Revenge Of The Psychopat
(CHAPTER 3)
Author : Nurfadeer @nurfa_chan
Genre : Psychology, Gender Bender,Angst, Romance, Death Fic.
Main Cast : Xi Luhan, Wu Fan
Supporting cast : Member EXO, Yuri (Girl Generation)
Rate : NC-17
Length : Multichapter
WARNING
FF ini berisikan kekerasan, adegan diatas 17 tahun yang dijelaskan secara detail, dan beberapa hal yang tidak patut dicontoh lainnya.
FF ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menjelekkan salah satu member EXO.
Author ngingetin lagi, tolong baca warning ini sebelum membaca FFnya. Lebih detail dimana adegan 17 tahun ke atas, author letakkan dichapter 2, 3 dan 5. Bagi yang tidak suka, belum cukup umur (termasuk author) bisa langsung tekan back.
Ingat! Dichapter ini ada adegan diatas 17 tahun keatas.
Jika ada kesamaan ide, harap maklum. Mohon Kritik dan saran. :D
Happy reading!
Berita mengenai Kris yang tertuduh dengan bukti yang jelas ada tapi entah bagaimana menjadi tidak ada itu sudah sampai ditelinga murid-murid satu kampusnya. Tak terkecuali Luhan.
Luhan duduk menyamping menghadap jendela. Jelas-jelas ingin menghindar dari teman satu kelasnya yang berbicara topik itu sejak pagi sampai jam istirahat seperti ini.
“Jadi, dia difitnah?” jarak dua kursi dari bangkunya, ia mendengar jelas perempuan itu sedang bergosip. Sebuah pertanyaan yang sama.
“Mungkin.”
“Bukan mungkin lagi. Tapi jelas dia difitnah. Siapa coba yang berani melakukan itu pada Kris-ku?”
Telinga Luhan seperti ditusuk besi panjang yang tembus sampai telinga satunya. “Apa mereka tidak bisa berhenti membicarakan itu? Kalau mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi, apa mereka masih membelanya?” gerutunya pelan.
Tiga orang tadi menoleh padanya. Hanya sekilas sebelum melengos dan membicarakan topik yang sama itu lagi. Dan itu menjadi alasan kedua Luhan naik darah hari ini. Tak bernafsu ke kantin dan lebih mengurung diri di kelas yang lebih membosankan.
Alasan kedua? Jadi, ada alasan pertama?
Ya. Alasan pertamanya adalah berita yang tak kalah cepat menyebar seperti berita mengenai Kris. Ini tentang Yuri, murid dari jurusan jurnalistik. Dari gosip yang ia dengar, Yuri menjadi gila tepat setelah menemui Kris malam hari sebelumnya. Gadis secantik itu mulai sering mengamuk tanpa alasan yang jelas. Kata biang gosip itu, tetangganya yang melihat langsung saat berkunjung. Selain itu, ia juga kerap mendengar suara perempuan yang muntah di malam hari−perkiraannya adalah Yuri.
Luhan tahu apa yang menjadikan Yuri seperti itu. Kalau saja itu terjadi padanya, ia mungkin bisa berbuat yang lebih parah.
Tapi Luhan mencoba berpura-pura tak terlibat dengan dua kasus itu. Tapi tetap ada saja yang menghampirinya dan bertanya tentang Yuri padanya. Saat itu Luhan akan senang hati menjawab, “Jangan bertanya apa pun padaku atau kau akan kubunuh. Dan jangan menggosipkan apa pun tentang temanku. Dia hanya sedikit butuh istirahat.” Luhan sendiri tidak terlalu yakin dengan kata “istirahat” itu. Sedangkan Kris selalu terlihat tenang saat melewati kelasnya atau secara tidak sengaja bertemu di jalan.
Luhan keluar kelas. Sekadar mencuci mukanya yang kusut di toilet.
Pintu toilet di depannya itu tertutup tapi air mengalir di sisi lantai dan menyentuh sepatunya. Luhan sengaja mengabaikannya dan memutar kenop pintu untuk masuk, merasa tidak ada orang yang menyahut dari dalam saat ia bertanya sebelumnya. Pintu-pintu lain di toilet itu juga tertutup rapat seperti sedang terpakai.
Lima menit Luhan mengeluarkan dirinya dari toilet dan jantungnya langsung berpacu cepat. Darah pekat dan masih berbau anyir itu mengalir di lantai. Bercampur dengan air dan menjadikan permukaan lantai menjadi genangan darah.
Luhan merasakan dirinya sendiri tengah gemetaran tapi adrenalin terkutuk dalam dirinya membuatnya memutar kenop pintu pelan. Sangat pelan dan berbunyi “kriet” yang mendengung.
Tangan Luhan bergetar di udara. Mulutnya terbuka tapi tak ada suara yang keluar.
Dihadapannya, terbujur mayat perempuan dengan tubuh yang terpotong entah berapa bagian. Telinga dan bola matanya berada di tangan kirinya yang dijejalkan di kloset. Dua kakinya diikat dan diletakkan di samping tubuhnya yang tanpa busana. Tulang-tulang hampir mencuat keluar dan keratan daging itu masih sangat segar berbau amis. Kepalanya diputar seratus delapan puluh derajat dan didongakkan. Sehingga satu mata melebar itu tepat menatap mata Luhan.
Darah Luhan seolah terserap keluar ketika dibacanya tulisan, “jangan-main-main-denganku”. Luhan tadi hanya berada di toilet selama lima menit. Bagaimana ia tidak melihat darah mengalir tadi dan baru sekarang? Dan untuk siapa sebenarnya tulisan itu ditujukan. Untuk perempuan di depannya atau untuknya?
Ia berlari keluar toilet. Berteriak sekuatnya dan mendapati murid-murid disekitarnya langsung mengerumuninya. Luhan hampir kehabisan nafas dan ia hanya menunjuk ke belakang dengan telunjuknya yang bergetar. Ia bahkan langsung jatuh terduduk sambil menutupi kedua matanya dengan tangan.
.
.
.
Sudah seminggu sejak kejadian di toilet. Kecemasan Luhan yang selalu berakhir mimpi buruk di mimpi-mimpinya membuatnya seperti orang setengah gila. Dipaginya, ia harus berhadapan dengan bisikan-bisikan yang terus membicarakan soal dirinya yang katanya pembawa sial. Karena tanpa menyentuh korbannya pun, seseorang yang sedang dekat dengannya akan mati! Sekarang ia yang ingin bertanya, ia yang diteror atau ia penyebab kegilaannya sendiri. Aneh!
Seorang Luhan tidak akan peduli dengan semua itu. Hanya saja kematian satu persatu murid di kampusnya itu tidak bisa begitu saja untuk diabaikannya. Apalagi ia selalu menjadi orang pertama yang menjadi saksi itu semua.
Suatu hari saat ia akan menyebrang jalan, ia melihat sosok perempuan berdiri di sebrangnya. Perempuan itu mengulurkan tangan padanya dan mulutnya bergerak-gerak mengucapkan sesuatu. Ia tahu perempuan itu. Pagi tadi perempuan itu meminjam buku catatannya dan kali ini ia mengira perempuan itu pasti akan mengembalikan bukunya. Tapi otak yang tidak bisa diajak berpikir cepat itu sulit mencerna suara decitan ban yang beradu dengan aspal. Di susul suara pecahan kaca yang jatuh. Tubuh perempuan tadi sudah tergeletak di aspal dan bermandikan darah. Menyembur dari sayatan panjang dikakinya yang putus dan menetes diluka yang kecil sekali pun. Kepalanya pun sudah tak berbentuk lagi karena serpihan kaca menancap di sana.
Untung saja isi kepala itu tidak meletup keluar. Tidak pula terputus dari leher. Apalagi jika menggelinding sampai di bawah kakinya. Sungguh Luhan tidak ingin membayangkan hari-hari seperti itu lagi.
“Melamunkan apa?”
Jantung Luhan berpacu cepat. Suara yang sudah dikenalnya itu membuat tubuhnya hampir mati lemas. Bahkan tanpa disadarinya, kedua tangannya terkepal kuat memegangi selempang tasnya. Tapi ia tetap mencoba berdiri tegak dengan bersandar di tembok sedikit jauh dari posisi pemilik suara tadi, menentang dentuman jantungnya yang menusuk-nusuk dadanya.
“Bukan apa-apa. Bukan urusanmu.”
“Kenapa denganmu? Apa aku sudah berbuat salah atau apa?”
Salah? Ck, berani sekali kau masih berpikir seperti itu. Tentu saja kau salah, kau yang sudah membunuh kekasihku dan membuat gila sahabatku. Kau menyebutnya dengan apa semua itu?
“Urus saja urusanmu sendiri. Jangan mendekatiku lagi atau kau yang akan terbunuh, Kris. Kau dengar mereka, kan? Aku ini bisa membunuh siapa pun tanpa menyentuhnya.” Luhan mendengus.
Sudut bibir Kris terangkat. Kedua tangannya menyilang di dada dan ia memiringkan wajahnya menatap Luhan. “Menurutku itu sangat menarik. Apa kau semacam keturunan malaikat maut?”
“Hah?” Luhan tersenyum kecut. “Kurasa begitu.” Ia menarik kakinya untuk pergi menjauh dari situ.
“Sampai jumpa.”
.
.
.
Luhan melirik jam tangannya lagi. Jam menunjukkan pukul sembilan saat Luhan baru saja keluar dari kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi. Yah, jadi begitulah keseharian Luhan sore harinya setelah pulang dari kampus. Mampir ke sebuah tempat, kali ini bukan tongkrongan sepeti café, tapi kantor polisi.
“Sudah kelewat dua jam dari jam pulangku. Dari sini lurus terus dan menunggu bis malam di halte? Tapi, aku dengar halte di sana sangat sepi. Apa benar-benar ada bis yang menunggu di sana?” tanyanya pada orang di sebrang.
“Memangnya kalau kau pulang ke rumah dari sana pakai apa? Kau juga, kan pakai bis seperti biasanya.”
“Tidak. Eomma kebetulan saja bekerja di sekitar sana dan selalu menungguku sampai selesai pemeriksaan. Tapi hari ini dia bilang ada urusan mendesak, jadinya aku pulang sendiri.”
“Oh Luhan… Kau sudah berapa lama tinggal di Korea? Kau masih tidak tahu jalan mana kau berdiri dan harus naik apa?”
Luhan mengambil nafas dan menghembuskannya pelan. “Baru tiga tahun. Dan aku ada di kantor polisi yang berbeda dari yang kemarinnya lagi. Kau, kan tahu itu.”
“Sepertinya aku tahu urusan mendesak yang dibilang Eomma-mu. Pantas saja dia bilang begitu, orang dia nggak bakal lewat situ, kan?” orang disebrang menggeram malas. “Dari tempatmu berdiri, sekitar setengah kilometer lagi ada belokan ke kiri. Kau ambil jalan pintas itu saja. Daripada halte yang masih jauh. Aku yakin kau bisa menemukan jalan pulang kalau lewat sana. Ya sudah, ya. Aku ada urusam lain. Dah!!”
Sedikit tidak rela, Luhan meletakkan ponselnya dalam tas selempangnya sambil kembali berjalan. Wajahnya berubah suram ketika memandang jalan yang sepertinya tidak asing.
“Jalan menuju apartemen Kris?” Luhan mengerutkan keningnya.
SREEK
Siluet mendekat dari arah belakang. Menyeret langkahnya perlahan menuju tempatnya berdiri dan menyengkal lengannya. Luhan berbalik untuk melihat siapa itu, tapi sebelum ia melihat wajah orang tersebut, mulutnya sudah dibungkam sesuatu. Seperti sebuah kain dengan permukaan basah menyentuh hidung dan mulutnya. Dan pada detik itu, semuanya meremang. Lampu-lampu yang berjajar membentuk pola buram sebelum semuanya benar-benar gelap. Luhan pingsan.
Lewat tengah malam Luhan merasakan dingin menyergap tubuhnya. Dan tangannya bergerak ke bawah, mencari-cari selimut yang biasanya bergeser dan menariknya kembali menutupi tubuhnya sampai kepala. Tapi tangan itu hanya meraba-raba sesuatu yang sebenarnya tidak ada.
Ia membuka sedikit matanya, cahaya lampu adalah hal pertama yang menyambutnya. Karena silau atau entah mengantuk, Luhan kembali menutup matanya. Hanya sesaat karena sebuah suara membuat jantungnya seakan melompat.
“Kau sudah bangun?” Kris meletakkan gelas berisi air putih di samping meja dekat jendela.
Luhan tak bisa berpikir cepat. Dilihatnya Kris dan ruangan itu secara bergantian. Sampai terakhir ia mencoba memutar lehernya, melihat dirinya sendiri kalau mungkin terjadi apa-apa.
“Fuuh…” Luhan sempat merinding membayangkan apa yang mungkin sudah terjadi. Ia masih memakai pakaian lengkap. Tapi tanpa selimut, tetap saja ia merasa dingin dan mungkin saja Luhan bisa bangun tanpa memakai apa pun, kan?
“Bagaimana aku bisa di sini? Tunggu… tadi itu aku akan pulang. Tapi ada seseorang yang…” Luhan melirik Kris. “Kau yang menculikku?” tangan Luhan menarik serpai di bawahnya hingga berlipat-lipat di bawah telapak tangannya.
“Oh kau sudah tahu, ya?” kata Kris datar, ia duduk di ranjang samping Luhan. Luhan terkesiap dan beringsut mundur. “Aku tidak perlu susah-susah menjelaskan bagaimana kau sampai di sini, kan? Atau aku harus berbohong dengan mengatakan bahwa ada seseorang yang membiusmu tadi dan akulah orang yang menolongmu. Aku tidak perlu mengatakan itu semuanya, ya?” Kris meletakkan tangannya di pipi Luhan. “Kau gadis yang pintar.”
“Singkirkan tanganmu dariku,” Luhan menepis tangan Kris. Permukaan tubuhnya mendadak sedingin es. Dan keringat menetes di pelipisnya. “Apa yang sebenarnya kau inginkan, huh?”
“Yang aku inginkan?” Kris menyeringai. Sudut bibirnya menunjukkan gigi taringnya yang seolah akan mencabik Luhan dan melahapnya. “Aku ingin kau, Luhan.”
Kris mendorong tubuh Luhan ke kasur. Menibannya tepat di perut dan mencengkram dua tangan itu sekaligus.
“Apa yang kau lakukan, huh? Turun dariku sekarang juga,” bentak Luhan. Ia menyentakkan tangannya berusaha melepaskan diri. Tentu itu bukan posisi yang akan menguntungkan untuknya. Ia berhenti menggeliatkan tubuh saat melihat Kris menyeringai lagi.
Kris mendekatkan wajahnya ke Luhan. Menempelkan hidung mancungnya dan mencoba meraih bibir ranum dihadapannya itu. Tapi secepat kilat Luhan memiringkan wajah. Hingga bibir Kris itu mengecup pipi putih bak porselennya.
“Jadi kau ingin bermain lama denganku?” tangan Kris beralih menahan kepala Luhan dan menghadapkannya padanya. Ia langsung memenjara bibir Luhan dengan bibirnya. Melumat sambil menjilati celah bibir Luhan yang dipaksanya membuka dengan gigitan kecil.
“Engh…” sementara lenguhan itu mulai terdengar, tanpa sadar Luhan membuka sedikit mulutnya. Lidah milik Kris menyeruak masuk, mengabsen barisan gigi Luhan dan mengajak lidah lain bermain dengannya.
“Ber-berhemmmph-ti menciumku.” Luhan mendorong dada Kris dengan tangannya.
Luhan sebenarnya jijik jika harus menarik nafas melalui satu mulut dengan Kris. Tapi jika hanya hidung yang ia gunakan, ia yakin paru-parunya akan menyesak dan menekan dadanya.
Sama sekali tak peduli dengan pukulan kecil Luhan di dadanya, ia terus memagut bibir itu. Rasa bibir merah itu seperti permen kapas untuk Kris. Sampai ia merasakan pukulan keras dilayangkan oleh Luhan dikepalanya.
“Engh!! Ahhh!! Hh!!” Kris melepas pagutannya. Melihat wajah Luhan yang memerah dan mulutnya megap-megap memburu oksigen. Sementara itu ia memanfaatkan keadaan Luhan untuk menarik rok yang dipakainya.
Luhan yang sadar langsung menjerit dan menendang kakinya ke udara. “Berhenti!! Apa yang akan kau lakukan, Kris? Kau sudah gila. Berhenti melakukan ini padaku dan kita menganggap pelecehan ini tidak ada,” suara Luhan terdengar panik. Antara cemas dan takut ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri kalau Kris akan melepaskannya. Kris hanya mempermainkannya untuk memberi peringatan. Ya, hanya itu. Kris tak akan melakukan apa pun.
“Aku akan melakukan ini.”
“KYAAAA!!” Luhan merasakan roknya terlepas dari tubuhnya dan dengan jelas dilemparkan ke sembarang tempat.
“Apa kau mengira aku akan melepaskanmu? Aku akan melakukan apa pun untuk memilikimu.” Kris menarik sudut bibirnya−menyeringai. “Jarang ada wanita sepolos kau yang berani menantangku. Memanfaatkan temannya sendiri untuk menjebakku atas nama balas dendam untuk kekasihnya. Dan sekarang, dia berhasil membuat temannya sendiri gila.” Kris melirik Luhan yang membuka mulut dengan ekor matanya.
“Apa maksudmu?”
“Bukannya kau memanfaatkan teman perempuanmu dengan mengatakan sedang melakukan wawancara, kan? Aku tidak tahu apa jaminanmu untuknya kalau dia tidak selamat. Padahal kau sudah tahu apa yang mungkin aku lakukan padanya.”
“Aku tidak memanfaatkannya. Tidak seperti dugaanmu, Kris. Dia memang ingin melakukan wawancara denganmu dan aku hanya meminta hasil itu darinya…”
“Berharap menemukan bukti untuk menjebakku?” Kris berdecak. “Ck, tidak kusangka kau cerdik juga. Tapi hasilnya? Apa kau berhasil mendapatkan yang kau inginkan?”
Luhan menggeleng. Memikirkan betapa bodoh dan jahatnya ia telah menjerumuskan sahabatnya sendiri dan membuatnya gila seperti sekarang. Itu memang salahnya? Bukan. Itu bukan salahnya.
“Aku tidak melakukan apa pun padanya. Kau yang membuatnya seperti sekarang, Kris. Kau yang harus bertanggung jawab dengan perbuatanmu. Kau sudah membunuh pacarku dan banyak orang.”
Bukan pembelaan yang ingin didengar Kris. Ia memutar bola matanya dan pura-pura mengantuk dengan menguap lebar. “Kau membuatku bosan. Kalau ada yang ingin kau ucapkan lagi, kau bisa mengatakannya nanti.” Kris membenamkan wajahnya dihelaian rambut Luhan dan menyesap aroma sampo darinya.
“Oh ya, yang harus kau tahu adalah…” Kris sengaja menggantung kalimatnya membuat kening Luhan berkerut, “siapa saja yang sudah kutandai sebagai mangsaku tidak akan pernah kulepaskan. Haha.”
Lidah Kris bergerak perlahan menuju belakang telinga Luhan. Berputar-putar disekitarnya membentuk jilatan lembut.
“Sebelum kita bercinta, aku akan memberitahumu beberapa hal dulu.” Kris menarik nafasnya. Dan Luhan bisa membuang nafas lega begitu kegiatan Kris itu berhenti. Tapi, tunggu dulu! Dia bilang akan bercinta?
Luhan berniat memotong ucapan Kris yang bahkan belum terlontar. “Kita tidak akan melakukan apa pun. Tentu saja tidak. Kau gay, kan?”
“Oh. Kau mengira begitu? Tapi aku bisa menjadi keduanya, sayang. Jadi kau ingin aku melakukan yang mana padamu? Gaya bercinta yang normal atau gay?”
“Bukan begitu maksudku!”
“Kau punya jawaban lainnya, ya? Apa kau bisa mengajariku bagaimana itu?” Kris melupakan ucapannya tadi dan menggoda Luhan yang bahkan tidak bisa menemukan kata-kata untuk melawannya. Luhan mengatupkan mulutnya dan ia merasakan sesuatu yang hangat melewati pipinya. Kris terkesiap dan memandang Luhan. “Kenapa kau menangis, sayang?” dengan ibu jarinya, ia mengusap air mata itu dan tepisan kasar tangan Luhan langsung membuatnya berhenti.
“Kau bisa melanjutkan kalimatmu tadi. Jelaskan apa yang ingin kau jelaskan padaku,” kata Luhan tidak sabaran.
“Coba kau ingat-ingat apa yang sudah terjadi padamu seminggu ini.”
Luhan diam, tak berniat menyahut. Hanya memikirkan ucapan Kris dengan memutar semua memorinya.
“Perempuan yang mati di toilet. Kau tahu siapa yang melakukannya?” Kris lagi-lagi menunjukkan seringainya. “Dan terakhir perempuan yang berada di sebrang jalan denganmu dan mati tertabrak mobil. Kau tahu bahwa itu disengaja? Dia di dorong seseorang dan kau pasti tahu siapa itu, kan?”
Mata Luhan membelakak. “Tunggu! Jangan katakan kalau kau…”
“Ya, aku yang melakukannya. Kau tahu untuk apa? Sebenarnya, sih aku tidak punya urusan apa pun dengan mereka. Aku hanya melakukannya karena aku sedang ingin saja. Yah! Aku sedang ingin memperingatkan seseorang. Dan kekasihmu itu, dia yang datang menemuiku sendiri. Bukan salahku kalau dia mati. Tentu saja bukan aku, sayang. Lagipula kalau aku tahu dia memilikimu dari awal aku akan membunuhnya dari dulu. Karena dia memiliki mangsa yang kutandai dulu.”
“Kau pembunuh, Kris. Psikopat. Jadi kau sudah merencanakan membunuh Kai sebelumnya?”
Kris menggeram. “Jangan terus bertanya untuk mengalihkan acara bercinta kita, sayang. Tidakkah kau paham kalau aku sama sekali tidak berniat membunuhnya beberapa minggu yang lalu. Harusnya itu kulakukan beberapa tahun sebelumnya.”
“Maksudmu karena aku, kau membunuhnya?”
“Tentu. Oh ya, aku punya kejutan untukmu. Tapi sepertinya lebih menarik kalau kau mengetahuinya besok pagi…” Kris membuat fokus Luhan tertuju ke ucapannya dan tidak menyadari sebuah tangan panas menyelinap masuk ke selangkangannya.
“KYAAAA!!” Luhan menyentakkan tubuhnya dan sebelah tangannya menampar rahang tegas Kris sekuat yang ia bisa. “Apa yang kau lakukan, huh?” ia akhirnya sadar bahwa ia masih ditiban Kris dan laki-laki di depannya itu memang berniat memperkosanya.
Leher Kris berputar dan matanya menemui Luhan. “Sepertinya kau tidak ingin mendengar cerita apa pun lagi, ya? Apa kau sudah tidak sabar ingin ‘melakukannya’?”
Dengan kasar, Kris langsung menabrak bibirnya dengan milik Luhan. Hingga terdengar pekikan karena gigitan kasar dan tiba-tiba yang diterimanya itu. Ia meronta dan menjambak rambut Kris dengan dua tangan sekaligus. Sedangkan kakinya dicekal dan ia tidak bisa berbuat lebih. Suara decapan mulai menggema, saliva mereka bertukar dan Luhan merasakan ludah Kris yang melesak masuk ke kerongkongan.
“Ahhh!! Hh!! Hh!!”
Kris menjalarkan ciumannya ke seluruh wajah Luhan. Menjilati wajah bak porselen itu sampai turun ke dagunya. Luhan yang merasakan hisapan kecil itu menyuruh dirinya untuk tidak hanya melenguh dan melakukan sesuatu.
“Cih…” Luhan mengeluarkan desisannya setelah meludahi wajah Kris. “Kau pantas menerima itu.”
Tangan Kris menyentuh ludah di wajahnya dan tanpa rasa jijik ia menjilat ludah itu dengan tangannya. “Manis.” Sikap Kris yang datar malah membuatnya tidak habis pikir. Tidak bisakah Kris marah padanya dan membiarkannya pergi saja? Kiranya tidak semudah itu.
Kris lebih beringas dan nafas penuh nafsu itu memburu di sela ciumannya dengan Luhan. Harusnya itu tidak disebut dengan ciuman. Karena hanya satu pihak yang menikmatinya.
Sementara itu tangannya menyobek kemeja yang dipakai Luhan hingga menyisakan bra berenda dan celana dalam. Bukan berarti Kris melakukannya dengan mudah, Luhan tentu saja terus berontak.
“Ck, Diam sedikit…” desisnya.
“Ahh… nghh!!” desahan tak diinginkan Luhan itu keluar dari mulut mungilnya. Sensasi panas yang datang dari lidah Kris dilehernya membuat sesuatu dalam dirinya muncul. Tapi ia tidak punya waktu untuk menikmati sensasi ini. Sama sekali tidak boleh!
“Kriiiis… ssshh”
Kris menganggap itu sebagai undangan baginya untuk terus menjalarkan sentuhannya ke seluruh tubuh Luhan−berkebalikan dengan si empunya.
Kris menggerakkan satu tangannya di kedua bukit Luhan yang sudah mengeras. Memeras bukit itu sampai tubuh di bawahnya menggelinjang tanpa sadar. Merasa satu tangan Kris tak cukup kuat untuk menahan dua tangan sekaligus, Luhan menggerakkan tangan yang berada di atas kepalanya agar terlepas. Dan benar saja, tangan itu melunjur cepat mencakar wajah mulus Kris dan tanpa sengaja juga mengenai matanya.
“Aaaaa… brengsek!!”
Luhan masih memanfaatkan keadaan yang seolah berpihak padanya. Ia duduk dari tidurnya dan membenturkan kepalanya sendiri dengan kepala Kris. Kris sedikit merintih sambil memegangi sebelah matanya. Ia bangkit dari ranjang.
Luhan melompat dari ranjang dan memungut pakaian tak layak pakainya di lantai. Ia belum menyadari sebuah tatapan tertuju padanya. Tajam dan bisa menyambarnya kapan pun. Ketika ia berbalik, matanya bersirobok dengan tatapan mengerikan Kris. Ingin rasanya ia kabur sekarang juga dan berharap Kris tidak maju kearahnya. Entah mengapa Luhan tidak bisa berdiri dan memakai kedua tangannya untuk merangkak di lantai. Yang pasti ia yakin sudah membangunkan singa sekarang.
Kris menarik rambut Luhan dan menyentakkannya. Membuat tubuh mungil itu terangkat beberapa senti dari lantai. Luhan merasakan sakit yang luar biasa dikepalanya.
“Kris… lepaskan. Eeengh…” tangannya meraih rambutnya sendiri berharap agar rasa sakit itu sedikit berkurang. Kepalanya mendadak pening dan beberapa helai rambut yang terlepas dari kulit kepala itu berada di tangan Kris ketika tiba-tiba tubuhnya di lempar ke ranjang lagi.
Kris kembali meniban perutnya dan merobek pertahanan terakhirnya. Celana dalam itu dilemparkannya ke sembarang tempat. Bibir Kris dengan ganas menggigit bibir Luhan, menyesap-nyesapnya seperti menyesap lehernya tadi.
“Mmmphh…”
Kris mendekatkan wajah ke kedua bukit Luhan yang seolah menentangnya. Kris menjilat daging kenyal itu. Sengaja ia gunakan jarinya untuk berlama-lama memutar puncak kemerahan itu untuk disesapnya seperti bayi kecil nanti.
“Engh…” tubuh Luhan bergerak liar. Keringatnya mengalir turun dan membuat permukaan kulitnya licin. Luhan menendang kakinya ke udara, mencoba mengusir sensasi aneh yang datang. Ia tidak mengharapkan ini.
“Aku memperingatkanmu. Kalau kau tidak bisa diam aku akan mematahkan tanganmu.” Kris mengigit puncak dada itu gemas. Menyedot-nyedotnya seperti bayi kecil. Melihat Luhan yang sedikit tenang atau entah takut, tangannya menuruni bagian bawah tubuh itu dan mengelusnya lembut. Kelewat lembut malah, sampai membuat Luhan memejamkan mata.
“Jangan Kris. Aku mohon.”
Kris terus menjalarkan sentuhannya dan memasukkan tiga jarinya sekaligus ke dalam liang kewanitaan Luhan.
“Enghh!!” Luhan menggigit bibirnya. Tapi desahan itu tetap lolos dari bibir mungilnya yang dicium sekilas oleh Kris.
“Terus keluarkan suara itu, sayang. Kau benar-benar menggairahkan.”
Luhan menggigit bibirnya lagi. Tak berharap suara itu akan keluar dari mulutnya. Ia tidak ingin, tidak sudi.
Jari-jari itu maju mundur di dalam tubuhnya. Tubuh Luhan yang merespon dengan baik membuatnya menyumpah kalau ia membenci dirinya sendiri. Ia kembali mencoba untuk melawan dengan menjambak helaian rambut Kris di atas dadanya.
“Keluarkan jarimu dariku!”
Kris yang masih menyedot satu bukit kembar itu mendongak sebentar dan melepaskannya dengan gigitan kecil. “Aku sudah mengatakan padamu untuk diam, kan?” Kris mengangkat tangan kiri Luhan ke udara dan meletakkan genggaman tangannya sendiri di pergelangan tangan mungil itu. Insting Luhan mengatakan kalau Kris akan melakukan sesuatu. Luhan reflek memejamkan mata dan memiringkan wajah.
KLEK
“KYAAAA!!!” Luhan menjerit dengan keras. Merasakan tulang pergelangan tangan kirinya yang patah tanpa darah yang menetes sedikit pun. Air mata jatuh tumpah dan rasa sakitnya benar-benar membuatnya ingin pingsan lagi.
“Kalau kau melawan lagi, aku bisa mematahkan tanganmu yang satunya.”
Luhan terisak-isak menahan sakitnya dan ngilu yang bersamaan karena jari-jari Kris bergerak kasar mengorek liang kewanitaannya. “Engh… ahh! Ah! Hh!” Hingga ia merasakan sesuatu dalam tubuhnya berdenyut tidak nyaman. Ia merasakan sesuatu keluar dan tubuhnya melemas seketika.
“Ah, kau sudah keluar, ya? Mengecewakan sekali.”
Kris berdiri dan menatap Luhan sesaat. Kemudian tangannya bergerak membuka ikat pinggang sampai satu kain terakhir lolos melewati kaki panjangnya. Kemudian ia meraih paha Luhan dan melebarkannya.
Luhan merasakan batang tumpul yang tegang berada dibibir kewanitaannya. Awalnya hanya perasaan geli, tapi seketika gelengan kepala yang ia keluarkan. Sakit itu mulai merambat.
“Engh!!”
Kris mencoba memasukinya pelan dan beberapa kali batang itu harus keluar karena perbedaan ukuran yang mencolok.
Luhan memejamkan matanya. Tangannya meremas-remas serpai. Sampai akhirnya batang itu masuk telak setelah menembus penghalang tipis. Dan ia menjerit lagi bersama air mata yang jatuh turun. “S-SAKIT KRIIIS.”
Mata itu memerah seperti leher sampai pundaknya dan bibirnya yang membengkak harusnya membuat Kris berpikir bahwa itu terlihat sangat buruk. Tapi baginya, itu adalah sesuatu yang sangat indah dan cantik.
“Jadi Kai belum pernah melakukannya denganmu?” Kris berdecak, dingin. “Kehormatan untukku menjadi yang pertama.”
Pertama Kris mendesis, merasakan betapa sempit dan kering permukaan rahim itu. Ia menyesal karena tidak melakukan pembukaan yang lebih menarik dulu tadi. Jadi masih pelan ia menggerakkan batangnya didalam tubuh itu.
“Ahh!! Engh!! Ah… ahh!!” Luhan terus melenguh merasakan batang Kris maju mundur di dalam dirinya. Menyentak-nyentak hingga berbunyi “plak” karena kedua benda yang terus bergesekan. Sementara Luhan terus menjerit-jerit merasakan dinding liangnya dihujami batang itu, Kris terlihat sangat menikmati tubuh korbannya. Kedua tangannya meremas-meremas dua bukit kembar itu dan giginya mengigit pundak Luhan dengan kasar.
“Ahh! Ahh! Ah!” erang Luhan. Tubuhnya naik turun menyesuaikan gerakan Kris.
Kris mempercepat temponya. Maju mundur yang berbanding terbalik dengan Luhan. Tubuhnya bergetar tidak nyaman, nafasnya putus-putus. Sesuatu yang seolah seperti sengatan listrik pun ia tidak merasakannya.
Luhan dapat menebak batang Kris yang mendadak lebih kuat menghujaminya pasti akan mengeluarkan seuatu. “Kriiiis…” pertama Luhan benar-benar mendesis. “Janghhhaan−berhentihhh!!!” Luhan hanya menggeleng disela desahan dan isakannya.
Ditelinga Kris, kata yang baru saja diucapkan Luhan seperti memintanya agar jangan berhenti. Kata yang sangat berbeda maksud dengan apa yang diminta Luhan. Kris keburu melesakkan batangnya jauh ke dalam rahim Luhan. Sama sekali tak menggubris ucapan perempuan di bawahnya.
“Oh. Siiitt. Ah! Ah! Ahhh!” Kris ikut meracau. Batang besarnya yang menancap jauh dalam tubuh Luhan itu berdenyut-denyut, seperti diremas secara kuat oleh sang empunya. Ia tidak bisa menyangkal sangat menikmati percintaan ini. Ia sebenarnya ingin lebih lama menyiksa seseorang dibawahnya, masih ingin. Tapi… ia yang sama sekali tidak memiliki rasa kasihan semakin mempercepat temponya yang bahkan sudah cepat itu.
Dan sengatan listrik dalam dirinya menyembur seluruh dinding rahim Luhan. Cairan pekat warna merah muda merembes keluar saat Kris mengeluarkan dirinya dari perempuan itu. Cairan lengket Luhan yang sudah beberapa kali keluar sebelum Kris ikut merembes membasahi serpai dengan darah perawannya.
Luhan menahan nyeri di selangkangan dan seluruh persendiannya seperti mati rasa. Hanya mulutnya yang bergerak memburu oksigen dan matanya mengerjap. Dadanya serasa ditekan sesuatu yang berat. Nafasnya masih sesak, sangat. Dari perut sampai ujung kakinya, ia hanya merasakan keram yang luar biasa. Kakinya masih mengangkang dan ia sama sekali tak ingin memperdulikan itu.
“Kau tidurlah!” Kris mengambil tempat di sampingnya. “Atau kau ingin melanjutkannya lagi?” Kris memiringkan tubuhnya menatap Luhan. Satu tangannya ia gunakan sebagai bantalan kepala.
“Tidak. Aku tidak sudi.”
Luhan merasakan tangan panas Kris bergerak di bawah punggungnya. Mengangkat tubuhnya hati-hati dan meletakkannya di atas tubuh Kris. Luhan tidak berusaha menolak. Gerakan sekecil apa pun akan memperburuk keadaannya. Dan ia hanya bisa mengalihkan pandangannya dari mata elang Kris dan terpaksa menaruh kepalanya di dada bidang itu. Ia ingin tidur dan secepat mungkin bisa bangun dari mimpi mengerikan yang sudah terjadi hari ini.
Atau kalau mungkin… ia ingin tidur dan tidak terbangun lagi.
TBC
Note :
Annyeong chingu~
Author kembali, tapi maaf kalau banyak kesalahan di chapter ini. Author belum banyak mengedit tapi notebook sekaligus laptop author malah betah dibengkel. Parahnya lagi flashdisk author pun kejangkitan virus (gak ada yang nanya. Tapi sumpah, dompet author jebol, kurus kering). Ngirim chapter ini aja dari hasil minjem laptop orang.
Intinya kalau banyak kekurangan di chapter ini author minta maaf sebesar-besarnya.
Author ngilang *bow*
