Author: Ifa Raneza
Edited by: Hyemi Park
Cast: EXO’s Kai , Song In Jung (OC)
Rate: PG-13
Genre: Romance, Angst
Length: Double shots
Inspired by: EXO – Heart Attack
**
“Semoga di kehidupan selanjutnya aku masih bisa menjadi gadismu, Jongin.”
“Apa maksudmu, Injung?—Injung? Injung!”
“Selamat tinggal.”
“SONG IN JUNG!!!”
**
BRAK!
“INJUNG!!”
Jongin terbelalak menatap kamarnya yang gelap. Ekor matanya mengawasi sekeliling dan ia tidak dapat menemukan siapapun di sana selain dirinya sendiri. Menyadari apa yang dilihatnya tadi hanyalah mimpi, Jongin mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia terkekeh hambar sambil mengulum senyum pahit. Ya, rasanya pahit sekali dan kini dadanya ikut terasa sesak. Ia menyalakan lampu di meja nakas, lalu melirik jam wekernya yang masih menunjukkan pukul 11.48 malam. Malam tahun baru, tapi Jongin sengaja menghabiskannya di rumah. Sekarang ia mengurungkan niatnya itu. Mungkin suasana di luar lebih menyenangkan daripada harus memimpikan hal buruk seperti tadi.
**
Jongin berjalan di tengah-tengah keramaian kota. Beberapa keluarga dan pasangan berjalan sambil bergandengan tangan, menunggu waktu menunjukkan tengah malam dan bersiap menikmati kembang api di atas kepala mereka. Perlahan Jongin tersenyum kecil. Ia ingat masa kecilnya. Dulu orang tuanya juga sering mengajaknya jalan-jalan di tengah-tengah keramaian seperti ini saat malam tahun baru. Rasanya menyenangkan dan hangat. Hingga usia tujuh belas tahun, Jongin masih bisa tertawa seperti anak kecil. Tidak ada yang perlu ia khawatirkan hingga larut malam selain tugas sekolahnya yang belum ia selesaikan. Tapi semua itu sirna ketika ulang tahunnya yang kedelapan belas beberapa bulan yang lalu. Mimpi itu datang setiap malam, membuatnya sulit tidur bahkan sulit bernafas. Dan sekarang ia sadar bahwa semua itu bukan sekedar bunga tidur.
“Woaaah!”
Jongin menengadah, mengikuti arah pandang semua orang yang berada di sekelilingnya. Kembang api yang berwarna-warni tampak indah di atas kepalanya. Kedua mata Jongin sedikit membulat menatap warna-warni kembang api yang terlihat ceria di atas kepalanya. Ingatannya kembali menelusuri waktu berpuluh-puluh tahun silam, tahun yang bahkan belum pernah dicapainya sendiri. “Tanggal 1 Januari 1982, di tengah kota, pukul 00.00,” gumam Jongin pelan sambil tersenyum tipis menatap langit malam yang dihiasi cahaya kembang api. Ia memejamkan matanya membayangkan situasi di tanggal yang ia sebutkan tadi. Situasinya sama persis. Malam tahun baru dengan kembang api dan di tengah keramaian yang menghanyutkan. Kecuali satu. Tanpa seorang gadis di sampingnya.
“Song In Jung!”
Jongin membuka matanya dan menoleh ke samping untuk menemukan siapa yang meneriakkan nama itu. Ia mencari-cari sosok orang yang bernama Song In Jung di tengah kerumunan orang, hingga matanya tertuju pada satu gadis yang tengah tersenyum lebar pada salah satu temannya.
“Ne, aku akan pulang sekarang.” Setelah mengatakan itu, gadis itu berbalik dan menarik tangan temannya untuk pergi dari sana. Dan Jongin? Ia hanya bisa terdiam membeku di tempatnya dengan kedua matanya yang terbuka lebih lebar.
Tanggal 1 Januari 2013.
Di tengah kota.
Pukul 00.00.
Kim Jong In akhirnya bisa merasakan debaran yang terasa berbeda di jantungnya.
**
Several months later…
Sejak kejadian di malam tahun baru itu, Kim Jong In berubah menjadi sosok yang tampak lebih hidup. Setidaknya ia lebih sering berbicara dengan teman-teman sebayanya, walaupun seringkali Jongin hanya menanyakan gadis bernama Song In Jung yang belakangan diketahuinya ternyata satu universitas dengannya.
Setelah menanyakan di jurusan mana Song In Jung kuliah pada salah satu temannya, Jongin bergegas menuju gedung fakultas yang berada cukup jauh dari gedung fakultas tempatnya kuliah. Beberapa kali ia tidak sengaja menabrak beberapa mahasiswa lain ketika setengah berlari menuju gedung fakultas itu. Pikirannya terus tertuju pada satu nama, Song In Jung. Ia tahu bagaimana rupa gadis itu, ia bahkan mengenalnya sebelum pertemuan di malam tahun baru itu. Ia ingat bahwa Song In Jung lah gadis yang pernah hadir di kehidupannya yang sebelumnya.
Apa yang kau lakukan ketika ingatanmu di kehidupanmu yang sebelumnya kembali masuk ke dalam pikiranmu? Tidak ada. Dan itulah yang pertama kali terlintas di otak Jongin. Saat usianya menginjak delapan belas tahun, ingatan di kehidupan sebelumnya kembali masuk ke otaknya. Awalnya Jongin pikir itu hanya sekedar mimpi, tapi pikiran itu lenyap saat ia memimpikannya setiap malam. Mimpi di mana seorang gadis hadir. Gadis yang sama, Song In Jung. Seperti putaran film-film pendek yang selalu berbeda di setiap harinya. Awalnya mimpi indah, seperti saat mereka berjalan di tengah kota, di taman, atau di padang ilalang. Tapi suatu malam, Jongin bermimpi gadis itu meninggalkannya.
Lalu apa di kehidupan yang sekarang gadis itu juga akan meninggalkannya? Hal itulah yang sedang Jongin coba pecahkan.
Meninggalkannya? Mengenalnya saja gadis itu tidak!
Jongin terus menggerutu dalam hati kenapa di kehidupan yang sekarang hubungannya dengan gadis itu berbeda dengan yang ada di kehidupannya yang sebelumnya, hingga ia berhenti saat tatapannya tertuju pada satu sosok.
Song In Jung.
Gadis itu tampak tertawa lepas bersama beberapa temannya. Sosok yang sama persis seperti yang sering Jongin lihat di dalam mimpinya.
“Injung-ssi,” panggil Jongin ketika ia tiba di belakang gadis itu.
Injung berbalik dan menghentikan tawanya. Sebelah alisnya sedikit terangkat, seolah menanyakan siapa pria yang berdiri di hadapannya dan menyebut namanya.
“A–aku Kim Jong In,” ujar Jongin seraya mengulurkan tangannya, seolah mengerti arti tatapan gadis itu.
“Injung, kami duluan, ya.” Injung melambai pada beberapa temannya yang berlalu meninggalkannya, lalu tatapannya kembali tertuju pada Jongin.
“Apa aku mengenalmu, Jongin-ssi?” tanyanya dengan nada ramah.
Jongin tersenyum kecut. Ya, kau mengenalku, Song In Jung… 31 tahun yang lalu.
“A–ani. Kita baru saja bertemu. Ah, maksudku… aku pernah melihatmu saat malam tahun baru,” jawab Jongin, sedikit tergagap karena ini pertama kalinya ia berbicara dengan gadis ini.
Injung mengangguk pelan. “Lalu?” tanyanya.
Jongin terdiam, jantungnya semakin berdetak cepat sejak kata itu memasuki pendengarannya. Lalu? Lalu apa? Apa yang harus dikatakannya setelah ini? Mengatakan bahwa mereka pernah menjalin hubungan di kehidupan yang sebelumnya, 31 tahun lalu? Bagus, dan setelah itu Injung akan mencap Jongin sebagai orang gila.
“Jongin-ssi…?” Injung menyentuh pelan pundak Jongin, menarik kembali pria itu dari lamunannya.
“Aku—aku..” Jongin kembali tergagap. Ia menggaruk belakang kepalanya, bingung apa yang harus ia katakan. “A–aah, aku dengar kau mahasiswi fakultas seni musik yang cukup berbakat? Aku mahasiswa dari fakultas seni tari. Siapa tahu kita bisa menggabungkan bakat kita?”
Injung tampak semakin bingung dengan kata-kata Jongin. Ia mengerutkan dahinya sambil memerhatikan Jongin yang tampak bingung ditatap seperti itu olehnya.
“Ngg… Maksudku, aku baru saja diberi tugas membuat video tari oleh dosenku dengan menggunakan musik klasik. Kudengar kau mahasiswi yang paling handal memainkan musik klasik, jadi aku ingin meminta bantuanmu…” tambah Jongin, menyadari tatapan curiga dari Injung.
Seketika itu tatapan Injung berubah menjadi ramah dan senyumnya mengembang. “Ah, begitu. Tentu saja aku akan membantumu, Jongin-ssi. Aku akan sangat senang jika aku bisa membantumu. Jadi kapan kita bisa mulai bekerjasama?”
Jongin tersenyum lebar, menyadari usaha pertamanya berhasil. “Mulai besok sore aku bisa datang ke rumahmu.”
**
Jongin tersenyum ketika ia mendapati sebuah rumah dengan nomor yang sesuai dengan alamat yang diberikan Injung kemarin. Ia melangkah memasuki halaman rumah yang tak begitu luas itu, lalu menekan bel yang berada di sebelah pintu kayu bercat putih. Tak lama kemudian seseorang membukakan pintu itu.
“Oh, Jongin-ssi. Hai.”
Jongin tersenyum mendengar kata sapaan itu. Lagi. Jantungnya kembali berdetak kencang, terasa berbeda, ketika tatapannya bertemu dengan kedua bola mata berwarna hitam pekat itu.
“Ha–hai, Injung-ssi,” balasnya, sedikit terlambat memang.
Injung tersenyum seraya menggeser posisinya untuk memberi jalan bagi Jongin. Pria itu melangkah masuk, sementara kedua matanya mengawasi keadaan di dalam rumah itu.
“Kau tinggal sendiri, Injung-ssi?” tanya Jongin, sementara Injung menyiapkan minuman untuknya di dapur.
“Ne, aku tinggal sendiri. Ayah dan ibuku tinggal di Busan,” jawab Injung sambil menuangkan jus jeruk ke dua gelas kaca tinggi.
Jongin mengangguk-angguk pelan, sementara pikirannya terus bekerja untuk mengingat-ingat memori yang tertinggal di ruang otaknya. Sedikit berbeda dengan kenyataan di kehidupan sebelumnya, dulu Injung tinggal bersama ayahnya yang sudah bercerai dengan ibunya. Yah, setidaknya gadis itu masih seramah di kehidupan sebelumnya.
“Kau pindahan dari Busan?” tanya Jongin ketika Injung meletakkan segelas jus jeruk di hadapannya.
Injung menggeleng. “Tidak. Ayah dan ibuku sengaja pindah ke Busan untuk merawat nenekku yang sudah sakit-sakitan,” jawabnya seraya mengulas senyum. “Oh, aku sudah menyiapkan demo lagu untukmu. Kuharap kau suka,” ujarnya seraya beranjak dan bergegas menuju kamarnya.
Jongin diam sejenak menunggu Injung mengambil sesuatu di kamarnya, memikirkan ingatan-ingatan masa lalu yang menyeruak di dalam pikirannya. Ia ingat ketika Injung mengundangnya ke rumahnya 31 tahun yang lalu. Saat itu mereka berjanji akan melukis bersama-sama, tapi ketika Jongin hadir di rumahnya, seorang pria paruh baya mengusir Jongin dengan kasar. Ayah Injung.
“Akh…” Jongin memegangi kepalanya yang terasa berputar-putar. Terlalu banyak ingatan yang masuk ke otaknya. Sekarang kepalanya terasa hampir pecah.
“Jongin-ssi, gwaenchanayo?”
Sebuah suara menyadarkan Jongin. Ia membuka kedua matanya dan menatap Injung yang tampak khawatir. Perlahan ia bisa mengendalikan dirinya sendiri dan mengangguk pelan. “Gwaenchana,” ucapnya pelan sembari meneguk jus di hadapannya.
“Ini demo lagunya. Aku tidak tahu lagunya sesuai dengan koreografi yang kau buat atau tidak, tapi aku harap kau menyukainya.”
Jongin menatap sebuah CD yang disodorkan Injung padanya. Sebenarnya bukan ini tujuannya untuk mendekatkan diri pada Injung. Tapi setidaknya dosennya telah memberikannya alasan untuk mendekati gadis ini.
“Ah, gomawo.”
“Mau mendengarnya bersama-sama?” tawar Injung sambil mengambil iPod-nya yang tergeletak di meja. Jongin tersenyum menatapnya. Gadis itu masih sama, masih suka menggeletakkan barang-barangnya di sembarang tempat. “Aku juga memasukkan demo lagunya di iPod. Mungkin kau mau…”
Tanpa membiarkan Injung menyelesaikan kalimatnya terlebih dahulu, Jongin mengangguk mantap. “Aku mau.”
Injung memberikan sebelah earphone-nya pada Jongin, sementara sebelahnya lagi ia sumbatkan pada telinganya. Jongin menahan detak jantungnya yang semakin menggila, menunggu lagu di iPod itu mulai mengalun. Dan dirinya tertegun ketika mendengar alunan melodi sebuah piano. Indah. Kata itulah yang pertama kali terbesit di benak Jongin ketika mendengarnya melodi yang kini terdengar di telinganya, hingga tanpa sadar ia sudah memejamkan kedua matanya. Ia mulai menikmati alunan melodi ini.
“Kau suka?” tanya Injung, membuat seulas senyuman terukir di bibir Jongin.
Pria itu mengangguk tanpa membuka matanya. Sampai demo lagu itu selesai mengalun, Jongin baru membuka matanya secara perlahan dan mendapati Injung tersenyum di depannya.
“Aku senang kalau kau suka lagunya,” ujar Injung sambil melepas earphone di telinga kirinya.
Jongin tersenyum lebar. “Permainanmu bagus,” puji Jongin dan membuat gadis itu tersenyum malu. Jongin tahu Song In Jung paling tidak bisa dipuji seperti itu.
“Gomawo.” Injung beranjak dari sofa dan melangkah menuju dapur yang tidak jauh dari ruang tamu. “Aku ingin melihat video koregrafimu kalau tugasmu sudah selesai,” ujarnya dari dapur.
“Kupastikan kau adalah orang pertama yang menontonnya, Injung-ssi,” balas Jongin, menatap Injung yang sedang sibuk menyiapkan sesuatu di dapur.
Injung terkekeh pelan. “Aku ingin melihat bagaimana hasil dari kerjasama kita,” ujarnya. “Oh, apa kau suka tiramisu? Tetanggaku memberiku tiramisu buatannya yang tidak bisa kuhabiskan sendiri. Aku sendiri lebih suka—”
“Pudding…?” potong Jongin, setengah menebak.
Seketika itu Injung tertegun menatap Jongin. Seperti ada sinar ketakutan di matanya. Lalu ia mengerjapkan kedua matanya sambil tersenyum tipis, melenyapkan sinar itu dari bola mataya. “Kenapa kau bisa tahu, Jongin-ssi?” tanya Injung bingung, sambil mengantarkan sepiring tiramisu pada Jongin di ruang tamu.
Jongin mengendikkan bahunya. “Hanya menebak,” ujar Jongin sambil memotong tiramisu di piring kecil itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya. “Tapi aku lebih suka tiramisu,” lanjutnya.
“Yaah, rasanya terlalu manis. Karena itu aku lebih suka pudding dengan rasa—”
“Green tea…?” tebak Jongin lagi, membuat kata-kata Injung terhenti dan gadis itu kini menatapnya aneh. Jongin menundukkan kepalanya, menyadari kejanggalan di situasi saat ini. “Maaf…” bisiknya. “Aku hanya menebak.”
Injung mengangguk pelan seraya mengulas senyum tipis di bibirnya. Ia menggaruk tengkuknya yang terasa tidak gatal, lalu berkata sambil terkekeh. “Aneh, kenapa aku berpikir kau bisa membaca pikiranku, ya?”
Jongin kembali terdiam. Pabo! Ia menggerutu dalam hati. Seharusnya ia tidak usah menyebutkan semua kata yang terlintas di otaknya dan membuat gadis itu kebingungan, bahkan curiga padanya. Seharusnya dia—
“Ah, Jongin-ssi…” Suara ceria Injung kembali menyadarkan Jongin. “Besok aku harus menghadiri pesta ulang tahun keponakanku. Apa kau bisa menemaniku mencari hadiah untuknya?”
**
Injung berdiri di depan cermin sambil menata rambutnya. Lagi-lagi ia berhenti menyisir rambutnya dan berpikir sejenak. Riasan seperti apa yang harus ia gunakan di saat-saat seperti ini? Tatanan seperti apa yang cocok untuknya? Diikat atau digerai saja? Injung menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil terus menggerutu dalam hati.
Dia tidak biasanya seperti ini. Biasanya Injung akan langsung mengucir asal rambut hitamnya dan mengenakan kemeja lengan panjang yang sama sekali tidak menunjukkan sisi manis seorang perempuan. Tapi hari ini… entah kenapa Injung ingin tampil berbeda. Ia ingin dipandang sebagai perempuan di depan Jongin. Memikirkan itu sontak membuat kedua pipinya memanas. Ini tidak wajar, Injung sadar itu. Kenapa setelah banyak pria yang mengejarnya, hanya Jongin yang menarik perhatiannya? Dan Injung juga sadar, dia dan Jongin baru dua hari saling mengenal.
Lalu apa yang terjadi pada pikirannya sekarang? Injung menyerah mencari tahu apa yang terjadi pada dirinya. Salahkan sistem kerja otaknya yang entah kenapa menjadi error setelah Jongin mengunjunginya kemarin, saat ia melihat Jongin tersenyum padanya, saat ia melihat Jongin memejamkan matanya menikmati alunan lagu di iPodnya, dan… saat Jongin menebak apa yang disukainya. Nah, yang terakhir masih membuatnya heran. Aneh, padahal mereka baru mengenal.
Ting… Tong…
Lamunan Injung buyar ketika mendengar suara bel pintunya. Ia bergegas meraih tas tangannya dan menyematkan sebuah jepit berbentuk bunga kecil pada rambutnya yang sengaja digerai. Sudah tidak ada waktu lagi untuk menata rambutnya, dia tidak mau Jongin menunggu lama di luar.
Injung bergegas berjalan menuju pintu depan dengan gaun selututnya yang sedikit mengganggunya untuk bergerak cepat, terlebih lagi ia mengenakan sepatu high heels saat ini, meskipun tidak terlalu tinggi. Ia membuka pintu depannya dengan cepat dan mendapati Jongin tersenyum di depannya.
“Hai,” sapa Jongin. Injung masih terdiam untuk beberapa detik, mengagumi penampilan Jongin yang mengenakan kemeja kotak-kotak dengan lengan yang digulung hingga sebatas siku. Begitupun sebaliknya.
“Hai,” balas Injung setelah mendapatkan kembali fokusnya. “Apa ada yang aneh dengan dandananku?” tanya Injung, menyadari tatapan Jongin yang tampak mengawasi penampilannya.
Jongin menggeleng. “Aniyo. Kau terlihat… cantik,” pujinya dengan mengambil jeda beberapa detik dan sontak membuat kedua pipi Injung memerah. Jongin semakin melebarkan senyumnya. Manis.
“Kau juga. Kau terlihat berbeda,” balas Injung, lalu menutup dan mengunci pintu rumahnya. “Kita berangkat sekarang?” ujarnya yang dibalas Jongin dengan sebuah anggukan.
Sore ini Jongin sengaja meminjam mobil ayahnya. Tidak lucu dengan penampilan mereka yang sudah serapi ini mereka harus berangkat menggunakan angkutan umum. Dan berhubung ini adalah akhir pekan, ayahnya tidak keberatan saat Jongin mengajukan alasannya meminjam mobil.
“Jongin-ssi, kau ingat alamat sepupuku yang kemarin kuberikan padamu?” tanya Injung, memecah keheningan saat lampu lalu lintas berubah merah. Sejak mereka memulai perjalanan menuju pesta ulang tahun keponakan Injung, mereka tenggelam dalam hening.
Jongin mengangguk singkat. “Aku ingat.” Perlahan Jongin menoleh pada Injung yang sedang memerhatikan pemandangan di luar. Tidak ada yang menarik, tapi Jongin ingat gadis ini senang sekali memerhatikan keadaan di sekitarnya.
Merasa diperhatikan, Injung menoleh. Kedua pipinya kembali terasa panas saat menyadari Jongin memerhatikannya sambil tersenyum kecil. “Ke–kenapa? Ada yang aneh?” tanyanya sambil merapikan helaian rambut panjangnya dan menyelipkannya di belakang telinga.
Jongin menggeleng. “Kau sudah dua kali menanyakannya, Injung-ssi,” ujarnya. “Tidak ada yang salah dengan penampilanmu. Kau terlihat berbeda. Manis.”
Lagi-lagi pipi Injung memanas bersamaan dengan detak jantungnya yang mulai menggila di dalam dadanya. Shit! Seharusnya Injung membawa tabung oksigen atau obat jantung jika suatu waktu ia kesulitan bernafas atau terkena serangan jantung mendadak. Kim Jong In benar-benar membuatnya lupa bagaimana caranya bersikap normal.
“Ah… ngg…” Injung bergumam tidak jelas. Ia menundukkan wajahnya dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Maaf, Jongin-ssi… Aku… aku paling tidak bisa dipuji,” bisiknya pelan, menyembunyikan rona merah di kedua pipinya, membuat Jongin terkekeh pelan.
“Aku tahu,” sahutnya tanpa sadar dan Injung menatapnya dengan dahi berkerut. “Ma–maksudku…” Jongin mulai tergagap. Ia lupa kalau mereka baru saja saling mengenal dua hari yang lalu. “Aku tahu dari caramu menanggapi pujianku. Itu saja.”
Injung ber-oh pendek. Ia bisa memakluminya kali ini.
Jongin kembali memusatkan konsenterasinya pada jalan saat lampu lalu lintas kembali berubah hijau. Mereka kembali tenggelam dalam keheningan sampai mobil Jongin memasuki halaman depan sebuah rumah bercat cokelat muda yang cukup luas. Tampak beberapa anak memasuki rumah itu dengan gaun mereka yang tampak lucu, serta beberapa lagi yang datang dengan membawa hadiah.
“Keponakanmu yang mana?” tanya Jongin dengan berbisik pada Injung yang sedang mencari-cari keberadaan keponakannya di tengah keramaian tamu undangan di ruangan itu. Maklum, di ingatan masa lalunya ia tidak mengingat bahwa Injung memiliki keponakan yang masih kecil.
“Ngg… Dia mungkin sedang—Ah, itu dia! Hanji-ya!” Injung meneriakkan sebuah nama sambil melambaikan tangannya ke arah seorang gadis kecil. Gadis kecil itu berbalik dan berlari-lari kecil ke arah mereka dengan gaun putihnya yang terlihat sedikit kebesaran.
“Immo!” serunya riang saat tiba di pelukan Injung. “Kukira Immo tidak akan datang,” ujarnya lagi sambil menggembungkan pipinya. Sangat menggemaskan.
“Mana mungkin Immo melewatkan pesta ulang tahunmu, sayang? Oh, di mana ibumu?” tanya Injung sambil mencari-cari sosok seseorang di antara tamu-tamu yang lain.
“Eomma sedang menyiapkan lilin untuk kue ulang tahunku. Immo datang bersama siapa?” jawab gadis kecil itu sekaligus bertanya dengan suara polosnya. Ia memerhatikan Jongin yang hanya tersenyum kecil, lalu kembali menatap Injung. “Apa dia pacarmu, Immo?” tanyanya polos yang membuat Jongin tergelak, sementara Injung membulatkan kedua matanya.
“M–mwo? Bu–bukan, sayang. Dia teman Immo,” jawab Injung gelagapan, menahan rasa panas di kedua pipinya karena ucapan keponakannya barusan.
Gadis itu ber-oh panjang, lalu berbalik ketika sebuah suara memanggil namanya.
“Ah, itu eomma. Sepertinya aku harus ke belakang sebentar,” ujarnya sebelum beranjak ke belakang dan seorang wanita berusia lima tahun di atas usia Injung menghampiri mereka.
“Kau datang juga, Injung-ah? Kukira kau tidak akan datang,” ujarnya ramah. Wanita itu memeluk Injung dengan hangat, lalu memerhatikan Jongin dengan cukup lama, sama seperti yang putrinya tadi lakukan. “Apa dia kekasihmu?” bisiknya dengan mata yang memicing tajam. Tapi Jongin masih bisa mendengar bisikannya, sehingga pria itu hanya tersenyum kecil.
Injung mencubit lengan kakak sepupunya itu sambil berbisik pelan. “Bukan, Eonnie! Dia temanku. Aish, kau membuatku malu saja!”
Wanita itu ber-oh pendek. “Maaf. Habis tidak biasanya kau membawa teman priamu ke pesta seperti ini,” ujarnya beralasan. Sementara Injung hanya menggerutu tidak jelas.
Tamu-tamu mulai merapat ke arah panggung kecil yang sudah dihiasi balon-balon di tengah-tengah ruangan. Di sana juga sudah berdiri keponakan Injung yang berulang tahun dengan kue ulang tahun yang cukup besar di depannya.
“Sepertinya pestanya lebih meriah daripada yang tahun lalu, Eonnie?” tanya Injung sambil memerhatikan keponakannya yang tampak antusias, seperti menunggu sesuatu di tengah-tengah pestanya.
Kakak sepupunya itu hanya tersenyum tipis. “Yaah… Kau tahu, Hanji selalu ingin ada sesuatu yang berbeda di pestanya. Dan tahun ini setelah dia memaksaku dan suamiku untuk menghadirkan badut, mau tidak mau kami harus menghadirkan badut seperti yang dia inginkan.”
Perlahan Injung terbelalak kaget. Ia baru saja berhasil mencerna kata-kata kakak sepupunya saat semua orang berseru senang sambil bertepuk tangan. Satu sosok muncul di panggung dan itu membuat kedua mata Injung semakin membulat lebar.
“Eon–eonnie, kau tidak bilang ada badut di sini,” ujar Injung cepat dan gelagapan, ia berniat pergi dari sana ketika tangan kakak sepupunya menahannya.
“Kenapa, Injung-ah? Hanya badut, kan?” Kakak sepupunya tampak mengerutkan dahinya tak mengerti.
Ya, hanya badut. Hanya badut yang bisa membuat semua orang tertawa, tapi tidak bagi Injung. Gadis itu tampak berkeringat dingin menatap sosok yang tampak tersenyum lebar dengan riasan badut di wajahnya. Ia ingin lari, tapi tangan kakak sepupunya masih menahan tangannya. Injung bersikap semakin tak wajar, menyadarkan Jongin bahwa sesuatu yang buruk tengah menimpa gadis itu.
Jongin memutar otaknya, mencari-cari sesuatu di dalam ingatan tentang masa lalunya. Tentang kehidupan mereka yang sebelumnya. Satu detik, dua detik, hingga lima detik Jongin baru menemukannya. Satu potongan kecil ingatan tentang Injung yang tampak ketakutan di dalam kepalanya. Jongin ikut membelalak kaget, lalu dengan sigap ia segera menarik Injung ke dalam pelukannya. Ia membenamkan wajah gadis itu pada dadanya dan mengabaikan getaran halus yang ia rasakan pada tubuh gadis itu, mengalihkan perhatiannya dari badut yang kini sedang menunjukkan aksi sulap. Injung ketakutan, ia paham itu.
“Ada apa?” Kakak sepupu Injung yang masih tampak tak mengerti bertanya dengan nada ragu. Ia menatap bingung ke arah Injung yang masih menahan ketakutannya di dalam pelukan Jongin.
Jongin berbisik pelan dengan nada serius. “Kau tidak tahu?” Wanita itu hanya menggeleng pelan, dan Jongin menghela nafasnya dengan berat. “Injung memiliki phobia terhadap badut.”
**
“Maaf, Injung-ah. Aku tidak pernah tahu kau takut pada badut,” ujar kakak sepupu Injung sambil menyodorkan segelas air putih pada adik sepupunya itu. Kini mereka sudah berada di belakang, dekat dapur. Jongin sengaja menyingkirkan Injung dari pesta karena badut tadi. Dia tidak mungkin membiarkan Injung menahan ketakutannya seperti tadi.
Injung hanya mengangguk pelan, sangat pelan, bahkan nyaris tak terlihat. Wajahnya masih terlihat pucat dan kedua matanya masih terlihat kosong. Tangannya juga masih terasa bergetar di dalam genggaman Jongin.
“Sekali lagi maaf, ya… Aku benar-benar tidak tahu. Jongin-ssi, aku ke depan dulu. Sepertinya Hanji membutuhkanku,” ujar wanita itu sebelum meninggalkan Jongin dan Injung di ruangan itu dengan Injung yang masih tampak meredakan detak jantungnya yang terasa seperti ingin lepas dari tempatnya.
Di sampingnya Jongin merasa tidak tega melihat Injung yang seperti itu. Ini pertama kalinya ia melihat Injung ketakutan sehebat ini secara langsung. Dan Jongin juga baru teringat bahwa Injung adalah penderita coulrophobia (ketakutan terhadap badut).
“Masih merasa takut?” tanya Jongin hati-hati dengan berbisik. Ia mengeratkan genggamannya pada tangan kanan Injung dan membiarkannya merasa bahwa Jongin benar-benar berada di sampingnya, menjaganya.
“Maaf…” bisik Injung serak. Perlahan ia menoleh pada Jongin dan tersenyum pahit. “A–aku tidak bermaksud… menyusahkanmu, Jongin-ssi. Maaf…”
“Tidak apa-apa. Ini bukan salahmu,” balas Jongin sambil mengusap punggung tangan Injung dengan ibu jarinya.
“Jongin-ssi, dari… dari mana kau tahu kalau aku coulrophobia?”
Jongin terdiam, tapi sedetik kemudian ia tersenyum tipis. “Aku melihatmu sangat ketakutan saat badut itu datang. Aku bisa menebaknya dari matamu.” Jongin merogoh saku celananya dengan tangan kanannya, lalu mengeluarkan selembar tissue dari sana dan menghapus jejak air mata di wajah Injung. “Kau tahu? Ada beberapa orang yang bisa langsung menebak kepribadian seseorang lewat tatapan atau gestur tubuhnya,” ucapnya, membuat tatapan Injung terpaku pada wajahnya. “Dan mungkin aku adalah salah satu dari mereka. Harus kau ingat, Injung-ssi. Matamu adalah jendela pikiranmu, aku bisa membaca pikiranmu saat menatap matamu.”
Injung mengerjapkan kedua matanya perlahan, lalu mengembangkan senyumannya. “Aku mengerti sekarang,” bisiknya.
“Hm?”
“Sekarang aku mengerti kenapa kau seringkali bisa membaca pikiranku,” lanjutnya sambil tersenyum, membuat senyuman di bibir Jongin melebar. “Jongin-ssi, terima kasih.”
“Untuk apa?”
“Terima kasih karena kau sudah berada di sampingku saat aku seperti ini.”
Jongin tertegun untuk beberapa saat, masih mencerna dan mencari maksud dibalik perkataan Injung barusan. Dan setelah ia menemukannya, sudut-sudut bibirnya segera tertarik dan melebarkan garis lengkung yang telah tersungging di bibirnya.
“Terima kasih juga karena kau sudah mau menjadi temanku. Padahal kita baru saja mengenal beberapa hari yang lalu.”
Jongin menahan detak jantungnya yang lagi-lagi terasa berbeda, seperti ada rasa yang ingin dikeluarkan, tapi tak dapat dikeluarkan saat ini. Seolah-olah rasa itu adalah… kerinduan dari masa lalu.
‘Aku mengenalmu, bahkan sebelum kita terlahir, Song In Jung…’ Jongin hanya bisa membatin lirih.
“Seharusnya… aku yang berterima kasih padamu,” ucap Jongin yang membuat gadis itu mengerutkan dahinya samar. ‘Terima kasih sudah menerimaku kembali di dalam hidupmu…’
Cepat atau lambat, ia pasti bisa meyakinkan Song In Jung bahwa mereka pernah bertemu jauh sebelum tahun 1994—tahun kelahiran mereka. Bahwa mereka pernah memiliki rasa yang sama. Jongin yakin itu.
**
“Terima kasih.” Injung melepaskan jaket yang tadi sengaja Jongin pinjamkan padanya, lalu mengembalikan pada Jongin sebelum ia melepas seat belt yang masih terpasang di tubuhnya. “Aku benar-benar tidak enak padamu, Jongin-ssi. Aku yang mengajakmu, tapi kau harus melihatku coulrophobia-ku kambuh. Maaf, ya,” ujarnya lagi sambil menggaruk belakang kepalanya dan tersenyum malu.
Jongin mengangguk pelan. “Tidak apa-apa. Hey, kau sudah mengatakan maaf sebanyak sepuluh kali hari ini. Aku yang mendengarnya saja bosan,” gurau Jongin, meledakkan tawa Injung. Gadis itu memukul pelan pundak Jongin sambil menggembungkan pipinya.
Detik-detik terus berlalu. Berangsur-angsur tawa mereka pun terhenti dan mengundang keheningan. Suasana kembali canggung, entah karena apa. Mungkin karena hanya detak jantung dan tatapan mata yang berbicara saat ini, tapi keduanya—baik Jongin maupun Injung—merasa ada yang aneh dengan mereka. Dan sayangnya mereka tidak tahu apa itu.
“Jongin-ssi…” Injung berdehem pelan. “Aku tidak pernah seakrab dan senyaman ini di dekat orang yang baru kukenal, apalagi pria. Tapi tidak tahu kenapa, saat kita baru saling mengenal, aku langsung bisa percaya padamu. Mm… Bukan maksudku menuduhmu macam-macam, tapi bagaimana pun kecurigaanku pasti tetap ada pada pria yang tiba-tiba muncul sepertimu.” Injung terkekeh hambar, sementara Jongin hanya menatapi gadis itu baik-baik, merasakan darahnya mengalir dengan cepat dan menimbulkan sensasi yang aneh ketika pandangan mereka bertemu.
“Tapi padamu… tidak peduli baru berapa hari kita mengenal, aku langsung bisa percaya padamu. Bahkan aku merasa seperti sangat mengenalmu, aku sangat memercayaimu. Entah karena apa.” Injung menoleh, menatap Jongin yang masih menatapnya lekat-lekat. “Ini memang aneh. Apa kau merasa begitu?”
Jongin berpikir sebentar—lebih tepatnya pura-pura berpikir—lalu ia mengulas senyum lebar. “Aku juga. Aku merasa sangat nyaman dan aman di dekatmu, aku juga merasa seperti aku sangat mengenalmu. Aneh, bukan?” ujarnya, membuat senyum Injung melebar.
“Ya… Ini memang aneh.”
Injung terkekeh pelan, lalu meraih tas tangannya di dasbor dan membuka pintu mobil. Ia baru saja hendak melangkahkan kakinya keluar mobil, ketika tangan Jongin menahan pergelangan tangannya. Injung menoleh dan menatap Jongin heran.
“Ada apa?” tanyanya bingung. Jongin membeku di tempatnya, masih mencari-cari alasan apa yang tepat untuk menahan gadis ini. “Jongin-ssi…?”
“Injung-ssi, apa kau percaya takdir?” tanyanya, membuat kerutan di dahi Injung terlihat semakin jelas. “Dan… apa kau percaya reinkarnasi?”
“Mwo?” Injung mengerjap tak mengerti.
“Aku hanya ingin mendengar pendapatmu mengenai kedua hal itu,” ujar Jongin, sekedar beralasan. “Jadi, bagaimana menurutmu?”
Injung terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Jongin barusan. Ia menghela nafasnya pelan, lalu dengan perlahan ia menjawab. “Aku percaya takdir…” bisiknya. “Takdir yang membawaku ke detik ini, membawaku ke hadapanmu, hingga sekarang aku sedang berada di mobilmu.”
Jongin masih diam, menunggu kelanjutan dari kalimat Injung sementara gadis itu mengulas senyumnya. Bola matanya yang tampak berbinar terlihat semakin menghipnotis ketika matahari yang hampir tenggelam di penghujung hari menerpa wajahnya. Satu kata, indah.
“Takdir yang membawaku untuk mengenalmu,” lanjutnya lagi. “Dan tentang reinkarnasi… entahlah, aku juga tidak terlalu yakin. Tapi jika seseorang memang ditakdirkan untuk bereinkarnasi, mungkin hal itu memang pernah terjadi di dunia ini.” Injung membuka pintu mobil dan hendak keluar, tapi lagi-lagi Jongin menahannya.
Tatapannya masih terlihat mengunci sosok Injung di dalam bola matanya. Di tengah-tengah kebingungan gadis itu, Jongin masih mencoba mengontrol detak jantungnya yang kembali berdetak kencang, seolah menggedor-gedor dadanya dengan keras. Jika sesuatu terjadi pada jantungnya, maka yang harus bertanggung jawab adalah gadis ini.
“Jongin-ssi…?” Injung mengerjapkan matanya bingung ketika Jongin menutup pintu mobilnya dan masih menahan tangannya.
Jongin tak bisa berpikir lebih jernih dari saat ini, ketika ia memberanikan dirinya mendekat pada Injung dan menyentuh gadis itu. Di otaknya saat ini hanya ada satu nama, satu bayangan, Song In Jung. Mungkin otaknya sudah rusak, Jongin tidak menyangkal pendapat itu. Karena saat ini tidak ada yang bisa ia lakukan ketika sesuatu dari dalam dirinya memaksa untuk menyentuh gadis itu.
Injung hanya diam, merasakan detak jantungnya yang semakin menggila, seolah akan lepas dari tempatnya. Kini ada sesuatu yang tertaut di bibirnya, menyapunya dengan lembut dan hati-hati. Mungkin yang ada di pikiran pria itu saat ini adalah Injung yang terlihat seperti patung kaca yang tidak boleh disentuh sembarangan. Karena Jongin memperlakukannya dengan lembut, sama sekali tidak terasa menuntut. Injung benar-benar merasa bahwa Jongin adalah pria yang bisa dipercaya, meskipun apa yang dilakukannya saat ini tidak menggambarkan hal itu.
Tapi, entahlah. Injung merasa apa yang dilakukan Jongin saat ini bukanlah sesuatu yang buruk. Ia memercayai Kim Jong In.
“Maaf…” bisik Jongin sedikit serak, akibat sensasi aneh yang menyengat dalam dadanya, sesaat setelah melepaskan bibir mereka yang bertaut. Ia menggerutu dalam hati, mengutuk dirinya sendiri yang dengan cerobohnya membiarkan perasaannya menghancurkan sistem kerja otaknya. Bagaimana jika Injung menganggapnya sebagai pria brengsek yang hanya menginginkan tubuhnya? Atau bagaimana Injung tidak lagi memercayainya? Bagaimana jika—
“Mm… Untuk hari ini, terima kasih…” ucap Injung pelan, membuat tatapan Jongin kembali tertuju pada wajahnya yang kini tampak memerah. Pria itu mengerutkan dahinya, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Selamat malam.” Injung menyempatkan tersenyum tipis, senyuman yang terlampau manis di mata Jongin, sebelum ia membuka pintu mobil dan keluar dari sana.
Tatapan Jongin masih belum lepas dari punggung Injung yang tampak menjauh, hingga menghilang di balik pintu rumahnya yang bercat putih. Perlahan namun pasti, garis lengkung itu terlihat di bibirnya.
“Selamat malam, Song In Jung.”
—To be continued—
Note: Maaf kalo FFnya gaje, karena idenya pun datang secara tiba-tiba (/.\) Silakan tinggalkan komentar berupa kritik atau saran, supaya saya bisa nulis cerita yang lebih baik lagi *amin*
Kamsahamnida ^^
