Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Fallen (Chapter 11)

$
0
0

Tittle    : FALLEN – CHAPTER 11 PART A: DIBANGUNKAN DENGAN KASAR

Author : @FYEAHZELO_

Main Cast :  -Lucinda Price : Park Gi Eun (OC)

                        -Daniel Grigori : Xi Luhan (EXO-M)

                        -Cameron Briel : Wu Yi Fan a.k.a Kris (EXO-M)

                        -Arriane Alter : Amber Josephine Liu (F(X))

                        -Pennyweather Van Syckle-Lockwood : Lee Sun Kyu a.k.a Sunny (SNSD)

                        -Roland Sparks : Roland Sparks (OC)

                        -Gabrielle Givens : Lee Hyori (OC)

 

                                               

Support Cast :        -Sophia Bliss : Kim Hyun Jin—Miss Kim (OC)

-Mary Margaret ‘Molly’ Zane : Choi Jin Hee (OC)

                                    -Randy : Kim Joon-myun a.k.a SuHo (EXO-K)

                                    -Callie : Jung Ji Hyun (OC)

                                    -Todd Hammond : Park Chanyeol (EXO-K)

                                    -Trevor : Trevor (OC)

 

 

Genre  : Western-Life, Paranormal Romance, Supernatural Romance, Young Adult Fiction, Fantasy

 

 

Credit: FALLEN by Lauren Kate

 

 

Warning : Typo merajalela (?), OOC

 

 

 

 

CHAPTER 11 PART A:

DIBANGUNKAN DENGAN KASAR

 

 

 

 

“Apa kau takut?” tanya Luhan. Kepalanya ditelengkan, membuat rambut pirangnya berantakan ditiup angin semilir. Cowok itu merengkuh Gi Eun, dan walaupun ia mencengkeram erat pinggang Gi Eun, tangannya selembut dan seringan selendang sutera. Gi Eun sendiri mengaitkan jemari di tengkuk Luhan yang terbuka.

 

Apakah ia takut? Tentu tidak. Ia bersama Luhan. Akhirnya. Dalam pelukannya. Pertanyaan sesungguhnya yang muncul jauh di dalam benaknya adalah: Haruskan ia merasa takut? Ia tidak yakin. Ia bahkan tidak tahu berada di mana.

 

Ia bisa mencium bau hujan di udara, tidak jauh dari sini. Tapi ia dan Luhan sama-sama kering. Ia bisa merasakan gaun putih panjang melambai di mata kakinya. Hanya tersisa sedikit cahaya hari ini. Gi Eun sangat menyesali menyia-nyiakan matahari terbenam, seakan ada yang bisa ia lakukan untuk menghentikannya. Entah bagaimana ia tahu pancaran sinar terakhir ini sama berharganya dengan tetes-tetes terakhir madu di dalam guci.

 

“Maukah kau tetap bersamaku di sini?” Gi Eun bertanya. Suaranya berupa bisikan yang amat lembut, nyaris tidak terdengar karena gemuruh pelan Guntur. Embusan angin berputar di sekeliling mereka, meniup rambut Gi Eun ke matanya. Luhan merengkuhkan kedua tangannya lebih erat pada tubuh Gi Eun, sampai Gi Eun bisa menghirup naas pemuda itu, mencium aroma kulit Luhan pada kulitnya.

 

“Selamanya,” Luhan menjawab dalam bisikan. Suaranya yang lembut membuat Gi Eun terbunga-bunga.

 

Ada luka goresan kecil di kiri Luhan, tapi Gi Eun melupakannya saat cowok itu memegang pipi Gi Eun dan menarik wajah Gi Eun mendekat. Gi Eun mendongak dan merasakan seluruh tubuhnya lemas karena penuh harap.

 

Akhirnya, akhirnya, bibir Luhan menyentuh bibir Gi Eun dengan penuh hasrat yang membuat Gi Eun terlena. Luhan mengecup Gi Eun seakan gadis itu miliknya, dengan wajar seakan Gi Eun bagian dirinya yang telah lama hilang dan akhirnya bisa diperolehnya kembali.

 

Lalu hujan mulai turun. Hujan membasahi rambut mereka, mengalir menuruni wajah dan masuk ke mulut. Airnya hangat dan memabukkan, seperti kecupan mereka.

 

Gi Eun meraih pinggang Luhan untuk mearik tubuh pemuda itu agar lebih dekat, dan kedua tangannya menyentuh sesuatu yang selembut beludur. Ia menyapukan satu tangan disitu, lalu tangan yang satu lagi, mencari ujungnya, kemudian mengintip ke belakang wajah Luhan yang bercahaya.

 

Sesuatu terbentang di balik tubuh Luhan.

 

Sayap. Berkilau dan berwarna-warni, mengepak perlahan, anggun, bersinar di bawah hujan. Gi Eun pernah melihatnya, mungkin, atau sesuatu yang seperti itu entah dimana.

 

“Luhan,” ia berkata, terengah. Sayap itu menutupi pandangan dan pikirannya. Sayap itu tampak seperti berubah menjadi jutaan warna yang berputarputar, membuat kepalanya sakit. Ia mencoba melihat kea rah lain, ke mana saja, tapi di sisi manapn, yang bisa ia lihat selain Luhan adalah langit merah muda dan biru tidak berujung saat matahari terbenam. Hingga ia memandang ke bawah dan melihat hal yang terakhir.

 

Permukaan bumi.

 

Ribuan meter di bawah mereka.

 

***

 

Ketika Gi Eun membuka mata, segalanya terlalu terang, kulitnya terlalu kering, dan bagian belakang kepalanya terasa sangat sakit. Langit lenyap, begitu juga Luhan.

 

Mimpi lagi.

 

Hanya saja mimpinya yang satu ini membuatnya nyaris mual karena hasrat.

 

Ia berada dalam ruangan berdinding putih. Tergeletak di tempat tidur rumah sakit. Di sebelah kirinya, tirai setipis kertas di tarik sepanjang setengah ruangan, memisahkannya dari sesuatu yang terdengar bergerak-gerak di sisi lain.

 

Dengan hati-hati Gi Eun menyentuh bagian lunak di ujung lehernya dan merintih.

 

Ia berusaha memahami sekelilingnya. Ia tidak tahu berada di mana, tapi merasa ia tidak di Sword & Cross lagi. Gaun putihnya yang menggelembung—ia menepuk sisi tubuhnya—baju rumah sakit yang longgar. Ia bisa merasakan setiap bagian mimpinya memudar dari ingatan—segalanya kecuali sayap itu. Sayap tersebut tampak begitu nyata. Rasanya seperi beludru dan halus. Perut Gi Eun bergejolak. Ia mengepal dan membuka kepalan tangan, sangat menyadari ia tidak menggenggam apa pun.

 

Ada yang mencengkeram dan meremas tangan kanannya. Gi Eun berpaling cepat dan meringis. Ia mengira dirinya sendirian. Hyori duduk di ujung kursi lipat biru pudar yang tampak, kelihatannya, membuat warna mata gadis itu lebih cemerlang.

 

Gi Eun ingin menarik tangannya—atau setidaknya, ia berhak ingin menarik tangannya—tapi lalu Hyori tersenyum sangat hangat, senyum yang membuat Gi Eun entah bagaimana merasa aman, dan ia menyadari bahwa ia lega karena tidak sendirian.

 

“Sejauh mana itu hanya mimpi?” ia bergumam.

 

Hyori tertawa. Ia meletakkan wadah krim kutikula di meja sebelahnya, dan mulai menggosokkan krim putih beraroma lemon itu ke kuku Gi Eun. “Tergantung,” ia berkata, sambil memijat jari Gi Eun. “Tapi lupakan saja mimpi-mimpi. Aku tahu bahwa kapan pun duniaku seakan jungkir-balik, tidak ada yang lebih menenangkanku daripada manikur.”

 

Gi Eun memandang sekilas ke bawah. Ia bukan orang yang biasa merawat kuku, tapi kata-kata Hyori mengingatkannya pada ibunya, yang selalu mengusulkan mereka pergi manikur setiap kali Gi Eun mengalami hari yang buruk. Saat kedua tangan Hyori memijat jemarinya perlahan, Gi Eun memikirkan betapa banyak yang ia sia-siakan selama bertahun-tahun ini.

 

“Kita di mana?” ia bertanya.

 

“Rumah Sakit Lullwater.”

 

Perjalanan pertamanya ke luar lingkungan sekolah tapi ia malah berada di rumah sakit yang jaraknya hanya lima menit dari rumah orangtuanya. Terakhir kali ia berada di sini karena tiga jahitan di siku akibat terjatuh dari sepeda. Saat itu ayahnya tidak pernah meninggalkannya. Kini ayahnya tidak kelihatan di mana pun.

 

“Sudah berapa lama aku di sini?” ia bertanya.

 

Hyori menatap jam dinding putih dan berkata, “Mereka menemukanmu dalam keadaan tidak sadar karena mengisap banyak asap tadi malam sekitar jam sebelas. Sudah prosedur standar memanggil Petugas Medis Darurat jika mereka menmukan murid sekolah anak nakal yang tidak sadarkan diri, tapi jangan takut, SuHo bilang mereka akan segera mengeluarkanmu dari sini. Begitu orangtuamu mengizin—“

 

“Orangtuaku ada disini?”

 

“Dan benar-benar mengkhawatirkan anak perempuan mereka, sampai ke ujung rambut ibumu yang dikeriting. Mereka berada di lorong, disibukkan urusan administrasi. Kubilang pada mereka aku akan menjagamu.”

 

Gi Eun mengerang dan membenamkan wajah ke bantal, menimbulkan kembali rasa sakit yang dalam di bagian belakang kepalanya.

 

“Jika kau tidak mau menemui mereka…”

 

Tapi Gi Eun menegrang bukan karena orangtuanya. Ia sangat ingin bertemu mereka. Ia teringat pada perpustakaan, kebakaran itu, dan jenis bayangan-bayangan baru yang semakin menakutkan setiap menemukannya. Selama ini bayangan-bayangan itu gelap dan mengerikan, membuatnya gugup, tapi tadi malam, bayangan-bayangan tersebut seakan menghendaki sesuatu darinya. Lalu ada yang lain, kekuatan yang melayang dan membebaskan Gi Eun.

 

“Ada apa?” Hyori bertanya, memiringkan kepala dan melambaikan tangan di depan wajah Gi Eun. “Apa yang kaupikirkan?”

 

Gi Eun tidak bisa memahami kebaikan mendadak Hyori padanya. Rasanya Hyori bukanlah tipe asisten perawat, dan sepertinya tidak ada cowok di sini yang perhatiannya bisa dimonopoli gadis itu. Hyori bahkan tidak kelihatan menyukai Gi Eun. Ia tak mungkin muncul di sini atas kemauannya sendiri, kan?

 

Tapi walaupun Hyori begitu baik padanya, tidak ada cara untuk menjelaskan apa yang terjadi tadi malam. Pertemuan yang mengerikan dan tidak terkatakan di lorong. Perasaan yang aneh saat ia didorong menembus kegelapan. Sosok cahaya yang aneh dan menggetarkan.

 

“Di mana Chanyeol?” Gi Eun bertanya, dan munculah Amber, menggunakan sepatu roda dan mengenakan pakaian garis-garis merah-putih seperti permen. Rambut pendeknya yang berwarna hitam dijalin ke atas dan dibentuk beberapa ikatan. Ia meluncur masuk, memegang nampan berisi tiga batok kelapa yang di bagian atasnya ada sedotan berwarna terang dengan hiasan payung.

 

“Biar kuperjelas dulu,” ia berkata dengan suara sengau yang serak. “Kalian masukkan jerak limaunya ke kelapa dan minum sekaligus—wah, muka-muka kusut. Apa yang kusela?”

 

Amber berhenti di kaki tempat tidur Gi Eun. Ia mengulurkan kelapa dengan payung merah muda yang bergoyang-goyang.

 

Hyori melompat berdiri dan menyambar kelapa itu lebih dulu, membaui isinya. “Amber, ia baru saja mengalami trauma,” Hyori memarahinya. “Dan asal tahu saja, kau menyela pembicaraan tentang Chanyeol.”

 

Amber menegakkan tubuh. “Itulah sebabnya ia perlu sesuatu yang membangkitkan semangat,” balasnya, memegang nampat erat-erat sambil saling melotot dengan Hyori.

 

“Baiklah,” kata Amber, membuang muka dari Hyori. “Aku akan memberinya minuman yang membosankan.” Amber member Gi Eun kelapa dengan sedotan biru.

 

Gi Eun pasti dalam fase linglung setelah kejadian traumatis. Dari mana mereka bisa mendapatkan barang-barang ini? Batok kelapa? Payung-payung hiasan? Seakan ia pingsan di sekolah anak nakal dan terbangun di hotel mewah pinggir pantai.

 

“Dari mana kalian mendapatkan semua ini?” Gi Eun bertanya. “Maksudku, terima kasih, tapi—“

 

“Kami mengerahkan sumber kami jika diperlukan,” jawab Amber. “Roland membantu.”

 

Ketiganya duduk sambil menyeruput minuman dingin yang manis itu sesaat, hingga Gi Eun tidak bisa menahan diri lagi. “Jadi kembali ke Chanyeol…?”

 

“Chanyeol,” kata Hyori, berdeham, “Jadi… ia menghirup asap jauh lebih banyak daripada kau, Sayang—“

 

“Bukan begitu,” tukas Amber. “Lehernya patah.”

 

Gi Eun tersentak, dan Hyori memukul Amber dengan payung hias.

 

“Apa?” kata Amber. “Gi Eun bisa menerimanya kok. Jika cepat atau lambat ia akan tahu, kenapa kita harus menutup-nutupinya?”

 

“Buktinya masih belum pasti,” Hyori berkata, menekankan kata-katanya.

 

Amber mengangkat bahu. “Gi Eun ada di sana, ia pasti melihat—“

 

“Aku tidak melihat apa yang terjadi padanya,” kata Gi Eun. “Tadinya kami bersama-sama lalu entah bagaimana terlempar dan terpisah. Perasaanku tidak enak, tapi aku tidak tahu,” ia berbisik. “Jadi ia sudah…”

 

“Pergi dari dunia ini,” Hyori berkata lembut.

 

Gi Eun memejamkan mata. Rasa dingin mengalir ke seluruh tubuhnya, tidak ada hubungannya dengan minuman. Ia mengingat Chanyeol yang memukul-mukul dinding dengan panic, tangannya yang berkeringat meremas tangan Gi Eun ketika bayangan-bayangan itu meraung di atas mereka, saat-saat mengerikan ketika mereka terpisah dan Gi Eun terlalu lemah untuk menghampiri Chanyeol.

 

Chanyeol melihat bayangan-bayangan tersebut. Sekarang Gi Eun yakin. Dan cowok itu meninggal.

 

Setelah Trevor meninggal, tak ada satu minggu pun berlalu tanpa surat kemarahan bagi Gi Eun. Kedua orangtuanya memeriksa surat-suratnya sebelum ia dapat membaca isinya yang menyakitkan hati, tapi terlalu banyak yang masih bisa mencapainya. Beberapa surat ditulis tangan, beberapa diketik, salah satu bahkan terbuat dari susunan huruf-huruf majalah, semacam surat tebusan. Pembunuh. Nenek sihir. Mereka memberinya cukup banyak julukan kejam sehingga memenuhi buku catatan, membuatnya cukup menderita sehingga ia mengurung diri di rumah sepanjang musim panas.

 

Gi Eun mengira sudah melakukan banyak begitu hal untuk melanjutkan hidupnya dari mimpi buruk itu: meninggalkan masa lalu ketika datang ke Sword & Cross, berkonsentrasi pada pelajaran, mencari teman baru… oh Tuhan. Ia menahan napas. “Bagaimana dengan Sunny?” ia bertanya, menggigit bibir.

 

“Sunny baik-baik saja,” kata Amber. “Ia masuk berita halaman utama, saksi mata kebakaran itu. Sunny dan Miss Kim sama-sama berhasil keluar, bau mereka seperti panggangan Georgia Timur, tapi tidak terluka sedikit pun.”

 

Gi Eun menghela napas. Setidaknya ada sedikit kabar baik. Tapi di balik selimut rumah sakit yang setipis kertas, tubuhnya gemetaran. Tak lama lagi pasti jenis orang-orang yang menerornya setelah kematian Trevor akan menerornya lagi. Bukan hanya orang-orang yang menuliskan surat kemarahan. Dr. Sanford. Petugas pengawasnya. Polisi.

 

Seperti sebelumnya, ia akan diminta menceritakan kejadiannya dengan terperinci. Mengingat tiap detail kejadian. Tapi tentu saja, seperti sebelumnya, ia takkan bisa melakukannya. Sesaat Chanyeol berada disampingnya, hanya mereka berdua. Saat berikutnya—

 

“Gi Eun!” Sunny menerobos ke kamar, memegang balon helium besar berwarna cokelat. Balon itu berbentuk Band-Aid dengan tulisan  Tempel Saja dalam huruf miring biru. “Apa-apaan ini?” ia bertanya, menatap penuh kecaman pada tiga gadis yang berada di sana. “Pesta piama?”

 

Amber melepaskan sepatu rodanya dan naik ke tempat tidur yang sempit di samping Gi Eun. Gadis itu memegang batok kelapa dengan kedua tangan dan menyandarkan kepalanya di bahu Gi Eun. Hyori mengoleskan cat kuku transparan pada tangan Gi Eun yang tidak memegang kelapa.

 

“Ya,” Amber terkekeh. “Bergabunglah, Lee Sun Kyu. Kami baru saja mau mulai main Truth or Dare. Kami akan membolehkan kau mulai duluan.”

 

Hyori mencoba menutupi tawa dengan bersin pura-pura yang lembut.

 

Sunny berkacak pinggang. Gi Eun merasa bersalah padanya, juga agak takut. Sunny terlihat cukup garang.

 

“Salah satu dari teman sekelas kita meninggal semalam,” Sunny mengucapkannya dengan hati-hati. “Dan Gi Eun bisa saja terluka cukup parah.” Ia menggeleng. “Kok kalian berdua bisa bercanda pada saat seperti ini?” Ia mengendus. “Apa ini bau alcohol?”

 

“Ohhh,” kata Amber, menatap Sunny, wajahnya serius. “Kau suka Chanyeol, ya?”

 

Sunny menyambar bantal dari kursi di belakangnya dan melemparkannya pada Amber. Masalahnya, Sunny memang benar. Rasanya memang aneh bahwa Amber dan Hyori menerima kematian Chanyeol… nyaris tanpa beban. Seakan mereka mengalami kejadian seperti itu setiap saat. Seolah hal itu tidak memengaruhi mereka seperti memengaruhi Gi Eun. Tapi mereka tidak tahu apa yang Gi Eun ketahui tentang saat-saat terakhir Chanyeol. Mereka tidak tahu kenapa ia mual saat ini. Ia menepuk ujung tempat tidur agar Sunny duduk dan memberikan sisa minuman kelapa dinginnya.

 

“Kami keluar lewat pintu darurat di belakang, lalu—“ Gi Eun bahkan tak bisa menyebutkan kata-kata itu. “Apa yang terjadi padamu dan Miss Kim?”

 

Sunny melirik ragu-ragu kea rah Amber dan Hyori, tapi tak seorang pun kelihatan akan mengejeknya. Sunny menyerah dan duduk di ujung tempat tidur.

 

“Aku baru saja sampai di meja utama untuk bicara dengan Miss Kim tentang—“ Ia melirik kedua gadis itu lagi, lalu menatap penuh arti pada Gi Eun. “Pertanyaanku. Ia tidak tahu jawabannya, tapi ia hendak menunjukkan buku yang lain.”

 

Gi Eun melupakan sama sekali petualangannya bersama Sunny semalam. Kejadian itu rasanya sudah lama sekali, dan terasa tidak penting kalau mengingat apa yang terjadi.

 

“Kami baru saja mengambil dua langkah dari meja Miss Kim,” Sunny melanjutkan, “dan aku melihat ledakan besar cahaya di sudut mataku. Maksudku, aku pernah membaca tentang kebakaran yang tiba-tiba terjadi, tapi ini…”

 

Ketiga gadis yang lain mencondongkan tubuh ke depan saat mendengar kata-kata itu. Cerita Sunny memang berita halaman utama.

 

“Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya terjadi,” kata Gi Eun, mencoba mengingat meja Miss Kim. “Tapi kurasa tidak ada orang lain di dalam perpustakaan.”

 

Sunny mengangguk. “Memang tidak ada. Miss Kim bilang pasti ada kabel lampu yang terbakar. Apa pun yang terjadi, api itu mendapatkan bahan bakar yang sangat banyak. Semua dokumen Miss Kim langsung hangus.” Ia menjentikkan jari.

 

“Tapi ia baik-baik saja?” Gi Eun bertanya, sambil memainkan ujung gaun rumah sakit yang setipis kertas.

 

“Kebingungan, tapi baik-baik saja,” kata Sunny. “Alat pemadam kebakaran akhirnya menyala, tapi kurasa ia kehilangan banyak barangnya. Ketika mereka memberitahunya tentang apa yang terjadi pada Chanyeol, ia seakan terlalu mati rasa untuk mengeti.”

 

“Mungkin kita semua terlalu mati rasa untuk mengerti,” Gi Eun berkata. Kali ini Hyori dan Amber mengangguk-angguk di kiri dan kanannya. “Apakah—apakah orangtua Chanyeol sudah tahu?” ia bertanya, membayangkan cara menjelaskan apa yang terjadi pada orangtuanya sendiri.

 

Ia membyangkan orangtuanya mengisi surat-surat di lobi. Apakah mereka mau bertemu dengannya? Apakah mereka akan menghubungkan kematian Chanyeol dengan kematian Trevor… dan menghubungkan kedua kejadian itu padanya?”

 

“Aku tidak sengaja mendengar SuHo bicara dengan orangtua Chanyeol di telepon,” kata Sunny. “Kurasa mereka mengajukan gugatan. Jasadnya dikirim kembali ke Florida hari ini.”

 

Itu saja? Gi Eun menelan ludah.

 

“Sword & Cross akan mengadakan upacara pemakaman terakhir untuk Chanyeol pada hari Kamis,” Hyori berkata perlahan. “Luhan dan aku akan membantu mengaturnya.”

 

“Luhan?” Gi Eun mengulangi ucapan Hyori sebelum bisa menghentikannya. Ia melirik kea rah Hyori, dan bahkan dalam keadaan tertimpa musibah, ia tidak bisa melupakan bayangannya akan gadis itu: si penggoda berambut pirang dengan bibir merah muda.

 

“Luhan yang menemukan kalian semalam,” kata Hyori. “Ia menggendongmu dari perpustakaan ke kantor SuHo.”

 

Luhan menggendongnya? Maksudnya… kedua lengan Luhan merengkuh tubuhnya? Mimpi itu muncul kembali dan sensasi yang ia rasakan saat terbang—bukan, melayang—memenuhi dirinya. Ia merasa terlalu terikat pada tempat tidur. Ia begitu mendambakan langit itu, hujannya, bibir Luhan, geligi cowok itu. Wajah Gi Eun menjadi panas, awalnya karena hasrat, lalu karena kemustahilan yang menyakitkan tentang terjadinya hal-hal seperti itu ketika ia terjaga. Sayap megah yang membutakan mata tersebut bukan satu-satunya fantasi dalam mimpinya. Luhan di dunia nyata hanya akan menggendongnya sampai ruang perawat. Ia takkan menginginkan Gi Eun, takkan merengkuh Gi Eun dalam pelukannya, tidak seperti itu.

 

“Uh, Gi Eun, apa kau baik-baik saja?” tanya Sunny. Ia mengipasi pipi Gi Eun yang merona dengan payung hiasan.

 

“Tidak apa-apa,” sahut Gi Eun. Sulit sekali menyingkirkan sayap-sayap itu dari benaknya. Melupakan sensai wajah Luhan pada wajahnya. “Mungkin masih dalam masa pemulihan.”

 

Hyori menepuk-nepuk tangan Gi Eun. “Ketika mendengar apa yang terjadi, kami merayu SuHo agar bisa menjengukmu,” ia berkata, memutar bola mata. “Kami tidak ingin kau suman dalam keadaan sendirian.”

 

Terdengar ketuka di pintu. Gi Eun menanti untuk melihat wajah gugup orangtuanya, tapi tidak ada yang masuk. Hyori berdiri dan menatap Amber, yang tidak menunjukkan tanda-tanda ia akan berdiri. “Kalian tunggu di sini. Aku akan menanganinya.”

 

Gi Eun masih terkejut karena apa yang mereka sampaikan tentang Danil. Walaupun rasanya sungguh tidak masuk akal, ia ingin Luhan yang berada di balik pintu.

 

“Bagaimana keadaannya?” terdengar suara bertanya dalam bisikan. Tapi Gi Eun mendengarnya. Itu Luhan. Hyori menggumamkan sesuatu padany.

 

“Kenapa kumpul-kumpul di sini?” SuHo menggeram di luar ruangan. Gi Eun menyadari dengan kecewa bahsa itu berarti waktu berkunjung sudah berakhir. “Siapa pun yang membujukku sehingga membiarkan berandalan-berandalan seperti kalian ikut denganku akan mendapatkan hukuman. Dan tidak, Luhan, aku tidak akan menerima bunga sebagai sogokan. Kalian semua, masuk ke minivan.”

 

 

To Be Continue

 

 

Buat yang udah baca chapter ini jangan lupa tinggalin comment ya…

Don’t be a silent readers

Gomawo ^^

 



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles