Unpredictable Love
“CINTA PERTAMA MENGUBAH SEGALANYA”
Title : Unpredictable Love
Genre : Romance, Friendship
Length : Chaptered
Rating : PG 15+
Cast : Lee Jin Sil
: Kai EXO
: Lee Yoora
: Kim Joon Myeon (Suho) EXO
: Jung Soojung (Krystal) F(X)
by: gboyaction
Mentari pagi kembali menunjukan sinar hangatnya. Hari baru yang datang dan, aku siap melewatinya. Senyum yang mengembang tertera di wajahku. Saat aku turun ke ruang tamu, aku melihat kedua orang tuaku, oppaku, dan joon oppa. Mereka sedang berbincang-bincang di ruang tamu. Segera aku mengambil sepotong roti dan sebotol susu. “Jin sil kau sepertinya sangat siap ke sekolah” ucap ibuku. “Ne omma, rasanya aku tidak sabar untuk sampai ke sekolah” jawabku dengan senyum diwajahku. “Bisakah aku mengantarmu?” tawar joon oppa. “Oppa bukankah kau sibuk, aniya aku tidak ingin menyusahkanmu” jawabku menolak tawaran ji hoon oppa. “Ya! apakah ada lingkaran hitam di mataku sehingga kau menyebutku, orang sibuk” jawabnya dengan penuh canda, kami pun tertawa bersama. Aku menerima tawaran oppa lalu, kami berdua mengucap salam dan meninggalkan rumah. Joon oppa mengantarku dengan mobilnya. “Ya oppaku seorang chaebol sekarang” candaku karena melihat mobil baru oppa yang terparkir di depan rumahku. “Ini bukanlah apa-apa, naiklah” jawabnya sambil membukakan pintu untukku. Aku membalasnya dengan tawa kecil. Kami pun berbincang-bincang selama perjalanan, melepas kerinduan kami. “Jin sil ya, bagaimana sekolah barumu?” tanyanya kepadaku. “Hmm, menyenangkan” ucapku dengan senyum diwajahku. “Benarkah? apa kau bertemu banyak teman baru?” tanya oppa lagi. “Hm tentu saja, bahkan lebih dari teman” ucapku tertawa, aku teringat jongin oleh karena itu aku mengatakan hal itu, dan kata-kataku membuat oppa menoleh kepadaku. “Lebih dari teman?”, tanya oppa kepadaku dengan mata yang membulat. “Aniya, tidak usah dipikirkan, aku hanya bercanda” ucapku, agar ia tidak terlalu memikirkan ocehanku. Kami pun tiba, disekolah, “oppa, terimakasih” ucapku kepada joon oppa. “Jin sil ya, tetaplah tersenyum seperti itu dan belajarlah yang benar” ucap opppa untuk menyemangatiku, aku pun melambaikan tanganku, kepada mobil yang berlalu meninggalkanku. Aku menatap mobil oppa, yang semakin lama semakin menjauh, aku teringat saat di busan dulu, oppa mengantarku ke sekolah dan bahkan ia menemaniku belajar. Aku tersenyum mengingat kenangan itu. Setelah sadar dari lamunanku, aku pun segera masuk ke kelas, yang saat itu tengah ramai. Yoora menghampiriku, dan menanyakan hal yang ganjil di depan matanya, “Jin sil, siapa yang menjemputmu tadi?” tanyanya penasaran. “Oppa, dia oppaku,” jawab ku tersenyum. “Lee jin goo? apakah itu oppamu lee jin goo?”, ia membulatkan matanya. “Mana mungkin oppaku mau mengantarku, dia adalah joon oppa, teman kecilku, tapi dia melebihi jin goo oppa” jawabku mengeluh. “Dia sangat keren, aku terpana melihat penampilannya” seru yoora takjub. “Benarkah? ya memang dia mempesona” jawabku membenarkan perkataan yoora. “Tapi, dia sangat aneh”, ucapku dan membuat yoora mengangkat alisnya. “Aneh?”, tanya yoora. “Ya, di busan dulu banyak wanita yang tergila-gila kepadanya tapi, dia tidak memperdulikan wanita-wanita itu” jelasku kepadanya. “Hm dia tipe yang cool walaupun, begitu sepertinya dia ramah, tidak seperti jongin” ucapnya, sambil sedikit menoleh ke arah jongin. “Tentu saja berbeda,” jawabku membenarkannya. Walaupun jongin tidak ramah tapi, dia yang terbaik untukku. Sejenak aku berpikir tentang joon oppa. Joon oppa memang tampan, ia mempesona banyak wanita. Saat aku di busan, banyak unnie-unnie yang menitipkan surat untuk joon oppa, kepadaku. Tetapi, oppa tidak pernah memperdulikannya. Aku tersenyum kecil mengingat kejadian itu. Aku pun, memasukan buku ke laci, dan untuk kesekian kalinya, aku menemukan sebotol yoghurt, dan note kecil yang bertuliskan,
“Semoga harimu menyenangkan
lee jin sil”
Aku tersenyum membaca tulisan dari note kecil itu. Aku pun segera meminum yoghurt itu dan memandang indahnya langit di jendela sampingku. Bel pun, membangunkannku dari lamunanku. Guru kang pun, masuk ke dalam kelas, aku segera memperbaiki posisi tubuhkan dan menyedot sisa yoghurtku sampai habis. Guru kang mengatakan bahwa, kami harus menyelesaikan tugas kelompok kami sebelum ujian dimulai. Sepertinya minggu ini akan menjadi minggu yang sulit untuk ku. Disaat aku harus belajar untuk mempersiapkan ujian, disaat itu juga aku harus menyelesaikan tugas guru kang. Rasa lelah terpapar diwajahku, tetapi setidaknya aku masih mempunyai satu senjata untuk menghilangkan rasa lelahku. Siapa lagi kalau bukan orang itu, aku pun melirik jongin yang sedang menatap guru kang. Dia memperhatikan guru kang dengan wajah polosnya, seperti anak kecil, dan membuat ku tersenyum kecil. Jongin mempunyai seribu wajah, kadang ia menunjukan wajah manis mempesona, wajah dingin yang amat datar, wajahnya saat marah juga sangat menyeramkan. orang ini benar-benar menyihirku, pikirku dalam hati. Aku pun, berhenti menatapnya, dan mulai menatap lembaran kertas dihadapanku.
Jam istirahat pun tiba, aku memutuskan untuk membaca buku di taman. Aku duduk di bawah pohon yang rindang, sinar matahari yang hangat menyentuh wajahku. Dan, aku mencoba menghalanginya dengan tanganku, tetapi sinar itu menerobos dari sela-sela jariku. Aku tersenyum, karena ini seperti apa yang kualami. Sinar matahari itu seperti, pesona jongin yang menyilaukan mataku, dan aku mencoba untuk menghindar, tetapi seberapa keras aku mencoba, usahaku hanya sia-sia, semua karena jongin. Hari-hari baru telah kulewati dan semua itu tampak berbeda dari hari-hari sebelumnya, semua karena jongin. Tiba-tiba yoora datang menghampiriku, “Jin sil, kau terlihat pucat, ini” ucapnya sambil menyodorkan sebotol jus buah kepadaku. “Gomawo yorra ya” jawabku tersenyum. “Apakah kau kurang tidur karena, belajar?”, tanyanya khawatir. “Ne, apakah lingkaran hitam ini tampak jelas?”, ucapku mengeluh sambil menunjuk mataku, yang dari hari ke hari yang tampak menghitam. “Ne! kau seperti panda”, canda yoora. “Benarkah?, tapi aku tetap temanmukan?”, jawabku dengan senyum. “Tentu”, jawabnya dengan senyum. “Jin sil ya, apakah kau tau berita heboh yang ada di sekolah saat ini?”, tanya yoora kepadaku, “Tidak” jawabku singkat, karena memang aku tidak tahu mengenai hal itu. “Ini menyangkut jong in,” seru yoora, dan membuat aku terdiam sejenak. Lalu, yoora menyambung perkataannya, “kau tahu kan, lelaki yang beradu basket dengan jong in kemarin?” tanyanya dengan mata yang mendelik kepadaku. “Ne” jawabku membalas pertanyaannya. “Lelaki itu menyukai jung soojung, wanita tercantik di sekolah ini tetapi, unnie itu tidak mempedulikannya, dan ternyata soojung unnie menyukai jongin.” jelas yoora kepadaku, dan membuat ku menatapnya, aku pun teringat kejadian pertengkaran yang aku lihat dekat lorong waktu itu. “Oleh karena itu, ketua club basket itu sepertinya membenci jongin” sambung yoora, dan aku hanya terdiam mendengar penjelasan yoora. “Ketua club basket itu menyebarkan kabar-kabar jelek tentang jongin, aku tahu itu tidak benar” ucapnya, dan membuatku membulatkan mataku. “Kabar jelek?” tanyaku penasaran kepada yoo ra. “Seperti, kabar bahwa jongin itu munafik, di depan dia menolak wanita, tetapi ternyata ia adalah orang yang gila wanita, aku tidak terlalu percaya kabar itu, karena sepertinya jongin tidak begitu”, jelas yoora kepadaku. “Jongin” aku menyebutkan nama itu, ketika aku mendengar penjelasan yoora, aku memikirkan orang itu.
Aku tahu ini hanya omong kosong, sahabatku yoora pun tidak percaya dengan omong kosong ini. Hatiku tahu, bahwa jong in bukan orang yang seperti itu. Aku tidak mengenal kehidupan jongin, aku tidak tahu. Tetapi, hatiku tahu siapa jongin, yang sebenarnya. Tubuhku lemas, lalu aku meninggalkan yoora yang terdiam melihat tingkah anehku. Bagaimana jongin? apakah dia tidak apa-apa? yang kukhawatirkan sekarang hanyalah dirinya. Aku pun berdiri tegak, dan memutuskan mencari jongin. Aku berlari sekuat tenagaku, mencari sosok lelaki itu ditempat-tempat yang sering dia kunjungi. Pencarianku pun berakhir, jongin ada di pojok perpustakaan. Ia sedang membaca bukunya dengan tenang. Aku hanya melihatnya dari jauh, dengan napasku yang terengah-engah. Hatiku lega karena telah menemuinya dengan keadaan yang aman. Telingaku terganggu karena banyak orang di perpustakaan itu, yang berbisik-bisik membicarakan jongin, melihat itu membuat kakiku hendak melangkah, ingin melakukan sesuatu untuk jongin. Sejenak aku ragu akan tindakanku, tapi aku tidak mau melihatnya menderita dengan omong kosong ini. Aku pun, memberanikan diri melangkah untuk menghampirinya. Dia tersadar dengan kehadiranku. Aku pun duduk disampingnya dan memberikan sebuah handsfree. “Pakailah” ucapku kepadanya, mungkin ini tindakan nekat bagiku, tetapi aku tidak tahan melihatnya seperti ini. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya heran kepadaku. “Pakailah, kau membutuhkannya” jawabku meyakinkannya. lalu, ia menuruti perkataanku, ia memasang handsfree di kedua telinganya. Ujung handfree itu kugenggam dengan erat. “Aku telah menghubungkan handfree ini pada diriku, jadi kau tidak boleh mendengar suara lain selain diriku.” pintaku kepadanya. Dia hanya terdiam memperhatikan tingkahku. “Apakah ini tempat favoritmu?” tanyaku. “Ne” jawabnya dengan singkat. “Kau akan merasa tenang disini, tidak ada orang yang bisa melihat keberadaanmu dengan mudah, aku merasakannya beberapa kali ketika aku berada di sini”, jelasku kepadanya, “bisakah? bisakah aku hidup tanpa ada yang melihatku?”, pertanyaan yang keluar dari mulutnya membuat ku terdiam. aku menatapnya, aku merasakan kesedihan dalam hatinya, “Kau tahu selimut ajaib yang dipakai Harry Potter, ketika ia menyelimuti tubuhnya dengan selimut itu, tidak ada orang yang bisa melihatnya”, jawabku atas pertanyaannya. Dia hanya tersenyum kecil mendengar perkataanku. “Anggap saja kau memakainya, jangan pedulikan orang-orang yang tidak melihatmu, berjalanlah terus sesukamu”, jelasku lagi kepadanya. “Bagaimana aku bisa hidup jika semua orang tidak melihatku?”, tanyanya kepadaku. “Saat harry potter sedang memakai selimut, ada seekor kucing yang bisa merasakan keberadaanya,” jawabku dengan senyum di wajahku. Ia pun, membalas perkataanku dengan senyuman seakan dia mengerti maksudku. Aku rasa, aku adalah kucing itu, walaupun orang lain tidak bisa melihatnya, tetapi aku bisa merasakan keberadaannya dalam hatiku. “Simpanlah handsfree ini, dan pakailah bila kau membutuhkannya, anggap saja handfree ini selimut ajaib itu”, pintaku kepadanya, sambil memberikan ujung handsfree kepadanya. Aku pun, melangkah kembali ke kelas dengan senyuman di wajahku, aku sangat lega bisa melakukan sesuatu hal yang berguna untuknya. Aku tidak menyangka, aku bisa berkata seperti itu tadi. Dan aku tidak menyangka bisa membuat jong in yang dingin, berbagi perasaanya kepadaku. Tetapi satu hal yang kubanggakan pada diriku, adalah aku bisa membuatnya tersenyum. Tidak ada hal yang paling berharga dibandingkan senyuman dan kebahagiaannya. Sekarang aku tahu, bahwa kebahagiaan kim jongin adalah yang terpenting bagiku.
*
Aku pun melangkah keluar gerbang sekolah. Hari ini tidak ada pelajaran tambahan, jadi aku tidak pulang malam lagi hari ini. Saat aku keluar gerbang, ada suara seorang pria yang memanggilku, “jin sil ya” dan suara itu adalah suara joon oppa. “Oppa” jawabku gembira. Joon oppa berdiri di luar gerbang, dengan melambaikan tangannya kepadaku, aku pun segera menghampirinya. “Bagaimana harimu?” tanya oppa kepadaku. “Hari yang sangat indah” jawabku dengan senyum yang mengembang. “Ya… uri jin sil ya, aku juga sangat senang mendengarnya”, jawabnya sambil mengacak-acak rambutku. Aku pun, hanya bisa mendelik kesal karena oppa membuat ku terlihat jelek. “Oppa apa yang akan kita lakukan? bisakah kau mentraktirku mie ramen?”, pintaku manja. “Ramen? baiklah kaja!!”, oppa menyetujui permintaanku. Kami pun segera menghampiri mobil oppa yang diparkir tidak jauh dari gerbang sekolah. Saat sudah sampai di restoran ramen,kami pun, memasukinya dan memesan ramen kesukaan kami. “Oppa, kau sangatlah keren” ucapku kepada oppaku. “Ya wajahku memerah, saat kau mengatakan itu”, candanya kepadaku. “Jin goo oppa tidak pernah memperlakukanku seperti ini”, keluhku kesal. “Tapi, dia sering mengkhawatirkanmu”, ucap oppa untuk menghiburku. “Oppa, apakah kau sudah punya pacar?”, tanyaku kepadanya. Oppa hanya terdiam memperhatikanku. “Ya! kau tidak menjawabku,” ucapku kesal. “Oppa, kau harus menemukan wanita yang baik, dan bisa mencintaimu dengan tulus”, ucapku kepada oppa kesayanganku. “Aku sudah menemukannya”, ucapnya kepadaku, membuat ku terkejut. “Jinjja?, kapan kau mempertemukan kami? aku harus menilainya terlebih dulu”, ucapku. “dia sangat cantik, baik, dan membuatku nyaman”, jawabnya sambil tersenyum. “Benarkah? aku penasaran”, jawabku. “Kau akan tahu nanti”, ucap oppa. “Nanti? baiklah”, ucapku mengerti. Setelah makan ramen, oppa mengantarku pulang ke rumah. Oppa hanya mengantarku sampai gerbang, dia tidak bisa mengatarku sampai ke dalam rumah, ia mengatakan bahwa, ia mempunyai beberapa urusan yang harus ia selesaikan. Aku mencoba mengerti, dan membiarkannya pergi tanpa masuk rumah. Setelah mengantar kepergian oppa aku langsung melangkahkan kakiku masuk kerumah.
“Mencintai seseorang, adalah keadaan dimana dirimu tidak hanya mencintai apa yang terlihat dari dirinya, tetapi mencintai keseluruhan yang ada pada dirinya, itulah cinta.”
Hari minggu pun, tiba menambah hari-hariku yang indah. Aku membuka mataku, melihat keluar jendela, tetapi tubuhku serasa enggan melepaskan kehangatan selimut ini. Tiba-tiba, omma mengetuk pintu kamarku. “Jin sil ya, apakah kau sudah bangun? kau kedatangan tamu”, sahut ommaku dari balik pintu, aku pun terkejut saat omma bilang tamu. “Ne omma, tamu?” jawabku , dan aku pun beranjak dari tempat tidurku, untuk membuka pintu. “Jin sil ya, cepat kau mandi, temanmu menunggumu”, perintah ommaku kepadaku, lalu ia langsung berlalu pergi dari hadapanku. Aku heran, siapa yang datang pagi-pagi seperti ini?, aku pun segera mandi dan membereskan kamarku. Setelah itu aku turun ke ruang tamu, dan terlihat sesosok wanita yang sangat aku kenal, dan wanita itu yoora. “Jin sil ya anyeong”, sapanya dengan senyum ketika menyadari keberadaanku. “yoora?”, ucapku heran. “Tapi, kenapa kau kesini? kenapa pagi-pagi sekali?” tanyaku kepada yoora. “Ya napeun yeoja, apakah aku tidak boleh menghampirimu?”, jawabnya dengan mata yang membulat. “Aniya, maksudku ada apa kau tiba-tiba ke sini?”, ucapku dengan pertanyaan yang sama. “Sepulang sekolah kemarin jongin menghampiriku, dan memintaku menyampaikan sesuatu kepadamu”, jelasnya, dan membuat aku terkejut. “Aku? ada apa? ”, tanyaku kepada yoora. “Ia bilang supaya, kau menemuinya hari ini jam 11, di taman dekat rumahmu, dia bilang masalah tugas guru kang”, jelas yoora kepadaku. “Ahhh kami belum menyelesaikannya”, ucapku. “Karena kau tidak punya handphone, makanya aku menyempatkan diri untuk mampir”, ucap yoora. “Ya yoora, kau teman yang baik, maafkan aku telah merepotkanmu”, balasku dengan senyum diwajahku. Aku tampak senang karena jong in, ingin menemuiku, walaupun karena tugas setidaknya, aku bisa bertemu dengannya. “Ya kau! senyummu itu, apakah benar dugaan ku kalau….”seperti biasa yoora selalu tahu apa yang ada dipikiranku. Aku langsung menutup mulutnya, “Hentikanlah pikirannmu itu!”, ucapku sambil memukul lembut keningnya. Yoora pun, pamit untuk pergi karena dia ada les, aku pun mengantarnya sampai gerbang rumah. Jam di tanganku menunjukan waktu 09:30 KST, aku pun segera ke kamar, menyiapkan keperluan untuk bertemu dengan jong in.
Aku pun membuka, lemari pakaian ku, aku melihat satu per satu baju itu. Apa yang harus kupakai? pikirku, saat aku menatap isi lemari pakaian itu, mataku pun tertuju pada sebuah dress putih. Aku sudah lama tidak memakai dress ini, aku ingat sekali akan hari itu, hari tahun baru bersama joon oppa, dan hari itu terakhir kalinya aku memakai dress ini. Lalu, aku memutuskan untuk memakai dress putih itu, aku menyisir rambutku di depan kaca, aku memakai bando putih berpita, lalu aku memasang jam tangan kulit cokelat di tanganku, aku tersenyum di depan kaca, membayangkan pertemuan nanti. Apakah ini kencan? seketika pikiran itu muncul dibenakku. “Aniya, ini tugas sekolah!” jawabku tegas, berusaha meyakinkan diriku. Aku pun, mengambil tasku, dan bergegas pergi. Jam tanganku menunjukkan jam 10:50 KST, aku segera pamit, dan melangkah ke luar rumah. Aku mempercepat langkah kakiku, karena aku takut dia menunggu. Ditengah-tengah ketergesaan, hatiku berdegup kencang, walaupun aku senang dengan pertemuan ini, tetapi tetap saja aku gugup.
Aku pun sampai di taman itu, tepat pukul 11:15 KST, aku mendelik kesal pada diriku sendiri, karena aku berjalan terlalu lambat sehingga aku terlambat. Mataku pun segera mencari sosok itu di sekitar taman, dan aku melihatnya berada di bangku ditengah taman, di bawah pohon rindang. Aku mengembangkan senyumku, karena menemukannya. Aku segera menghampirinya, yang saat itu terlihat sudah lama menunggu, “Annyeong haseyo, maaf sudah membuatmu menunggu”, ucapku menyesal. “Ne gwenchana” ucapnya singkat. “Apakah kita akan mengerjakan tugas guru kang disini?”, tanyaku, sambil melihat sekeliling taman, yang sedang ramai oleh sekelompok anak-anak kecil. “Ne, apa ada masalah?”, ucapnya dengan wajah datarnya. “Aniya”, ucapku dengan senyum tipis, aku segera menuruti perintahnya dan duduk disebelahnya. Aku tetap bersyukur walaupun alasan kami bertemu hanyalah untuk mengerjakan tugas. Waktu demi waktu berlalu, Tidak terasa kami sudah melewatkan beberapa jam di taman ini, dan tidak terasa hari sudah menjelang sore, aku mencoba meregangkan tanganku, aku merasakan perutku yang sedang ribut karena tidak diberi makan, jongin menangkap gerak-gerikku, yang sudah nampak kelelahan dan tentunya kelaparan. “Kau ingin makan?”, tawarnya kepadaku, dengan mata yang masih menatap buku. “Makan? aniya aku tidak lapar, lagipula tugas ini?” jawabku, walaupun sedikit berbohong pada diriku sendiri, aku tidak ingin merepotkannya. “Bangunlah, dan bereskan bukumu! aku tidak ingin melihatmu menderita bersamaku. aku sudah menyelesaikan bagianku, aku akan memeriksa bagianmu nanti” ucapnya sedikit keras, membuatku segera menuruti perkataannya. Dia memang orang yang cenderung dingin, dan ia menunjukan perhatiannya dengan cara yang tidak wajar. Tapi aku menyukai itu, walaupun dia dingin tapi, tidak berarti dia jahat dan membiarkan orang disekitarnya menderita. Orang seperti jongin adalah orang yang sangat memperdulikan sekitarnya, tetapi dia terlalu takut untuk menunjukan dirinya. Langkah demi langkah aku mengenal dirinya.
Kami berjalan bersama, aku berjalan dibelakangnya karena aku merasa tidak enak. Aku menatap punggungnya yang berjalan tepat didepanku. Aku tersenyum menyambut setiap langkahku bersamanya. Kami pun memasuki sebuah rumah makan, kami mengambil tempat duduk yang nyaman, untuk kami duduki. Aku melihat daftar makanan yang ada di meja, dan air liurku seakan ingin menetes hanya melihat daftar makanan ini. “Ajhuma, tolong beri kami 2 ramyun”, ucap jongin tiba-tiba, tanpa menanyakan padaku makanan apa yang ingin ku makan, aku pun menghela napas pasrah. “Kenapa?”, sadarnya dengan tingkahku. “Aniya, hanya bisakah kau memesan sebotol yoghurt untukku”, pintaku, “Ajhuma juga, 2 botol yoghurt pisang, bisakah kau mengantarnya”, ucapnya kepada ajhuma pemilik kedai itu. Tetapi kenapa dia tahu bahwa aku suka yoghurt rasa pisang, padahal aku tidak pernah memberitahunya. “Apa kau suka rasa pisang juga?”, tanyaku untuk memecahkan rasa penasaranku. “Mmm ne”, jawabnya dengan mata yang membulat. Aku tersenyum melihat matanya yang bulat, seperti orang yang ketahuan sedang mencuri. Dia mengalihkan pandangannya, karena sadar aku tersenyum karena tingkah lucunya. Lalu, ajhuma pun mengantar pesanan kami, “Terimakasih”, ucapku pada ajhuma yang dibalas dengan senyum. Dan jong in, hanya menundukan kepalanya, sebagai tanda terimakasih. Kami segera menyantap makanan kami. Dia ada dihadapanku menyantap makanannya dengan tenang, menyuap setiap suapan ke dalam mulutnya, sedikit demi sedkit aku mencuri pandanganku kepadanya. Tiba-tiba ia mengucapkan sesuatu yang membuatku berhenti menyuap makanan ke dalam mulutku, “Tentang kemarin, aku berterimakasih kepadamu”. Aku terdiam mengingat apa yang terjadi kemarin. “Aku terhibur oleh itu” ucapnya lagi, dan membuatku mengingat kejadian kemarin. “Tapi, apakah hanya aku yang mengetahuinya? maksudku…”, tanyaku. Tak sempat aku melanjutkan ucapanku ia langsung menyela perkataanku, “Ne, hanya kau yang mengetahui perasaanku saat itu”, ucapnya dengan tangan dan mata yang masih sibuk dengan mie ramennya. Mendengar perkataan itu aku hanya bisa menatapnya kaget, dan juga terpana bahwa ternyata, aku orang yang pertama melihat suatu sisi yang tersembunyi dari dirinya. “Aku senang bisa membantumu”, ucapku tersenyum. Jongin membalasnya dengan senyum tipis, dan kali ini ia menatap wajahku. Beberapa detik mata kami bertemu sama lain, tersadar akan hal itu aku segera mengalihkan pandanganku untuk meyembunyikan kegugupanku, dan segera mennyuapkan makananku. Ia juga, mengalihkan pandangannya, dan segera menyantap makanannya. Kami pun selesai menyantap makanan kami. Saat kami melangkah keluar rumah makan, langit menyambut kami dengan rintikan air hujan yang menetes. “Hujan,” ucapku kecewa. “Kita harus menunggu hujan ini sampai reda,” ucapnya. kami pun menunggu hujan reda, didepan kedai makanan itu. Aku melihat langit saat itu, dengan senyum aku menutup mataku, dan perlahan-lahan mengangkat tangan kananku, mencoba merasakan rintikan hujan yang jatuh ke tanganku. Beberapa saat, aku terlarut dalam perasaan damai ini. Aku pun membuka mataku dan melihat jongin tengah melakukan hal yang sama. Aku memperhatikan wajahnya, siluet wajahnya yang menunjukan senyum manisnya, sepertinya dia merasakan hujan sangat dalam, pikirku. Ia pun membuka matanya, dan membuatku mengalihkan pandanganku. “Apakah kau menyukai hujan?”, tanya jong in kepadaku. “Ne, hujan mengutarakan segalanya, kerinduan, kesedihan, rasa bahagia, dan rasa damai sekalipun”, jelasku. dia hanya tersenyum tipis mendengar ucapanku. “Kau? apa kau menyukai hujan?”, tanyaku kepadanya. “Ada saat dimana aku menyukainya, dan ada saat dimana aku tidak menyukainya, bahkan membencinya”, ucapnya sambil tersenyum menatap hujan, aku hanya bisa terdiam menatapnya. Ia menunjukan senyum itu, senyum yang berbeda dari senyumnya sebelumnya, senyumnya yang sangat hangat, dan jauh dari kesan dingin dan, aku terpaku beberapa detik oleh senyumnya. “Hujan seperti diriku”, ucapnya lagi menyambung perkataannnya. Dia menatapku, dan aku tersenyum membalas perkataannya. Kami pun menatap langit bersama, dan merasakan rintikan hujan bersama-sama.
“Dia seperti rintikan hujan yang menetes di tanganku, terasa dingin tetapi membuat hatiku damai”
Suara yang sangat erat dengan telingaku, tiba-tiba memanggil namaku, dan membangunkan ku dari lamunanku. “Jin sil”, suara itu, suara joon oppa. Ia bediri, dengan payung di tangannya, menatapku, dan juga jongin. Aku tersenyum saat melihat kehadirannya. “Oppa” ucaapku dengan senyum, menyambut kehadirannya yang melangkah mendekat ke arahku dan juga jongin. Jongin hanya terdiam melihat aku menyapa joon oppa. “Aku datang menjemputmu”, ucap oppa. “Tapi, aku…” ucapku heran, aku hendak menjelaskan kepada oppa, bahwa aku sedang bersama jongin, tetapi jong in menyelanya “pergilah”, ucap jongin. Aku pun menatapnya dengan rasa bersalah. Jongin langsung pergi setelah mengatakan itu, ia menerobos hujan yang cukup lebat. “Jin sil, ayo”, pinta oppa kepadaku. Oppa merangkul bahuku, dan mendekatkan payungnya agar bisa melindungi tubuhku dari hujan. Aku menuruti perkataan oppa, dan pergi dengan rasa bersalah. Aku pun masuk ke dalam mobil, lalu oppa memasang alat pemanas untuk menghangatkan tubuhku. “Ajhuma mengatakan kau sedang pergi ke taman bersama temanmu, melihat hari yang hujan, dan juga kau tidak membawa payung maka aku menjemputmu. Aku mencarimu dari tadi, untungnya kau tidak jauh dari taman.” Jelas oppa kepadaku. “Terimakasih, oppa”, ucapku dengan wajah yang khawatir. “Ada apa denganmu?” tanya oppa, menyadari sikap anehku. “Oppa tidak seharusnya aku meninggalkannya”, ucapku, dan membuat oppa terdiam. “Oppa maaf, tetapi ku rasa sikapku tidak pantas, aku harus pergi.”, Ucapku. Lalu, segera aku meraih pintu mobil, seketika aku merasakan tangan oppa yang menahanku, aku pun menoleh. “Ini pakailah”, ucap oppa, sambil menyodorkan payungnya kepadaku. Aku pun meraih payung itu, “Jangan khawatirkan aku, aku akan segera pulang”, ucapku dengan senyum berusaha meyakinkan oppa. Aku pun berlari dengan payung di tanganku, meninggalkan joon oppa dengan rasa khawatirnya, demi mencari sosok jong in yang mungkin tidak jauh dari sini. Aku mencari ke beberapa tempat, tetapi beberapa kali usahaku nihil, aku tidak bisa menemukan sosoknya. Aku melangkah sendirian di tengah hujan, aku tidak tahu harus berjalan kemana, aku hanya melangkah mengikuti hatiku, berharap ia bisa muncul dihadapanku. Langkahku pun terhenti di depan sebuah gereja. Aku memutuskan untuk masuk ke gereja itu. Aku duduk di bangku panjang yang ada di dekat pintu gereja itu. Aku duduk menyendiri, menatap hujan yang tak kunjung berhenti, dengan rasa khawatir di dadaku. Aku hanya bisa menghela napas dan menundukan kepalaku. “Kenapa kau disini?” suara itu menyadarkanku, aku pun segera menegakkan kepalaku, dan menoleh ke arah sumber suara itu. Wajah itu menatap heran ke arahku, wajah dari seorang yang kunanti. Aku pun berdiri, “jong in” ucapku dengan lega karena telah menemukannya. Ia berdiri dihadapanku, dengan rambutnya yang setengah basah. Ia melihat bibirku yang pucat, lalu ia melepaskan kemejanya dan memberikannya kepadaku, “pakailah, kau bisa kena flu” ucapnya, dengan lembut. Aku pun menuruti perkataannya, dan memakai kemeja itu dihadapannya. Kami pun duduk di bangku panjang, di depan gereja. “Kenapa, kau ada di sini?” ucapnya, mengulang pertanyaannya yang belum ku jawab tadi. “Aku …” aku bingung harus menjawab apa. “Mungkin suatu kebetulan” ucapnya, seakan menjawab sendiri pertanyaannya. “Aniya, aku mencarimu karena aku merasa bersalah sudah meninggalkanmu”, ucapku memperbaiki pemahamannya. Dia terdiam mendengar perkataanku lalu, ia menatapku. Aku segera menundukkan kepalaku saat ia menatap wajahku. “Aku baik-baik saja”, ucapnya kepadaku. Dan hal itu, membuatku tersenyum. “Maafkan aku”, ucapku menyesal. “Gwenchana” ucapnya, sambil menatap langit yang sudah berganti malam. Hujan perlahan-lahan pergi, meninggalkan kami berdua dibawah langit malam. Kami pun menatap keindahan malam yang dihiasi jajaran bitang yang berkelap-kelip. Aku senang karena bisa bersamanya saat ini.
Jong in pun, mengantar aku pulang sampai rumah. “Terimakasih atas hari ini”, ucapku kepadanya. Ia membalasnya dengan senyum tipis di wajahnya, ia pun berlalu meninggalkanku. Dan, seperti biasa aku menatap sosoknya yang sudah semakin menjauh meninggalkanku. Aku pun, masuk ke dalam rumah, dan saat aku melangkah aku melihat sebuah kotak berwarna emas lengkap dengan pita yang menghiasinya dengan indah, terletak di depan pintu. Di kotak itu, tertulis, “untuk ji sil kecilku, semoga kau menyukainya”, aku tersenyum membaca tulisan ini. Aku tahu tulisan tangan ini, tulisan tangan joon oppa. Aku pun masuk dan memberi salam, “jin sil, kenapa kau pulag telat? tadi joon mengantar tasmu, dan ia mengatakan kau akan pulang terlambat”, tanya ommaku. “Ne omma, maafkan aku sudah membuatmu khawatir”, ucapku dengan lembut. Omma pun, menyuruhku untuk mandi dan segera tidur karena aku terlihat sangat lelah. Aku segera menuruti perintah omma. Aku melangkah menaiki anak-anak tangga, dengan senyum diwajahku. Selesai mandi aku bergegas untuk segera tidur, tapi mataku terpaku oleh kotak pemberian joon oppa. Aku pun mendekati kotak itu, lalu membuka kotak itu, dan aku dikejutkan oleh isi dari kotak itu. “Handphone?”, ucapku heran. Mengapa oppa memberi aku handphone. Aku pun memencet tombol unlock handphone itu, dan terlulis pesan dari joon oppa, “kau membutuhkan ini!, karena aku ingin menghubungimu dengan lebih mudah”. Aku tersenyum melihat tulisan di layar kecil itu. Beberapa kali oppa menawarkan untuk membelikan aku handphone, tetapi aku selalu menolaknya, karena ku pikir aku tidak membutuhkannya. Tetapi, sekarang oppa memberiku suatu alasan, yang membuatku tersenyum.
