Judul: Autumn Barbie
Author: Zola Kharisa
Genre: Romance
Rating: PG-15
Cast: Park Chan Yeol (EXO-K) and a Girl (OC)
***
Kali pertama bertemu adalah saat kutatap dirimu dari balik tirai hujan.
Sosokmu begitu memukau kendati tubuhmu terguyur air, masih sempat melepaskan senyum ketika seorang wanita lanjut usia memintamu menyebranginya. Kau mengeluarkan payung, membiarkan jalanmu sontak melambat. Beberapa anak kecil berseragam sekolah dasar mengikutimu di belakang, dan entah bagaimana caranya, lampu lalu lintas seolah mendukung dengan warna hijaunya yang terus menyala. Hingga kau sampai di perbatasan sana, pandanganku mengabur. Kendaraan-kendaraan yang bergerak itu melenyapkan sosok dirimu dari mataku.
Aku kembali meneguk macchiato yang mendingin itu dengan tidak semangat.
***
Pagi ini kuhabiskan bersama dengan Sehun; membicarakan hal seputar masalah pria. Atau cinta? Ah, cinta juga merupakan masalah pria, benar?
“Kau nyaris menghabiskan setengah tahun pagimu untuk duduk di kafeku,” ujar Sehun, memulai pembicaraan dengan topik yang hampir sama enam bulan belakangan ini. “Masih memerhatikan gadis musim gugur itu?”
Aku tersenyum mendengarnya. Sehun selalu menanyakan itu di setiap pagi yang kami lewatkan—jangan berpikir macam-macam, kami hanya menghabiskan pagi dengan obrolan ringan di kafenya. Lagi-lagi seputar masalah pria; atau selalu tentangku? “Kau selalu menyebutnya gadis musim gugur. Tertarik juga?”
Sehun tertawa renyah, pria itu mengerling lucu. “Menggelikan. Aku tidak mau terkontaminasi oleh imajinasimu.”
“Imajinasi apa? Itu nama yang bagus. Tidak, maksudku sebutannya. Aku tidak tahu nama gadis itu.” Aku melemparkan pandangan ke arah jendela dan mendengus cepat, “Kau tidak berangkat kuliah?”
“Aku masih punya waktu lima belas menit sebelum dosen datang,” jawabnya santai tanpa merasa terbebani akan kata terlambat. “Dan kau akan di sini sampai jam delapan pagi?”
“Mungkin kali ini akan sedikit lebih dari itu,” kataku pelan. “Aku masih punya waktu lima belas menit sebelum klienku menelepon.”
Sehun mengerjap cepat diiringi tawa setelahnya. “Oh, baiklah. Akan kuberi bonus hari ini. Bagaimana kalau kutraktir bubble tea?”
“Kau berniat mentraktirku atau kau memang punya stok cadangan bubble tea yang belum kau minum?” aku menyipit curiga, pura-pura tentu saja.
Sehun bangkit dari kursinya dan berjalan menuju etalase kafe, “Sepiring cheese cake dan ice macchiato. Bagaimana?”
Aku tersenyum lebar tanpa berusaha menolak.
***
Mengalihkan sesuatu pada objek yang luar biasa memang sulit. Seperti sekarang. Fokusku pecah hanya karena melihatmu tertawa, setelah sekian lama tak berjumpa. Atau tak bisa dikatakan berjumpa karena kita tidak saling mengenal, bukan?
Mengiringi anak-anak kecil itu menyanyi, menari sambil berputar-putar, kemudian membelikan lollipop untuk anak-anak itu. Ah, nyaris saja melupakan wajah merengutmu saat mengecek isi dompet dan aku tebak, kau menginginkan balon-balon yang dijual di ujung taman itu, bukan? Tentu saja agar anak-anak kecil itu semakin senang. Menunjukan tawanya hanya untukmu.
Sedikit miris; kau tidak melihatku di sini? Aku juga bisa memberikan tawaku kalau kau mau.
“Tuan Park,”
Aku terkesiap saat mendengar suara berat itu memanggilku. Kuarahkan pandanganku dengan enggan pada Byun Baek Hyun, klienku kali ini. “Maaf, bisa kita lanjutkan?”
“Kau sepertinya sedang tidak fokus,” pria itu berusaha tak menepis pertanyaanku. “Kalau kau mau, kita bisa menundanya hingga besok.”
“Tidak perlu,” tolakku. “Aku memang sedang tidak fokus, maaf. Tapi, bukan karena masalah ini. Ah, kita lanjutkan saja sekarang. Bagaimana kalau membangun sebuah hotel resor di kawasan Jeju? Pengunjung di sana kebanyakan turis asing dan kita bisa…”
Begitulah, obrolanku dengan Baek Hyun, klienku itu, berjalan dengan lancar. Hingga tidak terasa waktu berputar begitu cepat ketika aku menolehkan kepalaku ke luar jendela,
Kau sudah tidak ada.
***
Hamparan bunga-bunga Canola menjadi objek pertama yang kubidik. Aku tersenyum puas. Musim semi kali ini benar-benar menyenangkan.
Byun Baek Hyun, klien perusahaanku waktu itu menawarkan waktu sekitar lima hari agar aku bisa mengobservasi bersama beberapa karyawanku tentang lokasi pembangungan hotel resor di Jeju yang kami rencanakan. Memang, kali ini aku memenangkan tender besar dan itu sukses mengharuskanku turun tangan ke lapangan sendiri. Biasanya, aku hanya akan duduk di ruanganku sambil meneliti dan menandatangani berkas-berkas. Sedikit menyesal dulu, karena tak pernah menyempatkan waktu untuk mengikuti ajakan beberapa teman kerja.
Kendati aku punya alasan yang lebih penting. Untukku. Sendiri.
“Kita diberi kebebasan seharian ini,” Kyung Soo berdiri di belakangku, membuatku berjengit. “Hei, maaf mengagetkanmu.”
Aku menggeleng maklum, “Tidak apa-apa. Kalau begitu aku bisa berkeliling ke luar hotel sebentar?”
Kyung Soo mengangguk, “Tentu saja. Tapi ingat jangan sampai tersesat, pastikan ponselmu selalu aktif.”
Aku tertawa sekilas mendengarnya. Kyung Soo sebenarnya bawahanku, tapi aku tak pernah membeda-bedakannya. Kami dulu satu kampus dan dipertemukan kembali di perusahaan milik ayahku yang kini tengah kukelola. “Baiklah, aku akan mematuhi perintahmu, Ibu.”
Seketika tawaku benar-benar pecah begitu ia memberengut. Pria yang menyenangkan.
***
Aku bergabung dengan puluhan orang di tengah acara festival bunga Canola yang menurut informasi merupakan festival rutin tahunan di Pulau Jeju. Sejujurnya, aku tidak terlalu menyukai kebisingan. Tapi entah mengapa ada sesuatu yang mendesakku untuk melihat-lihat festival ini. Memang tidak buruk juga sebenarnya. Ada banyak objek bagus yang bisa kubidik dengan kameraku.
Langkahku mengayun santai, melontarkan senyum pada beberapa orang yang menatapku dengan tatapan, err, kagum? Dan semua itu wanita. Baiklah, berhenti percaya diri seperti itu, Park Chan Yeol!
Aku menengadahkan kepala, memandang langit jingga Jeju yang bergradasikan warna ungu pudar. Mengapa sore begitu cepat datang?
Aku baru saja hendak berbalik pulang saat mataku menangkap hamparan bunga Canola yang lebih luas di balik punggung beberapa pedagang kaki lima di samping kananku. Rasanya mataku seolah meneriakkan binar-binar. Dengan langkah tak terduga, kulewati jalan sempit yang menghubungkannya dengan tempat itu.
Dan entah mengapa, jantungku berdebar keras.
***
Aku masih ingat, kali keduaku melihatmu adalah saat matahari bersinar begitu terik. Menyinarimu seolah kau memang patut berkilauan meski siang menjelang. Atau aku saja yang berlebihan? Tapi, kurasa tidak. Kau memang bersinar, setidaknya di mataku kau memukau.
Aku masih memerhatikanmu di balik jendela kaca saat kau memasang earphone di telingamu. Matamu terpejam sementara kepalamu bergerak pelan ke kiri dan ke kanan; mengikuti irama lagu yang aku sendiri tidak tahu apa judulnya.
Tapi ketika melihatmu diam-diam mengulas senyum kecil… entah apa yang membuatku pun ikut tersenyum. Meskipun kau tidak melihatnya, tapi aku melihatmu, bukan?
Seperti happy virus; kau seperti itu.
***
Aku meraih kamera yang kukalungkan di leher, membidik beberapa bagian yang kusuka dari padang bunga berwarna kuning itu yang terlihat lebih bagus saat sore menjelang. Suara potret menemani langkahku yang membuai pelan, diiringi senyum yang tercetak jelas di wajahku.
Namun, tiba-tiba langkahku berhenti begitu saja. Lensa kamera yang sudah berada tepat di depan mataku, langsung kuturunkan saat menyadari bahwa bukan hanya aku seorang diri yang berdiri di padang Canola itu. Ada seseorang di sana, di ujung pandanganku, tengah memetik dengan anggun beberapa tangkai bunga dan memasukannya ke ranjang di tangannya.
Dan aku sedikit banyak yakin bahwa ia seorang gadis. Gadis yang selama ini membuatku merindu akan setiap detail hal yang dilakukannya.
Tanpa sadar, tanpa tahu malu, aku melangkah mendekatimu. Sangat bersyukur sekarang karena kaki panjangku dapat mengjangkau tempatmu lebih cepat.
Persetan dengan etika yang membangun namaku dan citraku baik-baik. Otakku sudah tak berfungsi rasanya saat dirimu berhenti dari kegiatanmu, kemudian dengan sangat perlahan mendongak. Sekilas, aku bisa melihat kilatan rindu terbit di matamu. Warna hazel yang begitu memabukkan.
Dan aku tak tahu apa yang dilakukan tubuhku hingga sekarang kau berada dalam pelukanku. Mendekapmu erat, padahal aku tahu ini kali pertamanya kita bertatapan.
Lalu, aku tidak mengerti apa yang kau pikirkan saat kurasakan kedua tanganmu melingkari punggungku, mengusapnya dengan gerakan teratur.
Kau membalas pelukanku?
***
Observasi selesai. Lebih cepat dari apa yang kubayangkan.
Saat ini, aku beserta kawananku sedang menikmati makan malam di restoran hotel. Merayakan kecil-kecilan keberhasilan proyek kami bersama Baekhyun dan tim kerjanya. Tidak kusangka hasil observasi begitu memuaskan, lokasi yang akan dijadikan hotel resor nanti begitu strategis juga tempatnya yang tidak jauh dari bibir pantai. Bahkan pemandangan yang dapat digapai dari setiap sudut jendela hotel yang kami rencanakan sesuai harapan.
“Tidak kusangka Tuan Park begitu cerdas dalam memilih tempat,” puji Baek Hyun, aku hanya tertawa pelan menanggapi. “Proyek kali ini kuharap tidak akan gagal.”
Aku mengangguk, “Bisa kupastikan bahwa…”
Ucapanku mengambang di udara saat melihat sosokmu memasuki restoran ini. Dengan balutan mantel berwarna merah muda, kata apa yang lebih cocok selain, manis?
“Chan Yeol?” Kyung Soo menyikut pinggangku, “Kau kenapa?”
Buru-buru aku mengalihkan pandangan dan menatap semua yang duduk di meja makan itu seraya menundukkan kepala, “Boleh aku pergi ke toilet sebentar?”
***
Aku tidak tahu bahwa dirimu duduk seorang diri di sana. Di kursi paling paling pojok restoran. Membuatku menelan pahit-pahit fantasi konyol yang berseliweran di kepalaku.
Tanpa sadar aku beringsut mendekat, lalu tanpa permisi duduk tepat di seberangmu. “Kau perlu seorang teman?”
Kau tersenyum tipis, mata hazel-mu tak sedikitpun terkejut dengan kehadiranku. “Kau meninggalkan teman-temanmu?”
Aku menoleh sekilas ke belakang dengan canggung, “Yah, berkumpul dengan para pria terkadang membosankan.”
Kau terdiam sebentar, kemudian tawa lepas itu muncul. Kau tertawa hingga matamu membentuk bulan sabit terbalik yang cantik. “Jadi, kau ingin bilang bahwa saat bersamaku tidak membosankan?”
Aku tahu ia menggodaku, tatapannya mengerling jahil. Cepat-cepat aku menguasai diri dari rautnya yang tampak manis sekaligus suaranya yang terekam di telingaku sepanjang waktu. “Bagaimana kalau aku bilang, iya?”
Kau terdiam, kemudian tak lama tersenyum.
Sudah kubilang bahwa kau happy virus, kan? Mau tidak mau, aku ikut tersenyum.
Dan obrolan ringan pun mengalir dengan lancar.
***
Aku bersiul pelan sepanjang lorong hotel. Perasaanku benar-benar bahagia. Mengobrol dengan kau rasanya seperti memakan masakan favoritku; tidak pernah bosan. Selalu ada hal yang bisa kami bicarakan, pun diselingi humor yang kami lontarkan bergantian. Aku tidak menyangka dirimu, gadis tercantik yang pernah kutemui, bisa berbeda dari gadis lainnya. Kupikir gadis mana yang akan menolak diantar pulang oleh pria sepertiku? Baiklah, aku sedang tidak ingin mengobral diri, tapi bukankah tidak salah? Percaya diri kurasa bagus juga.
Aku baru hendak memutar kunci saat kudengar suara saling bersahutan di samping kamarku. Bukankah itu kamar Kyung Soo dan Joon Myun?
Jujur saja, aku bukan seseorang yang suka menguping, namun entah mengapa kali ini firasatku seperti ingin membuktikan sesuatu. Dan keinginan untuk mendengar percakapan mereka berdua pun semakin besar tatkala namaku disebut-sebut dalam pembicaraan itu.
“Aku sudah merasa bahwa semakin hari, dia semakin imajinatif.”
“Kau melihatnya juga? Sungguh, sebenarnya apa yang Chan Yeol pikirkan?”
“Tapi untuk ukuran imajinatif… kurasa kurang tepat.”
“Setengah waras! Kau pikir saja, ia meninggalkan kita hanya untuk duduk di meja paling pojok itu?”
“Ya, dan tambahan bahwa ia duduk sendirian di sana.”
Aku terkesiap mendengarnya. Apa yang sedang mereka bicarakan adalah kejadian saat aku meninggalkan mereka dengan alasan ke toilet tadi? Tapi, bukankah saat aku kembali mereka tidak mempermasalahkannya?
Seketika tubuhku membeku saat Kyung Soo kembali membuka mulut.
“Tapi ia sudah begini selama tujuh bulan, Myun-ah, apa kita masih bisa membiarkannya bermain terlalu dalam dengan imajinasi belakanya?”
***
Aku menatap kosong cangkir macchiato yang baru saja diantarkan Sehun. Pagi ini, sama seperti pagi-pagi sebelumnya, aku duduk di dekat jendela yang mengarah ke taman kota. Memerhatikan tiap-tiap tubuh yang bergerak di sana, mengamati tiap wajah yang mungkin saja kukenal.
Namun hasilnya nihil. Tidak ada satu pun yang kukenal di sana.
“Kalau kuhitung, sudah sepuluh bulan kau menjalani rutinitas ini. Apa kau tidak lelah?”
Aku mendongak sekilas pada Sehun, “Terlalu sulit bagiku untuk melupakannya.”
Sehun mendesah panjang, ia menghabiskan bubble tea-nya dalam satu tegukan. “Apa kau pernah bertemu dengannya? Atau kau tahu siapa namanya, mungkin?”
Poin kedua yang selalu aku umpat dalam hati. Bagaimana bisa aku sebodoh itu dengan tidak menanyakan siapa namanya waktu itu?
Sehun lantas menggelengkan kepala, “Kalau memang gadis itu ada—“
“Gadis itu memang ada!” sergahku cepat. Ini hal yang paling tidak kusukai dari orang-orang di sekitarku. Mengapa mereka menganggap seolah aku gila?
“Baiklah, baiklah.” Sehun mengacungkan kedua tangan di depan dada. “Mengapa kau tidak bertanya pada orang-orang yang sering kau lihat berada di dekatnya? Mungkin saja mereka tahu keberadaan gadismu itu.”
Bagai tersengat listrik, aku segera bangkit dari dudukku. Kupandangi Sehun dengan tatapan terimakasih sebelum berlalu meninggalkan kafenya.
Ya, Tuhan, mengapa aku bisa sebodoh ini?
***
“Maksudnya, Su Jin noona?”
Aku mengerutkan dahi, “Aku tidak tahu siapa namanya. Yang aku ingat ia sering bermain di sini, membelikan kalian lollipop, lalu…”
“Oh, iya benar! Itu Su Jin noona!” seru bocah laki-laki itu sambil menatapku semangat. “Ia sangat baik pada kami!”
“Lantas, di mana ia sekarang?”
Mendadak firasat buruk menyergapku saat kulihat bocah laki-laki itu menatapku sendu, “Sudah lama ia koma, Paman. Mungkin dari musim gugur tahun lalu.”
Aku terpaku, “Kau serius? Di mana rumah sakitnya?”
Dan bocah laki-laki itu hanya bergumam lirih menjawab pertanyaanku.
***
Aku tidak tahu harus bahagia, takut, atau sedih saat melihatmu berdiri di hadapanku. Dengan gaun berwarna putih gading yang membalut lekuk tubuhmu dengan sempurna. Rambut cokelat tuamu yang tergerai indah di punggung. Juga senyumanmu yang memikatku.
Otakku bahkan masih mencoba merespon segala hal yang berada di sekitarku saat kau menarik pelan kerah kemejaku, menyihirku dengan mata hazel-mu yang memukau, lalu tiba-tiba meresapi segala rasa yang tersimpan di benakku tentang bibirmu yang membungkamku dalam kehangatan. Membuatku memejamkan mata tanpa sadar karena terasa begitu nyata.
Lalu tak lama kau melepaskan ciumanmu, beringsut menjauh, dan menghilang di balik pintu di tengah koridor.
Jadi, kamar 211?
***
Aku mengerti kini dengan semua hal yang terjadi. Mendengar suster mengatakan bahwa kau korban kecelakaan di kali pertama aku melihatmu, membuatku sadar akan semuanya.
Aku terlalu berimajimasi tentangmu. Hingga tak sadar bahwa semuanya hanya ada dalam bayanganku saat kau sampai di seberang sana dengan selamat. Aku terlalu mengagumi rupa cantikmu sampai-sampai mengaburkan segala realita.
Dan, kau, entah bagaimana caranya mencoba menyadarkanku, bukan?
Bahwa sekarang saatnya aku menunggumu untuk membuka mata. Bahwa kau mencoba membuatku jatuh cinta dengan sosokmu sebagai khayalanku. Bahwa tanpa kita tahu, Tuhan mengikat kita dengan benang merah kasatmata, kan?
Ya, kau masih di sini. Di hadapanku. Meski terbaring lemah, tapi jantungmu masih berfungsi, bukan?
Dan aku akan menunggumu, gadis musim gugurku. Kita akan tertawa bersama lagi.
Aku janji.
Fin.
Admin’s note: So sorry we just publish it now and without poster. We still can’t access our email. Please always support us. Thank you.
