Title : Yours, Only Me (Her Family)
Author : Leon
Genre : Romance
Length : Series
Rating : PG-15
Main Cast : Park Chanyeol (EXO) ; Choi Inhi (OC)
“Fine, you know I never say no to you!”
“Ini berkas-berkas yang perlu anda tandatangani, sajangnim.”
Yoon Jeyoung, sekretaris Park Chanyeol menaruh 1 map berisi beberapa kertas ke hadapannya. Mata gadis itu menatapnya lapar, tidak peduli akan kesantunan yang diutamakan di perusahaan tersebut. Sudah bukan rumor lagi kalau Park Chanyeol, pemilik Exo Corporation memiliki ketampanan yang patut diperhitungkan untuk masuk nominasi pria tampan abad ini. Dengan tubuh tinggi proporsional, kepintaran diatas rata-rata, sukses diusia muda, dan tentu saja pesona yang dia miliki, siapapun yakin wanita normal jenis apapun tidak akan sanggup menolaknya.
Menurut kabar yang beredar, hampir seluruh karyawan wanita di perusahaan itu tertarik pada atasan mereka. Tidak yang masih single atau sudah berkeluarga, mereka sama sekali tidak imun pada pesona Park Chanyeol. Dan pria itu sadar setiap kali ada karyawati yang datang ke ruangannya ataupun ketika dia lewat, para wanita itu akan memandangnya penasaran. Senyum ramah Chanyeol selalu terlempar gratis untuk mereka nikmati. Suara berat Chanyeol akan membalas sedikit apapun salam mereka. Dan dia tidak mempermasalahkannya selama mereka bekerja profesional untuknya.
“Ne, akan kutandatangani setelah kubaca. Terima kasih.”
“Ye, sajangnim.”
Sekretaris itu langsung keluar setelah membungkuk di hadapannya. Meninggalkannya sendiri bersama pekerjaannya. Chanyeol melirik jam yang tergantung di dinding, pukul 12.30. Waktunya makan siang, dan dia sama sekali tidak berniat beranjak dari kursi besarnya ini. Baru saja dia akan membuka map yang baru didapatnya tadi ketika ponselnya berbunyi. Nama Choi Inhi terlihat di layar yang berkedip-kedip itu.
Tanpa menunggu apa-apa, Chanyeol mengangkat panggilan itu dan tersenyum simpul ketika suara Inhi terdengar di sana.
“Yoboseyo, Nyeol?” Dia menyandarkan punggung ke sandaran kursi masih dengan senyum di bibirnya. Rasa suntuknya seolah menguar ke udara digantikan rasa lega yang teramat sangat ketika suara gadis itu tertangkap gendang telinganya. Seperti air es selepas olahraga, yang dia inginkan, yang dia butuhkan.
“Are u there? If not I’m gonna turn it off.”
“I’m here.” Sahut Chanyeol cepat. Dia melepas kacamata yang membingkai wajahnya lalu mengurut tulang hidungnya.
“Belum makan siang, ya?”
“Belum, kenapa?”
“Bagaimana kalau kita makan siang bersama? Aku sedang menunggu lift untuk ke ruanganmu, lantai 7, kan?”
“Yap~ Kau bawa makanan?”
“Tentu. Sudah ya, aku sudah di dalam lift,” ucap gadis itu lalu tanpa persetujuan Chanyeol dia menutupnya. Chanyeol menggeram kesal, hal yang bisa dia lakukan hanya satu. Menunggu pintu jati ruangannya terbuka dan Inhi muncul di sana.
Chanyeol baru akan memakai kacamatanya kembali ketika suara ribut-ribut terdengar dari luar.
“Kenapa aku tidak boleh masuk? Aku hanya akan memberinya makan siang.”
Chanyeol mengintip dari dalam ruangannya yang memang ditutupi kaca dari balik pintu. Inhi di sana, dengan gaun santai abu-abu dan kardigan hitam tengah meributkan sesuatu dengan Jeyoung, sekretarisnya. Dia tersenyum geli melihat Inhi memasang wajah tidak terima sambil menatap Jeyoung geram. Tentu saja karena sekretarinya itu tidak membolehkan Inhi masuk seenaknya, sebagaimana peraturan kantor yang telah ditetapkan.
“Karena Chanyeol sajangnim hanya bisa ditemui kalau anda sudah membuat janji.”
“Aku sudah membuat janji!”
“Tapi nama Choi Inhi tidak ada di daftar orang yang akan ditemui Chanyeol sajangnim hari ini.”
Inhi menggeram kesal. Terlalu kentara di wajahnya hasrat untuk menjambak rambut lurus panjang Jeyoung hingga habis.
“Bisa kau tanyakan dulu padanya kalau aku datang? Dia pasti akan membolehkanku masuk”
“Maaf, tapi sajangnim sedang sibuk dan tidak dapat diganggu, walaupun saat jam makan siang.”
“Tidak dapat diganggu? Baru saja dia terdengar sangat senang ketika menjawab teleponku!”
Chanyeol kembali terkekeh dibalik pintu. Apa rasa senangnya terlalu jelas tadi?
“Tetap tidak boleh, agashi!”
“Kau menyukainya, ya?”
Jeyoung tergugup, “t-tidak! Kalaupun iya itu bukan urusanmu sama sekali, agashi.”
“Aku hanya akan mengantarkan makan siang untuknya, tidak beracun!”
“Kau bisa menitipkannya padaku kalau kau mau.”
“Shireo, aku akan mengantarkannya sendiri!”
“Tidak bisa. Titipkan atau aku panggil security untuk mengusirmu karena membuat keributan di sini.”
Oh okay, sudah cukup untuk bermain petak umpet begini. Chanyeol pun membuka pintu dan mendapati beberapa pasang mata tertuju padanya. Tapi hanya satu tubuh yang menjadi pusatnya saat ini. Choi Inhi, gadis itu terlihat lebih cantik daripada saat ia lihat dibalik kaca.
“Nyeol!” Gadis itu langsung berlari lalu memeluk pinggangnya. Menatap sengit sekretaris tadi seolah berkata ‘how is it? jealous?‘ Dengan sebelah alis terangkat.
“Jeyoung-shi, lain kali kalau dia datang kau langsung saja suruh dia langsung masuk. Kecuali kalau aku ada meeting di sini.”
Bersamaan dengan itu, Chanyeol merangkul pundak Inhi untuk masuk ke dalam. Meninggalkan sekretarisnya itu dengan wajah kaget sekaligus menahan malu.
“Kau tahu ruanganku dari mana?” Tanya Chanyeol begitu pintu ditutup. Menatap Inhi yang berjalan cepat ke sofa putih di tengah ruangan lalu duduk di sana. Menaruh paper bag yang dia yakin isinya makanan di meja berikut menepuk-nepuk tempat di sebelahnya. Menyuruh Chanyeol duduk.
“Kau punya resepsionis kan? Nah itu.”
“Sekretarismu menyebalkan sekali, kau tahu? Kenapa tidak diganti saja, sih? Seperti tidak ada yang lain saja,” lanjut Inhi dengan kepala mendongak menatap Chanyeol yang berdiri di seberang meja.
“Kerjanya bagus. Lagipula dia cukup memenuhi kriteria sekretaris ideal. Rajin, pintar, cantik, dan sexy tentu saja.”
“A-apa?! Sexy? Aku bertaruh dadanya itu pasti plastik!” Geram Inhi lalu membuka cardigannya dan menggelung rambutnya ke atas. Entah kenapa tiba-tiba suasana ruangan Chanyeol menjadi panas. Dia yakin pendingin ruangannya masih dalam kondisi bagus.
“Memangnya kau bisa bedakan mana yang plastik atau asli?” Tanya Chanyeol yang langsung membuat gadis itu menatapnya tidak percaya. “Hell, aku wanita! Terlebih aku calon dokter.” Sahut Inhi lalu menyandarkan tubuh ke sandaran sofa.
Okay, that’s a lie if she says she feels nothing. Karena nyatanya dia merasa Chanyeol membandingkan dia dengan si sekretaris itu. Well, dia tidak akan mengaku kalah dan mundur begitu saja karena.. Yuck! Dia benci kekalahan. Kalau sudah begini, dia akan introspeksi diri dan memperbaiki sisi yang dia anggap tidak lebih baik dari wanita dada plastik itu.
Chanyeol tertawa, mengangkat bahu kemudian duduk di samping Inhi. Dia mengambil satu kotak makanan dan membukanya. Seperti biasa, makanan yang Inhi berikan padanya selalu lengkap. Tidak seperti hidupnya dulu yang menganut asas makan apapun asal tetap hidup.
“Kau menyukainya ya?” Cetus Inhi akhirnya.
Sejurus kemudian dia mendapati Chanyeol menatapnya horor. “Pertanyaan bodoh! Jelas-jelas kau sudah tahu jawabannya.”
“Oh? You like her.”
“Hah?”
“You. Like. Her.”
“Aku sebenarnya tidak pernah mau mengatakanmu bodoh, tapi sepertinya kali ini.. Well.. Kau tahu apa yang mau aku katakan.”
“…”
“Aku bahkan sudah memanggilmu dengan panggilan aneh dan kau masih tidak mengerti?”
“Panggilan.. Aneh?”
“Baby, hubby, sweety, hunny?”
Inhi tertawa lalu dengan gemas menjepit hidung Chanyeol dengan telunjuk dan ibu jarinya. Dia senang, tentu saja. Oh, haruskah dia mengibaskan rambut di depan sekretaris berdada plastik itu?
“Yak! Jorok sekali!” Jerit Inhi ketika Chanyeol berniat memasukkan ibu jarinya ke hidung pria itu. Dan tanpa bisa ditahan tawa keduanya memenuhi seisi ruang kerja tersebut.
“Ngomong-ngomong, terimakasih,” ucap Inhi lalu mengambil sepotong salmon dengan sumpit.
“Untuk?”
“Uang yang kau transfer ke rekeningku. Tidakkah itu berlebihan? Jumlahnya hampir sebanding dengan uang belanjaku setahun.”
Chanyeol menyuapkan nasi ke mulutnya, mengunyah sesaat, lalu memandang gadis itu sambil mengangkat bahu. “Kudengar kau suka belanja. Jadi kupikir kau pasti rindu masa lalumu. Oh ya, kalau tidak salah dengar sekitar 1 jam yang lalu beberapa karyawati di sini berkata kalau charles and keith baru mengeluarkan produk baru, limited edition.”
Masih dengan sepasang sumpit menempel di bibir, Inhi mengerjap. Oh God, how can this guy being so care of me? Detik berikutnya dia menyandarkan kepalanya ke pundak Chanyeol. Hangat.
“Close your eyes!” Perintah Chanyeol kemudian dan Inhi menurutinya. Dia mengambil brokoli yang berukuran paling besar diantara potongan yang lain, menatap gadis itu untuk memastikan dia masih menutup mata. “Say aaa!”
“Aaa..” Inhi membuka mulutnya. Chanyeol memasukkan brokoli tersebut ke mulut Inhi lalu tertawa keras. Gadis itu sendiri membuka matanya dengan alis mengkerut. Mengunyah pelan makanan di mulutnya, menerka-nerka. Dengan satu gerakan cepat dia mengambil botol air putih di meja lalu meneguknya hingga setengah. Hell! She hates broccoli! Tidak peduli seberapa besar kandungan vitamin di dalamnya. Sayuran itu lebih terasa seperti rambut ketika hancur di mulut.
“You okay?” Tanya Chanyeol ketika tawanya reda. Dia bahkan harus memegangi perut saking semangatnya tertawa. Dia rela mendapat omelan Inhi tiga kali lipat demi melihat wajah konyol gadis itu lagi. Bersamaan dengan itu dia menyadari otaknya yang sebelum jam makan siang tadi serasa mau pecah kembali segar. Hanya dengan melihat Choi Inhi. Kalau begini, Chanyeol rela menghabiskan jam makan siangnya lebih lama beberapa menit kalau gadis itu bersamanya.
“Definitely not! Jahat!” Omel Inhi lalu mengelitiki pinggang Chanyeol hingga pria itu setengah telentang di sofa. Tertawa keras sambil berusaha menahan tangan gadis itu agar berhenti mengelitikinya. Beruntung mulutnya tidak sedang mengunyah apapun. Kalau iya mungkin dia harus dibawa ke rumah sakit lantaran tersedak hebat. Gadis itu sendiri sudah berlutut di atas sofa dengan serangannya yang bertubi-tubi.
“Please stop!” Teriak Chanyeol namun kembali tertawa ketika telunjuk Inhi terasa bergetar di pinggangnya. Beberapa detik kemudian Chanyeol menarik tangan Inhi hingga gadis itu menimpa tubuhnya. Tidak ada cara lain. Kepalanya sedikit pusing karena terlalu banyak tertawa. Oh, akan lebih baik kalau dia menyusun rencana untuk membalas perbuatan gadis itu nanti.
“See? Karyawati-karyawatimu pasti iri padaku,” ucap Inhi saat sudah bangun dari dada Chanyeol. “Mereka mengintip dari tadi. Harusnya kau memasang tirai di sekeliling ruanganmu ini. Kalau kau mau ganti baju bagaimana? Mereka pasti akan memvideokanmu lalu menyebarkannya di internet.”
Chanyeol terkekeh, “mereka memang sering melirikku. Tapi tenang saja, aku tidak pernah mengganti baju di sini. Kau lihat pintu itu?” Chanyeol menunjuk satu-satunya pintu yang berada di ujung. Gadis itu mengangguk. “Itu kamar mandi yang luas dan cukup untuk kita berdua.”
“Oh, ne… W-WHAAAT?” Pekik gadis itu bingung tapi Chanyeol hanya mengangkat bahunya misterius dan kembali makan.
***
“I got something special, really really special and my heart’s gonna burst because of it!” Pekik Inhi senang sambil memasukkan kembali kotak-kotak makanan ke dalam paper bag.
“What was that?” Chanyeol menatapnya antusias. Inhi sendiri masih sibuk tersenyum, membiarkannya penasaran seorang diri. Oh, dia baru sadar kalau gadis tersebut menggunakan kontak lens hari ini. Abu-abu, sewarna dengan bajunya. Rambut bergelombangnya yang digelung ke atas memperlihatkan tulang selangkanya yang menimbul indah di bawah leher. Beberapa helai rambut yang menjuntai turun pun seolah membingkai wajahnya.
“Skripsiku diterima!” Satu detik kemudian Inhi sudah menghambur memeluk pinggangnya hingga dia bisa mencium feromon gadis itu. Aroma favoritnya baru-baru ini. Rambut panjang ikal yang beraroma seperti lily, lalu tubuh semampai gadis itu tercium seperti permen. Manis dan khas. Sekali dia mencium perpaduan kedua aroma itu, dia pasti sadar ada Inhi di sana. Chanyeol jadi berpikir apa sensasi yang akan dia dapat kalau dia merasakan tubuh gadis itu.
“Woaaa cukkhae!! Aku akan memikirkan hadiah setelah ini” Chanyeol mengusap kepala Inhi yang berada di dadanya. Dia senang bila gadis itu senang.
“Ah untung kau bicara soal hadiah, keponakanku ulang tahun lusa. Aku akan membelikannya kado, kau mau ikut?” Tanya Inhi lalu mengangkat kepalanya menatap Chanyeol.
“Kita bisa pergi setelah kau pulang,” lanjut Inhi ketika mendapati Chanyeol menatapnya ragu. Oh yeah, he won’t leave the works just for gifts. She knows it.
“Boleh. Tapi janji jangan pakai baju terbuka seperti ini.” Jawab Chanyeol sambil mendelik pundak Inhi yang hanya ditutupi sepasang tali tipis.
“Aku, kan pakai kardigan hari ini, Nyeol. Di depanmu saja aku terbuka begini.”
“Begitu?” Tanya Chanyeol memastikan. Gadis itu mengangguk semangat kemudian tersenyum lebar hingga ekor matanya tertarik ke atas.
“How if I ask you for naked?”
“NO WAY! Stupid.”
Chanyeol tertawa. Damn! This girl looks totally cute. Dia jadi bertanya sendiri apa Inhi bisa lebih cute dari ini. Rasanya gelar dokter yang terkesan serius sama sekali tidak berpengaruh untuknya. Dibalik semua keseriusannya saat belajar dan sifat cerewetnya, dia tetap Inhi. Gadisnya yang ramah, penuh candaan, dan tentu saja hangat. Sosok yang selama ini menunggunya di rumah. Alasannya untuk selalu pulang. Satu-satunya gadis yang berpengaruh dihidupnya saat ini. Yeah, saat ini, dan dia berharap untuk seterusnya akan sama.
“Baiklah, aku pulang. Bekerjalah dengan baik.”
Inhi meraih kardigan yang tadi dilampirkan ke samping sofa lalu memakainya kembali. Berdiri dengan satu paperbag berisi kotak-kotak makanan kosong di tangan kirinya, kemudian menatap Chanyeol. Tidak perlu mendongak, karena heels yang dia kenakan hari ini telah membuat tingginya sebatas hidung Chanyeol.
“This, this, or this?” Tanya Chanyeol sambil menunjuk dahi, pipi, dan bibirnya bergantian. “For lips just once, twice for cheeks, thrice on forehead. Pick one!”
“Eum… Forehead! Come here,” pilih Inhi cepat lalu menarik kepala Chanyeol yang sudah menunduk untuk mendekat. Melabuhkan bibirnya di sana lalu memejamkan mata. Dia mendoakan Chanyeol saat mengecup pria tersebut. Hal yang selalu kakaknya lakukan setiap kali menciumnya, dan dia melakukannya pada Chanyeol. Setelah doa-doanya selesai, Inhi melanjutkan memberi 2 kecupan tambahan sesuai jumlah yang diminta Chanyeol sebelumnya.
“Jangan mengikat rambutmu ke atas begitu.”
“Kenapa?”
“Bagaimana kalau tiba-tiba ada yang mencium lehermu dari belakang? Aku tidak mau itu terjadi.” Bersamaan dengan ucapannya Chanyeol melepas ikat rambut Inhi, lalu melingkarkannya pada pergelangan tangan gadis itu.
“Mau kuantar?” Tawar Chanyeol yang dibalas gelengan tegas Inhi. “Antarkan saja sampai lobby. Aku akan naik taxi.”
“Kau yakin?”
“Yap.”
“Arraseo.”
***
“Sudah?” Tanya Chanyeol begitu Inhi masuk ke dalam mobil, duduk di sampingnya. Gadis itu sedikit memundurkan kursi kemudian mengangguk pada Chanyeol yang langsung menjalankan mobil yang sudah menyala tersebut.
“Pakai seatbelt!” Perintah Chanyeol sambil melirik Inhi dari ujung matanya, dan untungnya gadis itu menurut malam ini.
“Kenapa buru-buru sih? Aku bahkan belum make up,” umpat Inhi sambil mengaduk-aduk isi tasnya. Dia mengeluarkan satu tas kecil berisi peralatan make up kemudian membubuhkan bedak tipis ke wajah, sedikit blush on, eyeliner, dan maskara.
“Tidak pakai juga cantik kok.”
“Dan membuat orang-orang menjerit karena wajah pucatku?”
Chanyeol menoleh sedikit lalu tertawa. Tangannya memainkan setir dengan gemulai, menyetir santai di jalan kota Seoul yang ramai, seperti biasa. Sebagai laki-laki sejati, dia telah menguasai segala teknik dalam menyetir. Dan dia selalu memastikan orang yang bersamanya di dalam mobil merasa nyaman walaupun dia mengemudi secara cepat. Beruntung rumahnya berada di kawasan strategis, hingga tidak sulit untuk mencapai pusat publik. Pajero tersebut mulai berkurang kecepatannya ketika lampu lalu lintas berwarna merah.
Dan ketika mobil tersebut berhenti, dia menatap Inhi. Gadis itu tetap terlihat elegan dengan jeans, tanktop, dan cardingan setengah dada yang dia kenakan. Walaupun pakaian itu sederhana, tapi Chanyeol harus mengakui pakaian itu terlihat mengagumkan di tubuh Inhi. Tanktop tersebut menonjolkan aset-aset di tubuh Inhi yang sebenarnya tidak ingin dia bagi pada orang lain—siapapun itu. Tapi kasusnya kali ini, dia menyukai Inhi dalam balutan pakaian ketat nan membentuk tubuh tersebut dan tidak ingin Inhi menggantinya.
Chanyeol masih mengamati Inhi yang kini tengah memoleskan lip balm ke bibir. Raspberry, sebagaimana yang tertulis di penutupnya. Rasa dan aroma yang selalu dia dapatkan setiap kali mencium bibir gadis itu. Setelahnya dia mengutuk dalam hati ketika mendapati bahwa bibir Inhi terlihat semakin berwarna merah muda. They look so kissable. Yang ingin dia lakukan saat ini juga adalah menarik tengkuk Inhi lalu melumat bibir gadis itu sampai puas. Tapi rasanya fantasinya harus pupus karena saat itu juga lampu lalu lintas berubah menjadi hijau.
Selagi mencari tempat parkir, Inhi kembali memasukkan peralatan make-upnya ke dalam tas. Dia mengambil parfum lalu menyemprotkannya ke baju dan leher. Seisi mobil langsung dipenuhi aroma parfum tersebut dan Chanyeol harus menahan diri untuk tidak menggeram ketika aroma permen yang manis menyergap hidungnya. Oh God, kenapa dia baru menyadari kalau gadis ini ternyata memegang sebagian besar titik terlemahnya?
“Kenapa tidak pakai parfum bayi yang kau beli waktu itu?” Tanya Chanyeol ketika dia membukakan pintu untuk gadis itu. Mereka sudah sampai salah satu mall dengan pusat perbelanjaan yang lengkap. Inhi menaruh tangannya di atas telapak tangan Chanyeol yang terulur, berikut dia merasakan tangannya diganggam ringan. Chanyeol menekan tombol kunci otomatis setelah memastikan semua pintu tertutup rapat, lalu berjalan santai dengan Inhi di sisinya.
“Sebenarnya parfum itu hadiah dari sabun yang kubeli. Jadi aku jarang memakainya,” jawab Inhi.
“Rasanya sudah lama sekali aku tidak ke mall. Sudah berapa lama ya?” Gumam Chanyeol ketika mereka sudah menginjakkan kaki di dalam. Dia mengitari sekeliling mall dengan matanya dan menyadari beberapa bagian sudah berubah semenjak terakhir kali dia ke sini. “Bisakah kita lanjut berjalan? Aku akan menganggapmu kampungan kalau kau masih diam begini.”
Chanyeol tertawa, menarik tangan Inhi untuk kembali berjalan dengan mata yang masih melihat-lihat takjub. “Keponakanmu laki-laki atau perempuan? Ulang tahun ke berapa?” Tanyanya begitu mereka memasuki toko mainan.
“Perempuan. Ulang tahun ke-4.”
“Ah, belikan ini saja.” Inhi menatap ngeri boneka baby life yang ditungjuk Chanyeol. Mereka semua terlihat seperti hidup. Seingatnya sewaktu dia kecil dulu tidak ada boneka seseram ini. Yang ada barbie-barbie ukuran normal yang cantik dengan mata mereka yang besar. Inhi ingat, dulu dia sangat menyukai princess Aurora dan Belle. Eomma sering menceritakan kisah kedua princess itu sebelum tidur. Namun itu sudah sekitar.. 15 tahun yang lalu.
“Hey, bagaimana? Lihat dia bisa bicara,” lanjut Chanyeol sambil menekan tombol yang ada di gelang boneka tersebut.
“No, boneka itu hanya akan membuat Yeonsu takut.” Inhi berusaha menarik Chanyeol ke tempat boneka lain, tapi pria itu yang justru menahannya. “Yeonsu? Nugu?”
“Keponakanku. Ayolah, Nyeol, lihat yang lain saja.”
“Sebentar-sebentar, yang tertulis di sini boneka ini bisa menangis, makan, dan buang air.” Chanyeol membacakan satu kalimat yang tertulis di bagian depan kardus boneka tersebut. Inhi kembali memandang horor baby life itu, boneka itu sudah seperti manusia. Hell, bagaimana kalau boneka itu hidup saat malam-malam? Bisa saja boneka itu membunuh keluarganya seperti di film-film.
“What are you thinking about?” Tanya Chanyeol ketika mendapati Inhi diam saja menatap boneka itu tanpa berkedip.
“Fine, let’s move,” lanjut Chanyeol lagi dan kali ini badan Inhi terasa begitu ringan saat di tarik.
“Hei, sudah! Jangan mikir yang aneh-aneh.”
“…”
“Choi Inhi!”
“Hah? Oh.. Ya.” Chanyeol harus menggelengkan kepalanya prihatin saat melihat mata Inhi yang tidak fokus. Dia tidak tahu apa yang Inhi pikirkan, tapi dia tahu Inhi menganggap boneka baby life seakan benda tersebut adalah hantu.
“Rencananya kau mau belikan Yeonsu apa?”
“Mainan dan baju yang membuatnya terlihat keren,” jawab Inhi sambil melihat-lihat deretan boneka barbie berbagai karakter yang berada di depannya. Tokoh kartun paling cantik yang sangat dia gilai saat kecil.
“Ini saja, aku suka sekali barang ini waktu kecil.”
“Chanyeol.. Please, that’s a gun, for boy.”
“Bagaimana kalau ini?” Chanyeol mengangkat sebuah kardus berisi mahkota yang berada di seberang rak barbie.
“Rapunzel crown? Ah, aku baru ingat Yeonsu sedang suka-sukanya pada Rapunzel.”
“We take it?”
“Yes!”
Setelah membayar di kasir, mereka segera keluar dari toko mainan itu. Seperti biasa, dengan tangan kanan masih menggenggam tangan Inhi dan sebelah tangan membawa barang belanjaan, Chanyeol berjalan perlahan dengan Inhi disampingnya. Dia memperhatikan Inhi, gadis itu menatap antusias produk-produk andalan yang dipamerkan setiap toko yang mereka lewati. Seumur hidup dia tidak pernah berbelanja dengan wanita kecuali eomma dan noonanya. Sekalipun mantan-mantan kekasihnya memohon-mohon agar dia menemani mereka belanja, Chanyeol tidak pernah mau melakukan hal itu. Dia tidak suka ada orang yang membuatnya menenteng barang belanjaan, kecuali eomma dan noona-nya tentu saja. Sebenarnya sekarang pun dia juga bingung kenapa dia justru melakukan hal yang tidak disukainya itu pada Inhi.
“Ah sini, Nyeol. Bajunya lucu-lucu ya?” Tanya Inhi yang membuat Chanyeol kembali dari dunia khayalnya. Inhi menunjuk satu toko pakaian balita sambil memiringkan kepala, menunggu pendapat Chanyeol.
“Kkaja.”
Dengan sedikit canggung Inhi berjalan di depan Chanyeol memasuki toko pakaian balita itu. Yeah canggung, hampir semua pembeli adalah sepasang suami istri dengan anak-anak mereka. Seorang pramuniaga menghampiri mereka kemudian bertanya, “ada yang bisa dibantu? Anaknya laki-laki atau perempuan? Berapa tahun?”
Inhi mengerjap. Anak? Fine, dia tidak pernah keberatan mendapat pertanyaan seperti itu kalau sedang membeli baju untuk keponakan-keponakannya sebelum ini. Seorang diri, tanpa Chanyeol. Tapi kali ini dia merasa salah tingkah dengan kebersamaannya bersama pria itu hingga disangka sepasang suami istri. Hell, bahkan Chanyeol sudah terkikik sendiri di telinganya sambil menatap ke belakang.
“Pe.. Perempuan, 4 tahun.”
“Putrinya tidak dibawa ya? Mari ikuti saya,” ucap si pramuniaga lalu berjalan di depan Inhi ke bagian kanan toko.
Selagi berjalan, pramuniaga tersebut kembali berkata, “kalian sangat serasi. Pasti putrinya cantik sekali, ya? Ibunya saja cantik begini.” Inhi mengerjap. “Aigoo~ terima kasih.” Sedetik kemudian dia tertawa sumbang menimpali kalimat konyol yang tadi dia dengar.
“Ini khusus anak perempuan usia 4-5 tahun. Kalau ada perlu lain bisa panggil saya lagi.”
“Terima kasih.”
“Kembali kasih.”
Setelah pramuniaga tersebut pergi Chanyeol sudah tidak bisa menahan tawanya lagi. Beruntung kali ini suaranya tidak terlalu besar hingga mereka tidak menjadi pusat perhatian.
“What are you laughing for?” Tanya Inhi sinis sambil memilah-milah baju yang digantung.
“Your trolled face. Aku penasaran bagaimana cara ayah dan ibumu saat membuatmu sampai kau bisa berganti ekspresi secepat tadi?”
“Bukankah kau lebih pintar dariku soal itu?”
“Ya, tentu saja. Aku laki-laki dan sudah memimpikannya berkali-kali.”
“Dengan siapa?” Tanya Inhi sambil kemudian pria itu jahil. Dia tidak pernah keberatan berbicara hal seintim ini dengan teman-temannya, entah laki-laki atau perempuan. Apalagi bersama Chanyeol yang sudah seakrab ini, walaupun dia tetap merasa malu bila Chanyeol sudah mulai menggodanya.
“Molla, aku tidak kenal. Sebagian besar western, tapi sepertinya denganmu pernah,” jawab Chanyeol sambil menerawang dan lagi-lagi harus tertawa di pundak Inhi ketika wanita itu menatapnya kaget.
“Shut up your fucking mouth!” Bersamaan dengan itu Chanyeol justru tertawa lebih parah sambil memegangi perutnya. Dan Inhi tidak bisa menahan dirinya untuk tidak ikut tertawa. This guy has really good sense of humor. Light humor as she likes also.
“Lucu tidak?” Tanya Inhi sambil mengacungkan sehelai dress floral putih. Membolak-balik dress tersebut lalu menatap Chanyeol, meninta pendapat.
“Coba warna lain. Anak kecil gampang kotor.”
“Hmm.. Kuning? Merah? Pink?” Tanya Inhi dengan tangan kanan menunjukkan dress yang sama berwarna merah, berikut sebelah kiri memegang yang berwarna kuning dan pink.
“Red looks hot on you.”
“Please stop that kind of stuff. Baju ini masuk sampai kepalaku saja tidak.”
“Hahahah~ fine, pink.”
“Eh atau ini saja ya? Aku keren, kan, pakai ini? Dia bisa pakai legging untuk bawahannya.” Kali ini Inhi menunjuk baju di manekin yang serupa dengan yang dia pakai saat ini. Tanktop berikut cardingan setengah dada, yang membedakan hanya ukuran dan warna.
“Dia pasti belum tumbuh dadanya, tidak akan seseksi kau.” Dan Inhi kembali tertawa ketika Chanyeol mengatakan hal itu. Dia menyadari, waktu-waktu seperti inilah yang dia butuhkan. Saat dia bersama Chanyeol. Bukannya belanja seorang diri sebagaimana hobinya.
“Kau mau anak laki-laki atau perempuan kalau sudah menikah?” Tanya Chanyeol, berbalik badan, melihat-lihat pakaian balita laki-laki.
“Laki-laki. Semuanya laki-laki. Kau?”
“Sama, tapi aku mau anak perempuan juga. Katanya ada teknik tertentu, ya?”
“Yang kupelajari sih begitu. Tapi kalau sudah melakukan salah satu tekniknya tidak bisa diganggu gugat kalau mau berhasil.”
“Maksudnya?” Tanya Chanyeol lalu menatap Inhi dengan alis mengkerut.
“Ya, sekali kau melakukan untuk mendapat anak laki-laki, kau jangan melakukan yang lain lagi. Itu berpengaruh,” terang Inhi singkat. Sebagai calon dokter dia telah dilatih untuk tidak canggung saat membicarakan soal sex.
“Begitu? Oh ,ya ingatkan aku untuk menamakan putra pertamaku Hyunwoo, Park Hyunwoo. Kadang aku lupa nama itu.”
“Bagus. Bagaimana dengan putri pertamamu?” tanya Inhi antusias. Kalau dia tidak salah, ini pertama kalinya mereka membicarakan soal masa depan. Karena biasanya justru topik masa lalunya lah yang selalu dia ingat ketika mereka berbicara.
“Katanya kau tidak mau punya anak perempuan?” tanya Chanyeol balik sambil menatap Inhi aneh. Gadis itu mengerjap, “A-apa?”
“Forget it! Kalau anak saja kau ada rencana, bagaimana dengan suami? Kau mau menikah dengan siapa?”
Inhi mendelik Chanyeol. Pria itu sudah tersenyum sendiri dengan mata menerawang. Sebelah tangannya menyisir rambut, bertingkah sombong.
Gadis itu ikut menerawang, “kalau bisa aku mau menikah dengan Cho Kyuhyun.”
“W-WHAT? Cho Kyuhyun? Super junior? ARE YOU KIDDING ME?”
“Jangan histeris begitu. Memangnya ada masalah apa dengan Cho Kyuhyun? He’s hot!”
Entah hanya perasaannya saja atau memang kenyataannya, inhi mendapati wajah chanyeol menggelap. Great, tell her what just she did! Senyum pria tersebut saat beberapa jam lalu selalu menghiasi wajahnya kini benar-benar berubah menjadi wajah datar tanpa ekspresi. Chanyeol menarik napas,
“Banyak. Pertama, dia lebih tua dariku, apalagi darimu. Kedua, dia tidak setampan aku. Ketiga, dia tidak lebih tinggi dariku. Keempat, suaranya tidak seberat suaraku. Kelima, dia tidak mengenalmu. Keenam, dia tidak menyayangimu sebagaimana aku. Ketujuh, dia tidak bisa membuatmu tertawa setiap hari, hanya bisa menyanyikanmu dan pasti kau akan bosan. Kedelapan, dia tidak bisa menciummu lebih baik dari aku.”
Dan ketika ucapan panjang itu berakhir, Chanyeol mendapati napasnya terengah. Gadis itu sendiri sudah menganga, hingga satu detik kemudian tawanya kembali terdengar. “Ada lagi?”
“Banyak! Nanti kupikirkan.”
“Fine, kutunggu. Eh ngomong-ngomong Yeonsu punya adik laki-laki. Lucu sekali, kau pasti suka.”
“Begitu? Jadi kau beli yang mana?”
“Dua-duanya.” jawab Inhi lalu membawa kedua baju tersebut ke kasir.
***
“You okay?” tanya Inhi begitu melepas seatbelt. Wajah Chanyeol terlihat panic, dan dia tahu penyebabnya adalah pertemuan keluarga ini. Hampir 10 menit sekali—selama 1 jam perjalanan— Chanyeol bertanya apa dia akan baik-baik saja. Awalnya memang Inhi menimpali dengan beberapa candaan, tapi sepertinya tidak ampuh, karena pria itu hanya melempar senyum miris padanya. Untungnya dia mengerti penyebab Chanyeol seperti ini. Siapa coba yang tidak gugup bertemu keluarga besar pasangannya sendiri untuk pertama kali?
“Apa aku terlihat baik? Astaga, jantungku!” Chanyeol mencoba mendramatisir dengan memegang dadanya, lalu mendongak sambil memejamkan mata. Dia tidak bercanda kali ini, karena kenyataannya jantungnya berdegup kencang sekali. Bukan degupan yang biasa dia nikmati ketika bersama inhi, rasanya seperti saat dia pertama kali memimpin meeting di perusahaan ayahnya dulu saat masih kuliah. Tapi ini lebih parah.
“Come on, you promised!”
“Apa aku punya pilihan lain? Seperti mengantarmu, pulang, lalu menjemputmu lagi nanti malam?”
Inhi menggeleng tegas. “No! ayolah, memangnya kau mau kalau Kyuhyun yang kukenalkan lebih dulu pada keluargaku?”
“What the heck?! Sure don’t!”
“Kalau begitu, cepat buka kuncinya. Kau akan kukenalkan pada eomma.”
“Ada eommamu?” tanya Chanyeol lalu menatap Inhi horror. Inhi mengangguk, dan seolah menyadari apa yang Chanyeol pikirkan dia berkata, “ya, tapi kau tenang saja aku sudah pernah bercerita pada eomma tentang kita. Beliau juga sudah pernah melihat fotomu, she said you’re awesome and she likes you a lot.”
“Fine, you know I never say no to you!”
“Thank you sooo much! Here’s my present..” ucap Inhi lalu menarik tengkuk Chanyeol dan menyapukan satu lumatan penuh di bibirnya.
***
“Aigoo~ Kita lihat siapa yang datang!”
Chanyeol tidak pernah menyangka akan menemukan keluarga sebesar keluarga Inhi. Rumah ini memang terlihat sepi dari luar, tapi keadaannya 360 derajat dengan apa yang berada di dalamnya. Chanyeol mengikuti Inhi bersalaman dengan beberapa orang tua lalu ikut berhenti ketika Inhi memeluk seorang wanita setengah baya yang wajahnya mirip sekali dengan Inhi. Detik itu juga dia menyadari, wanita itu adalah mantan Ny. Choi, eomma Inhi.
“Bagaimana hidupmu? Kau baik-baik saja, kan? Maafkan eomma.”
“Tidak pernah lebih baik dari ini, eomma tenang saja. I miss you, mom.”
“Me too..Me too! Minho dan appa datang?”
Inhi menggeleng, “Oh ya eomma, ini Chanyeol. Yang kita bicarakan waktu itu, ingat?” tanya Inhi lalu menarik tangan Chanyeol agar pria itu maju selangkah.
Chanyeol membungkuk sedikit sambil tersenyum. Merasa salah tingkah sendiri ketika eomma Inhi menatapnya tanpa berkedip untuk beberapa saat. “Astagaaaa~ kau ternyata lebih tampan dari yang di foto. Dan.. Oh my God, kau tinggi sekali, nak. Berapa usiamu?”
“26 tahun, ahjumma,” jawab Chanyeol sopan.
“Panggil aku eomonim, anggap aku juga ibumu. Terima kasih sudah menjaga Inhi untukku.”
“Dengan senang hati, eomonim.”
“Maaf eomma, aku mau memberi Yeonsu kadonya dulu.” Ucap inhi lalu menarik tangan Chanyeol untuk mengikutinya ketika eommanya itu mengangguk.
“Still nervous?” tanya Inhi sembari mereka melewati ruang makan untuk sampai ke halaman belakang.
“Yeah, aku tidak pernah merasa segaring ini sebelumnya,” jawab chanyeol sambil menggeleng lemas. “Mau beri aku satu pelukan?” Lanjutnya sambil menahan Inhi yang yang terus berjalan.
“Yes, at home.”
“Ga guna.”
“Aku berniat mengenalkanmu pada keluargaku sebagai kekasihku, keberatan?”
“Ya aku tahu hanya kekasih, karena calon suamimu adalah Cho Kyuhyun.”
Inhi menaikkan sebelah alisnya heran, “Aku anggap kau setuju.”
Chanyeol hampir saja menjerit ketika memasuki taman belakang rumah ini. Kalau tadi bagian depan dihuni oleh orang-orang dewasa, taman belakang ini dipenuhi anak-anak kecil yang dia kira-kira berumur 4 tahunan dengan beberapa babysitter yang sibuk mengejar mereka. Sebagian besar anak kecil itu perempuan, karena dari 10 anak, yang laki-laki hanya–dengan 1 bocah yang masih sekitar 1 tahun.
“Inhi imo!!!” jerit salah satu anak perempuan yang berdiri di depan kue tart. Gadis kecil itu berlari ke arah mereka, dan Inhi buru-buru mengoper paper bag berisi kado di tangannya ke tangan Chanyeol. Seiring jeritan itu, 8 anak lain ikut berlari menghampiri mereka, berikut Chanyeol yang langsung menatap horror gerombolan bocah tersebut.
“Kenapa baru datang? Yeonsu sudah meniup lilin setengah jam yang lalu,” protes gadis kecil itu setelah melepas pelukannya berikut mencium kedua pipi Inhi yang tengah berlutut.
Inhi mengelus rambut sebahu gadis kecil itu lalu berkata, “Rumah imo dengan rumah Yeonsu, kan jauh. Maaf ya..”
“Imo tidak lupa kado untuk Yeonsu, kan?”
“Tidak, ini kadomu.” Inhi kembali mengambil paper bag hello kitty dari tangan Chanyeol dan menyerahkannya pada Yeonsu.
“Apa isinya imo?”
“Rahasia. Jangan lupa suratnya dibaca juga, imo dengar kau sedang belajar membaca, ya?”
“Ne! Gomawo imo, saranghae.”
“Terima kasih juga pada Chanyeol samchon, dia yang memilihkan hadiah Yeonsu,” ucap inhi sambil menarik tangan Chanyeol untuk ikut berlutut sepertinya.
“Chanyeol samchon?” Tanya Yeonsu dengan mata menilik.
“Ne, dan kau Yeonsu?” Jawab Chanyeol lalu tersenyum.
“OMO! Suara samchon besar sekali! Samchon keren!” Pria itu melirik ke sumber suara dan mendapati seorang anak laki-laki menatapnya kagum. Yeonsu memberi tanda agar bocah lelaki itu diam lalu kembali menatap Chanyeol. “Samchon pacarnya Inhi imo?”
“Ne!”
Sedetik kemudian Yeonsu tersenyum cerah dan berhambur memeluk Chanyeol. “Aigoo~ samchon, kau tampan sekali. Benar kata Hyunseong, samchon keren.”
“Gomawo.”
“Tidak, tidak. Terima kasih kadonya samchon. Sejauh ini kau pacar Inhi imo yang terbaik.”
“Ca! Semuanya, ayo berkenalan dengan Chanyeol Samchon!” Satu persatu bocah-bocah itu memeluk Chanyeol dan pria itu menyambutnya ramah. Yeonsu benar, sejauh ini Chanyeol lah yang terbaik. Karena mantan-mantannya dulu tidak ada satupun yang menyukai anak kecil.
Sekejap rasa hangat melingkupinya ketika melihat Yeonsu menarik tangan Chanyeol diikuti beberapa bocah lain untuk ikut ke meja kue. Inhi hampir saja ikut berjalan ketika seseorang menarik-narik rok dressnya.
“Aigoo~ Choi Hyunjae, kau sudah bisa berjalan?” Pekik Inhi ketika melihat keponakan yang paling dia sayang itu berdiri di sampingnya. Dia segera mengangkat bocah itu dan mencium kedua pipinya yang terlihat seerti bakpao.
“Biar kutebak.. Kau sudah 14 bulan? Benar kan?” Bocah itu terkikik mendengar penuturan Inhi. Tidak ada yang tahu apa dia mengerti atau tidak omongan orang dewasa.
“Untung kau masih ingat imo, Hyun, nah sekarang kita kenalan dengan Chanyeol samchon, ne?”
Inhi berjalan pelan menuju tempat Chanyeol yang kini tengah bermain boneka dengan bocah-bocah perempuan. Astaga, Park Chanyeol bermain boneka? Inhi sontak tertawa ketika melihat wajah pria itu kebingungan dengan ulah anak perempuan yang meyuapi boneka-boneka mati itu.
“Kenapa diberi makan? Dia tidak bisa makan,” tanya Chanyeol bingung dan Inhi bisa mendengarnya karena kini dia sudah duduk di samping pria itu.
“Boneka juga lapar seperti kita. Tapi mereka selalu merasa senang, makanya selalu tersenyum,” jawab seorang anak kecil yang berwajah western. Hell, boneka lapar? Kalau iya begitu tentu boneka-boneka itu sudah memakan manusia satu-persatu.
“Nyeol, ini Hyunjae, adiknya Yeonsu,” ucap Inhi mengalihkan perhatian Chanyeol dari anak-anak itu padanya.
“Annyeong Hyunjae, aku Chanyeol.”
“Hyunjae, say hi,” pinta Inhi yang hanya dibalas pandangan kosong bocah laki-laki itu.
Hyunjae mengangkat tangan kanannya ke mulut lalu melepaskannya pada Chanyeol. “Eh bukan, itu kissbye! Bilang hai ke Chanyeol samchon,” ulang Inhi. Bocah itu menggerakkan tangannya menyerupai lambaian. Mau tidak mau Chanyeol tertawa lalu menangkap tubuh mungil Hyunjae saat bocah itu berjalan ke arahnya.
“Mbem!” Ucap bocah itu polos sambil menatap Chanyeol.
“Apa?” Tanya Chanyeol dengan mata melirik Inhi.
“Mobil maksudnya,” jawab Inhi menerangkan.
“Hyunjae mau naik mobil? Nanti samchon ajarkan kalau Hyunjae sudah lebih besar.”
Bocah itu terkekeh, “mbem!”
“Biasanya Hyunjae tidak mau pada orang baru. Kenapa denganmu mau, ya?”
“Mungkin karena aku tampan.”
“Atau mungkin kau sudah siap punya anak,” sahut Inhi asal kemudian tertawa.
“Aku sih selalu siap selama kau siap,” balas Chanyeol.
Inhi menarik perhatiannya dari Hyunjae dan menatap pria itu seakan dia mendengar Chanyeol berbicara tapi tidak memahami apa yang dia dengar.
“Aku siap selama kau siap.” Chanyeol mengulang pernyataaannya.
Dan seperti baru sadar akan apa yang sedang dia lakukan, Inhi menarik napas terkejut, matanya membelalak, wajahnya memerah dan langsung membuang muka. Dalam hati Chanyeol menyumpah, sekali lagi, how can this woman being so cute?
Chanyeol berdeham sedikit, “anak itu imajinasinya tinggi sekali,” ucapnya sambil menunjuk bocah berwajah western yang tadi mengatakan kalau boneka bisa lapar dengan dagunya.
“Baby?” Tanya Inhi.
“Hah?”
“Aku bukannya memanggilmu. Anak itu namanya Baby. Ayahnya orang Belanda.”
“Oh.. Aku tidak pernah mengerti pikiran anak kecil.”
Inhi mengangguk tapi tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Selama Chanyeol kembali bermain pikiran Inhi masih terpaku pada setiap kata yang pernah diucapkan Chanyeol padanya, hingga dia tidak sadar kalau seluruh keluarga sudah memasuki taman belakang. Sepertinya pesta baberque akan segera dimulai. Puncak setiap pesta yang sudah menjadi tradisi keluarganya.
***
“Kau tidak mengantuk, kan?” Tanya Inhi begitu mereka sudah memasuki mobil. Pesta sudah usai beberapa menit yang lalu dan kini mereka siap pulang. Pria itu sudah terlihat lebih santai ketika pulang, sangat berbeda dengan airmukanya begitu mereka sampai di sini tadi sore.
“Tidak, kau tenang saja.”
“Mereka menyukaimu, syukurlah.”
Chanyeol melirik Inhi sedikit, “siapa?”
“Keluargaku.”
“Aku tidak pernah menjadi sepengecut hari ini sebelumnya. Kau tidak akan tahu sensasi apa yang kudapat saat kau mendenting gelas dengan sendok, saat kau mengenalkanku pada mereka, dan semua mata melihatku, tanpa terkecuali.”
Inhi tertawa. Dia mengingat apa yang telah dia lakukan beberapa jam yang lalu dan Chanyeol menyalami keluarganya satu persatu. Dan jangan lupakan soal eomma Inhi yang begitu terkesan saat Chanyeol menceritakan sedikit penggalan hidupnya.
“Aku tidak pernah melihat keluarga sebesar keluargamu, kau tahu?” Tanya Chanyeol lagi sambil menggenggam sebelah tangannya yang tadi berada di parsneling.”
“Ibuku 12 bersaudara,” jawab Inhi datar.
“Apa?!”
“Ibuku 12 bersaudara. Aku saja terkadang lupa nama mereka yang tidak begitu dekat denganku.”
“Ne kau benar, dari semua anak kecil yang ada di taman belakang, aku cuma ingat Yeonsu, Baby, dan Hyunjae.”
“Aku baru tahu kau 26 tahun. Berarti perbedaan usia kita 5 tahun, ya?”
“Ne, dan itu lebih baik daripada kau bersama Kyuhyun yang usianya 9 tahun diatasmu.”
Mereka saling tatap beberapa detik. Inhi yang berkedip duluan segera memeluk Chanyeol dari samping dan berkata, “thank you, you’re the best.” Kemudian dia menyapukan ciuman di leher Chanyeol. “Please don’t tease me, Inhi!”
“I don’t.”
“You kissed my neck.”
“Salah kau terlalu tinggi. Aku hanya ingin mencium pipimu tapi tidak sampai.”
“Tapi aku tetap tergoda, bagaimana?”
“Aku tidak tanggung jawab!”
***
Gimana? Panjang ya? Ngebosenin ga sih? It’s 20 pages and it’s the longest story I’ve ever written just for 1 episode. What do you think? Ada ide buat scene selanjutnya?
