Unpredictable Morning
Author: Chenhye
Cast: Byun Baekhyun and a girl
Genre: Romance, Married Life, Fluff
Rating: PG-15
Length: Ficlet
already posted in my own blog and other fanfiction blog
Plot is mine. The casts belong to God, expect OC. Don’t plagiarism. Don’t read if you dislike.Last, please give ur comment. Don’t be a silent reader! Thank you and happy reading! ^^~
Kring…. Kring….
Suara bising yang menyeruak di kedua telingaku membuatku terjaga dari tidur yang terasa sangat singkat bagiku. Aku mencoba membuka mataku perlahan, meski kedua mataku terasa berat seperti ada sebuah batu yang tengah menahannya. Jam berapa aku terlelap tadi malam? Apa dia sudah tiba di rumah?
Yang kuingat terakhir kali, aku tengah membaca sebuah novel di sofa ruang tamu dengan mata yang setengah mengantuk – tanpa makan malam, karena aku enggan makan sendirian. Siapa lagi kalau bukan karena menunggu seseorang yang akhir-akhir ini pulang lebih larut dari jadwal biasa ia selesai bekerja.
Dan… oh, astaga! Kenapa aku berada di sini? Apa saat tertidur di sofa tanpa sadar di tengah malam aku berjalan dengan sendirinya ke kamarku? Tempat tidurku??
Suara erangan pelan membuyarkan ‘kesibukanku’ dan untuk yang kedua kalinya aku terperangah mendapati seorang lelaki tengah meringkuk di balik selimut hangat yang membalut kedua tubuh kami. Bodohnya, aku baru menyadarinya.
“Kenapa pagi-pagi buta begini kau gelisah seperti baru saja kehilangan koleksi sepatumu, eoh?”
“Neol?? YA! Kenapa kau bisa di sini?? Neol?? Omo~! Bagaimana kau bisa–“ Aku sontak membungkam begitu ia mendaratkan jari telunjuknya di depan kedua bibirku. Kulihat seulas senyum terukir di bibirnya dengan mata yang masih terpejam.
Astaga, aku merindukan ini. Ketika aku terbangun dari tidurku dan mendapati dirinya di sampingku, menyambutku dengan senyuman yang sudah diyakini akan membuatku membeku untuk detik-detik yang begitu panjang.
Apa lagi kalau bukan senyuman seorang Byun Baekhyun, seorang lelaki yang telah resmi menjadi pendamping hidupku sejak 3 bulan yang lalu.
Ia lalu membuka kedua matanya. Damn, dapat kulihat seringaian kecil dari sudut bibirnya. Ia pasti mendapati semburat merah di kedua pipiku akibat ulah senyumannya beberapa detik yang lalu. He got me!
“Jadi, katakan bagaimana kau bisa masuk? Apa kau berusaha mencongkel jendela kamar kita?” tanyaku sembari menatapnya tajam, berusaha tampak ‘baik-baik saja’ di hadapannya.
Hening. Tidak ada tanda-tanda ia akan menjawab pertanyaanku dengan segera. Entah kenapa aku merasa sedikit khawatir akan hal itu. Aku mengerling, menunggu ia membuka mulutnya.
“Kau lupa mengunci pintu rumahnya.” ucapnya kemudian dan entah sejak kapan ia menatapku dengan tatapan menghujam seperti itu. Ada atmosphere kegelapan yang entah bagaimana menyeruak di sorot matanya.
Kau tahu, dia bisa berubah kapan saja, dalam keadaan yang tak memungkinkan sekalipun.
“Jinjja-yo?” Aku mendelik kikuk – menghindari tatapan matanya yang mendadak tampak sedikit mengerikan. Eung, seingatku setelah pergi ke mini market tadi sore aku sudah menguncinya. Apa aku benar-benar melupakannya, huh?
Baekhyun tiba-tiba memajukan wajahnya, menyisakan beberapa centimeter antara jarak wajahku dan miliknya. Tatapan matanya yang intens memaksaku untuk menahan napas. “Jangan coba menghindariku, Nona Byun.”
“Kau beruntung karena aku yang mendapati pintu rumah tidak terkunci sama sekali. Bagaimana kalau itu adalah orang asing? Bagaimana kalau yang berada di sebelahmu sekarang bukan aku? Apa aku masih bisa melihatmu seperti ini? Setidaknya dalam keadaan yang utuh?”
Aku terhenyak, sedikit terkejut dengan apa yang baru saja kudengar dari mulutnya. “Kau terlalu menganggap serius dan berpikir jauh, Baekhyun-ah.”
Belum sempat aku menghela napas untuk sekedar menghirup oksigen, ia mulai membuka mulutnya lagi. Matanya tampak berkilat-kilat. Sebuah awal pertanda yang buruk.
“Apa kau bilang? Kau pikir hal itu sebuah lelucon? Kenapa kau berpikir terlalu pendek dan menganggap semuanya terlihat akan baik-baik saja?” Kudengar gemertak kecil dari gigi-giginya. Sekarang wajahnya tampak merah padam, menahan amarah yang siap untuk meluap-luap lagi.
Aku tidak menghindar, tidak juga mengelak. Karena kuakui yang ia katakan seutuhnya benar. Aku terlalu ceroboh untuk sekedar mengingat mengunci pintu rumah, mematikan air yang mendidih hingga mengering, dan kebodohan lainnya yang tanpa sadar kuanggap sepele.
“Dan, hentikan kebiasaan burukmu untuk tidur larut malam dan berkutat dengan novel-novel tebal itu. Lebih-lebih melupakan jadwal makan malammu. Seharusnya kau menggunakan waktu senggangmu untuk istirahat.”
Ia berkicau lagi. Baiklah, Byun Baekhyun. Pagi ini kau menyambutku dengan sebuah senyuman hangat serta siraman ocehan yang sukses membuat mood-ku hancur berkeping-keping kali ini. Terima kasih.
Aku memang terlalu muda untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik. Mengingat umurku yang lebih muda 3 tahun darinya dan masih memakan bangku kuliah yang memuakkan. Mungkin hal itu juga yang membuat jalan pikir kami berbeda. I’m childish and he got a mature.
Tak ada yang berbicara lagi. Entah Baekhyun frustasi dengan sikap kekanak-kanakanku atau bagaimana, yang kudengar hanya helaan napas kasar yang berhembus dari rongga hidungnya. Rasanya seperti tak ada tenaga bagiku untuk sekedar mengucapkan sepatah kata. Sementara pikiranku melayang entah kemana. Aku terlalu lelah untuk berpikir lagi.
“I’m sorry.” ucapnya memecah keheningan. “I worried you too much than myself.” lanjutnya lantas seperti bisikan kecil yang menyelinap masuk ke dalam celah rongga telingaku.
Sedetik kemudian kudapati diriku terisak di dekapannya. Tangan kekarnya melingkar di pinggangku sementara yang sebelah mengusap lembut punggungku seiring dengan bahuku yang bergerak naik turun. Sudah berapa lama aku tidak merasakan betapa hangatnya pelukannya seperti ini?
Detik-detik berlalu lambat hingga entah sudah berapa menit kami seperti ini. Aku tidak terisak lagi tapi ia tak membiarkanku sedikitpun untuk keluar dari dekapannya. Membiarkan rasa rindu itu meluap dan lenyap melalui dekapan hangat. Seperti ini, lebih lama lagi, seakan waktu tengah berhenti dari rotasinya.
“Sejauh ini, seberapa buruk aku menjadi istrimu?” tanyaku, memberanikan diri meskipun aku tahu pertanyaan itu bisa saja membuatnya mengamuk, lagi?
Ia menarik tubuhnya perlahan dan beralih meneneliti kedua mataku, ia bergumam, kemudian, “Sangat buruk. Tiga hari lembur membuatmu tampak semakin kurus seperti tengkorak hidup. Ini terlihat seperti kau yang lembur dan aku yang menunggu di rumah, tidakkah begitu?”
Aku tersenyum kecut. Kelihatannya memang benar karena kurasa dada bidang miliknya terasa lebih lebar dan eung… besar? dari terakhir kali aku memeluknya. Kurang lebih 3 hari yang lalu mungkin. Apa ia makan dengan baik selama lembur?
“Dan aku benci melihat lingkaran ini.” Ia mengecup kedua mataku bergantian. Aku tahu, pasti ada lingkaran hitam di sana.
Ia mendelik kemudian, “Ini tampak seperti aku yang menjadi suami yang buruk untukmu.” Suaranya terdengar tertahan.
Aku menggeleng cepat lalu mengusap wajahnya dengan lembut. “Ani-ya, kau suami terbaik yang pernah ada di muka bumi ini.”
Kudapati kedua sudut bibirnya tertarik, mengukir sebuah senyum sempurna di wajahnya yang membuatnya semakin terlihat tampan.
“Mianhae oppa, aku terlalu kekanak-kanakan untuk menjadi pendampingmu. Mungkin aku hanya menambah bebanmu? Tapi aku janji akan menjadi yang lebih baik lagi untukmu.” ucapku sembari menatap kedua matanya dengan senyum yang tengah mengembang di wajahku.
“Jeongmal?” Ia balik menatapku lebih intens, ada seringaian kecil yang kudapati di sudut bibirnya.
Sebelum aku menjawab atau sekedar mengangguk mengiyakan pertanyaanya, ia telah membungkam bibirku dengan miliknya. Lembut, hangat, manis, namun berhasil membuat tubuhku membeku disertai dengan jantung yang memompa jauh lebih cepat dari biasanya.
“Don’t be afraid. I will protect you as long as my soul keeps in that place. I love you for unlimited times.” Ia bergumam ditengah ciuman kami dan setelah itu ia menangkup wajahku dan memperdalam ciumannya. Hanya terdengar degup jantung yang beradu penuh irama menyelimuti pagi itu di kamar kami, lebih tepatnya di atas tempat tidur kami.
End
