Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

The Fools

$
0
0

The Fools

Cast : Kris Wu, OC | Genre : Sad Romance | Length : Oneshot | Rating : PG-15

the fool

~*~

Kris Wu, dia adalah lelaki paling bodoh yang pernah ku kenal.

Aku tak pernah benar-benar bisa menebak apa yang ada di dalam pikiran lelaki itu. Lelaki itu sangat membingungkan—dan itu yang membuatnya semakin terlihat menyebalkan. Dengan tingginya yang bisa menyaingi tiang lampu jalanan, dan dengan seringai itu, membuatku ingin selalu memukulnya. Ia adalah sahabat kecilku sekaligus musuh bebuyutanku. Aku membencinya tanpa sedikitpun ada kata ‘suka’ dalam kamusku untuk orang itu. Atau setidaknya kata itu perlahan harus ku tulis untuk saat ini.

Lelaki menyebalkan itu kini sedang menatapku tanpa berkedip. Entah apa yang sedang ia pikirkan, aku pun tak mau lagi menebaknya. Aku tak suka tatapan itu, namun entah mengapa mataku tak dapat di berikan perintah untuk tidak melihatnya. Dan ia selalu melakukan hal itu selama seminggu ini. Mungkin beberapa gadis akan salah tingkah jika mendapat tatapan miliknya, atau mungkin ada yang akan pingsan ketika sesekali melihat bibirnya melengkung membentuk senyum. Tapi lagi-lagi tidak bagiku. Bagiku, itu hanya sebuah tatapan yang tak mempunyai makna apapun. Tatapan yang hanya sengaja ia lakukan untuk membuatku menghentikan kegiatanku.

“Apa kau tidak lelah menatapku seperti itu? Kau bahkan tidak berkedip sejak tadi.” akhirnya sebuah kalimat terlontar dari mulutku. Kutaruh spatula yang sejak tadi kupegang ke sebelah kompor, lalu menatapnya. Alisku kembali berkerut ketika tak dapat melihat ekspresi berbeda dari raut wajahnya. Ia masih bersandar pada kursi pantri sambil melipat kedua tangannya di dada.

“hmm”

“Ya, Kris! Apa kau tidak punya kegiatan lain di libur musim panas? Kau bisa saja pergi berlibur dengan teman-temanmu.”

“hmm”

“Pergilah bermain dan jangan gangguku untuk hari ini.”

“hmm”

“Kenapa kau hanya bergumam?” Kepalaku sudah memanas, dan rasanya ingin sekali ku lempar penggorengan ini ke wajahnya. Sudah kubilang kan, ia memang lelaki yang sangat menyebalkan.

“Aku sedang menghabiskan musim panas bersama kekasihku.” Ia mulai membuka suara dan mengedikan bahunya sedikit—meski lagi-lagi dengan ekspresi datarnya. Perlahan kedua sudut bibirnya terangkat, dan untuk sesaat mulutku terkatup dan tak bisa berkomentar apa-apa. “Aku suka ketika melihatmu memasak. Itu hal yang wajar selama kita masih menjadi kekasih.”

Kalimat yang baru saja ia katakan seakan menarik perhatian otakku. Kalimat tersebut membuatku kembali teringat tentang status kami. Dan memori saat musim dingin tahun lalu kembali berputar di dalam kepala. Sebuah perjanjian yang sengaja kami buat di hari itu. Perjanjian yang hanya di saksikan oleh gumpalan salju yang turun dan beberapa pohon yang bergoyang mengikuti angin. Perjanjian bodoh yang ku setujui tanpa berpikir panjang.

Ah, Sesungguhnya aku tak begitu suka membahas topik ini.

“Tidakkah kau bosan membahas topik ini?” aku kembali fokus kepada sup yang berada di atas kompor dan tak benar-benar berniat melihat wajah lelaki itu. Melihat wajahnya ketika membahas topik ini membuat tubuhku kaku seketika.

“Tidak, memangnya kenapa? Kau memang kekasihku, kan?”

Tidak secara harfiah, kataku dalam hati. Pertanyaan bodoh yang kesekian kalinya ia tanyakan padaku semakin membuatku jengah. Bukan karena aku tak mau menjawabnya, namun sepertinya aku tak benar-benar tahu jawabannya. Pertanyaan itu masih bergantung di udara sementara mulutku masih tetap merapat. Musim panas kali ini terasa lebih panas jika ia tetap berada di sini. Terlebih jika ia terus beranggapan kalau kami adalah sepasang kekasih meski tidak di lihat banyak orang.

Kumatikan kompor, lalu menaruh sup diatas mangkuk porselen yang di hadiahkan nenek padaku. Kutaruh mangkuk itu di hadapannya dan membiarkan uap panas menyembul di sana. Ia menatap uap sup itu sekilas, lalu kembali menatap mataku. Aku mulai berdeham dan melipat kedua tanganku di depan dada.

“Apa yang kau suka dariku?” aku kembali membuka suara dengan pertanyaan yang sebenarnya sudah kutahu jawabannya. Pertanyaan yang sudah puluhan kali ku tujukan padanya. “Tentu saja selain kau senang berada di dekatku.”

“Matamu. Aku suka mata cokelatmu.” Ia berkata tanpa berpikir panjang atau sekedar menimbang-nimbang. Itulah Kris, ia tak pernah menjawab sebuah pertanyaan dengan jawaban yang bertele-tele.

Kini kulihat pula bola matanya yang hitam itu. Sejujurnya aku juga suka matanya. Mata itu seakan tak pernah menyimpan apapun. Matanya selalu memperlihatkan apa yang sedang ia rasakan. Sekarang pun aku tahu apa yang sedang ia rasakan tanpa harus menebak isi kepalanya.

“Lalu, bagaimana denganmu?” ia mulai menegakkan tubuhnya dan menopang kepalanya dengan tangan diatas meja. “Apa yang membuatmu tidak bisa menyukaiku?”

Mataku membulat, dan kepalaku seakan sedang di tembak dengan bom nuklir. Seharusnya itu adalah pertanyaan yang sangat mudah. Aku hanya perlu bilang… bilang kalau aku tak menyukainya karena.. ya, karena… aku memang tidak bisa menyukainya. Bisakah itu menjadi sebuah jawaban yang jelas?

Ia mulai menyeringai kembali. Tanpa berkata apa-apa, ia mengambil sebuah sendok di ujung meja pantri. Ia menyeruput kuah sup dalam diam—sehingga yang terdengar hanya suara seruputnya. Pertanyaannya masih menggantung atau mungkin sudah lenyap terbawa angin. Kuharap ia tak berniat untuk menunggu jawabanku.

“Bisakah kita mengakhiri semuanya?”

Kulihat tangannya menggantung di udara ketika hendak mengangkat sendok ke mulutnya. Ia terdiam sejenak, lalu bebeberapa detik kemudian kembali meneruskan kegiatannya. Status hubungan seperti ini adalah status yang sangat membingungkan, jujur saja. Kami berpura-pura berlagak seperti sepasang kekasih yang saling mencintai di hadapan orang-orang. Kami melakukan perjanjian itu dengan tujuan yang sama—menyingkirkan orang-orang yang mengganggu hidup kami. Dan tak ada yang merasa di rugikan ketika setahun perjanjian ini bermula. Simbiosis mutualisme, begitulah kira-kira.

Namun semakin lama entah mengapa aku semakin tak nyaman dengan status atau perjanjian ini. Kami sudah berhasil menyingkirkan orang-orang menyebalkan ketika kami bersama. Kukira benar-benar tidak ada yang di rugikan dalam perjanjian itu hingga saat ini. Namun pada akhirnya aku sadar kalau orang yang ternyata sudah dirugikan adalah Kris. Dia terlalu menghayati perannya sehingga ia terjebak sendiri dalam peran yang ia mainkan. Ia terlalu mencintaiku.

Itu sebabnya aku selalu menganggap kalau ia lelaki paling bodoh yang pernah ku kenal.

“Aku yang sudah memulai semuanya, haruskah kau yang mengakhirinya?” ia menaruh sendok di samping mangkuk sehingga menimbulkan sebuah dentingan kecil di sana. Lelaki itu beranjak dari tempat duduknya, lalu memajukan tubuhnya di hadapanku. Tangannya bertindak sebagai penopang tubuh dan matanya sebagai pemberi jawaban isi hatinya. “aku yang merasa di rugikan dalam hal ini karena aku akhirnya mendapat cinta sepihak.”

Napasku tertahan selama beberapa detik ketika tubuh kami—yang di pisahkan oleh meja pantri—berjarak sepuluh senti.

“Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus menjadi seorang Kim Jongin—yang selalu kau sebut sebagai lelaki hebat—itu? Atau aku harus menciummu lagi agar kau melupakan semua tentangnya?” dengan tubuh tingginya itu, kini ia semakin mendekatkan wajahnya ke hadapanku. Sungguh, saat ini aku membutukna banyak oksigen untuk bernapas. “Haruskah aku yang pergi?”

“Kris—aku..”

“Baiklah, jika itu maumu.” Ia memundurkan tubuhnya dan mulai berbalik. Kulihat tubuh tingginya sedang memakai jaket cokelatnya, lalu berjalan menjauh. Ketika tepat berada di ambang pintu, ia melihat kearahku sekilas tanpa ekspresi selama beberapa menit.

Dadaku terasa sesak ketika ia mulai berbalik. Bayangannya semakin menghilang di balik pintu yang masih terbuka. Tidak, aku tidak benar-benar menginginkannya pergi. Tapi aku juga tak ingin ia merasa menderita dengan keadaan ini. Haruskah ini benar-benar berakhir? Kuharap simbiosis mutualisme kembali hadir dalam keadaan ini. Sebagian diriku mengatakan kalau semua akan baik-baik saja jika aku bisa memintanya kembali. Namun sebagian lagi mengatakan kalau aku memang harus melepasnya.

Aku tak pernah benar-benar tahu apa yang sebenarnya kuinginkan.

Jika tadi ku katakan kalau Kris adalah lelaki terbodoh yang pernah ku kenal, aku akan menganggap kalau aku adalah gadis terbodoh yang pernah ku ketahui.

=End=

A/N : Haloo~~ kali ini saya hadir dengan lagi2 ff kris. FF ini udah pernah di post di blog pribadi saya di www.disturbanceme.wordpress.com . terima kasih sudah baca dan di tunggu semua komentarnya^^



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles