Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

100 Paper Cranes (Chapter 5)

$
0
0

100 PAPER CRANES 5 POSTER

Title: 100 Paper Cranes

Chapter 5: 100 Days: My Butterfly’s Metamorphosa (2)

 

Summary:

“I think, I started to like you.

Well, boys are not that bad, honestly.

If you’ve already found your special one.

-Kim Chaerin

“Finally, Kim Chaerin.

You can see me.”

–Park Chanyeol

Pertemuan tidak terduga. Chanyeol, seorang mahasiswa populer, player kelas atas dan Chaerin, kalangan terkucilkan yang amat membenci laki-laki.

Usaha keras. Perasaan yang mulai berubah. Penantian. Kesabaran penuh.

Pada akhirnya, mereka harus mengakui bahwa takdir Tuhan-lah yang memang berkuasa atas segalanya.

Akankah mereka berhasil menggapai kebahagiaan mereka sendiri?

Author: npt. @nandaniptr | Main Cast: Park Chanyeol (EXO-K), Kim Chaerin (OC) | Support Cast: Find by Your Own. | Genre: Drama, Romance, Angst | Duration/Length: Chaptered|Rating: PG-15

 

CHAERIN’S POV

Saat-saat dimana perasaanku mulai berubah.

Not immediately, but…slow..ly.

 

DAY 50

March, 30th 2011

Kami duduk berhadap-hadapan di coffee shop, dan kali ini aku datang sebagai pelanggan, bukan pekerja part-time seperti biasanya. Eunhae-eonni menatapku dan Chanyeol dengan pandangan mata menyelidik dari meja kasir. Aku tersenyum kikuk.

Annyeong, eonni..”

Hmm…begitu rupanya, Chaerin?” Ia tersenyum menggoda. “Okay then, enjoy yourself here.

Aku membungkuk canggung, kemudian sesegera aku menghindarinya dan beralih menuju meja biasa tempat Chanyeol duduk. Pandanganku tidak lepas dari jendela.

 

Musim semi kali ini terasa cepat.

 

Chanyeol membawa dua Vanilla Latte dan dua Cheesecake di nampannya. Aku tersenyum menatap kedua matanya yang mengerling ceria. Kami mulai bercerita tentang berbagai hal. Aku seperti menemukan kawan lama. Ia dapat membuatku tertawa terbahak-bahak.

Aku saja sudah hampir lupa rasanya tertawa lepas seperti ini.

Aku bahkan tidak mengetahui bahwa perasaanku lama-kelamaan mulai menunjukkan rasa yang berbeda.

Ah tidak boleh.

 

DAY 51

March, 31th 2011

Aku merebahkan diri di kasur dan berusaha mengingat-ingat kejadian di hari itu.

Saat itu aku sedang tidak ada kelas, jadi kuputuskan untuk tidak datang ke universitas dan memilih diam dirumah sambil menemani adikku. Saat itu, tiba-tiba terdengar suara gedoran pintu berkali-kali yang membuatku terganggu. Aku bangkit berdiri.

“Siapa…”

Saat kubuka, Ayahku berdiri tepat di depan pintu rumahku. Ia terlihat marah. Tanpa sadar ayahku masuk begitu saja dan langsung mengobrak-abrik isi rumahku.

“Apa-apaan..”

Aku kehilangan pegangan. Lututku melemas. Tercium bau alkohol dari mulutnya saat ia menceracau tak jelas. Ia berteriak dan memarahi adikku tepat di depan wajahnya. Chaejin yang ketakutan berlari dan memilih sembunyi, meringkuk di sudut kamar. Ia membentak-bentakku dengan suara tinggi sambil bertanya di mana ibuku dengan nada mengancam.

“Mana ibumu? Mana Chaeyoung?” Ia berteriak.

“Pergi kau dari sini!” Aku memukulnya kuat-kuat dan mengusirnya keluar.

“Dasar anak tidak tahu diri.” Ia berkata dingin, kemudian tersenyum mengejek. “Kau memang pantas kutinggalkan.” Ucapnya lagi tanpa perasaan, lalu ia balas memukul kepalaku.

“PERGI!” Tanpa pikir panjang, aku menampar wajahnya kuat-kuat. Matanya memerah marah. Lalu ia pergi keluar dari rumahku, dan tidak lupa meninggalkan sumpah serapah yang teringat jelas di otakku.

Aku terduduk di lantai. Air mata tak henti-hentinya mengalir dari sudut mataku. Chaejin datang mendekat lalu ikut menangis.

“Sabar, eonni..” Ia mengelus punggungku, menghibur. Meskipun ia juga sama sakit hatinya denganku.

 

Aku benar-benar membencinya. Ayah seperti apa dia itu? Meninggalkanku begitu saja dan datang kembali dengan keadaan yang tidak pantas untuk dilihat anaknya sendiri.

 

Menjijikkan.

 

Karena inilah aku benci laki-laki. Mereka semua…sama saja.

 

Setelah ia pergi dengan mengamuk, aku segera menenangkan diri dan membereskan isi rumah. Tak lupa aku mengatakan pada Chaejin agar tidak mengatakan ini pada siapapun, termasuk Ibu.

Ia mengangguk menurut, seluruh tubuhnya masih bergetar ketakutan. Aku segera menyuruhnya pergi ke kamar dan melarangnya keluar kemana-mana. Lalu aku mengatakan pada Chaejin aku akan pergi datang ke universitas, dan berakhir dengan mengunci semua isi rumah agar dia tidak datang lagi.

Aku butuh udara segar. Aku terlampau muak.

Kuambil handphone dan dompetku, dan segera melangkah keluar rumah dengan tergesa. Aku duduk di tempat dimana biasa aku menghabiskan waktu, kursi di depan aula. Pandanganku menatap pemandangan di depan mataku dengan kosong. Kakiku bergoyang-goyang gelisah.

Entah mengapa aku berharap aku akan bertemu seseorang disini.

Siapapun.

Aku butuh seseorang untuk bicara.

 

Aku tahu seseorang akan datang.

 

Tak lama kemudian, harapanku terkabul. Dia yang itu.

Chanyeol.

 

“Chaerin? Sepertinya kau sering sekali berada disini.”

Ia berdiri di hadapanku dengan tatapan mata bingung. Ia tanpa basa-basi mengambil tempat duduk di sebelahku.

“Oh. Hai, Chanyeol-ssi..” Aku berusaha mengendalikan suara dan ekspresiku setenang mungkin.

“Apa yang kau lakukan?”  Matanya membulat. Nadanya terdengar amat khawatir.

Awalnya aku terdiam lama. Namun aku sadar, aku butuh seseorang untuk bicara dan entah mengapa, perasaanku mengatakan aku harus mempercayainya.

Aku sudah tidak sanggup menahannya sendiri, dan kemudian ia datang, menjadi tempat sandaranku saat menangis.

Aku menghela napas panjang.

“Hei Chaerin-ah? Kau kenapa?” Ia menyentuh bahuku pelan. “Kau tidak apa-apa kan?”

Dengan spontan air mata itu mengalir dari pelupuk mataku. Aku memang memberitahunya. Tentang perasaanku, dan kemarahanku pada ayah—Kalau dia masih bisa kusebut dengan panggilan ayah. Huh?—Tapi, tidak semuanya. Ia sepertinya ingin tahu, namun ia tetap diam dan berusaha menghiburku, memberiku kenyamanan. Menepuk bahuku pelan dan menghapus air mataku.

“Jangan menangis, Chaerin-ah…” Suaranya yang berat itu sedikit pecah saat ia berbisik di telingaku. Lembut, namun seperti ingin menangis di saat yang sama. Aku terdiam.

Ya Tuhan. Kenapa perasaanku tiba-tiba menjadi kalut seperti ini?

 

Ia memutuskan untuk mengajakku pergi, ke Lotte World. Awalnya aku berusaha menolak namun lidahku kelu. Akhirnya, kuikuti saja kemana arah ia menarik tanganku. Menurut.

Dan hari itu sukses membuat moodku kembali seperti semula.

Bahkan aku menceritakan semua kegelisahanku pada lelaki itu. Semua. Tidak ada yang tertutupi. Aku mempercayai dia sepenuhnya.

Dengan setia ia mendengarkan. Bahkan memberiku saran yang bijak.

 

Semuanya karena Chanyeol.

 

DAY 55

April, 4th 2011

Chanyeol lagi-lagi bertemu denganku di perpustakaan, namun kali ini aku sedang bersama Younha. Aku dan Chanyeol sudah lumayan dekat, jadi kami saling menyapa saat ia mulai melangkah mendekatiku. Younha memandang kami berdua dengan bingung.

“Apa…aku ketinggalan berita?” Tanya Younha. Alis matanya naik sedikit. Ekspresinya terlihat curiga.

Wajahku spontan menghangat saat mendengarnya.

“Bukan seperti yang kau pikirkan, Younha.” Aku mengelak. Younha menatapku dalam-dalam, berusaha mencari tanda-tanda kebohongan disana. Chanyeol menepuk pundak adiknya pelan. Lalu berbisik, tapi sepertinya itu terlalu keras untuk disebut berbisik.

“Tenang, sebentar lagi akan menjadi seperti apa yang kau pikirkan sekarang kok, Younha.” Ujarnya santai. Aku melotot memandang Chanyeol. Ia hanya tertawa. Aku melengos.

“Kalian…sepertinya mulai dekat.” Younha mengacuhkan perkataan kakaknya dan tetap memandang lurus ke arahku. “Aku benar kan?” Bahkan ia bertanya meminta kepastian.

“Uh…Tidak, Younha. Aku…Percayalah padaku…” Aku agak sedikit ragu saat mengucapkannya. Younha memundurkan senderan bahunya.

“Aku tidak..”

Arraseo. Jadi ternyata begitu? Hmm, kau dengan kakakku sekarang.” Ia mulai menggodaku. Aku menggeleng-gelengkan kepala keras.

Tidak mungkin kan? Itu sudah jelas.

 

DAY 58

April, 7th2011

Hari ini, Chanyeol meminta nomor ponselku. Alasannya tidak jelas.

“Aku hanya ingin mendengar suaramu saja di telepon”

Sangat penting, huh?

Namun entah mengapa tanganku bergerak sendiri mengetikkan nomor ponselku di handphonenya. Ia terlihat sangat senang. Aku berpamitan dan segera berlalu dari hadapannya.

Baru sekitar lima langkah berjalan menjauhinya, terdengar nada dering ponselku berbunyi nyaring. Aku membukanya. Disana tertera nomor asing tanpa nama. Aku menjawabnya dengan asal.

Yoboseyo?

“Ini aku, Chaerin-ah.” Suara di telepon itu tertawa—Dan aku berani bersumpah itu adalah tawa terseksi yang pernah kudengar. “Hati-hati.” Ia melanjutkan. Suara berat khas seseorang yang kukenal itu menggema memenuhi indra pendengaranku.

Aku menolehkan kepala ke belakang.

Disana Chanyeol sedang melambaikan tangannya semangat. Aku memandangnya sebentar lalu kembali menatap lurus ke depan. Mengambil napas banyak-banyak. Tetapi dari semuanya, yang luput dari pengontrolan diriku adalah: senyum yang mengembang lebar begitu saja di bibirku.

Tak lama kemudian aku menutup teleponku dan berjalan pulang dengan mood yang amat baik. Amat sangat baik—tepatnya.

 

DAY 60

April, 9th 2011

Sekarang ia sedang berdiri di depan rumahku sambil mengetuk-ngetuk pintu dengan tidak sabar. Ia memasukkan dua tangannya ke saku celana lalu bersender di tembok rumahku dengan harap-harap cemas menunggu pintu terbuka. Hari ini ia terlihat sangat tampan dengan setelan kasual celana jeans dan sneakers serta sweater hitam-putih bergaris. Ibuku berlari dengan tergesa dari dapur. Saat melihatku hanya mengintip dari korden, ia terlihat bingung.

“Kau ini, ada tamu, kenapa tidak dibukakan?” Ibu memarahiku pelan dan sebelum kucegah, ia sudah berpaling untuk membuka pintu. Saat mengetahui yang ada di depan adalah Chanyeol, ia membungkukkan badan dalam-dalam yang disambut ibuku dengan senyuman ramah.

“Oh, kau? Mencari Chaerin-kah?” Ibuku bertanya lembut. Ia mengangguk dengan salah tingkah.

Aku keluar dari tempatku mengintip dan berusaha menahan tawa melihatnya. Aku mengetahui ia akan menjemputku hari ini untuk ikut bersamanya untuk hunting foto. Aku setuju saja karena aku juga ingin berjalan-jalan di hari Sabtu.

Eomma, aku pergi dulu.” Aku memeluk Ibu sebelum meninggalkan rumah. Ibuku hanya menggeleng-gelengkan kepala namun senyum tetap menghiasi bibirnya.

 

DAY 65

April, 14th 2011

“Chaerin-ah!” Chanyeol melambai dari kejauhan. Aku segera datang mendekat padanya. Ia tersenyum lebar lalu segera merogoh kantong celananya, kemudian ia menyodorkan padaku lima cetakan foto dari hasil kami hunting foto sekitar seminggu yang telah lewat.

“Aku mau memberikan ini padamu.”

Aku mengambilnya dengan hati-hati. Lima foto itu semuanya fotoku. Lengkap saat aku tertawa, saat aku tidak sengaja memandang kamera dengan raut wajah cemberut, saat aku bermain dengan air di pantai dengan rambutku yang berkibar diterpa angin, saat aku mencari-cari keong di pasir, dan saat aku benar-benar berpose untuk kameranya.

Semuanya bagus. Ia benar-benar fotografer berbakat. Semua fotoku jernih dan fokus. Semua dibelakangku kabur, menyisakan satu objek utama. Aku.

“Ini bagus sekali.” Aku menggumam pelan. Chanyeol tersenyum saja melihatku. Lalu tiba-tiba mengacak-acak rambutku perlahan.

Deg.

Rasanya seperti terkena sentuhan listrik ringan. Aku menoleh kearahnya dengan sedikit terkejut. Jantungku bahkan berdetak lebih cepat daripada biasanya.

Ada yang salah…kurasa.

 

DAY 70

April, 19th 2011

Tiada hari yang tidak aku lewati tanpa bertemu ataupun berbicara dengan Chanyeol.

Younha mulai curiga. Ia mencecarku dengan berbagai pertanyaan. Karena lelah ditanyai seperti itu terus, jawabanku meluncur begitu saja dari mulutku.

“Aku tidak tahu, Younha-ya. Aku rasa sedikit demi sedikit ia mulai membuatku bingung.”

Younha menatapku bola mataku dalam-dalam.

“Aaa…Jadi kau menyukainya? Chanyeol-oppa?”

“Entahlah.” Aku mengedikkan bahu sedikit. “Aku juga belum tahu pasti. Tapi yang aku tahu, aku mulai…Kau tahu. Terperangkap…?” Ujarku sambil tersenyum kecil.

Younha menyenggolku keras, lalu bersiul-siul.

“Ah…begitu rupanya? Terperangkap? Omo, bahasamu benar-benar aneh sekali, kau tahu? Apa ini efek jatuh cinta semuanya menjadi lebih puitis? Hm?” Matanya berputar bingung.  Aku memukul pundaknya pelan.

“Ah lupakan. Chaerin-ah, mau kuberitahu sesuatu?” Mendengar pertanyaannya, aku mengangguk.

“Chaerin…kau sepertinya kau mulai luluh dengan pesona kakakku.”

Yah! Apa-apaan kau.” Aku mendorong bahunya dengan sedikit keras. Ia tertawa terbahak. “Sudahlah, ayo masuk ke kelas.” Aku menarik pergelangan tangan Younha dengan sedikit paksaan. Berusaha mengalihkan pembicaraan yang berhasil membuatku canggung ini.

 

DAY 75

April, 24th 2011

“Chaerin-ah.”

Suara itu kembali menyapaku. Aku yang sedang sibuk membuat Latte art sontak mendongak kaget. Ia tersenyum dan menopangkan dagunya di meja dengan tangan kanan. Menatapku lama.

“Teruskan saja.” Katanya.

Aku berpaling dari matanya dan memutuskan untuk kembali menatap Latte art berbentuk hati di hadapanku. Berusaha meneruskan pekerjaanku yang belum tuntas ini, namun rasanya diperhatikan oleh Chanyeol itu…

Agak sedikit mengganggu.

 

“Kau…duduklah disana. Jangan menggangguku bekerja.” Aku berkata datar.

“Aku tidak mengganggumu sama sekali, Chaerin-ah.” Ia mengernyitkan dahinya. Aku menghela napas panjang.

“Jangan melihatku seperti itu.” Aku berujar kesal. Chanyeol melihatku dengan tatapan mata menahan geli.

“Kenapa? Kau merasa gugup ya berada di dekatku?” Chanyeol menggoda. Pipiku memerah dengan sendirinya.

“Rasa percaya dirimu memang terlalu besar.” Aku menggeleng-gelengkan kepala lalu memukul lengannya dengan sedikit kasar. “Aku bilang, duduklah disana..”

“Tidak mau.”

“Chanyeol..Apa kau tidak mendengar…”

“Tidak…”

“Chanyeol!”

“Ya?” Ia menggodaku. Matanya mengerling.

“Duduklah. Atau kesabaranku akan habis dan kau..—“

“Iya, Tuan Puteri. Aku tidak akan mengganggumu lagi.”

Ia tersenyum penuh kemenangan. Lalu berbalik pergi dan duduk di tempat dimana ia biasa duduk di coffee shop ini.

Aku berusaha menetralisir keadaan, berusaha menenangkan diri. Sial.

Tuan puteri dia bilang?!

Dia memang benar-benar tahu bagaimana cara membuat seseorang malu.

 

DAY 80

April, 29th 2011

Satu hari yang damai di Bulan April.

Aku sedang duduk di bawah pohon rindang dekat universitas bersama laki-laki itu. Ia terlihat menikmati lagu dari headset yang kami bagi berdua. Bagian kanan untuk telingaku dan bagian kiri untuknya.

Tas kamera yang selalu ia bawa kemana-mana itu disampirkan ke sebelah tempat duduknya. Ia mengambil napas dan menghembuskannya kuat-kuat. Aku diam saja sambil menikmati suasana lengang hari ini.

“Aku lelah sekali.” Chanyeol membuka percakapan.

“Kau terlalu banyak bekerja.” Aku membuka mulut, menanggapi perkataannya.

“Tapi…entahlah. Mungkin karena aku mencintai fotografi. Sampai lupa diri seperti ini.” Ia tertawa kecil. Aku memandangnya tajam.

“Cinta fotografi, huh? Tapi kau tidak mencintai dirimu sendiri.” Aku berkata kesal. Kurasa, Chanyeol sudah mulai berlebihan. Minggu ini, rasanya hampir setiap hari ia pergi untuk urusan pekerjaannya di studio sebagai pegawai magang dan selalu ribut dengan urusan rapat ekskulnya—apalagi ia adalah seorang Ketua.

Ia selalu pulang larut malam karena ia selalu mengirimiku pesan selamat tidur setiap hari sekitar jam dua malam, dan bukti lain yang jelas terlihat adalah dari kantung berwarna hitam yang menggelayuti bawah matanya, menunjukkan seberapa jarang ia tidur lama di malam hari.

“Kau perhatian sekali, Chaerin.” Ia membalas dengan senyuman jahil.

“Salah?” Aku menjawab dengan intonasi nada tinggi.

“Kau merindukanku?” Ia tidak berhenti. Senyum itu masih disana.

“Chanyeol…”

Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, Chanyeol kembali memotong. Dan kali ini ia merendahkan nada suaranya, tidak mau mencari gara-gara.

“Sudahlah, jangan terlalu khawatir. Aku baik-baik saja Chaerin-ah.” Ia mengacak-acak rambutku lembut. “Dengarkan saja lagu ini, enak sekali kan?” Ia mulai bersenandung mengikuti nada lagu yang dimainkan iPod-nya sekarang. Aku memilih diam. Mendengarkan.

Ia benar.

 

날 안내해줘(Nal annaehaejwo…)

Guide me

yeah 그대가 살고 있는 곳에 나도 함께 데려가줘(Yeah, geudaega salgo inneun gose nado hamkke deryeogajwo…)

Yeah, take me together with you to the place where you live

oh, 세상의 끝이라도 뒤따라갈 테니(Oh, sesangui kkeuchirado dwittaragal teni)

Oh, even if the world ends, I’ll follow from behind you so please don’t go out of my sight

 

부디 내 시야에서 벗어나지 말아줘 아침이 와도 사라지지 말아줘 oh (Budi nae siyaeseo beoseonaji marajwo achimi wado sarajiji marajwo, oh..)

Even when the morning comes, don’t disappear, oh..

 

꿈을 꾸는 걸음 그댄 나만의 아름다운 나비(Kkumul kkuneun georeum geudaen namanui areumdaun nabi)

This walk that I’m dreaming, You’re my only beautiful butterfly

Oooh~”

Saat aku sedang serius mendengarkan dan menggoyang-goyangkan kepala sedikit mengikuti irama lagu sambil memejamkan mataku, aku tidak menyadari wajah Chanyeol sudah berada tepat sejengkal dari wajahku. Dekat sekali.

Lalu tak sampai sedetik kemudian, ia mencium pipiku. Lembut. Ringan.

Aku terkejut. Mataku terbuka. Kutolehkan kepalaku ke wajahnya. Namun bibirku seperti terkunci. Aku bahkan tidak bisa berkata apapun lagi.

Ia hanya tersenyum menatapku. Tangannya memegang kedua pipiku, lalu mencubit hidungku gemas.

“Kau tahu Chaerin-ah? Kau itu cantiiiik sekali~” Ujarnya sambil bersiul santai, kemudian pandangannya kembali memandang ke depan.

Aku terpaku, tanganku memegang kedua pipiku yang tiba-tiba memanas.

A..apa-apaan?

 

DAY 83

May, 2nd 2011

Drrt…drrt

1 Message Received

From: Chanyeol

Hei, tanggal 4, bisakah kau datang ke tempat biasa? Aku mau mengatakan sesuatu padamu.

Dan kau harus datang, kalau tidak, aku tidak akan mau lagi berbicara denganmu. :)

 

No, no. I’m just kidding princess. Please come, okay?

See you there!

 

DAY 85

May, 4th 2011

Aku bersiap dengan pakaian terbaik yang aku punya. Dengan memoles make up tipis, aku segera berlari keluar dengan perasaan senang tak tertahankan. Hari ini Chanyeol akan berbicara sesuatu padaku. Dan aku merasa sangat…excited.

 Kau tahu…aku sudah berharap banyak dan…kau tahu maksudku.

Kafe tempatku bekerja berada di sudut jalan persimpangan lampu merah. Aku sudah bisa melihat dari tempatku sekarang, Chanyeol sedang duduk santai di salah satu meja dekat jendela yang biasa ia duduki saat berada disana. Saat melihatku di seberang, wajahnya terlihat senang dan lega.

Ia melambaikan tangannya padaku. Aku membalasnya dengan gembira. Saat lampu berganti merah, aku segera berlari menyebrangi trotoar.

Sepersekian detik kemudian, aku mendengar suara teriakan orang-orang di belakangku untuk menyuruhku menyingkir. Ekor mataku menangkap raut wajah Chanyeol yang bangkit berdiri dari kursinya dan berlari keluar seperti terlihat panik.

Hei ada ap—

“Awas Chaerin-ah!” Suara itu sampai ke telingaku.

Aku menoleh terkejut, di hadapanku sekarang melaju mobil berkecepatan tinggi yang tak terkontrol dan sepertinya hendak menerobos lampu merah. Lampu depannya yang menyala terang berhasil mengaburkan semua pandanganku. Yang menyetir berusaha menginjak pedal rem di kakinya kuat-kuat, namun terlambat. Suara decit ban terdengar nyaring. Seluruh tubuhku kaku, tak bergerak.

Aku hanya bisa berteriak. Sekencang-kencangnya.

Dan kejadian selanjutnya berlangsung seperti gerakan slow motion.

 

Rasanya aku mulai hilang perlahan-lahan. Kepalaku rebah di tanah.

Terasa sesuatu yang lengket mulai mengalir di pelipisku.

 

Darah.

 

Lalu pandangan mataku gelap.

Semuanya menjadi hitam tak berbekas.

 

Rasanya sekarang aku tahu mengapa tokoh dalam drama picisan itu selalu berteriak terlebih dahulu daripada memilih untuk menyingkir saat terjadi kecelakaan.

Dulu, aku bahkan selalu memaki-maki artis-artis di drama yang hanya diam di tempat dengan wajah terkejut saat mobil sudah mendekat lalu menabrak mereka.

“Kau bisa berlari, pabo! Mengapa kau hanya diam saja seperti itu!”

 

Namun kini aku tahu rasanya.

Saat kau sudah terlalu terkejut untuk menghadapi sesuatu, tubuhmu akan kaku dan tidak bisa bergerak. Lumpuh.

Dan yang bisa kau lakukan hanya, berteriak. Sekencang-kencangnya.

 

To be continued

***

Please wait patiently for the next chapter! Don’t forget to leave a comment below here, because one of your comment means a lot for me.

Tbh, im so sad right now so bye.

 

 

 

 

 

 

 



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles