Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Who Am I?

$
0
0

Who Am I?

wpid-who-am-i-request-kxanoppa

“WHO AM I”

author : kxanoppa || genre : mistery, bromance, angst || casts : Kim Joonmyeon and 2 other members of EXO (find it yourself) || rating : G || length : oneshot

A/N :ini murni hasil pemikiranku. meskipun masih jauh dari sempurna, mohon dihargai. NO BASH, NO COPY!!tolong jangan cari masalah sama saya ya, wkwkwk. maaf kalo banyak kesalahan kata, dsb. ini juga akan di post di blog-ku, kalo sempat mampir ya. aku juga mau berterimakasih banyak buat EL, my sister yang udah bantu di pembuatan trailer clip. juga Jungryu14 buat posternya yang kece badai J

summary :

Joonmyeon dan Suho. Selalu ada alasan di balik pemberian sebuah nama. Alasan yang tidak pernah terpikirkan sama sekali sebelumnya, yang justru mengantarkannya pada sebuah misteri kisah lama. Akankah misteri itu berhasil terpecahkan?

*****

STORY-LINE

Seorang pria dengan pakaian rapi tampak setengah berlari dengan tas berisikan beberapa dokumen dan sebuah payung di kedua genggaman tangannya. Derap langkahnya yang besar karena terburu-buru menghasilkan bunyi percikan air yang cukup nyaring dari genangan-genangan yang sudah terbentuk di aspal. Pagi itu hujan turun dengan kapasitas yang cukup banyak meskipun tidak deras. Namun itu sama sekali tidak menyurutkan semangatnya untuk menjalani kewajibannya sebagai salah seorang guru di sekolah menengah atas. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja, yang berarti juga hari ini adalah hari pertamanya akan mengajar di depan kelas dan bertemu dengan para murid di sekolah itu.

“Annyeong-haseyo,” ucapnya ramah di hadapan seluruh murid kelasnya. “Kalian pasti merasa asing denganku, jadi aku akan memperkenalkan diri lebih dulu,” lanjutnya sebelum berbalik ke arah papan tulis dan menuliskan 2 suku kata dari namanya di sana. Ia berbalik lagi menghadap muridnya yang sudah memasang wajah bertanya-tanya sekaligus penasaran. Bahkan tak sedikit murid perempuan di kelas itu yang terpesona akan senyum malaikat dan wajah tampan sang guru yang masih muda itu. “Namaku Suho. Mulai hari ini, aku yang akan mengajar pelajaran matematika di sekolah ini,” jelasnya dengan senyum malaikat yang terus tersungging. Terdengar keriuhan dari beberapa siswi yang mulai berbisik membicarakan betapa tampannya guru baru mereka. Beberapa dari mereka bahkan ada yang memberanikan diri untuk sekedar bertanya hal-hal di luar konteks mata pelajarannya.

“Apakah kau memiliki yeoja-chingu? Atau—apakah kau sudah menikah?”

Sonsaengnim, boleh aku tahu nomormu?”

“Dimana kau tinggal?”

“Boleh aku tahu usiamu, saem?”

Suho hanya terkekeh, dan menanggapi semua pertanyaan itu dengan senyumnya yang menawan hingga membuat para siswi itu semakin penasaran.

“Bisakah kalian simpan dulu semua pertanyaan itu? Sekarang lebih baik kita mulai pelajarannya. Kalau kalian bisa mendapatkan nilai sempurna di ujian pertama semester ini, aku akan menjawab pertanyaan kalian,” ucap Suho final, membuat para siswi yang tadinya antusias kini mendengus kecewa karena merasa tidak yakin dengan nilai mereka. Suho lagi-lagi hanya terkekeh, sebelum melanjutkan, “Karena itu, belajarlah dengan baik dan perhatikan selama aku mengajar,”

*****

Suho baru saja menyelesaikan tugas mengajar pertamanya hari itu dan hatinya begitu lega melihat reaksi para muridnya yang begitu lucu dan menyenangkan. Hari pertamanya bekerja berjalan dengan baik, menurutnya. Setibanya di ruang guru, beberapa guru dan staf lainnya sudah berkumpul. Bahkan kepala sekolah sendiri juga sudah menunggunya di sana.

“Kau sudah bekerja dengan baik hari ini, Suho-ssi,” ucap kepala sekolah.

“Ah, ne. Gamsahamnida,” balas Suho seraya membungkuk.

“Seperti yang kalian semua tahu, bahwa mulai hari ini, Suho akan menjadi guru tetap di mata pelajaran matematika. Aku harap kita semua bisa bekerja sama dengan baik. Jadi, mari kita beri sambutan yang hangat untuknya,” jelas kepala sekolah kepada semua guru dan staf; memperkenalkan Suho. Suho yang mendengar itu pun segera membungkuk berterimakasih saat para guru dan staf lainnya mulai bertepuk tangan menyambutnya. “Gamsahamnida. Mohon bimbingan kalian semua. Aku mengandalkan kalian,” ucapnya ramah sebelum para guru dan staf tersebut mulai memperkenalkan diri mereka satu per satu pada Suho.

Suho tengah merapikan meja kerjanya; meletakkan dokumen-dokumen penting miliknya, kalender, dan beberapa foto di atas mejanya ketika tiba-tiba sesuatu terbersit dalam ingatannya dan membuat tubuhnya mulai terasa aneh dengan keringat dingin yang keluar. Dengan cepat dan hati-hati, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Beberapa butiran berwarna pucat ia masukkan ke dalam kerongkongannya untuk meredakan kegelisahannya.

“Suho-ssi!” seorang pria dengan pakaian tak kalah rapi dan wajah imut menyapa-nya.

“Oh, Minseok-ssi,” balas Suho. Kim Minseok adalah rekan sesama guru di sekolah itu yang mengajar mata pelajaran seni musik.

“Apa kau ada waktu malam ini?” tanya Minseok tiba-tiba yang membuat Suho menatapnya curiga. “Whoa, santai bung. Aku ini pria normal, tahu!” tambah Minseok cepat seakan tahu apa arti tatapan yang Suho berikan padanya. “Aku pikir tidak ada salahnya jika kita mampir untuk minum bersama, aku punya tempat favorit di dekat sini,” jelasnya. “Sebagai teman baru yang baik, aku akan mentraktirmu,” ucapnya sambil menepuk pundak Suho.

Jeongmalyo? Wah, kalau begitu dengan senang hati, hyung!” balas Suho sumringah.

*****

1 bulan berlalu. Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat. Suho semakin menunjukkan kinerja yang baik di sekolah itu dan semua orang di sekolah menghormati dan menyukainya. Ia bahkan menjadi salah satu guru favorit di sekolah itu, selain Kim Minseok tentunya. Hubungan pertemanannya dengan Minseok bahkan terjalin semakin erat sejak mereka memutuskan untuk pergi minum bersama di sebuah kedai favorit Minseok sepulang mengajar.

Tapi siapa yang menyangka, bahwa di balik karamahan dan senyumnya yang cerah, ia adalah seorang yang mengalami ketergantungan pada jenis obat-obatan anti depresi. Dibesarkan sebagai anak tunggal di tengah-tengah keluarga yang harmonis, dengan ayahnya yang memiliki jabatan penting di kepolisian dan ibunya yang juga seorang pengajar di sebuah universitas ternama di Seoul seharusnya menjadikannya salah satu orang yang paling beruntung. Namun entah mengapa, Suho masih sering merasa gelisah, tidak tenang, dan tertekan tanpa alasan yang jelas; bahkan ia sendiri tidak bisa menjelaskannya. Semua hal itu bahkan bisa ia alami sewaktu-waktu hingga mengharuskannya selalu menyediakan obat-obatan penenang.

Malam itu, Suho bekerja lembur di apartemennya untuk memeriksa hasil tes harian para muridnya. Ia terus berkutat dengan berkas-berkas ujian itu hingga larut dan ia memutuskan untuk segera tidur saat dirasanya lehernya mulai kaku dan tubuhnya berat karena lelah. Ia berusaha untuk terus memejamkan matanya karena ia juga salah seorang pengidap insomnia. Hingga beberapa waktu kemudian ia berhasil terlelap dalam alam bawah sadarnya. Semakin dalam dan gelap.

Suho berjalan sendirian di sebuah jalan sempit dan sepi yang hanya diterangi oleh lampu-lampu jalanan yang remang. Ia berjalan dengan penuh kecemasan dan rasa takut, sembari menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri; memastikan jika ada orang lain selain dirinya yang berada di tempat itu. Langkahnya terhenti ketika didengarnya sebuah suara yang seolah memanggilnya; meskipun ia sendiri tidak begitu yakin.

Hyung, kenapa kau begitu lama?” tampak siluet seorang laki-laki dengan usia yang ia pikir lebih muda darinya, berdiri cukup jauh dihadapannya hingga ia tak bisa melihat seperti apa rupa laki-laki itu. Suho melanjutkan langkahnya, berusaha mencapai laki-laki itu. Mulai dari berjalan biasa hingga berlari; ia sudah begitu lelah dengan langkahnya dan peluh sudah membasahi kulitnya. Namun tak sedikitpun jarak antara dirinya dan laki-laki misterius itu berkurang. Ia merasa perjalanannya sia-sia karena ia akan tetap berdiri di tempat yang sama, dan laki-laki itu masih jauh di hadapannya.

Hyung, hari ini kita akan main apa?” suara orang itu mulai terdengar lagi, membuat Suho seketika merasa gelisah, takut, bahkan sedih di saat bersamaan. “Siapa di sana?” tanya Suho yang tak kunjung mendapat jawaban. “Hei, siapa itu?” tanya-nya sekali lagi dan laki-laki itu masih terdiam. Suho mencoba untuk melangkah lagi. Lebih cepat dan semakin cepat, namun kemudian ia merasa bahwa seberapa keras ia mencoba untuk berlari, laki-laki itu akan semakin menjauh.

“Hei, tunggu! Apa maksudmu?” seru Suho di sela langkah kakinya. Ia terus berlari tak peduli jika kakinya sudah seperti mati rasa. Hingga satu per satu penerangan yang ada di jalanan itu padam dan meninggalkan Suho bersama kegelapan. Semuanya menjadi hitam, seiring dengan menghilangnya sosok laki-laki misterius itu. Suho merasakan jantungnya sudah bekerja keras; memompa darah dengan kecepatan yang tak biasa. Tubuhnya lemas dengan peluh yang sudah bercucuran. Perasaannya tak menentu dan ia merasa dunianya tengah berputar. Ia merasa seperti ia benar-benar tersesat.

Suho terbangun dengan posisi duduk. Jantungnya masih berdebar keras dengan keringat dingin di sekujur tubuhnya. Mimpi itu bukan yang pertama kalinya ia alami. Meskipun begitu, ia masih tidak mengerti apa maksud dari mimpi anehnya itu yang seakan menghantuinya. Dengan gerakan cepat ia meraih tube obat penenangnya dari nakas di samping tempat tidur dan meneguk beberapa pil tanpa bantuan air. Ia mengusap wajahnya dan menghela napas dengan susah payah.

*****

Keesokan harinya Suho ijin untuk absen dari kegiatan mengajarnya karena alasan kesehatannya. Ia tidak dalam keadaan yang baik untuk bekerja dan ia butuh waktu untuk menenangkan pikirannya. Bayangan sosok laki-laki itu terus melintas dalam benaknya hingga ia memutuskan untuk menuliskannya ke dalam buku jurnalnya. Sore harinya, seseorang datang bertamu ke apartemennya. Ternyata itu Minseok yang baru saja selesai dari tugas mengajarnya dan datang dengan beberapa kantong belanjaan berisikan bahan makanan dalam genggamannya.

“Apa yang terjadi?” tanya Minseok seraya meletakkan semua bahan makanan itu di dapur. “Kau tahu? Semua murid perempuan begitu lesu saat tahu kau tidak mengajar hari ini,” tambahnya melebih-lebihkan, membuat Suho sempat terkekeh sebentar. “Ani—aku hanya begitu lelah setelah lembur memeriksa hasil ujian,” balas Suho sambil memijit tengkuknya pelan. “Perlu kuantar ke dokter?” tanya Minseok lagi. “Aniya. Nan gwenchana,” jawab Suho meyakinkan sahabatnya itu.

Geundae, apa kau bisa memasak?” tanya Suho yang melihat Minseok mulai sibuk dengan bahan makanan yang tadi dibawanya. Minseok melirik ke arah Suho sejenak sebelum berkata, “Kau meragukanku? Biar kutunjukkan padamu seberapa hebat kemampuanku dalam memasak,” Minseok terlihat penuh percaya diri ketika Suho hanya membalasnya dengan dengusan pelan.

Ottae?” tanya Minseok penasaran ketika Suho sudah mencicipi hasil masakannya dengan ekspresi yang sulit di tebak. Suho menatap Minseok dalam diam; tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya menjawab dengan senyum lebar, “Ini sungguh enak!” yang membuat Minseok terkekeh bangga sekaligus lega. “Jinjjayo?” Minseok ingin memastikan sekali lagi dan Suho mengangguk tanpa ragu. “Eoh! Ini sungguh enak, hyung! Sering-seringlah datang dan memasak untukku. Aku pasti akan sangat senang,” ujarnya sambil tertawa. “Yak! Kau pikir aku ini istrimu?” pekik Minseok yang memukulkan sumpitnya tepat ke kepala Suho. “Sudah kubilang kalau aku ini pria normal, tahu! Kau bukan penyuka sesama jenis kan?” tambah Minseok bertanya dengan ekspresi yang sarat akan kecemasan. Suho memanfaatkan kesempatan itu untuk memandangi Minseok dengan tatapan seduktifnya. “Yak!” pekik Minseok ngeri yang lagi-lagi memukulkan sumpitnya ke kepala Suho.

Suho sedang membereskan piring-piring bekas makan mereka, ketika Minseok justru menyibukkan dirinya dengan melihat-lihat sekeliling di dalam apartemen itu. “Apartemenmu rapi sekali. Tapi dengan apartemen yang seluas ini kenapa perabotannya hanya sedikit?” ucap Minseok penasaran. “Sebenarnya aku belum lama pindah ke sini. Sebelumnya aku tinggal bersama kedua orangtuaku di rumah kami yang ada di Daechi-dong,” balas Suho yang masih sibuk mencuci piring. Minseok mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti meskipun ia tahu Suho tak sedang melihatnya. Edaran pandangannya terhenti pada sebuah foto yang terpajang di meja dekat televisi. “Kau anak tunggal?” tanya Minseok lagi. Suho menoleh untuk memastikan keberadaan Minseok. “Eoh,” jawabnya mengiyakan.

“Kenapa kau menjadi seorang guru?” tanya Minseok ingin tahu, seolah hari itu ia tengah berperan sebagai seorang detektif yang menginterogasi seorang tersangka. “Hmm, entahlah. Aku hanya merasa ingin saja. Menjadi guru begitu menyenangkan bagiku. Lagipula, ibuku juga seorang dosen di universitas Seoul,” jelas Suho ketika mereka berdua sudah duduk berhadapan di ruang tengah apartemennya. “Benarkah kau sesenang itu untuk menjadi seorang guru?” tanya Minseok lagi yang membuat Suho mengernyitkan keningnya. “Apa maksudmu? Tentu saja aku senang. Menjadi guru sangat menyenangkan,” balasnya. “Entahlah,” ucap Minseok. “Kau tahu? Kesanpertamaku saat melihatmu adalah—‘bagaimana bisa kau selalu berusaha untuk tersenyum ketika wajahmu lebih menunjukkan kesedihan?’ (Minseok berpikir bahwa Suho memiliki wajah yang sedih meskipun ia suka tersenyum),” tambah Minseok yang membuat Suho semakin tak mengerti. “Maksudku—jika kau memiliki masalah atau apapun, mungkin kau bisa menceritakannya padaku. Mengkonsumsi obat-obatan seperti itu hanya membuatmu terlihat lebih menyedihkan,” ucapan Minseok begitu menyudutkan Suho. “Beberapa kali aku menemukanmu tengah meminum obat. Kuharap kau tidak mengalami ketergantungan atau apapun. Apa kau—punya penyakit?” tanya Minseok lagi dengan hati-hati. Suho terdiam sejenak sebelum akhirnya mengatakan bahwa ia tidak sakit dan meyakinkan Minseok bahwa ia baik-baik saja. “Aniya, hyung. Aku hanya—tidak bisa tidur dengan baik. Itu membuatku mudah merasa lelah dan aku harus minum banyak vitamin,”.

*****

Suho kini berada di sebuah rumah yang tampak asing baginya. Sebuah rumah yang tidak terlalu besar tetapi cukup nyaman untuk ditinggali. Segala perabotan tersusun rapi dan tertangkap dalam penglihatannya beberapa kumpulan mainan anak-anak, khususnya anak laki-laki. Ia tengah berusaha mencerna apa yang terjadi dan dimana ia berada saat itu, ketika tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki yang menginterupsi segala pemikirannya.

“Hai, hyung!” sapa laki-laki misterius itu dengan suara nyaring tanpa menunjukkan wujudnya. Suho tergerak untuk menyusuri setiap ruang dalam rumah itu, untuk menemukan sang pemilik suara. “Hyung!” suara itu memanggilnya lagi dari arah yang berbeda dari sebelumnya, membuat Suho harus berputar-putar memasuki ruang yang sama berulangkali. “Hyung! Lama tidak bertemu. Tidakkah kau merindukanku?” tanya laki-laki itu lagi yang tak kunjung menampakkan diri. “Hyung! Joonmyeon hyung!” seruan terakhir orang itu membuat Suho terhenyak; nama yang disebutkan laki-laki itu bukanlah namanya. Lalu siapa laki-laki itu, dan apa hubungan laki-laki itu dengannya?“Hyung! Kenapa kau melakukannya?” Suho merasakan kepalanya berat dan semakin berat. Ia berusaha meraih apapun di sekitarnya sebagai pegangannya untuk bertahan, namun akhirnya ia menyerah dan jatuh berlutut sambil memegangi kepalanya yang begitu berat. Tak lama terdengar suara sesuatu yang menggelinding di bawahnya dan tepat mengarah padanya. Sebuah pensil warna biru laut. Dengan sisa tenaganya ia meraih pensil warna itu, bersamaan dengan suara laki-laki itu yang memanggil lagi, “Joonmyeon hyung!” sebelum semuanya berubah menjadi gelap dalam pandangan Suho.

Suho membuka kedua matanya dengan rasa terkejut luar biasa. Mimpi aneh itu lagi, dan laki-laki misterius itu lagi. Jantungnya tengah memompa darah tak stabil dengan keringat dingin yang sudah membasahi tubuhnya. Seperti biasa, ia akan langsung meraih obat penenangnya dan meneguknya dengan cepat. Setelah di rasa detak jantung dan napasnya mulai stabil, ia beranjak menuju meja kerjanya; mencari buku jurnalnya dan menuliskan sesuatu di sana.

Suho mencoba mencerna kembali dan merenungkan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Mimpi buruk itu terus mengganggunya; menghantuinya dan membuatnya takut. Semakin ia mengingat-ingat kejadian dalam mimpinya, kepalanya akan terasa sakit dan ia benar-benar tak mengerti apa yang terjadi. Suho menuliskan segala mimpi aneh itu dalam buku jurnalnya, dengan harapan hal itu akan mampu mengurangi beban pikiran dan kekalutannya. Sesekali kegiatan menulisnya itu terhenti, dan di saat itu juga Suho bisa melihat dengan jelas bahwa sudah ada banyak bekas luka sayatan di tangan kanannya. Hal pertama yang melintas dalam benaknya adalah, bahwa ia tidak ingat apapun mengenai penyebab semua bekas luka itu.

Saat itu masih dini hari. Suho tahu bahwa sangat tidak etis jika ia menghubungi seseorang di jam-jam itu, sekalipun itu adalah sahabatnya sendiri. Namun keadaan memaksanya untuk segera menghubungi Minseok. Ia pikir tidak ada salahnya jika ia menceritakan yang sebenarnya pada Minseok. Bunyi nada sambung panggilan telepon telah terdengar jelas dalam telinga Suho ketika ia sudah menempelkan ponselnya dengan nomor Minseok sebagai tujuannya.

Yoboseyo—Minseok hyung,” sapa Suho hati-hati, karena ia sadar telah mengganggu waktu istirahat orang lain. “Eoh, Suho-ya. Kenapa kau menelpon selarut ini?” balas Minseok dengan suara yang sangat jelas hingga membuat Suho cukup tertegun. “Hyung, kau belum tidur?” tanya Suho memastikan. “Eoh. Aku baru saja selesai mengoreksi tugas-tugas muridku, dan sekarang aku menonton pertandingan sepak bola,” jelasnya. “Ada apa, Suho-ya?” tanya Minseok kemudian.

Hyung, kurasa—aku memang perlu untuk pergi ke dokter,” ucap Suho. “Kau sakit?” tanya Minseok cepat dengan nada khawatir. “Entahlah, aku hanya merasa tidak nyaman. Perasaanku selalu gelisah dan aku mengalami gangguan tidur akhir-akhir ini,” jelas Suho. Tidak terdengar balasan apapun dari Minseok, hingga tiba-tiba justru suara berisik dari benda yang berjatuhan-lah yang tertangkap telinga Suho. “Hyung? Kau masih di sana? Kau mendengarku?” tanya Suho bertubi-tubi karena pada saat itu juga, perasaan gelisah itu datang lagi dan membuat Suho begitu tak tenang. “Yak, siapa itu?!” Suho bisa mendengar Minseok yang memekik cukup nyaring dari sebrang teleponnya, seakan ada orang asing yang datang dan berada di rumahnya saat itu. Suho semakin tak tenang. Ia merasa ada yang tidak beres sedang terjadi di rumah sahabatnya. “Hyung?” panggil Suho lagi, namun masih tak ada jawaban. Terdengar suara-suara berisik yang begitu gaduh dari tempat Minseok. “Hyung! Kau mendengarku? Apa yang terjadi?” Suho terus berusaha mendapatkan jawaban dari Minseok, namun nihil. Hingga akhirnya ia menyerah saat terdengar suara ponsel Minseok yang tiba-tiba terjatuh dan memutuskan sambungan di antara keduanya. Dengan perasaan yang masih panik, Suho berusaha untuk berpikir positif. Namun usaha itu tidak berhasil dengan baik. Suho segera meraih mantelnya dan menghambur keluar dari apartemennya untuk menuju ke rumah Minseok; memastikan apa yang sebenarnya terjadi di sana. Tidak ingin sesuatu yang lebih buruk dari perkiraannya terjadi, ia mencoba menghubungi nomor ayahnya yang seorang polisi untuk meminta bantuan; untuk berjaga-jaga, mengikuti feelingnya yang merasa yakin bahwa Minseok dalam bahaya.

‘Maaf. Nomor yang anda tuju sedang sibuk, atau berada di luar area. Silahkan hubungi kembali beberapa saat lagi—’

Suho mengerang frustrasi di sela langkahnya yang cepat, setelah beberapa kali gagal untuk menghubungi ayahnya. Ia bernapas dengan susah payah karena lelah berlari, dan ia masih belum putus asa untuk menghubungi ayahnya.

‘Maaf. Nomor yang anda tuju sedang sibuk, atau berada di luar area. Silahkan hubungi kembali beberapa saat lagi. Atau tinggalkan pesan setelah bunyi beep berikut ini.’

Abeoji! Tolong—kirim beberapa orang polisi untuk datang ke suatu tempat sekarang juga—“ seru Suho cepat melalui sambungan voice box, setelah ayahnya tak kunjung menerima panggilannya. “—Kupikir sesuatu telah terjadi di komplek Sulwhasoong!” tambahnya. Ia hanya bisa berharap bahwa ayahnya akan segera mengaktifkan ponselnya dan mendapatkan pesan suara itu.

Sesampainya di rumah Minseok, Suho menemukan pagar rumah itu yang sudah terbuka. Suho melangkah masuk perlahan dengan sangat hati-hati. Di dalam begitu gelap. Lampu rumah Minseok tidak dinyalakan, namun berisik suara televisi masih terdengar dan menggema sampai ke ruang tamu. Suho tersandung sesuatu di dalam ruangan berpenerangan minim itu, kemudian segera menyadari bahwa ruangan itu telah kacau berantakan dengan segala perabotannya yang berjatuhan. Suho begitu panik dan meneguk beberapa pil penenangnya sebelum melanjutkan langkahnya.

Suho telah sampai ke ruang tengah dimana televisi itu masih menyala bahkan dalam keadaan terbalik. Rumah Minseok benar-benar kacau, dan Suho yakin sesuatu telah terjadi. Tidak lama kemudian terdengar suara berdebam, seperti suara orang yang berkelahi dan saling memukul. Suho berjalan menuju sumber suara dan menemukannya dari arah sebuah ruangan yang ia yakini adalah kamar Minseok. Suho membawa sebuah vas dari ruang tamu Minseok sebagai senjatanya untuk berjaga-jaga sebelum akhirnya membuka ruangan itu dan menemukan 2 orang asing berpakaian hitam tengah berusaha mencelakai Minseok; di depan matanya.

Hyung!” seru Suho panik. “Suho-ya!” Salah seorang dari penjahat itu telah mengunci pergerakan Minseok dan menodongkan sebuah pistol tepat di kepalanya, ketika seorang yang lainnya sibuk menggeledah barang-barang Minseok; mencari barang berharga yang bisa ia bawa. Suho melihat pemandangan itu dengan pandangan yang mengabur, keringat dingin kembali membasahi tubuhnya dan ia merasa kakinya begitu lemas. Ia seolah berada di ujung tanduk; antara hidup dan mati; tidak tahu harus berbuat apa.

“Jika kau berani mendekat, maka temanmu akan mati,” ancam penjahat itu yang membuat Suho seakan sudah siap untuk mati kapanpun. “T-Tunggu,” ucap Suho pada akhirnya meski dengan suara serak ketakutan. “Jangan lukai temanku, k-kalian bisa—mengambil apapun yang kalian mau. Aku—tidak akan menghubungi polisi atau apapun,” tambahnya dengan jantung yang seolah akan lepas kapan saja. Suho meneguk salivanya susah payah. Tubuhnya bergetar, sekaligus membeku di tempat. Penjahat itu tampak terpengaruh dengan perkataan Suho ketika ia mulai menurunkan pistolnya perlahan dan bergerak mendekati temannya untuk ikut menggeledah barang. Suho memanfaatkan kesempatan itu untuk mendekati Minseok dan menyelamatkannya. Minseok melihat vas bunga yang Suho bawa. Ia mengambilnya dan memukulkannya pada penjahat-penjahat itu hingga kepala mereka bocor. Pistol dalam genggaman salah seorang penjahat itu terjatuh tepat di depan kaki Suho dan membuat Suho semakin membeku. Ia tak ingat kapan terakhir kali ia melihat bahkan menyentuh benda itu, meskipun ayahnya sendiri adalah seorang polisi yang pasti memilikinya juga.

“Suho-ya!” Pekikan Minseok kembali menyadarkannya. Ia bisa melihat 1 penjahat sudah tak sadarkan diri dan 1 yang lainnya kini berusaha mencekik Minseok dan menorehkan pecahan vas bunga ke leher Minseok. Suho benar-benar panik hingga ia tidak bisa berpikir tentang apapun yang terbaik. Ia memungut pistol itu cepat dan mengarahkannya pada penjahat itu. Di saat Suho hendak menarik pelatuk dari pistol itu, bayangan anak laki-laki yang muncul dalam mimpinya tiba-tiba kembali terlintas dalam benaknya.

 

“Hyung! Hari ini kita main apa?”

“Hyung! Joonmyeon hyung!”

“—Kenapa kau melakukannya?”

—Tidakkah kau merindukanku?

 

“Suho-ya!” Pekikan Minseok sekali lagi menyadarkannya. Keringat dingin mengucur deras dari kedua pelipisnya. Suho memejamkan matanya dan tanpa sadar tangannya sudah tergerak begitu saja untuk menarik pelatuk pistol. Suara tembakan terdengar begitu nyaring; menggema di seluruh penjuru rumah Minseok. Pistol itu berhasil memuntahkan sebuah peluru yang tepat mengarah ke dada pria berpakaian serba hitam itu hingga membuat pria itu limbung tak bernyawa. Tangan Suho bergetar hebat. Ia menjatuhkan pistol itu begitu saja. Pandangannya semakin mengabur, kepalanya semakin berat, dan dadanya semakin sesak seiring dengan debaran jantungnya yang tak stabil. Saat itu juga, Suho melihat dunianya mulai berputar sebelum akhirnya semua berubah menjadi gelap dan semakin gelap.

*****

Tim kepolisian bersama dengan ayah Suho; tuan Kim, datang beberapa saat setelah kejadian itu. Saat itu juga—Minseok dan Suho—keduanya di bawa ke rumah sakit karena Suho yang tak sadarkan diri dan Minseok yang terluka.

Di alam bawah sadarnya, Suho kembali mendapatkan mimpi aneh yang sama untuk kesekiankalinya.

Suho berada di rumah yang sama dengan mimpinya yang sebelumnya. Dimana perabotannya tertata dan tersusun rapi, dengan banyak mainan anak laki-laki yang terkumpul di sudut ruangan. Seorang anak laki-laki dengan usia sekitar 6 tahun tampak berjalan ke ruangan yang sama, dimana Suho tengah berdiri bagaikan seorang invisible man. “Hyung! Kenapa kau begitu lama?” tanya seorang anak lain dengan suara tak asing, yang tiba-tiba menyusul anak pertama dan menunjukkan dirinya. Mata Suho terbelalak saat melihatnya. Perasaannya tiba-tiba menjadi aneh, tanpa alasan yang jelas. Seperti perasaan menyesal. “Hyung! Hari ini kita akan main apa?” tanya anak itu lagi kepada anak pertama—hyungnya. Semua pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sama dengan yang Suho dengar dalam mimpi-mimpi sebelumnya.

“Berhentilah bertanya, Jongin-ah! Kau membuatku bingung saja!” balas anak pertama yang tampak kesal sambil terus mengaduk-aduk kotak mainannya. “Aku tidak menemukan permainan yang menarik lagi di sini. Bagaimana kalau kita ke ruang kerja appa saja?” ajaknya. “Andwae, hyung. Kata appa kita tidak boleh masuk ke sana,” jawab anak kedua yang bernama Jongin itu dengan cara bicaranya yang masih begitu lucu. “Gwenchana. Kau tidak percaya padaku?” ucap anak pertama yang masih berusaha membujuk adiknya untuk masuk ke ruang kerja appa mereka.

Pemandangan di hadapannya saat itu bagaikan sebuah film hitam putih yang tengah dimainkan. Suho terus menyaksikannya dalam diam dan mengikuti kemanapun anak-anak itu pergi. Mereka benar-benar mengabaikan peringatan appa mereka untuk tidak masuk ke dalam ruang kerjanya. Tanpa pengawasan dari kedua orangtua mereka, mereka kini telah berjalan menuju meja kerja appa mereka. Dari dalam laci meja kerja itu, anak pertama menemukan sebuah benda berwarna hitam yang tampak begitu menarik dan keren. Ia pun mengambilnya dan berniat menunjukkannya pada adiknya. “Jongin-ah, lihat apa yang kutemukan! Appamenyembunyikan benda keren ini dari kita!” seru anak pertama antusias. Jongin—sang adik, yang mendengarnya pun ikut antusias dan penasaran. Ia mendekati hyungnya dan memperhatikan benda itu dengan ekspresi kagum. “Bisakah kita memainkannya, hyung?” tanya Jongin polos. Hyungnya tidak merespon dan terus asik memandangi benda hitam dalam genggamannya. “Hyung! Joonmyeon hyung!” Jongin merengek; berusaha menyadarkan hyungnya dan mengalihkan perhatian hyungnya dari benda itu. “Joonmyeon hyung!” rengeknya lagi hingga membuat hyungnya jengah dan mendorong Jongin hingga terjatuh. “Berhenti merengek! Kau berisik!” seru hyungnya kesal. Jongin bangkit dan mendekati hyungnya untuk merebut benda itu dari tangan hyungnya. Mereka terus berebut hingga tiba-tiba, tanpa di duga oleh siapapun, suara tembakan yang begitu nyaring terdengar di seluruh penjuru rumah mereka dan hal itu membuat kedua orangtua mereka yang tadinya sibuk dengan kegiatan masing-masing menjadi begitu panik dan segera berlari menuju sumber suara.

“Joonmyeon-ah! Jongin-ah!” Suho bisa melihat dengan jelas semua kejadian itu, bahkan ketika seorang pria dan wanita dewasa itu muncul dan seakan ‘menamparnya’, memaksanya untuk menggali kembali segala ingatannya. Itu adalah kedua orangtuanya—tuan dan nyonya Kim. Tubuh Suho langsung lemas seketika dan airmatanya menetes di luar kontrolnya. Semua itu bagaikan sebuah dokumentasi film sekaligus penglihatan yang paling menyedihkan dan menyakitkan.

“Apa yang kau lakukan?!” nyonya Kim memekik dan menangis keras; ia menjerit. Ia mendekati Jongin yang sudah tergeletak bersimbah darah. Seorang anak kecil tak berdosa harus terluka parah; di tangan hyungnya sendiri. Tuan Kim merebut pistol dari genggaman Joonmyeon dan menampar keras pipi anak itu. “Bagaimana bisa kau menembak adikmu sendiri?!” Joonmyeon hanya mendengarkan dalam diam dengan kepala tertunduk. Tangannya bergetar hebat dan airmatanya turun begitu saja. Ia kehilangan kata-kata, seakan ia menjadi bisu mendadak menyaksikan adiknya yang tergeletak begitu saja dan mengeluarkan darah. Ia hanya tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Telinganya seakan tertutup dari segala bentuk keributan yang dihasilkan dari ayah dan ibunya. Hanya suara tembakan pistol yang terekam jelas dan terus berdengung memenuhi kepalanya.

Nyawa Jongin tidak tertolong. Jongin telah kehabisan banyak darah dalam perjalanannya menuju ke rumah sakit. Kedua orangtuanya begitu terpukul dan sulit untuk memaafkan Joonmyeon begitu saja. Bagaimanapun Joonmyeon sudah gagal untuk menjaga adiknya dan bahkan, ia sudah membunuh adik kandungnya sendiri.

“Jongin sudah tidak ada,” ucap ayahnya susah payah. “Kau membunuhnya,” tambahnya tanpa pikir panjang, yang membuat Joonmyeon semakin tertekan karena rasa bersalah. Perkataan ayahnya terus terpatri dalam benaknya hingga membuatnya begitu kacau.

 

“Kau pembunuh,”

“Kau pembunuh,”

“Kau pembunuh,”

 

“Aku—pembunuh,” gumam Joonmyeon pada dirinya sendiri, dengan pandangan menerawang yang tidak fokus karena tertekan.

*****

FLASHBACK

“Dia masih terlalu muda untuk menghadapi hal seberat ini,” ucap seorang pria paruh baya dengan jas putih yang melapisi kemeja abu-abunya.

“Apa yang harus kami lakukan sekarang? Ia tidak berbicara lagi sejak kejadian itu. Ia hanya mengurung diri di kamarnya dan berusaha melukai dirinya sendiri, tak peduli seberapa keras kami mencoba untuk memperingatkannya,” nyonya Kim ikut bersuara dengan airmata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.

“Satu-satunya cara untuk memulihkannya adalah—membuatnya melupakan semua kejadian itu,” jelas pria berjas putih itu lagi yang adalah seorang psikiater.

“Bagaimana caranya?”

“Hypnotherapy,”

FLASHBACK END

 

Suho membuka matanya perlahan dan mendapati dirinya kini berada di ruangan serba putih dengan aroma khas obat-obatan yang begitu tajam dalam indera penciumannya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan dan tak menemukan siapapun di sana.

“Jongin-ah,” ucap Suho lemah, dan seketika itu juga hati Suho sakit. Rasa sesal itu datang lagi; begitu menyakitkan dan mencekiknya.

 

FLASHBACK

Psikiater itu berjalan mendekati Joonmyeon yang sudah duduk di dalam ruangan terapinya dengan kepala tertunduk. “Halo, jagoan. Apa kabar?” tanya psikiater itu berusaha membuka percakapan. Joonmyeon tidak menanggapinya dan terus menangis dalam diam. “Jangan menangis. Aku tidak akan menyakitimu. Lihat, aku punya permen enak untukmu,” tambahnya yang berusaha menghibur Joonmyeon. Anak laki-laki itu menatap sang psikiater sejenak sebelum akhirnya tatapannya beralih pada permen dalam genggaman psikiater itu. “Kau bisa memilikinya,” psikiater itu memberikan permen dalam genggamannya pada Joonmyeon, dan Joonmyeon menerimanya.

“Anak manis,” psikiater itu mengusap lembut kepala Joonmyeon. “Sekarang, bisakah kau menjadi anak yang baik dengan mendengarkan setiap apa yang kukatakan?” tanya psikiater itu. Joonmyeon hanya menatapnya dengan matanya yang masih basah karena airmatalalu mengangguk. “Terimakasih,” ujar psikiater itu lagi. “Sekarang, perhatikan setiap apa yang kukatakan,”

“Tutup mata-mu, dan kau akan melihat ada sebuah pintu di hadapanmu. Kau harus membukanya dan masuk ke dalamnya. Ketika kau melakukannya, kau adalah Kim Joonmyeon. Dan setiap pintu yang kau buka, akan membuat umurmu bertambah 10 tahun. Sekarang, bukalah pintu pertama,” psikiater itu memulai proses terapinya. “Sekarang umurmu adalah 16 tahun. Bukalah pintu kedua,” proses terapi itu terus berlanjut hingga beberapa menit. Dari luar, tuan dan nyonya Kim bisa menyaksikan itu semua melalui dinding pembatas yang terbuat dari kaca.

Nyonya Kim terlihat begitu cemas dengan airmata yang terus menetes. “Semuanya akan baik-baik saja. Uri Joonmyeoni—juga pasti akan baik-baik saja,” ucap tuan Kim berusaha menenangkan.

Proses terapi itu telah sampai pada puncaknya. “Sekarang, bukalah pintu kedelapan. Kau akan merasakan tubuhmu begitu lelah dan renta karena sekarang umurmu adalah 86 tahun. Kau merasakan tubuhmu begitu lemah tak berdaya dan kau akan jatuh tertidur. Semakin dalam dan semakin gelap. Tepat di saat kau membuka mata-mu, kau bukan lagi seorang Kim Joonmyeon. Melainkan seseorang yang baru. Anak laki-laki tunggal dalam keluargamu yang periang dan murah senyum; kau akan menjadi penolong bagi orang lain dan menjaga orang yang kau sayangi dengan baik, dan namamu adalah—Kim Suho.”

“ Tepat di hitungan ketiga, kau bisa membuka mata-mu,” tambah psikiater itu untuk yang terakhir kalinya sebelum proses terapi itu benar-benar selesai. Joonmyeon membuka matanya perlahan dan menatap pria tua berjas putih di hadapannya dengan bingung.

“Hai. Bagaimana perasaanmu?” tanya psikiater itu dan Joonmyeon hanya mengedipkan matanya tak mengerti. “Terimakasih sudah menjadi anak yang baik—Suho,”

FLASHBACK END

 

Suho bisa melihat ketika seseorang memasuki ruang rawatnya dan mendekatinya. Itu nyonya Kim; ibunya. “Bagaimana keadaanmu, Suho-ya? Sudah lebih baik? Syukurlah kau tidak terluka,” ucap nyonya Kim khawatir. Suho tidak menjawab perkataan ibunya, dan justru menatap ibunya intens dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ada kepedihan, kesakitan, kerinduan, dan penyesalan. Suho menangis dalam diam. Airmatanya menetes begitu saja tanpa bisa ia kendalikan.

“Suho-ya, wae? Gwenchanayo? Apakah ada yang sakit, nak?” tanya nyonya Kim lagi yang begitu cemas dan tak mengerti. “Jongin—,” ucap Suho susah payah. “Jongin—aku membunuhnya,” ucapan Suho membuat nyonya Kim terdiam membeku; seakan ada anak panah yang menusuk tepat di jantungnya ketika ia mendengar nama itu lagi. Ia mengusap airmata di pipi Suho dengan lembut sebelum berkata, “Mianhae. Eomma—neomu mianhaeyo—Joonmyeon-ah,”.

*****

Paska terapi yang dijalaninya, tuan dan nyonya Kim mencoba mengikuti setiap saran yang psikiater itu berikan. Mereka membawa Suho pergi untuk pindah keluar kota dan memulai hidup yang baru di sana; meninggalkan segala kenangan buruk dan berusaha menjauhkan segala hal yang bisa mengingatkan Suho tentang Jongin.

 

FLASHBACK

2 orang anak laki-laki terlihat asik bermain di atas lantai. Mereka berselonjor dengan perut mereka. “Jongin-ah,” panggil Joonmyeon pada adiknya yang tengah asik mencoretkan sebuah pensil warna ke atas kertas di hadapannya. “Hm?” balas Jongin. “Apa yang kau gambar?” tanya Joonmyeon penasaran; mencoba mencuri lihat apa yang dihasilkan adiknya dari aksi coret-mencoret itu. Tak lama, Jongin meletakkan pensil warnanya dan menunjukkan kertas miliknya ke hadapan Joonmyeon. “Hyung! Lihat ini. Aku menggambar kita berdua!” seru Jongin antusias dengan senyum lebar yang memperlihatkan gigi ‘jendela’ nya. Joonmyeon mendengus tak habis pikir; melihat hasil karya adiknya yang hanya didominasi warna biru dan berupa gambar abstrak baginya. “Yak! Kau sebut itu gambar, eoh? Lihat itu! Kenapa aku memiliki kepala yang besar dan aneh?” seloroh Joonmyeon tak terima. Jongin merengut sambil memeriksa kembali hasil gambarannya. “Itu karena—Joonmyeon hyung orang yang pintar,” jawab Jongin dengan tatapan polosnya. Joonmyeon tertegun mendengarnya. “Jongin suka main bersama Joonmyeon hyung. Jongin ingin bisa sepintar hyung,” ucap Jongin lagi. “Geurae? Apa kau bisa? Menggambar saja jelek sekali,” balas Joonmyeon mengejek; ia hanya merasa gengsi untuk menunjukkan rasa sayangnya pada adiknya. Jongin hanya memanyunkan bibirnya sebentar, sebelum kembali berucap dengan mata berbinar-binar, “Hyung! Kalau aku sudah sepintar hyung, apa aku bisa menjadi seorang guru?” Joonmyeon hanya tertawa menanggapi kepolosan adiknya itu. “Kenapa kau ingin menjadi guru? Apa bagusnya dari menjadi seorang guru?”ucapnya sarkastis, sebelum kembali berucap dengan ejekan, “Sudahlah, Jongin. Menyerah saja. Kau tidak akan bisa sepintar aku,” Joonmyeon bangkit dan beranjak dengan cuek; meninggalkan Jongin yang terdiam dengan perasaan sedih.

FLASHBACK END

 

Sudah beberapa hari sejak Suho dan juga Minseok keluar dari rumah sakit. Mereka kembali disibukkan dengan tanggung jawab mereka sebagai seorang guru. “Kuperhatikan kau jadi pendiam akhir-akhir ini. Ada apa, kawan?” tanya Minseok penasaran ketika mereka sudah berada di ruang guru. “Aku tidak bisa melupakan bagaimana kau berhasil menyelamatkanku. Mungkin mulai sekarang aku harus memanggilmu pahlawanku,” tambah Minseok sambil merangkul Suho. Suho yang mendengar itu hanya tersenyum. “Hei, hei, jangan tatapan dan senyum sedih itu lagi. Ada apa denganmu? Kau bisa cerita padaku kalau kau mau,” tawar Minseok.

Suho menghela napas pelan sebelum berujar, “Ada yang harus kulakukan, hyung. Maukah kau menemaniku?” Minseok menaikkan alisnya heran kemudian menjawab “Tentu. Apapun, pahlawanku,” Mendengar itu Suho hanya terkekeh meskipun hatinya tidak nyaman. Ia merasa panggilan itu tak pantas untuknya. Bagaimana ia bisa menjadi pahlawan bagi orang lain ketika faktanya ia adalah seorang pembunuh; yang tidak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan adiknya sendiri? Ironis.

Sore itu, tepat setelah jadwal mengajar Suho dan Minseok berakhir, Minseok menepati janjinya untuk ikut menemani Suho pergi ke suatu tempat. “Sebenarnya kemana kita akan pergi? Kenapa kau sampai harus membeli bunga segala?” tanya Minseok. “Apa kau akan menyatakan perasaan pada seorang wanita? Ah—akhirnya kau sadar dan tidak menjadi penyuka sesama jenis,” tambahnya menyimpulkan sendiri yang membuat Suho menatapnya jengah. “Arasseo, arasseo. Jadi kita akan kemana?” ucapnya lagi meralat perkataannya.

Perjalanan mereka menggunakan kereta cukup memakan waktu, tapi itu lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan bus. Mereka telah sampai di perbatasan kota, dimana pemandangannya masih sangat asri dengan udara yang segar, dan lebih dekat dengan alam. Jauh dari pusat kota yang hiruk-pikuk dan berisik. Suho memimpin perjalanan mereka dan menuntun Minseok untuk sampai ke sebuah perbukitan hijau. Suho menghentikan langkahnya untuk menoleh dan menatap Minseok yang berada di belakangnya. “Ayo, hyung. Kukenalkan kau pada adikku,”

Minseok hanya terdiam dengan tatapan yang sulit diartikan ketika menyadari bahwa perbukitan itu adalah sebuah area pemakaman, dan hal itu juga lah yang menyadarkannya bahwa adik Suho adalah penyebab mengapa selama ini Suho memiliki senyum yang selalu terlihat sedih.

*****

Suho duduk di balik meja kerjanya. Di hadapannya sudah tergeletak buku jurnal hariannya, dimana semua misteri kegelisahan hatinya tertulis. Ia tengah termenung, memikirkan betapa ia menyesal telah menjadi kakak yang buruk; bahkan setelah adiknya pergi. Kematian mungkin adalah hal paling menakutkan, dan menjadi alasan perpisahan yang paling menyakitkan. Tapi tidak bagi Suho. Semakin ia memikirkannya semakin ia tersadar; bahwa hal yang paling menakutkan ataupun menyedihkan di dunia ini bukanlah terpisah karena kematian, melainkan terpisahkarena terlupakan.

Suho baru saja hendak membuka buku jurnalnya untuk mencatat segala peristiwa terakhir yang terjadi dalam hidupnya, sebelum suara bel pintu berbunyi dan mengurungkan niatnya itu. Ia meletakkan bolpoin dalam genggamannya dan beranjak untuk berjalan menuju pintu. Baru dua langkah, Suho merasa telah menginjak sesuatu. Ia melihat ke arah kakinya untuk memastikan, dan menemukan sebuah pensil warna biru yang membuatnya bingung dan heran. Ia tak ingat pernah menyimpan atau memiliki pensil warna itu. Suara bel pintu yang berbunyi semakin nyaring dan berisik; menandakan tamunya yang tidak sabaran, membuatnya harus buru-buru melanjutkan langkahnya. Ia memungut pensil warna itu dengan cepat lalu meletakkannya begitu saja ke atas meja kerjanya.

Dan tanpa sepengetahuan Suho, pensil warna berwarna biru yang telah diabaikannya tadi dengan sendirinya telah bergerak menorehkan beberapa kata dalam bahasa korea di atas lembaran akhir buku jurnalnya. Meninggalkan sebuah pesan sebagai tanda jejak dari sesosok makhluk tak kasat mata; seolah pesan itu akan mampu untuk mengubah takdir seorang Kim Suho.

 

**END**



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles