Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Triangle

$
0
0

Judul: Triangle

Nama Author: Vianri Novia (@vianrinovia)

Genre: Song-fic, Angst, Daily-life

Length: One-shot

Main Cast: Lee Minyu (OC) (mainly), Kris Wu

triangle

It’s the same cases everyday.

A place that produces an endless amount of deaths.

Did compassion disappear from this land?

Ngek….ngek…..

Suara besi ayunan tua itu berdecit di tengah keheningan malam. Tali tambang berdiameter 3cm yang terbuat dari serabut kelapa, itulah yang menggantung gagah besi tersebut.

Naik…turun….

Suara decitan tersebut semakin sayup-sayup terdengar. Peregangan tali tersebut pun terlihat sudah berkurang ketegangannya. Sandal tua tersebut menapaki tanah pasir dan penuh dengan guguran daun di bawahnya, membuat pasir dan debu tersebut menari di udara, lantas tak membuat mereka semua meninggi, sebab hukum gravitasi, membuat mereka jatuh ke bawah dengan formasi yang berbeda dari sebelumnya.

Ya…semua hal dipengaruhi oleh gravitasi. Apel Newton yang terjatuh dari pohon. Daun-daun yang berguguran tak berarti. Rintik hujan di jendela yang bahkan mengalir ke bagian bawah. Dan juga..perasaan sendu ini, pertama dilihat oleh mata, dicerna oleh pikiran, diresapi oleh perasaan, kemudian turun ke alam bawah sadar, bak pasir dan tanah lempung yang tercampur ke dalam air, membuat air menjadi keruh, begitu pula perasaanku.

I won’t see it anymore.

I won’t hear of the crashing reality.

Don’t calculate everything by its worth.

People are an important existence.

“Aku bodoh.”

Itulah suara yang terus terngiang dalam benakku. Kulemparkan keluh kesah pada diriku sendiri. Ini semua membuat otakku bekerja lebih keras, membayangkan adanya kepulan asap yang keluar dari kepalaku. Siapa yang bersalah? Tak ada yang bersalah dalam hal ini. Sebenarnya hal ini hanyalah sebatas hal kecil, sekecil pasir yang masuk ke sela-sela kakiku sebab diriku mengenakan sandal terbuka, mungkin. Namun tak kupungkiri, kubuat besar hal ini, memperkarakan hal yang tak layak kugubris. [cr: tiffeiny.blogspot.com]

Sehelai daun pun gugur, menggelitik sweater pink yang kukenakan ini. Aku menoleh, mendapati daun berwarna kecoklatan itu, daun yang tidak sempurna, bisa kau sebut mungkin, tak layak. Bintik kehitaman menjalar di sudut helai daun, rongga-rongga kecil di dalamnya, warna daun yang kuning kecoklatan; daun ini memang sudah tua.

Aku menepis daun itu, tak membiarkannya bersarang terlalu lama pada bahuku. Daun itu pun terjatuh pada genangan air di bawah kakiku. Ya, genangan air hujan, yang telah bercampur aduk dengan pasir dan lumpur, air keruh. Kuperhatikan daun itu, daun tua, bertemu dengan air yang keruh. Sejenak, senyuman simpul timbul pada wajahku. Cocok juga, batinku. Namun, perlahan senyumku pudar, menyadari sesuatu kecil yang kurasakan pada gejolak batinku sendiri. Mereka sama-sama keruh, sama-sama tak dibutuhkan, sama-sama habis waktunya, dan saat itulah mereka bersatu dan dipandang sama satu sama lain.

Lama kumerenung, seperti itukah makna kehidupanku sekarang? Mengusahakan apa yang berada di atasku, dan meremehkan apa yang ada di bawahku. Tanpa kusadari, realita berdiri tegap di depan mataku sendiri.

Tears of blood are falling again because of our dulled hearts.

What will motivate me now?

Like the things that once filled our worlds with beauty.

The dreams we had for the future died.

Apakah ini sudah menjadi jalan takdirku? Mencintai, tanpa dicintai. Melihat, tanpa dilihat. Merasa, tanpa dirasa. Diam-diam aku menuntut hak ku, kapan kesempatan tersebut bergulir padaku? Tanpa menyadari, sebenarnya kesempatan lain telah menunggu jawabanku juga. Apakah aku manusia murtad? Apakah daku adalah manusia yang sangat berdosa, karena berkeinginan menyalahi takdir dan menyia-nyiakan apa yang sudah di depan mata?

Tidak.

Orang lain mungkin menganggapku menyalahi takdir dan menyia-nyiakan kesempatan. Namun aku menyebutnya sebagai berusaha mendapatkan apa yang kuinginkan. Jikalau tak tercapai, baiklah, kusudahi perjuanganku ini. Tak kupaksakan pula. Lagipula, apa salahnya berusaha selama kau masih bisa, bukan?

Setiap orang memiliki pergumulan masing-masing, bergelut dengan masalah yang sebenarnya hanya ditimbulkan oleh pergolakan batin dan ilusi mereka sendiri. Setiap orang pun memiliki ruang untuk merenungkan pergumulan mereka masing-masing, baik itu di kamarnya, di dalam ruang hampa, di mana saja.

Namun, aku tak menemukan ruang tersebut. Sudah kujelajahi rumahku yang tak besar itu. Tempat ku merenung, haruslah tempat yang sunyi, dan sepi, tanpa ada satupun yang bisa melihat air mataku yang terkadang berguling dari sudut mataku. Tidak, aku tidak takut. Aku juga tidak merasa malu. Terkadang aku hanya ingin membatasi diriku sendiri, aku ingin sekali hidup di antara dua dunia; dunia di mana tempat ku melangsungkan kehidupanku, dan dunia di mana aku bisa merenung sendiri; merenungkan perjalanan hidupku; sampai mana aku berjalan dan bagaimana untuk membuat diriku ‘tuk tak kunjung lelah dalam perjalananku ini.

Aku tidak memiliki tempat ini. Seperti yang kau lihat, tempat ini hanyalah taman biasa, tak besar, hanya taman komplek. Namun tempat ini telah menjadi tempat kegemaranku akhir-akhir ini. Di atas ayunan inilah, aku bergumul setiap aku memiliki masalah. Pohon-pohon di sini seolah telah menjadi saksi bisu pergolakan emosiku di usia yang tidak mudah seperti ini. Aku tak pernah berteriak, bahkan bersumpah-serapah di tempat ini. Menurutku, emosi bagaikan burung nuri, mereka akan semakin berkicau ketika kau mencoba untuk menahan mereka dalam sangkar batinmu, memang tak mudah untuk melepaskan mereka; namun bukan berarti kau tak bisa melepaskan mereka. Ingat, pilihanmu hanya dua; tetap menahan burung tersebut dalam cangkang, atau melepaskannya. Ini hanya permainan dari ilusi kehidupan, apakah kau beranggapan dirimu tak bisa melakukannya, atau kau yang membuat dirimu tak mau melakukannya. Itu saja.

No one can take it.

There are no tears to shed.

I can’t take the pain that is penetrating deeply through my bones.

Pernahkah kau merasakan rasa sesak pada dadamu, hingga dia bekerja layaknya pompa, dia bahkan tak mampu lagi mengeluarkan air matamu dari pelupuk matamu? Ya, terkadang menangis bukanlah hal yang buruk. Ketika kau lahir ke dunia, pertama yang kau lakukan adalah menangis. Seorang bayi; yang setelah keluar dari perut bundanya; bila tak menangis walaupun telah dicoba untuk dibangunkan; akan dianggap tak bernyawa dan mati.

Terkadang memang perlu mengeluarkan emosi dalam diri, salah satunya dengan menangis. Aku tak menangis, bukan karena aku lemah. Aku tak menangis bukan karena aku takut semua orang akan menertawakanku. Aku tak menangis, tepatnya karena mata ini sudah terlalu lelah untuk mengekspresikan perasaan senduku ini, karena aku lelah, selalu terlihat terpuruk dan menyedihkan. Karena diriku mengetahui, ini bukanlah terakhir kalinya diriku menangis. Yang mampu kulakukan selanjutnya hanyalah terus-terusan menyesal dan menyalahi diriku sendiri; melemparkan amarahku dan menggulingkan kekesalanku pada diriku sendiri; karena tak ada satu orangpun yang mampu berada di sampingku sepanjang waktu; mendengarkan keluh kesahku.

Sahabat?

Siapa yang kau maksud? Orang-orang tersebut? Yang selalu menertawakan masalahku? Yang selalu menganggapku bodoh? Yang menikmati membicarakan orang menyedihkan seperti diriku dibandingkan membicarakan kehidupan dan masa depan mereka sendiri? Aku tak memiliki sahabat. Apakah itu sudah cukup menjelaskan? Ya, kuulangi, aku tidak memiliki satupun sahabat di sekitarku. Mereka hanyalah segelintir orang yang kukenal saja. Harusnya mereka memanjatkan syukur aku bahkan masih mau mengakui mereka sebagai ‘teman’, bukan sebagai beberapa manusia dari tujuh miliar populasi dunia yang kukenal.

Keluarga?

Ya, aku memiliki keluarga, namun hanya seorang ibu dan seorang kakak. Ayah berpisah dengan ibu saat aku belum mengerti apapun. Mereka bahkan tak menjelaskan padaku apa yang terjadi, dan tak memberikanku kesempatan untuk memilih siapa yang kuanggap benar. Aku hidup bersama dengan kakakku dan ibu. Ayah tinggal sendiri.

Ayah adalah sosok yang hangat. Walaupun berjuta kali ibu menceritakan mengenai kejahatan ayah pada keluarga kami, betapa kejamnya dan tidak bertanggung jawabnya seorang pria dewasa yang meninggalkan keluarganya sendiri dan anak-anaknya yang masih membutuhkan sosok ayah untuk perkembangan mentalnya, namun aku tetap yakin ayah adalah sosok yang baik. Layaknya semua anak, seburuk apapun ayahmu, tetap kuanggap ayahku seorang pahlawan bagiku. Walaupun waktu yang kami habiskan bersama tak cukup panjang, namun aku sudah cukup bisa menilai. Aku bukanlah seorang anak kecil lagi, yang bisa dirayu dan dibuai dengan diberikan kata-kata manis. Seiring pertumbuhanku, aku pun mulai dapat mengenali, tikus mana yang masih tertidur lelap dan tikus mana yang sudah membusuk menjadi bangkai. Aku tahu, kasih seorang ayah tak dapat kau beli dari manapun. Hingga mitos pun berkata, anak perempuan adalah mantan kekasih ayahnya di kehidupan yang lalu. Aku bukan orang kolot yang percaya pada mitos, namun aku percaya, setiap ayah ingin yang terbaik untuk anak-anaknya, hingga kasih ayah yang sangat besar kepada anak-anaknya, dilambangkan dengan mitos demikian.

Tak ada yang mengetahui, di balik ekspresi kerasku, di balik wajahku yang terlihat tak menarik, di balik sikapku yang dingin karena tak mendapatkan kasih dan kehangatan seorang ayah, sebenarnya aku juga bisa mencintai. Layaknya seekor serigala, dia membunuh, namun dia tetap tak dapat menentang kasih dari orang tuanya. Begitu pula denganku. Mulanya aku membiarkan kepergian ayahku, hingga kusadari, perlahan namun pasti, hal ini mengancam perkembangan jiwaku.

Secara fisik, aku sehat walafiat. Namun secara mental, aku mengalami kelainan psikologis dengan anak-anak normal lainnya. Dan baru kusadari hal ini, saat aku sudah beranjak dewasa, saat aku telah merasakan akibat pastinya dari ini semua.

Aku menjadi anak yang tertutup dan takut.

Karena semasa diriku tumbuh, tak ada sosok seorang ayah; ataupun seseorang yang mampu menggantikan sosoknya; sehingga tak ada lagi pahlawan yang menjadi panutanku.

Terkadang aku merasa sangat jahat dan egois, karena aku berharap, kejahatan ayah takkan tercium selamanya. Supaya kami semua dapat hidup bahagia, dan aku masih memiliki, setidaknya, salah satu anggota keluarga yang benar-benar peduli padaku dan menganggapku ada.

You have the power to make things right.

Don’t waste, and light the talks that concern humanity.

Aku takut, namun aku bisa membuat diriku sendiri menjadi berani.

Aku malu, namun aku bisa membuat diriku sendiri menjadi lebih percaya diri.

Aku pemarah, namun aku bisa membuat diriku sendiri menjadi lebih sabar.

Aku merasa tidak dianggap, dan aku takkan mampu mengubah kenyataan itu. Lagipula, setelah melihat perjalanan hidupku yang cukup panjang bak menonton film marathon, aku hanya bisa diam, mengakui diriku memang tak pernah dianggap. Namun aku tak kunjung mampu mengubah kenyataan tersebut. Aku tak menuntut untuk dianggap. Aku hanya…butuh waktu sendiri. Itulah yang kubutuhkan. Aku tak berharap banyak. Aku hanya butuh…menjadi kuat. Berdiri di atas tumpuan kaki sendiri, dan berjalan bak anak itik yang kehilangan salah satu kakinya, masih ada satu kaki keberaniannya, walaupun dia tak memiliki kaki kepercayaan diri.

I don’t know, why hate this moment.

People are not saying it’s boring.

Why you tell me lies.

Terkadang aku bingung kepada diriku sendiri. Tak ayal diriku hanya melemparkan tatapan tanpa ekspresi kepada mereka, menatap mata mereka yang terlihat seperti serigala berbulu domba, daripada menebarkan senyum yang bahkan diriku sendiri merasa tak pantas untuk diberikan kepada mereka. Terdengar arogan memang. Namun aku memang tak ingin menghabiskan peluhku hanya untuk menaikkan kedua sudut bibirku tanpa dikehendaki oleh batinku sendiri.

Namun mereka, dengan mudahnya menyunggingkan sebuah senyuman. Tentu saja, diriku tahu, mereka sosok manusia yang layak, manusia yang ramah terhadap sesamanya; sementara manusia sepertiku hanya dipandang sebelah mata, tak layak. Hahaha. Dunia memang kejam, mereka dihujat karena kejujuran mereka, dan disanjung karena kebohongan mereka. Standar kelayakan pun hanya terukur dari seberapa dirimu mampu bertahan lama menyunggingkan senyummu dan merespon semua pertanyaan dengan lembut.

Terkadang…aku merasa egois, karena aku tak membutuhkan mereka, yang hanya mampu tersenyum dari kejauhan, entah tersenyum karena ramah, atau karena hendak menahan tawanya menatap diriku yang terlihat menyedihkan ini. Aku tak butuh mereka yang hanya mengumbar kebohongan bersamaan dengan senyuman tersebut. Kau pikir apa yang kucari di sini? Kebenaran. Namun kupikir nilai dari kebenaran tersebut telah menjadi tawar, layaknya garam yang telah menjadi tawar, tak ada lagi yang bisa digunakan untuk mengasinkan garam tersebut. Begitu pula dengan kebenaran, bila kebenaran telah menjadi tawar dan diputar-balikkan faktanya, dengan apa kebenaran tersebut dibenarkan kembali? [cr: tiffeiny.blogspot.com]

Look at the eyes of the ones you love.

Don’t you see their happiness?

Tell them that this world is full of valuable things.

Aku hanya membutuhkan seseorang, yang duduk di sampingku, mampu merasakan apa yang bergejolak dalam batinku, mampu membaca sorot mataku yang dalam, mampu menilai setiap desahan nafas yang kukeluarkan. Namun sepertinya aku sedang terjebak dalam ruang delusional.

Ya, salahkan diriku sendiri yang menjebloskan diriku ke dalam ruang delusional. Yang bisa kulakukan hanya mengkhayal. Seseorang, akan mendampingiku dengan setia, tersenyum padaku, menguatkanku, mengatakan semua akan baik-baik saja. Seseorang yang akan melindungku dengan pedangnya. Seseorang yang tak hanya mencoba untuk menjadi kuat di depanku; namun juga menjadi lemah di hadapanku. Kesempurnaan bukanlah seleraku. Orang yang tidak mengetahuiku; mungkin mereka akan menebak bahwa diriku akan selalu melihat ke atas tanpa melihat apa yang ada di depanku. Tak kupungkiri, hal tersebut tidak salah. Namun jangan lupa, aku juga melihat ke bawah dan mencari sosok yang mampu menguatkanku di saat yang bersamaan, saat ku melindungi dirinya juga.

Aku tak memiliki apapun. Namun aku membutuhkan perlindungan dan kepastian. Tak semua manusia mendambakan kesempurnaan. Terkadang, ketidak sempurnaan itulah yang membuatmu menjadi kuat; bak seekor semut yang takkan mampu menghidupi dirinya sendiri, membawa sumber kehidupannya, makanan, yang beratnya sepuluh kali dari berat badannya. Namun ketika beberapa ekor semut melakukannya bersama, mereka bahkan mampu menggotong makanan tersebut bersama-sama.

Aku tak menginginkan seseorang yang selalu melindungiku setiap saat dan selalu ada di saat aku membutuhkan. Aku membutuhkan seseorang yang mengerti di saat diriku diam dan memahami saat aku membuka suaraku. Aku membutuhkan orang yang menangis bersamaku. Aku membutuhkan orang yang diam bersamaku. Aku membutuhkan orang yang mampu mengayomi bahtera kehidupan kami. Aku membutuhkan tali yang kuat untuk disambung dengan tali yang lain.

What do I do?

I am standing silently in front of the things that people have thrown away.

This is not right.

What do I do?

I’m diseased.

I can’t bare to just stand still and watch this happen.

Perlahan namun pasti, kakiku menginjak genangan air tersebut. Aku bangkit dari ayunan tua tersebut, namun ayunan tersebut tetap bergerak. Aku pun berjalan, menapaki tanah berpasir tersebut. Merenungi setiap jalan hidupku.

Apakah langkah yang kuambil dalam hidupku ini sudah benar, seperti langkah kakiku ini? Dari pandanganku sendiri terlihat aku berjalan lurus, namun dari arah mata angin aku sebenarnya berjalan menyerong menuju ke arah barat daya. Apakah hal yang sama juga terjadi pada hidupku? Hingga ibu terus menegurku dan menyalahkanku, karena hingga saat ini, tak ada satupun pujangga yang mencariku. Beliau menyalahkan, seleraku yang terlalu memuncak, tak pantas katanya dengan bagaimana diriku terlihat. Sikap apatisku pun turut dipersalahkan menjadi salah satu penyebab tak adanya pangeran berkuda putih yang menghampiri putri selokan macam diriku ini.

Bagaimanapun, diriku tak menepis akan apa yang dikatakan beliau. Untuk masalah hati, tentu aku takkan pernah mempermainkan hal ini. Aku tahu resikonya bermain-main dengan perasaanku sendiri. Sudah cukup, aku lelah bila menyangkut masalah perasaan. Takkan kubiarkan satu duripun melekat pada bunga mawar, walaupun memang sudah kodratnya duri itu akan terus bersarang pada batang bunga mawar tersebut.

Aku tak menghendaki kisah cinta seperti yang berada di drama opera tersebut, kisah cinta pada pandangan pertama, dengan iming-iming merasa jodoh datang ketika menatap seseorang, tak ada omong kosong macam itu menurutku. Menurutku cinta itu lebih seperti hal yang tak bisa dipaksakan, karena menyangkut perasaanku. Cinta adalah di mana aku membiasakan perasaanku sendiri dengan baik atau buruknya orang yang kucintai tersebut. Bagaimana perasaan itu telah bertaut lama hingga perasaan tersebutlah yang merasakan keterkaitan satu dengan yang lainnya, yang kian bersemi.

Namun pada akhirnya, aku menganggap itu semua hanyalah omong kosong. Sepertinya sekarang aku harus menerima diriku dengan keadaan seperti ini. Tanpa adanya sosok ayah, tanpa sahabat, tanpa sosok anggota keluarga yang peduli, tanpa teman yang benar-benar tulus, semua kujalankan sendiri. Diriku memang terlihat menyedihkan, namun aku tak ingin membuat diriku sendiri terlihat menyedihkan. Biarkan itu menjadi bahan olok-olok dari diriku, untuk diriku sendiri.

Pasalnya, siapakah orang dekatku yang pantas kujadikan pendampingku sekarang?

Dongwoon?

Aku menyukainya, dan aku sendiri yang mengajaknya berkenalan. Kulayangkan pikiranku ke saat-saat itu, saat aku sedang mencicipi makananku, beliau datang ke tempat diriku makan. Aku sempat berpaling beberapa saat dari makananku, menatap dirinya yang terlihat berkilau. Dia datang bersama dengan wanita tua dengan dandanan yang mencolok. Hingga saat itu, kupikir pria setampan dia mungkin merupakan simpanan dari wanita yang terlihat glamour tersebut. Kemudian aku pun memalingkan wajahku dan terus menikmati sajian di depanku.

Namun memang takdir yang bermain, beberapa hari kemudian temanku mengajakku mengikuti perkumpulan acara Tahun Baru-nya. Aku masih awam, tak tahu-menahu siapa dan apa yang terjadi. Aku pun mengikutinya, hingga akhirnya…aku menemukan dirinya kembali, pada pertemuan tersebut.

Setelah acara perkumpulan selesai, aku yang mengajaknya berkenalan terlebih dahulu, mengucapkannya Selamat Tahun Baru, dan dia membalasnya dengan ramah. Dia menanyakan siapa namaku, dan menanyakan di mana tempatku menuntut ilmu. Kami pun berbincang singkat saat itu, namun hanya sampai situ saja, kami berkenalan. Sepertinya dia tak pernah menganggapku ada setelah acara itu.

Chanyeol?

Dia sempat menjadi sahabatku semasa sekolah dahulu. Dia mengantarku ke mana saja, kami pergi bersama-sama, menikmati hari-hari indah kami. Kami juga dibenci bersama-sama karena kami berdua merupakan orang yang memiliki keterkaitan hati dan pikiran, sehingga apa yang kami pikirkan; kami keluarkan juga saat itu. Banyak yang tak menyukai kehadiran kami, namun mereka mencoba untuk tersenyum dan berpura-pura di depan kami, aku tahu. Ada pepatah yang mengatakan, orang-orang yang membenci kita, sesungguhnya adalah orang-orang yang membuat kita kuat. Kurasa ada benarnya juga. Persahabatan kami semakin kuat seiring waktu. Kami saling menceritakan kepada satu sama lain mengenai masalah kami masing-masing. Kedekatan kami sebagai sahabat tak diragukan lagi, hingga mereka; para orang-orang yang hanya bisa menaikkan kedua sudut bibir mereka pun mulai menyoraki kami setiap kami terlihat bersama; melaporkan hal ini kepada guru-guru, hingga mereka mulai menyatukan kami.

Hingga suatu hari, seorang guru yang sedang mengajar di depan kelasku, menyadari keberadaanku dan menanyakanku di depan seluruh anak-anak di depan kelas.

“Kudengar dia (Chanyeol) menyukai seseorang di kelas ini? Itu dirimu, ya?”

Aku tak mampu berkata-kata, menjawab hal tersebut. Aku hanya mampu menyunggingkan senyumku, bukan berpura-pura, namun sebagai respon terhadap pertanyaan bodoh. Tentu saja, kami sahabat, hanya sahabat. Tak akan mungkin bersatu sebagai pasangan kekasih yang mengumbar libido di mana-mana.

Peniel?

Cih, pria berotak udang itu. Dia dahulu yang mendekatiku, menunjukkan sisi misterius nan menarik dari dirinya, yang tak kuketahui sebelumnya. Membuat diriku yang biasanya bersikap apatis, mulai menunjukkan rasa keingintahuanku, hingga suatu hari dia memergokiku mencari tahu tentangnya, dan ya, dia senang akan hal bodoh tersebut. Kupikir setelah itu kami akan semakin mendekat, karena sebelumnya, dia pernah mengatakan dia tertarik padaku.

Namun yang terjadi malah di luar dari yang diharapkan. Kami semakin menjauh, dia mendadak memutuskan kontak kami, dan aku tak tahu apa yang terjadi. Setelah selidik demi selidik pada akun jejaring sosialnya, pada waktu yang sama, dia juga mendekati seorang gadis yang sedang bersekolah di luar negeri. Tentu saja, gadis itu berbeda sekali kalau dibandingkan denganku. Dia terlihat anggun, dia memiliki perawakan yang cerdas, kulit seputih salju, badan yang tinggi dan proporsional, mengenakan baju yang mengundang, hidupnya hanya untuk berpesta. Tentu saja berbeda dengan diriku yang sekali lagi terlihat sangat menyedihkan. Jadi, lebih baik jangan dibandingkan.

Zelo?

Jangan bodoh. Dia memang pria yang paling dikagumi di angkatanku. Bukan hanya sekitar angkatanku saja pada masa sekolah, dia juga dikagumi oleh adik-adik kelas. Dia memang bukanlah pria tertampan di angkatan kami, dia juga bukan pria terkaya, maupun terpandai. Namun, dia adalah sosok pria yang menarik. Dia memiliki aura pria dewasa yang mapan dan wajahnya nyaman dipandang lama. Tapi, jangan menjadi delusional. Dia merupakan idola satu angkatan, itu membuat seleranya pada wanita menjadi semakin tinggi. Jadi, jangan harap.

Chen?

Jangan pernah ungkit namanya lagi di depanku. Dia hanyalah masa lalu. Sekeras apapun usahanya mendapatkan hatiku kembali, aku takkan kembali lagi padanya. Dia bisa saja menjadi sangat keras kepala, namun aku juga akan berusaha menjadi keras pada diriku sendiri. Takkan lagi kubiarkan hatiku tertoreh untuk yang kedua kalinya. Bagiku, kesempatan hanya ada sekali, takkan ada yang kedua kalinya, walaupun kau memohon, ataupun mengusahakan hal tersebut.

We don’t want it anymore.

I believe that you can change it.

Even in the darkness, all the way to the end of the sword.

Tapi entah mengapa, aku memiliki suatu ambisi, dan keyakinan yang tertanam dalam diriku sendiri. Aku akan menemukan tambatan hati suatu hari nanti. Aku tak tahu kapan hal itu akan terjadi. Aku hanya bisa mengira-ngira, apa yang kira-kira jodohku nanti sedang lakukan sekarang? Apakah dia juga berpikir bagaimana bila dia bertemu denganku yang merupakan jodohnya nanti? Kira-kira di mana jodohku tinggal sekarang? Bilamana kami akan bertemu? Bagaimana cara kami bisa bertemu? Di mana kami akan bertemu? Apa yang membuat kami bertemu?

Aku takkan mungkin bisa melawan rahasia ilahi. Aku tak boleh melangkahi apa yang tak kuketahui sekarang. Jadi, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah mengkhayal, dalam ruang delusional yang dibentuk oleh imajinasi dan khayalanku sendiri.

“Maaf?” suara serak dan dalam itu terdengar.

Langkahku terhenti, bersamaan saat kaki kananku menginjak daun kering yang terebahkan begitu saja di tanah. Aku pun mendongak perlahan, mendapati sesosok pria, dengan sudut bibir yang dinaikkan, tersenyum kaku di depanku. Satu boneka senyum palsu lagi. “Ya?” tanyaku, berusaha melembutkan suaraku, bagaimanapun orang ini adalah orang baru; tak pantas rasanya kumenyakiti dirinya seperti ini. Aku sendiri juga tak mengerti, mengapa diriku tak ingin menyakiti perasaan orang ini. Apakah ini dikarenakan diriku yang secara tak langsung haus akan ‘sosok baru’ sekarang?

“Maaf, aku pendatang baru di sini. Aku orang Korea, namun aku berasal dari China.” ujar orang tersebut.

China? Wow, ini pertama kalinya aku berbicara langsung dengan orang asing. Pantas sekali logat hangeul orang ini agak kaku dan terdengar asing. Mendadak pikiranku berputar dan mengulang memori di mana ibuku mengatakan sesuatu padaku “Sudah dua kali ibu datang ke peramal, kau diramal dua kali, dan dua peramal yang berbeda itu mengatakan hal yang sama. Konon, kau akan berjodoh dengan seseorang yang berada di luar lingkungan kita“.

Apakah orang ini…- Ah, mengapa diriku jadi menerka-nerka seperti ini. Teruslah berharap, aku terus meneriaki hal tersebut pada diriku, membangunkan diriku sendiri, menatap realita yang ada. Takkan semudah itu aku bertemu dengan orang yang benar.

“Wu Yifan.” kata pria itu menyodorkan tangannya, sambil menyunggingkan senyuman ter-kakunya.

Sayang sekali, dalam hati aku berharap pria itu tersenyum lebih tulus, sepertinya pria itu akan terlihat lebih baik bila tersenyum biasa dan tidak tegang.

Tunggu…mengapa diriku mengharapkan hal seperti ini? Ah, sepertinya aku telah memendam diriku lebih dalam, ke dalam sumur delusional. “Lee Minyu.” Aku merasa tak enak dan meraih tangan pria tersebut, menyalaminya, menyunggingkannya senyuman kaku juga.

Senyuman di wajah pria itu perlahan memudar. Angin malam bertiup, membuat jambang rambut pria tersebut pun bergerak sedikit dari tempat asalnya, membuat kesan polos dan inosen dari pria tersebut semakin kental. “Mengapa kau menyalahkan dirimu sendiri?” tanyanya.

Aku kehabisan kata-kata, tak mampu berkedip sedetik pun, mataku hanya membesar; menatap tak percaya pada orang ini. “…Y…ya…?” tanyaku terbata-bata, agak gugup juga. Apa yang dimaksud orang ini? Apa yang dikatakannya tadi? Apa orang ini bermaksud jahat? Sejenak aku merasa menyesal. Aku baru menyadari, tempat ini sangat sepi, bahkan nyaris tak ada seorang pun di sini, dan langit sudah gelap. Sedikit teriakan terdengar dari hatiku, memerintah diriku sendiri untuk mengambil seribu langkah, menjauh dari orang asing ini.

“Aku bukan orang jahat, tenang saja.” ujar pria tersebut, seolah mampu membaca pikiranku. Aku semakin terkejut, napasku tertahan, kaki kiriku mundur selangkah, aku melepaskan tanganku dari genggaman tangan orang ini. Apakah dia orang yang berbahaya? [cr: tiffeiny.blogspot.com]

Mata kami saling bertemu, seolah kami mampu berkomunikasi melalui tatapan mata kami. Aku sendiri juga tak mengerti, perasaan apa yang menyelimutiku saat ini. Aku merasa dingin, namun di tengah-tengah dinginnya cuaca malam ini, aku merasakan adanya api unggun di dalam perutku.

“Kau…adalah oasis dalam padang gurunku, dan api unggun dalam badai salju.” kata-kata manis tersebut keluar begitu saja dari mulut pria itu, seolah mampu membaca pikiranku.

Aku tak mampu berkata-kata lagi. Yang hanya bisa kulakukan hanyalah menatap tak percaya padanya. Sepertinya, aku merasakan perasaan asing ini.  Ya…perasaan ini….

Show us the pain of your broken hearts.

So that I can help you…show me the road.

Like the things that fill this world with beauty.

We have to make it so that we will treasure this place.

 

-FIN-



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles