu terlampiaskan melalui properti yang kumiliki sekarang.
“Which one?” Tanyaku pada Hyesa yang ikut masuk ke dalam wardrobe bersamaku. Kini ada gaun mini ungu dengan model spandex ketat di tangan kananku, dan gaun abu-abu dengan bunga yang mengelilingi pinggang dengan bentuk rok A line tanpa hiasan lain di tangan kiriku. Dua-duanya didesain mengeksplor pundak.
“They both are good,” sahut Hyesa, namun pandangan gadis itu lebih tertubruk pada gaun di tangan kiriku.
“Okay, I know this is better.” Aku bergegas memasukkan kembali gaun ungu tersebut kembali ke lemari lalu menutup pintunya.
“Kau lebih cocok pakai yang ungu untuk ke kelab.”
“Itu gaun pesta, Hye. Dan aku tahu benar baju untuk ke kelab jauh lebih eksotis. Seperti… Ah ini dia,” ujarku lalu mengacungkan mini dress biru metalik spandex dengan belahan dada rendah dan punggung yang hanya tertutup setengah. Lagi-lagi kami tertawa, gaun itu memang milikku tapi sekalipun aku tak pernah menggunakannya.
“Seharusnya warnanya gold atau perak. Kau kan jadi bisa menambah kerlapan lampu disko,” ucap Hyesa lalu mengambil mini dress tersebut dan kembali menggantungnya. Setelahnya dia mendorongku keluar dari wardrobe masih dengan tawa yang berlanjut.
“Now we see how freak we are.”
Seusai memilih baju, aku dan Hyesa ‘membereskan’ diri semaksimal mungkin. Kami sudah melakukan spa 2 jam yang lalu. Untuk masalah rambut dan wajah, kami lebih mempercayai satu sama lain. Maksudnya, Hyesa yang akan menghiasku, berikut sebaliknya. Perlu diingat kalau aku harus meminimalisir pengeluaran walau sebenarnya Hyesa juga tidak keberatan untuk membiayai semuanya.
Waktu yang dibutuhkan Hyesa untuk menghiasku cukup lama. Wajar saja, rambutku 2 kali lebih panjang darinya. Wajahku cukup sulit untuk di make up, terutama mata. Orang-orang bilang mataku unik, bagian kanan memiliki kelopak yang masuk ke dalam hingga terlihat seakan hanya memiliki sebelah kelopak mata. Aku tidak mau repot-repot operasi karena zaman ini kecantikan wajah apapun bisa dilakukan dengan sentuhan make up.
Akhir segala riasan malam ini adalah topeng, secara tema kali ini adalah pesta topeng. Tidak mengherankan juga bila tema pesta topeng yang dipakai di acara ini, karena sang pemilik pesta baru merayakan anniversary mereka yang ketiga. Usia pernikahan yang baru seumur jagung, dan pasangan tersebut juga berusia relatif muda.
“Can we go now?”
“Keurom!”
***
Aku memilih segelas koktail berwarna biru yang berada hanya 1 diantara deretan koktail beragam warna dan penampilan. Menyesapnya sedikit, meresapi rasa lime juice dan vodka currant sekaligus aroma rum yang tidak terlalu kentara.
Aku mengitari ballroom hotel yang luasnya ampun-ampunan ini dengan gelas koktail yang bertengger indah di tangan. Hyesa sudah menghilang entah ke mana. Kemungkinan besar dia sudah menggaet seorang pria atau lebih. Sialnya, aku sendirian dan sejauh ini belum melihat seorang temanpun yang bisa kuajak bicara. Atau mungkin otakku saja yang tidak bisa mengira-ngira siapa saja orang dibalik topeng-topeng tersebut. Ck, bodoh!
“Dansa denganku?”
Sebuah tangan besar meraih pinggangku dari samping. Aku menoleh dan mendapati seorang pria tinggi dengan jas abu dan kemeja hitam tersenyum kepadaku. Dia mengedikkan kepala ke kiri seolah menunggu respon.
“Boleh,” jawabku dengan senyum. Aku bergegas menaruh gelas koktail di meja terdekat berikut mengikuti pria asing itu ke lantai dansa.
Dia memosisikan sebelah tangannya di pinggangku dan sebelahnya lagi menggenggam tanganku ringan. Pria itu kembali tersenyum. Aku bersumpah, senyumannyalah yang paling memikat diantara semua laki-laki yang pernah kutemui. Meskipun dengan setengah wajah tertutup topeng, aku yakin wajah di balik itu tampan.
“Apa aku mengenalmu?” Tanyaku setengah bergumam. Matanya adalah satu-satunya objek yang mendapat perhatianku sekarang.
“Sepertinya tidak.”
“Siapa namamu?”
“Nanti kuberitahu, karena aku juga penasaran siapa namamu, nona,” lanjutnya lalu melepas pinggangku. Mengangkat tangannya mempersilakanku berputar. Secepat aku berputar, secepat itu pulalah tangannya kembali mendekapku. Tangan lebar yang terasa hangat meski tidak menyentuh langsung ke kulit.
“Why? Name isn’t difficult to say, is it?” Tanyaku tak puas.
“Just enjoy our dance, we can know each other then,” ucapnya tegas, namun sama sekali tidak terdengar sinis lantaran senyum indah itu kembali terlukis di sana.
“Kau tidak berniat mengajakku one night stand setelah ini, kan?” Tanyaku iseng. Yah, hanya berjaga-jaga. Aku tipe orang yang selalu memilikirkan hal terburuk di awal.
Pria itu tertawa seketika. Suaranya yang berat langsung membuatku terpesona sesaat. Menurutku pribadi, laki-laki dengan suara berat seperti inilah yang menarik. “Kalau kau mau aku tidak keberatan,” jawabnya di sela tawa.
“Kau tidak bertanya apa aku punya pacar atau tidak?”
“Well, tidak masalah bagiku sekalipun kau punya pacar.”
Seseorang menabrakku dari belakang. Tubuhku terlontar ke depan lalu pria itu memelukku hingga wajahku tepat berada di cekungan lehernya. Sumber nadinya, tempat feromon tubuhnya yang tercium paling pekat. Dia diam, tak begerak. Begitu pula aku. Dekapannya mengerat, membuat tubuh kami yang sebenarnya sudah menempel ini semakin merekat. Tanganku bergerak perlahan melingkari lehernya lalu membenamkan wajah di sana. Menghirup aroma pria ini banyak-banyak. Perpaduan antara aroma maskulin dan parfum berkelas yang lembut. Kupejamkan mataku rapat-rapat, berusaha menyimpan aroma memabukkan ini kedalam memoriku.
Tak tahan, kuangkat kepalaku dari lehernya lalu dengan gerakan cepat menyambar bibirnya dengan bibirku. Melumatnya dalam-dalam tanpa peduli dimana aku berada dan status kami berdua. Sebelah tanganku bergerak ke kepalanya, meremas rambutnya yang terasa agak kaku. Mungkin pengaruh gel. Aku dapat merasakan tubuhnya yang menegang diawal namun berlanjut rileks setelahnya. Bibirnya yang awal bergerak pasif kini justru membuatku kewalahan.
Aku mengerang tertahan. Lidahnya lolos begitu saja di dalam mulutku. Memberi kehangatan yang sudah lama tidak kudapatkan dari pria manapun. Mencumbuku dengan caranya yang memabukkan. Susah payah aku menarik diri. Tidak ingin semuanya berlanjut lalu akan berakhir one night stand seperti perkiraan burukku.
“Bibirmu..” Ucapku tersendat. Bingung harus mengatakan apa. Noda lipstick yang kugunakan menempel cukup banyak di sekitar bibirnya. Sebelah tangan pria itu bergerak ke belakang celana dan mengeluarkan sapu tangan. Dia mengelap bibirnya, hanya gerakan biasa namun terlihat sensual di mataku.
“Siapa namamu?” Tanyaku sekali lagi. Aku benar-benar penasaran sekarang. Aku tidak peduli dengan egoku sebagai wanita yang seharusnya ditanya lebih dulu soal ini.
“Kau mau tahu?” Tanyanya balik.
“Sure, if I don’t it feels like I’m prostituting my self to you. Although without paying,” ujarku sedikit sinis. Pria ini penuh teka-teki, dan seumur hidup baru kali ini ada pria yang membuatku sebegini penasaran hanya karena nama.
Dia tersenyum menarik pinggangku yang tadi sedikit menjauh. Menundukkan kepalanya sedikit hingga dahi kami menempel. “Namaku.. Chan..”
“Inhi!!”
Sontak aku menjauhkan kepalaku darinya lalu menoleh ke samping. Hyesa berjalan tergesa menghampiriku. Sedikit enggan, aku melepaskan pelukkan pria itu.
“Mau pulang? Sebelum tepat tengah malam,” ujar Hyesa. Dia melirik sedikit pria yang berdansa bersamaku tadi. Menyipitkan mata di balik topeng seolah menelisik.
“Okay,” ucapku pasrah setelah melihat jam yang tergantung disalah satu dinding.
“Aku.. Em.. Pulang,” ucapku terbata, menghadap pria tersebut dengan senyum canggung. Aku baru saja akan berbalik ketika dia menahan tanganku. “Namamu?” Tanyanya.
“Inhi. Choi Inhi.”
Aku membuka topengku dan sekali lagi tersenyum padanya untuk terakhir kalinya malam ini.
***
“Kau yang menyetir!”
Hyesa melemparkan kunci mobilnya padaku setelah membuka kunci otomatis. Aku langsung duduk di balik kemudi, sedikit merenggangkan otot sembari memanaskan mobil ini sebentar. Hyesa sudah menurunkan kursi dan matanya kini menatap sayu keadaan luar di balik kaca depan mobil. Dia menggumam tidak jelas, dan aku yakin dia baru saja mengkonsumsi alkohol dengan kadar tinggi. Bukankah tadi dia terlihat normal?
Kukemudikan mobil ini perlahan keluar dari hotel. Keadaan di sini cukup padat. Telunjukku mengetuk-ngetuk setir tak sabar. I love high speed, dan aku tidak suka dengan keadaan jalan yang sebegini ramai.
“Kau mau menginap di rumahku atau..”
“Tenang saja, aku masih bisa mengemudi 100 meter.”
“Good.”
Rumah Hyesa dan aku hanya berjarak sekitar 30 meter. Setelah berkata begitu tentu aku cukup yakin dia tidak apa-apa. Chevrolet biru Hyesa kutepikan di depan mini market. Aku berjalan cepat keluar lalu membeli dua kotak susu untuk menetralisirkan alkohol di tubuh temanku yang mabuk itu.
“Cepat minum,” ujarku ketika sudah kembali duduk di balik kemudi. Tanganku menyodorkan sekotak susu yang sudah kutusuk sedotan padanya.
Jalanan kota Seoul cukup lenggang malam ini. Bertolak belakang dengan keadaan di sekitar hotel tadi. Aku menginjak gas dalam-dalam hingga mobil ini melaju dengan kecepatan 100 km/jam. Tidak sampai setengah jam, chevrolet biru Hyesa sudah berada di depan rumahku yang anehnya tidak gelap kali ini. Kalau saja lampu rumah ini mati, aku lebih memilih kembali menginjak pedal dan menuju rumah Hyesa untuk menginap di sana. Bukannya sombong, tapi rumahku itu besar. Dengan keadaan rumah dan jalanan yang gelap, bukan tidak mungkin akan ada err.. Hantu. Nah, kalau sudah begini apa yang bisa kusombongkan?!
Aku berjalan masuk dengan langkah cepat. Dengan keadaan terang beginipun aku masih takut. Hal pertama yang kulihat ketika memasuki rumah adalah appa dan Ara yang berjalan cepat ke pintu. Aku melongo di tempat, bergelut dengan pikiran sendiri. Mau kemana mereka tengah malam begini?
“Kajja eonnie, mereka sudah datang!” Ara menarik tanganku lalu berjalan cepat keluar. Dia menyerahkan mantelku yang dijinjingnya pada tangannya yang bebas. Aku memakai mantelku cepat-cepat, mengimbangi langkah kami yang terburu.
Sebuah mobil mewah sudah bertengger tepat di depan gerbang. Setahuku saat aku masuk mobil ini belum ada. Dua orang dengan tubuh kekar melipat tangan di dada dengan mata yang menatap kami tanpa ekspresi. Salah seorang dari mereka membukakan pintu mobil dan kami berlima melaju dengan kecepatan tinggi membelah Seoul.
***
Aku masih belum bisa mencerna apa yang tengah tejadi sekarang. Tahu-tahu saja aku sudah berada di tengah keluarga Park—sebagaimana mereka menyebutkan tadi—bersama appa dan adikku. Dengan wajah masih ‘full make up’ dan baju yang belum berganti sehelai pun aku merasa terintimidasi akan senyuman mereka yang sebenarnya hangat. Kepalaku pusing seolah baru menenggak berbotol-botol soju.
Baiklah ini konyol. Mana ada orang yang mengadakan pertemuan antar keluarga di waktu seperti ini. Lagipula, soal keluarga Park, mereka terasa asing. Jika sudah seperti ini, aku jadi mengira-ngira kalau ini acara lamaran atau perjodohan seperti yang ada di drama-drama.
“Nah Chanyeol-ah, gadis itu yang akan menjadi asistenmu,” ujar seorang wanita setengah baya yang duduk di samping laki-laki yang kurasa bernama Chanyeol itu.
“Yang mana eomma?” Tanya Chanyeol balik.
“Yang pakai blus putih, cantik kan?”
Chanyeol menatap adikku intens. Tidak lama, karena detik setelahnya dia justru memusatkan fokusnya padaku. Aku berjengit kaget, tatapannya padaku jauh lebih intens dibanding ketika dia menatap Ara. Jemariku refleks mencengkram bagian rok dress yang kukenakan.
“Tapi aku mau yang satunya, eomma!” Cetus Chanyeol tiba-tiba. Dagunya bergerak ke depan seolah menunjukku. Mataku melebar, semakin menegakkan posisi dudukku dengan raut tegang. Semua orang di sini menatapku di saat hal yang aku tahu harus dilakukan hanyalah mematung tolol.
“Ehm, begini Chanyeol-ah. Inhi dalam masa semester akhir kuliahnya dan sangat sibuk. Dia tidak akan bisa mengurusmu banyak-banyak.” Kini giliran pria setengah baya yang duduk berseberangan dengan appa. Satu hal yang kuyakin dia adalah ayahnya Chanyeol. Ah, aku mulai mengerti di sini. Appa menjual putrinya! Astagaa! Aku tahu benar hutang appa yang besar itu pada keluarga Park. Dan Ara lah yang akan appa taruhkan demi hutangnya itu. Sayangnya Chanyeol seperti menginginkan sebaliknya.
“Ne Chanyeol, lagipula adiknya juga cantik. Mereka mirip, kan?” Ibu Chanyeol berusaha membujuk anak laki-lakinya itu.
“Aku mau Choi Inhi. Tidak masalah ia tidak bisa mengurusku maksimal sekarang,” ujar Chanyeol bersikukuh. Matanya tidak lepas dariku. Satu hal yang perlu kusyukuri, tatapannya hangat dan.. Familiar. Entahlah.
Tuan Park berdeham sedikit. Menegakkan duduknya dan berkata, “Jong Hwan~shi, bagaimana? Maaf karena semuanya di luar rencana.”
“Tidak apa-apa. Jadi, hutangku lunas, kan?” Tanya appa dengan wajah berbinar yang sangat kentara. Tuan Park mengangguk, berikut kedua ayah itu berjabat tangan.
Uh-oh jika sudah begini, kesimpulan akhir berarti aku yang.. Andwe! Lidahku kelu. Aku hanya menatap appa tanpa di balas olehnya. Aku beralih menatap adikku dan dia hanya menatapku dengan tatapan menyesal dan lega yang tidak bisa ditutupi.
“Kalian menginap di sini saja berhubung rumah kalian yang akan direnovasi akibat ulah anak buahku. Kamar tamu sudah dibersihkan untukmu, Jong Hwan~shi. Lalu Ara, kau bisa tidur dengan Yoora. Dan Inhi.. Chanyeol, kau mau kan berbagi tempat tidur dengan Inhi? Hanya semalam,” ucap tuan Park panjang lebar. Aku menganga. Tidur dengan Park Chanyeol? Aku mengutuk sendiri dalam hati sampai suara berat Chanyeol kembali terdengar.
“Ne, kajja Inhi!”
Aku mengikuti Chanyeol naik ke lantai dua dan masuk ke kamarnya yang berada tepat di samping tangga.
“Kau mau mandi?” Tanyanya begitu mempersilahkanku masuk lebih dulu. Aku mengangguk. Chanyeol menuju lemari lalu mengambilkan sehelai handuk putih berikut sehelai kaus biru tua.
“Itu kamar mandinya. Kalau mau sikat gigi, ambil saja yang baru di kotak bercukur.”
Aku segera mengambil barang-barang dari tangan Chanyeol lalu berjalan menuju pintu yang tadi di tunjuknya.
Otakku rasanya berangsur rileks ketika siraman air hangat mengucur dari kepala ke seluruh tubuh. Aku keluar dari kamar mandi dan totally smelled like Chanyeol. Dengan kaus kedodoran milik pria itu, aku menggantung handuk kemudian berjalan ke tempat tidur besar miliknya.
“Kau keberatan aku tidur di sebelahmu?” Kataku berbasa-basi. Sedikit melirik ipad yang di genggamnya, yang ternyata berisi.. Entahlah aku tidak mengerti. Satu hal yang pasti itu adalah hal-hal berbau bisnis.
“No. Kau bisa tidur duluan kalau sudah mengantuk,” jawabnya dengan fokus masih pada ipad.
“Aku orangnya setia kawan, jadi aku akan menunggumu.”
Chanyeol menoleh sebentar lalu tersenyum. Senyum ramah yang sampai ke mata. Lagi-lagi rasanya aku familiar dengan senyum ini, tapi di mana?
Aku ikut menyandarkan tubuh pada headbed, seperti Chanyeol. Aku sibuk menciumi lenganku, merasa tidak nyaman dengan aroma sabun khas laki-laki yang melekat di tubuh.
“Kenapa?” Tanya Chanyeol tiba-tiba.
“Aniyo, hanya tidak nyaman dengan sabun pria.”
“Bukankah itu artinya kau tidak nyaman dengan aromaku juga?”
“Hah? Oh, Tentu saja tidak! Aku tidak masalah bila aroma ini berada pada tubuh laki-laki.”
“Kalau begitu sebelum pindah ke rumahku besok, kita harus belanja keperluanmu dulu.”
Aku mengangguk. Sedikit-banyak aku memejamkan mata, berusaha meminimalisir kantuk yang mendera.
“Maksudku bukan rumah yang ini, inhi~ya,” ucap Chanyeol yang seketika membuatku membuka mata. Aku mengerutkan alis bingung. Dan seolah menyadari kebingunganku, Chanyeol melanjutkan, “Aku tinggal sendiri,” lanjutnya dengan mata dan tangan tertumpu pada ipad. Seolah berbicara denganku lewat speaker-phone.
“Bisakah kau menatap lawan bicaramu?” Ketusku kesal. Bagaimana tidak, sejak tadi berbicara padaku, dia hanya menatapku sekali untuk melempar senyum.
“Okay, sorry,” ujarnya kemudian menaruh ipadnya yang sudah dimatikan ke laci meja di samping tempat tidur.
“Maaf?” Tanyanya menghadapku yang masih merengut.
Chanyeol membaringkan tubuhnya lalu menarik tanganku untuk mengikutinya. Aku mengangguk sembari meraih guling lalu memeluknya. Jujur saja, aku bisa tidur di manapun asal ada guling yang bisa kupeluk.
“Can you tell me the whole story?” Tanyaku kemudian, teringat akan kejadian malam ini yang berlangsung secepat kedipan mata.
“What story?” Tanyanya balik.
“Semua yang terjadi malam ini.”
“Akan kuceritakan lain kali, sekarang tidur!”
Aku mendesah pasrah lalu segera menutup mata. Sedikit bersyukur dalam hati karena pria itu mengajakku tidur berhubung mataku sudah terasa perih. Anehnya di sini, kenapa rasanya aku tetap tenang dan bukannya kesal karena perbuatan appa? Park Chanyeol, seorang asing yang tiba-tiba menyusup masuk ke dalam hidupku, yang sepertinya akan mengubah seluruh rencana yang telah kususun matang-matang. Partner baru, kehidupan baru.. Tidak akan buruk kurasa.
