Judul : All These Heavy Conversations
Author : marchadwirizkika
Genre : romance
Rating : general
Cast : Exo-K Kai, Lynn (OC)
–
Ada alasan mengapa Jongin selalu mengambil jalan memutar dari sekolah ke rumah. Mestinya ia bisa sampai sepuluh menit lebih cepat kalau berbelok kiri di pertigaan kecil dekat tiang listrik yang sering ditempeli iklan atau pengumuman piaraan hilang itu. Tapi Jongin selalu, selalu, melangkah lurus. Ransel dipanggul sekenanya di bahu kiri, telapak tangan masuk ke saku kanan. Dan Jongin akan berjalan dengan sedikit terlalu bersemangat sambil menggumamkan serangkaian nada, seringnya potongan lagu pengiring tarian.
Pasalnya bila melalui rute pulang yang lebih panjang itu, Jongin akan melewati taman bermain anak-anak yang dulu sering ia kunjungi. Tapi bukan itu poin utamanya. Hampir setiap sore, ada seorang gadis di taman bermain itu. Duduk atau berayun-ayun, pelan atau cepat, di ayunan yang bercat merah―Jongin bukan tipikal orang yang akan repot-repot memikirkan mengapa gadis itu selalu memilih ayunan merah, bukan yang kuning.
Gadis itu cantik. Cukup cantik untuk membuat Jongin rela mengambil jalan memutar, ingat? Cukup cantik untuk membuat Jongin―yang bukan tipikal orang yang peduli sekitar―mau berpikir mengapa gadis itu bisa bersantai main ayunan di jam-jam sore seperti itu padahal semua sekolah di kota ini menetapkan jam pulang yang kejam. Cukup cantik hingga sore ini Jongin berniat menyapanya.
Ketika Jongin melewati gerbang taman, tawa girang anak-anak kecil memenuhi kuping. Taman bermain memang seharusnya begitu. Anak-anak kecil dalam berbagai tingkatan usia berlari-lari atau menjerit-jerit liar. Ibu-ibu yang menjaga putra-putri mereka mengobrol tak kalah berisiknya di satu sisi taman. Jongin meneruskan jalannya menuju bagian dalam taman tempat tertancapnya ayunan. Di sanalah, Jongin lihat, gadis itu. Rambut panjang hitam yang diikat rendah, baju rajut berlengan panjang warna lembayung muda, rok warna persik yang menjuntai sampai pertengahan tulang kering, dan sandal cokelat yang simpel. Ia tidak menggerakkan ayunannya. Ada perasaan lucu yang mengaduk-aduk perut Jongin, membuatnya menyesal telah melepas dasinya tadi dan kemeja seragamnya tidak ia masukkan ke celana serta kusut bukan main. Sungguh, Jongin terlihat seperti anak bandel yang ugal-ugalan―yah, mungkin memang begitu.
Untungnya, gadis itu dan sepasang mata menerawangnya tidak menyadari semua hal tersebut. Bahkan tidak menyadari keberadaan Jongin sampai laki-laki itu duduk di ayunan yang bercat kuning dan menghempaskan ranselnya ke tanah.
“Um, halo?” kata Jongin ketika gadis itu memandangnya dengan waspada. “Aku Kim Jongin. Salam kenal?” Jongin mengulurkan tangannya, dan tersenyum seramah mungkin. Berusaha untuk tidak menyeringai seperti biasanya ia.
Gadis itu menatap ke dalam mata Jongin selama tiga detik seperti mencari-cari sesuatu sebelum menyambut tangan Jongin. “Aku Lynn,” katanya.
Entah suara gadis itu yang terlalu lirih atau suara anak-anak kecil di sekeliling yang mengeras. Tapi tidak mengapa.
“Aku selalu melewati tempat ini setiap sore dan selalu melihatmu. Jadi, kupikir, um―kau tahu―mungkin sebaiknya…” Jongin menghentikan racauannya setelah menyadari gadis itu memandangnya dengan aneh. Ia mengganti topik, “Aku bersekolah di―”
“Carstairs,” potong Lynn masih dengan suara lirihnya.
“Bagaimana kau tahu―oh, ya, tentu saja. Seragam dan tanda pengenal, hahaha.” Mendadak Jongin merasa bodoh sekali. “Bagaimana denganmu?”
Ada jeda sejenak sebelum gadis itu menjawab, “Di rumah. Orang tuaku mendatangkan guru ke rumah.”
“Oh.” Jongin bertanya-tanya apakah gadis itu mengidap penyakit serius ataukah mengalami hal buruk di sekolah, namun memutuskan untuk tidak menanyakan langsung. Lagipula Lynn mulai berayun dalam kresendo. Kemudian tak lama Jongin menyadari dirinya ikut berayun. Ada selaput keheningan yang menguasai tiap gerakan naik dan turun.
Lynn yang pertama kali bersuara untuk memecah keheningan, “Mengapa.”
“Eh?”
“Mengapa, kau pasti hendak bertanya mengapa aku tidak pergi ke sekolah umum seperti anak-anak lain,” tukas Lynn.
“Um, iya?”
Lagi-lagi gadis itu termenung sejenak sebelum berbicara, seolah memberi dirinya waktu untuk bernapas, “Yah, sebenarnya tidak ada alasan khusus. Aku hanya tidak suka sekolah, kurasa. Mengapa? Aku tidak tahu. Ini mirip seperti ketika orang bertanya padamu mengapa kau tidak mau makan pisang. Karena tidak suka baunya. Mengapa tidak suka bau pisang? Karena membuatmu mual. Mengapa bau pisang bisa membuatmu mual? Tidak tahu, pada akhirnya kau akan kembali pada ‘tidak tahu’ dan kau harus berpuas-puas pada jawaban itu…”
Kalimat gadis itu mengambang di udara dan Jongin pikir dirinya tersihir. Pada jeda tiap suku kata, kata, dan kalimat yang seolah berpola. Pada nada yang membuat gadis itu terdengar seakan-akan bicara pada dirinya sendiri, tapi tidak juga, Jongin juga merasa gadis itu memang berbicara padanya, hanya pada Jongin. Betapa suara gadis itu lirih namun mudah dibedakan dari hiruk-pikuk anak-anak kecil. Dan betapa Lynn tidak sekali pun menatap Jongin selama berbicara, melainkan menatap udara. Jongin toh hanya diam karena bingung harus menanggapi dengan apa. Ia membiarkan derit jelek ayunan mewakili kebisuannya.
Ketika Lynn meneruskan, Jongin menahan napas. “Kau tahu? Orang-orang selalu menuntut alasan-alasan. Mengapa begini? Mengapa demikian? Hanya saja…” Lynn mendesah, “tidak semua hal memiliki alasan.”
“Kau benar.” Jongin menyesal tidak mempunyai sahutan yang lebih cerdas. Salahkan saja bagaimana ia dan teman-temannya tidak pernah bercakap-cakap kecuali percakapan bodoh yang tidak membawa mereka ke mana-mana.
Tidak masalah, karena tiba-tiba Lynn sudah melompat dari ayunannya. Berkata pada Jongin dengan senyuman dan mata membentuk bulan sabit, “Matahari hampir terbenam. Aku pulang dulu. Dah, Jongin.” Lalu gadis itu melangkah ringan meninggalkan taman.
Jongin mengambil ranselnya dan berdiri. Langit sudah bergradasi dengan warna koral, oranye, dan oranye kemerahan. Ada suara tangisan, anak kecil berbaju merah jambu dibujuk ibunya supaya mau pulang. Jongin berpikir, ia benar-benar tidak mengerti Lynn. Tapi ia tidak tahu mengapa ia masih bertekad untuk datang kemari besok. Tidak semua hal memiliki alasankah?
Sore berikutnya, Jongin dan Lynn memerhatikan seorang anak laki-laki dimarahi ibunya setelah mengata-ngatai dan memukul anak laki-laki kecil lain.
“Kupikir anak itu manis,” kata Jongin. “Ia mengingatkanku pada masa laluku.”
Lynn menatap Jongin, menimbang-nimbang apakah Jongin bersungguh-sungguh atau tidak. “Aku mengerti,” katanya kalem setelah mengamat-amati penampilan Jongin yang tidak rapi. Tapi kemudian gadis itu tersenyum. “Sepertinya masa kinimu tidak jauh berbeda. Haha, aku bercanda.”
Kali ini Jongin tidak bisa menahan seringainya untuk muncul. “Tidak apa. Aku sudah terbiasa dicap sebagai anak nakal. Itu tidak begitu buruk.”
Senyum Lynn berubah, dari senyum bergurau menjadi senyum tipis menerawang. Sama seperti pandangan matanya yang mulai mengembara entah ke mana di langit. Jongin menunggu. Ini dia, pikirnya. Dan, ya, benar. Ini dia.
“Manusia membuat batas yang lucu antara benar dan tidak benar, hitam dan putih.”
Jongin menyukai cara Lynn menyebutkan ‘manusia’. Membuat gadis itu terdengar seperti dirinya tidak termasuk manusia namun sekaligus membuatnya tampak begitu manusiawi.
“Hal ini salah. Ya, begitu baru benar. Lalu kalau kau melakukan hal yang salah kau dibilang jahat. Sebaliknya, kau bisa dinilai baik. Seperti etiket di meja makan. Nah, nah. Jangan taruh pisau di situ―itu keliru! Letakkan garpu di sini. Ya―anak baik. Semuanya sudah diatur dan ditetapkan, baik atau buruk. Lalu kau harus mematuhinya.
Padahal kalau semuanya semuanya dipertemukan dengan teori relativitas maka batas antara hitam dan putih itu tidak berlaku lagi. Seperti berbohong dan berterus terang. Kau diajarkan untuk tidak berbohong sejak kecil. Tapi… ‘Hei, bagaimana masakanku?’ ‘Hahaha, enak, kok. Kau hanya perlu menambahkan sedikit garam.’ Sekarang orang-orang bingung sendiri pada aturan yang dibuatnya. Berbohong itu keliru. Tapi, hei, bagaimana dengan berbohong untuk kebaikan?”
Selagi tubuh Jongin bergerak naik turun di ayunan kuningnya, pikirannya ikut berayun-ayun dalam kata-kata Lynn.
“Oh, ya! Dan menguping!” lanjut Lynn tiba-tiba, membuat Jongin menyeringai lagi.
“Kau berpikir kalau menguping itu bisa jadi hal yang benar?” tanya Jongin kemudian.
Lynn mengernyit. Nah, ia termenung lagi sebelum menjawab dengan nada yang berada di tengah-tengah ragu dan tegas, “Abu-abu. Aku percaya di antara hitam dan putih ada daerah kelabu. Di mana kau tidak bisa menghakimi dengan pasti.”
Tidak pasti juga bagaimana mereka mengakhiri percakapan sore mereka. Yang jelas ketika langit sudah terlampau oranye dan hampir semua anak-anak dibawa pulang ibu mereka, Lynn akan melompat dari ayunan yang didudukinya dan berkata, “Sudah hampir gelap. Aku pulang dulu.”
Jongin berdiri setelah mengambil onggokan tas ranselnya di tanah, mengangguk singkat pada Lynn.
Lalu gadis itu akan berjalan menjauhi Jongin dengan langkah-langkah seringan bulu. Tapi belum sampai di gerbang taman, Lynn berbalik. “Sampai jumpa besok?” katanya, tersenyum sementara pipinya kemerah-merahan.
“Ya, sampai jumpa besok,” balas Jongin.
Kau bisa melihat Jongin berjalan pulang dengan semangat, sedikit terlalu semangat.
―–―
“Kebebasan, Jongin! Katakan, kau percaya pada kebebasan?” kata Lynn suatu sore yang terasa tidak begitu berbeda.
Ayunan gadis itu sedang berada di titik tertinggi ketika ia berbicara. Gerakan maju, bukan mundur. Lynn berayun cepat. Dan Lynn mendorong tubuhnya ke depan sementara tangannya berpegangan erat. Bibirnya tersenyum lebar sekali. Dengan efek rambut yang berkibar-kibar seperti itu, Jongin berpikir pastilah seperti ini definisi dari ‘kebebasan’. Kalau gadis itu punya sepasang sayap di punggungnya, Jongin yakin Lynn akan terbang, terbang, terbang…
“Ya…” Jongin menggumam tanpa sadar, “dan tidak.”
“Nyatanya kebebasan mutlak itu tidak ada bagaimana pun orang-orang mengusahakannya. Utopis―kebebasan itu!”
“Maksudmu seperti setiap orang yang memiliki hak juga masih memiliki kewajiban?” sahut Jongin.
Sudah banyak sore yang Jongin habiskan bersama Lynn di taman ini. Berdampingan di ayunan. Biasanya Lynn berayun kencang sementara Jongin berayun malas. Dan mereka akan membicarakan banyak hal. Topik-topik aneh bermunculan di obrolan sok tahu khas muda-mudi yang bertumbuh. Jongin sudah terbiasa untuk menimpali, membagi pendapat-pendapatnya meski tetap saja Lynn yang lebih banyak bicara dan Jongin akan mendengarkan, atau mengamati wajah Lynn dari samping.
“Ya, benar. Ditambah lagi hakmu masih harus dibatasi dengan hak-hak orang lain.”
“Kau tidak bisa bebas mengambil harta orang. Kau harus mengesampingkan hakmu untuk bertahan hidup demi memenuhi hak kepemilikan orang itu,” canda Jongin.
Lynn tertawa, dan Jongin heran mengapa tawa gadis itu juga selirih suaranya. Tapi Jongin tidak peduli, tidak peduli juga pada hak-hak lain selain haknya untuk terus bersama dengan gadis itu. Selama ia berada di sana, di ayunan kuningnya, dan gadis itu berada di sana, di ayunan merahnya, Jongin sudah merasa bebas. Bebas sekali.
Sekali waktu, ketika langit merona oranye kemerahan dan taman hampir kosong namun sorak-sorai anak-anak yang baru meninggalkan taman masih terdengar dari pinggir jalan, Jongin yang terlebih dahulu melompat turun dari ayunannya.
“Malam sudah hampir tiba. Ayo kuantar pulang,” kata Jongin, menunduk, berpura-pura sibuk dengan ranselnya biar Lynn tidak bisa menyadari kalau pipi Jongin juga merona hampir sama merahnya dengan langit sore.
Lynn akan menyembunyikan kikik geli karena ia sebenarnya menyadari. Kemudian mereka berdua berjalan berdampingan. Lynn melangkah ringan, dan Jongin menyembunyikan semangatnya yang sedikit terlalu berapi-api. Sepanjang perjalanan ke rumah Lynn, tidak ada percakapan. Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Lynn, Jongin akan menyeringai lebar sekali.
Suatu saat tidak ada lagi hal yang cukup penting untuk dibicarakan. Mereka hanya berayun-ayun pelan sambil mengamati anak-anak bermain. Tidak juga. Seringnya Lynn tidak melihat ke mana pun, melainkan dunianya sendiri. Sedangkan Jongin lebih sering mengamati tampak samping wajah Lynn. Lalu Jongin mendapati tangannya meraih tangan Lynn ketika ayunan mereka berhenti berayun. Jemari saling menekan punggung tangan dan menyalurkan perasaan hangat yang tidak bisa diterjemahkan dengan obrolan seberat apa.
“Aku menyukaimu,” kata Jongin.
“Mengapa?” sahut Lynn tenang.
“Aku tidak tahu. Katamu tidak semua hal memiliki alasan.”
Lynn tertawa kecil sambil menatap Jongin dan Jongin pikir jantungnya berhenti berdetak sesaat.
“Apakah itu buruk?” lanjut Jongin.
“Kurasa jawabannya ada di suatu tempat di zona abu-abu,” jawab Lynn.
Giliran Jongin yang tertawa.
“Setelah ini kau benar-benar tidak akan bisa bebas―dariku.”
“Kau juga.”
Dan ketika langit semakin oranye, anak-anak diseret ibu mereka pulang, Jongin dan Lynn tidak beranjak. Tidak sekarang, nanti saja, barangkali.
–
Admin’s note: So sorry we just publish it now and without poster. We still can’t access our email. Please always support us. Thank you.
