A Twist in My Story (Chapter 1)
Title : A Twist in My Story (Chapter 1)
Author : seijurossi
Cast :Cho Soyeon (OC), Kim Jongin, Byun Baekhyun, Park Chanyeol
Genre :AU,School Life, Romance, Comedy, Friendship, Family
Length :Chapter
Rating : PG-15
Disclaimer : Pure of her imagination. Casts are belong to God and themselves. She doesn’t own and surely not claiming them as hers.
Summary : Setiap orang pasti memiliki lika-liku dalam hidupnya. Bagaimana jika dalam sehari muncul dua orang yang membuat kehidupanmu berubah drastis?
A Twist in My Story © Seijurossi
Chapter One
I (Don’t) Bring The Boys Out!
Normal Point of View
Cho Soyeon mengetuk jari telunjuknya beberapa kali. Suasana hatinya saat ini sedang tidak bagus.
Pertama, karena dia mendapat nilai terendah di dalam kelas. Mau bagaimana lagi, Matematika adalah pelajaran yang paling Soyeon benci dari dulu. Tetapi tetap saja dia tidak bisa menghindari matematika mengingat materi kelas 1 SMA semakin sulit dan rumit.
Kedua, gara-gara nilainya yang rendah itu, Soyeon tidak diperbolehkan pulang terlebih dahulu untuk mengerjakan tugas tambahan. Ingin rasanya Soyeon mencekik leher Lee Seonsaengnim yang tanpa rasa belas kasihan memberinya kumpulan soal matematika dan berpesan agar Soyeon menyelesaikan satu paket saja. Oh ayolah, bagaimana bisa disebut ‘saja’ sementara satu paket itu ada 50 soal?!
Ketiga, Soyeon harus segera menyelesaikan 50 soal sialan itu dalam waktu satu setengah jam karena Eomma-nya akan bertemu dengan suami serta anak barunya.
Ya. Emma-nya akhirnya akan menikah lagi setelah lebih dari 10 tahun kedua orangtuanya bercerai. Hari ini, pukul empat sore, calon Appa baru serta kakak barunya akan datang ke rumah Soyeon.Sekarang waktu menunjukan pukul 2 lebih 55 menit siang. Dan Soyeon baru mengerjakan 20 soal. Itu saja sebagian dikarang jawabannya.
“Aish, kurang 30 soal.” Soyeon kembali mengetuk jari telunjuknya dengan kesal. Tangan satunya bertopang dagu sambil memegang pensil. Beberapa kali dia melirik jam dinding lalu kembali memandang coretan rumus yang bertebaran di bukunya.
“Ani, bukan ini rumus yang dimaksud. Apa memakai rumus satunya ya? Tapi sudah kucoba juga tidak bisa, tapi—aaaaahhh aku menyerah!!” Soyeon melempar pensilnya lalu mengacak-acak rambutnya frustasi. Dia segera memasukan kumpulan soal sialan itu ke tasnya dan segera keluar kelas. Dia ingin kabur sekarang juga.
Dan berhasil, sewaktu Lee Seonsaengnim sedang mengobrol dengan orang lain, Soyeon memanfaatkan kesempatan itu dengan berlari menuju gerbang sekolah. Dia tidak peduli besok akan dimarahi oleh Seonsaengnim atau mungkin tugasnya akan bertambah banyak. Yang jelas saat ini Soyeon ingin segera pulang!
Di depan pintu gerbang, Soyeon mengatur nafasnya sejenak. “Capek juga berlari-lari seperti orang kesetanan tadi,” keluhnya.
“Kenapa lama sekali sih?”
Sooyeon terlonjak kaget. Entah darimana datangnya, tiba-tiba sesosok namja asing sudah berdiri di hadapannya, melipat tangannya, dan menatap Soyeon kesal.
“Nuguseyo?” tanya Soyeon heran. Namja itu memakai kaos berwarna putih serta jins panjang berwarna hitam. Sangat simple dan kasual. Tetapi justru itu yang membuat namja ini terlihat menarik. Apalagi wajahnya yang termasuk di atas rata-rata.
Eh, tunggu. Kenapa jadi bicara soal penampilan namja itu?
“Tidak penting. Pertanyaanku belum kamu jawab, kenapa tadi lama sekali?”namja itu menatap Soyeon jutek. Sooyeon mengangkat alis.Heran. Perasaan dia tidak mengenal namja itu, dan namja itu sendiri yang menungguinya, tetapi kenapa justru namja itu yang marah?!
“Oh, kalau begitu aku juga tidak harus menjawab pertanyaanmu.” Soyeon merasa kesal kembali. Padahal akhirnya dia bisa menjernihkan pikirannya dari kumpulan soal sialan tadi, tetapi sekarang justru dibuat kesal lagi dengan seorang namjatak dikenal ini!
Namja itu memutar matanya, “Kau benar-benar tidak mirip ya,” desisnya.
Soyeon mengerutkan kening. Dari tadi namja itu selalu berbicara mengenai hal-hal yang tidak dimengerti olehnya. Dan itu membuatnya semakin kesal.
Soyeon berjalan melewati namja itu. Dia tidak mau membuang waktunya dengan namja itu, tetapi tangan kirinya tiba-tiba ditahan olehnya, “Kau mau ke mana?” tanya namja itu masih dengan wajah juteknya.
Soyeon semakin tidak tahan, dengan paksa dia berusaha untuk melepaskan pegangan tangan namja itu. tetapi kekuatannya masih kalah. Walaupun badannya kurus tetapi seorang namja tetaplah namja.
Amarah serta rasa kesal mulai mengalahkan kesabaran Soyeon. Dia menatap namja itu garang, “KAU MAU APA?” teriak Soyeon dengan dua oktaf lebih tinggi.
Namja itu tidak menjawab, dia justru menatap Soyeon dengan pandangan—untuk kesekian kalinya—jutek.
Soyeon mulai berontak lagi, “Jangan tatap aku seperti itu! Sebenarnya kau ini siapa?! Aku tidak punya banyak waktu untuk meladenimu seperti ini!”
“Aish…” namja itu menutup telinga kanannya. “Bisa bicara dengan lebih santai tidak, Soyeon-ssi? Jujur, teriakanmu itu membuat telingaku sakit.”
Soyeon memandang namja itu aneh. Kenapa dia tahu namaku?Pikir Sooyeon heran.
Seakan tahu pikiran Soyeon, namja itu melanjutkan perkataannya, “Simpan semua pertanyaanmu untuk nanti, Soyeon-ssi. Aku malas menjelaskannya sekarang. Yang jelas, sekarang kau ikut saja denganku.”Namja itu menarik Soyeon dengan paksa. Soyeon yang ingin berteriak lagi memutuskan untuk diam. Karena, kalau dipikir-pikir, suaranya bisa habis kalau berteriak heboh seperti tadi.
Ternyata namja itu membawa Soyeon ke sebuah mobil. Begitu Soyeon melihat mobil jazz hitam itu, langkahnya seketika terhenti. Namja itu menoleh ke arah Soyeon sambil menatapnya malas, “Tenang saja, aku tidak akan berbuat macam-macam. Karena bagiku kau ini tidak menarik.
Soyeon mengepalkan tangannya. Berusaha untuk tidak meledakkan emosinya kepada namja satu ini. Cish, dari penampilan mungkin namja ini memang tampan, tetapi untuk sifatnya jangan ditanya.
‘Aigo, sabar Soyeon-ah, sabar. Hari ini kamu pasti sedang diberi cobaan untuk bersabar dari Tuhan..’ Soyeon menyemangati dirinya sendiri begitu sudah duduk di dalam mobil. Namja itu ternyata tidak menyupir, dia membawa seorang sopir.
Soyeon tersenyum sinis ketika mobil sudah melaju. “Tidak bisa menyetir mobil ya? Huh, ternyata penampilan memang menipu,” ucapnya dengan maksud menyindir namja itu.
Di luar dugaan, namja itu tetap bersandar pada jendela mobil. Tatapannya mengarah ke pemandangan di luar mobil. Dia sama sekali tidak mengindahkan sindiran Soyeon, bahkan menatapnya pun tidak.
Soyeon mencibir pelan, berusaha untuk menutupi rasa malunya karena perkataannya tidak diindahkan. ‘Namja itu sungguh menyebalkan,’ kata Soyeon dalam hati.
Setelah itu, tidak ada sepatah kalimat pun yang terucap dari Soyeon maupun namja itu. Soyeon sudah kapok berbicara dengan namja itu, yang pada akhirnya selalu menyindirnya. Jadi lebih baik diam, memikirkan strategi kalau saja namja itu mengajak Soyeon untuk beradu mulut lagi.
Tetapi diam-diaman seperti ini juga membuat Soyeon bosan. Dia melirik ke arah namja yang berada di sebelahnya. Namja itu masih menatap ke luar mobil, jadi seluruh wajahnya tidak terlihat. Tapi kenapa namja itu dari tadi tidak mengeluarkan suara ya? Apa dia tertidur? Kalau seandainya tidur, berarti Soyeon memang sudah gila berbicara sendirian tadi.
Soyeon mulai mendekati namja itu. Hanya memastikan apakah namja itu tertidur apa tidak. Wajah namja itu mulai terlihat jelas, kedua matanya terpejam. Sepertinya dia memang tertidur. Soyeon memperhatikan wajah namja itu lekat-lekat. Walaupun sebal, tetapi Soyeon mengakui kalau namja ini memang sangat tampan. Rambut cokelat mudanya terlihat pas dengan wajahnya yang cukup tirus. Dan Soyeon baru menyadari, kalau namja itu sedang tertidur, wajahnya benar-benar terlihat seperti anak kecil. Sangat polos dan…lucu.
“Ternyata kau diam-diam menyukaiku, ya.”
Soyeon membelalakan matanya lalu segera menjauh dari namja itu. Namja itu—yang ternyata hanya berkamuflase—menatap Soyeon seraya tersenyum simpul. Tipe senyuman yang paling dibenci oleh Soyeon.
“Aniya, aku hanya mencoba memastikan apa kau tidur atau tidak,” jawab Soyeon sambil berusaha menjaga nada suaranya agar tidak gugup.
“Dengan menatapku lekat-lekat selama 20 detik?”
Soyeon mengerutkan kening. 20 detik? Selama itukah dia menatap namja itu?
“Kau benar-benar kurang kerjaan, menghitung berapa lama seseorang menatapmu seperti itu,” kata Sooyeon dingin.
“Dan kau lebih kurang kerjaan, menatap seseorang selama 20 detik hanya demi memastikan seseorang itu sedang tidur atau tidak,” balas namja itu tak kalah dinginnya. Soyeon menggigit bibir bawahnya. Namja itu benar-benar pandai dalam hal menyindir orang. Karena itu, menit selanjutnya, Soyeon hanya bisa tertunduk. Memainkan ponsel di tangannya. Berusaha menebalkan kupingnya dari suara tawa penuh sindiran dari namja menyebalkan yang duduk di sampingnya itu.
Sampai akhirnya, mobil yang dinaikinya berhenti di suatu tempat.
~A.T.i.M.S~
Cho Soyeon Point of View
Demi Tuhan, siapa SEBENARNYA namja ini?! Coba tebak ke mana dia membawaku? Sungai Han!
“Di sini pemandangannya paling bagus, selain Namsan Tower tentu saja,” kata namja itu sewaktu aku menanyakan tentang hal tersebut.
Oh yeah, tentu saja aku tahu. Semua warga asli Seoul pasti tahu mengenai fakta yang disebutkan namja itu, bodoh! Dia kira aku bukan warga asli Seoul, apa?
“Sebenarnya apa maumu membawaku ke sini?” tanyaku kesal.
“Bukankah barusan sudah kukatakan? Pemandangan di sini paling bagus, makanya aku mengajakmu ke sini. Seharusnya kau berterima kasih padaku.”
Aku membelalakan mataku. Apa? Berterima kasih? Aku berterima kasih dengannya? Bagaimana aku bisa berterimakasih kepada orang yang dengan seenaknya membawaku tanpa ijin?
“Untuk apa aku berterimakasih? Kau menculikku.Walaupun mungkin kau hanya sekedar membawaku ke Sungai Han tanpa berbuat apapun, tetap saja kau menculikku. Kita bahkan tidak saling kenal—aku tidak peduli dengan fakta kau mengetahui namaku—jadi bisa tolong kembalikan aku?” kataku setengah menjerit. Tetapi namja berambut cokelat itu bahkan tidak menghiraukan racauanku. Ugh, aku benci sekali dengannya.
“Jangan coba-coba untuk kabur ya, Soyeon-ssi. Karena kau akan kukejar jika kau mencoba kabur,” kata namja itu sekali lagi sebelum dia menuju ke pinggir Sungai Han. Merebahkan diri di atas rumput hijau dan mengambil iPod dari kantong celana kirinya.
Aku mendesis. Cukup pelan tapi tidak bisa disebut keras. Yang jelas aku ingin namja itu mendengarnya supaya dia tahu aku sedang menyindirnya balik. Walaupun aku tahu pasti reaksi namja itu hanya tertawa dan tertawa. Menyebalkan.
Aku melirik layar ponselku. Setengah empat. Bagus. Setengah jam lagi acaranya dimulai. Dan waktuku sukses tersita karena ulah namja-yang-bahkan-belum-menyebutkan-namanya ini. Masa bodoh dengan dia yang akan mengejarku jika aku kabur. Yang terpenting aku harus segera pergi dari sini.
Segera aku berbalik dengan cepat. Aku beruntung karena aku berdiri tidak jauh dari jalan raya. Jadi yang harus kulakukan adalah berlari secepat mungkin sehingga sampai di walking road. Dan aku akan segera menaiki bus untuk pulang ke rumah. Yes. Ide bagus.
Jadi aku langsung merealisasikan ideku. Aku benar-benar berlari sekuat tenaga. Tidak peduli apakah namja itu melihatku kabur atau tidak, yang jelas aku terus berlari. Sampai aku mencapai titik dimana aku benar-benar sudah tidak kuat berlari, akupun berhenti. Terengah-engah. Aku ingat di sekolah tadi aku juga berlari kencang dengan alasan yang sama seperti saat ini—kabur. Bedanya, tadi aku kabur dari Lee Seonsaengnim, sedangkan sekarang dari namja tanpa nama itu.
Seketika aku teringat sesuatu. Dengan cepat aku menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada sosok namja berambut cokelat ataupun sopirnya. Aku menghela napas lega. Setidaknya aku berhasil kabur tanpa sepengetahuan namja dan sopirnya itu. Ternyata namja itu benar-benar pembual. Nyatanya dia tidak mengejarku sama sekali. Baguslah, kalau begitu untuk selanjutnya aku bisa berjalan santai menuju stasiun MRT tanpa harus gelisah akan kehadiran namja tanpa nama itu tiba-tiba.
“Mau kemana, Agassi?”
Langkahku terhenti. Suara seorang namja. Dan dia tepat di belakangku. Apakah dia namja tanpa nama itu? Memikirkan kemungkinan itu membuat keringat dinginku bercucuran. Bagaimana jika itu benar? Apakah dia akan menyeretku ke Sungai Han lagi?
Tanpa menjawab pertanyaan namja di belakangku, aku mulai melangkahkan kakiku lagi. Tetapi ini tidak bertahan lama karena namja di belakangku tiba-tiba memegang bahuku. Badanku menegang seketika.
Ragu-ragu, aku menoleh ke belakang. Pikiranku sudah dipenuhi dengan berbagai cara untuk kabur jika seandainya namja di belakangku ini adalah namja tanpa nama itu.
Tetapi ternyata dia bukan namja tanpa nama. Namja itu berambut cokelat tua dan wajahnya terlihat familier. Tetapi aku tidak mengenalinya. Siapa dia?
“Mau kemana, Agassi?” namja itu mengulangi pertanyaannya. Tetapi kali ini dengan cengiran lebarnya. Karena didukung dengan faktor wajahnya yang tergolong imut, cengirannya sukses membuatku ingin mencubit pipinya.
Aku tidak menjawab. Lagi-lagi muncul sesosok namja tak dikenal yang menghampiriku. “Kau mengenalku?” tanyaku langsung. Siapa tahu namja ini hanyalah namja iseng yang suka menggoda setiap yeoja yang lewat—walaupun aku meragukan hal tersebut karena melihat wajahnya yang kurasa terlalu polos untuk menggoda seorang yeoja.
“Tentu saja, kau Cho Soyeon kan? Aku tidak mungkin salah mengenalimu,” jawab namja itu. O-oke… Jadi ada dua namja yang sama-sama mengenaliku padahal aku tidak mengenal mereka semua. Hebat sekali hari ini.
“Tetapi aku tidak mengenalimu…” jawabku jujur. Berharap setelah ini namja itu dengan sukarela memperkenalkan dirinya. Tidak seperti namja tanpa nama yang tadi. Membawaku tanpa ijin, padahal dia belum menyebutkan siapa dia sebenarnya.
Namja itu menaikkan sebelah alisnya, “Geuraeyo? Pantas saja wajahmu tidak terlihat terkejut ketika melihatku. Seharusnya kau terkejut karena sudah lama kita tidak bertemu, Soyeon-ah.”
“ ‘Sudah lama tidak bertemu’? Apa sebelumnya kita pernah bertemu?” tanyaku lagi. Apakah aku pernah mengenal namja ini? Jika iya, kapan dan di mana?
Namja itu melebarkan matanya. Seolah tidak percaya dengan apa yang barusan kukatakan. “Ya Tuhan. Cho Soyeon, ini aku, Byun Baekhyun. Teman SD-mu dulu,” katanya.
Aku mengerutkan kening. Byun Baekhyun?
“Kita sempat sekelas selama setahun sewaktu kelas 6 SD. Aku pindahan dari luar negeri. Kau tidak ingat?”
Aku semakin mengerutkan kening. 6 SD? Pindahan dari luar negeri?
Melihat ekspresiku yang semakin terlihat bodoh, Baekhyun menghela napas berat. “Baiklah, kurasa aku berharap terlalu berlebihan denganmu.”
Aku sedikit jengah. Yang dia katakan barusan bukan dengan maksud untuk menyindirku kan?
“Maaf, tapi aku benar-benar tidak ingat,” kataku membela diri. Memang benar kok. Seumur-umur aku tidak pernah mengenal seseorang bernama Byun Baekhyun. Yah, kecuali wajahnya yang sekali lagi terlihat familier denganku. Apa itu berarti kesalahan memang terdapat pada diriku sendiri?
Baekhyun tersenyum. Seolah tidak ingin membuatku salah paham. “Tidak apa. Kalau begitu kita berkenalan sekali lagi saja. Byun Baekhyun imnida,” katanya sambil mengulurkan tangannya ke arahku. Aku menerima uluran tangannya dengan canggung. “Uhm, Cho Soyeon imnida…”
“Pertanyaanku belum kau jawab. Kau mau pergi ke mana?” lagi-lagi Baekhyun mengulang pertanyaannya.
“Pulang, mungkin…” mataku menerawang. Kenapa aku jadi teringat namja tanpa nama itu?
“Mungkin?”
Aku tersadar. “Eh, tentu saja. Aku mau pulang. Iya, pulang,” kataku cepat. Apa yang kupikirkan sih? Bukankah memang sejak awal tujuanku itu pulang?
“Oh, mau kuantar? Eh, lebih tepatnya diantar. Kau pasti tahu Chanyeol, kan?”
“Tentu saja. Dia teman terlama yang kulihat di kehidupanku.” Aku menatap Baekhyun heran. “Kau kenal dia?” tanyaku.
“Tentu saja. Dia teman satu tahunku yang paling baik,” kata Baekhyun sambil menatapku balik. Ah benar juga. Tadi Baekhyun bilang dia sekelas denganku sewaktu kelas 6 SD, berarti secara tidak langsung dia juga sekelas dengan Park Chanyeol, teman masa kecilku yang selalu saja sekelas denganku. Karena itu, aku hampir mati bosan melihat wajahnya terus selama 11 tahun ini.
“Oh, geuraeyo…” aku benar-benar tidak tahu harus bereaksi seperti apa lagi. Baekhyun terus saja berbicara seolah-olah aku mengingat sosoknya dulu. Padahal mengingat fakta bahwa dia pernah sekelas denganku saja tidak.
“Jadi, mau diantar oleh Chanyeol? Dia kebetulan sedang membawa mobil.”
Aku melihat jam tanganku. Ups. 15 menit lagi. Baiklah, mumpung ada yang menawarkan. Aku mengiyakan tawaran Baekhyun. Dan tidak lama datanglah mobil yang sudah tidak asing bagiku. Chanyeol cukup terkejut melihatku yang tiba-tiba memintanya untuk mengantarku pulang. Tetapi karena penjelasan singkat Baekhyun, jadilah aku sekarang berada di dalam mobil Chanyeol.
~A.T.i.M.S~
“Jadi, kalian sedang pergi bersama…” aku mengangguk-angguk mengerti. Baru saja Baekhyun menceritakan mengapa dia bisa bersama Chanyeol hari ini. Begitu mendengar kabar mengenai kepulangan Baekhyun, Chanyeol langsung menghubunginya dan mengajaknya jalan-jalan.
Dan ternyata memang benar dulu aku mempunyai teman bernama Byun Baekhyun. Setelah sempat pindah ke luar negeri selama lima tahun, Baekhyun memutuskan untuk kembali ke Seoul. Lusa, dia akan mulai bersekolah di sekolah yang aku tempati serta Chanyeol. Taruhan, pasti Baekhyun akan sekelas denganku. Karena melihat kedekatannya dengan Chanyeol, bukan tidak mungkin kepala sekolah akan memasukkan Baekhyun di kelas yang sama dengannya. Dari dulu, kepala sekolahku memang paling tidak ingin repot-repot. Jika ada murid baru yang ingin masuk ke kelas tertentu, pasti langsung dipenuhi permintaannya. Padahal aku yakin karena kepala sekolah malas bertemu dengan Tata Usaha.
Eh? Aku belum bilang ya? Kepala sekolahku tidak lain tidak bukan adalah Appa-nya Chanyeol. Dan keluargaku sudah sangat dekat dengan keluarga Chanyeol—tentu saja, makanya aku bisa berbicara tanpa beban mengenai kepala sekolahku. Walau beliau terkenal dengan kebijaksanaan dan keseriusannya, tetapi jika sudah di rumah, berkumpul dengan Chanyeol, tingkahnya sangat kekanakan. Yah, mungkin itu sebabnya anaknya (baca: Chanyeol) mewarisi sifat Appa-nya. Chanyeol itu termasuk golongan anak yang pintar tetapi tingkahnya itu terkadang… tidak normal.
“Baekkie juga akan tinggal di dekat rumah kita lho, Yeon-ah,” kata Chanyeol senang.
Baekkie? Aku ingin tertawa mendengar nama julukan Baekhyun dari Chanyeol. Tetapi pada akhirnya aku hanya bergumam kecil untuk merespon perkataannya. Selain sekelas, rumahku dan Chanyeol juga bersebelahan. Bahkan kamar kita hanya dibatasi oleh jarak 30 cm saja, jadi melompat dari koridor kamar pun bisa—tetapi tentu saja orang yang selalu melakukan hal ini adalah Chanyeol. Dan dia selalu berkunjung ke kamarku di waktu yang tidak tepat. Kalau tidak pukul 10 malam ke atas, ya, pagi-pagi buta seperti pukul 3 pagi. Sudah kubilang terkadang tingkahnya tidak normal.
“Pasti menyenangkan, kita bertiga bisa bermain bersama lagi seperti dulu,” kata Chanyeol lagi. Baekhyun yang duduk di sebelah Chanyeol mengangguk semangat. Sementara aku mengerutkan kening. Sepertinya dari tadi hanya aku yang disconnect dengan percakapan ini.
“Kau tidak ingat lagi ya?” Baekhyun berbalik dan menatapku. Aku hanya tertawa hambar. Tiba-tiba jadi merasa bersalah karena selalu saja merusak saat-saat nostalgia mereka berdua.
“Mungkin karena aku sedang banyak pikiran,” kataku meyakinkan diri. Karena aku tidak ingin dikatai amnesia atau sejenisnya oleh Baekhyun—apalagi Chanyeol. Meskipun niat mereka bercanda, tetapi sama sekali tidak lucu.
“Baiklah, anggap saja kau sedang banyak pikiran. Tetapi untuk selanjutnya kau harus ingat lho, Yeon-ah,” Chanyeol terkekeh pelan. Creepy face-nya mulai terlihat jika dia sudah terkekeh atau tertawa seperti itu.
“Arraseo.”
Mobil sudah terparkir di depan rumahku. Aku mengucapkan terima kasih kepada Chanyeol dan Baekhyun lalu langsung keluar dari mobil. Aku mengecek jam tanganku. Syukurlah, masih ada 3 menit tersisa sebelum pukul 4 sore. Setidaknya aku tidak perlu diceramahi oleh Eomma karena terlambat datang.
Kuputar kenop pintu rumah. Hal pertama yang kulihat adalah sosok Eomma dan seorang Ahjussi yang kuyakini sebagai Appa baruku. Begitu melihatku, Appa langsung menghampiriku senang. “Annyeong haseyo, kau pasti Soyeon kan?” sapa Appa ramah.
Aku tersenyum seraya mengangguk kecil. Karena Eomma tidak pernah memberitahuku siapa nama Appa-ku, jadi aku hanya menjawab, “Annyeong haseyo, Appa…”
Eomma tampak mencari seseorang. Terlihat dari tingkah Eomma yang melihat-lihat di sekitarku. “Di mana Oppa-mu, Soyeon-ah? Bukankah kau bersamanya hari ini?”
“Eh? Oppa? Jadi aku akan mempunyai Oppa baru?” tanyaku sedikit terkejut. Karena—lagi-lagi—Eomma tidak pernah sedikitpun memberiku informasi mengenai Appa dan kakak baruku. Bahkan Eomma hanya mengatakan bahwa aku akan mempunyai kakak baru, tidak menyebutkan apakah itu seorang Eonnie ataupun Oppa.
Eomma justru menatapku heran. “Oppa barumu tidak menjemputmu di sekolah?”
Aku menaikkan sebelah alisku. Merasa tidak mengerti dengan yang Eomma ucapkan. Jadi seharusnya Oppa baruku menjemputku di sekolah? Tetapi mengapa aku tidak bertemu dengannya sama sekali?
Karena aku tidak menjawab, Eomma berkata lagi, “Kata Oppa-mu tadi, dia ingin mengajakmu jalan-jalan sebentar sebelum pulang ke rumah. Ternyata kau pulang sendiri ya? Lalu bagaimana dengan Oppa-mu?”
Mwoya? Apanya yang bagaimana? Aku bahkan tidak dihampiri oleh—
Tunggu. Tunggu. Menjemputku di sekolah?
“Kenapa lama sekali sih?”
Oppa baru?
“Simpan semua pertanyaanmu untuk nanti, Soyeon-ssi. Aku malas menjelaskannya sekarang. Yang jelas, sekarang kau ikut saja denganku.”
Mengajakku jalan-jalan?
“Bukankah barusan sudah kukatakan? Pemandangan di sini paling bagus, makanya aku mengajakmu ke sini. Seharusnya kau berterima kasih padaku.”
….cocok. Tindakan namja tanpa nama itu sangat cocok dengan apa yang dibicarakan oleh Eomma. Dan lagi, sampai detik ini pun aku masih tidak tahu siapa namja itu sebenarnya, mengapa dia tahu namaku, dan mengapa dia TIBA-TIBA mengajakku ke Sungai Han.
Astaga… jangan bilang bahwa…
“Mianhamnida saya terlambat, Appa, Eomma.”
Aku terpaku begitu mendengar suara itu. Bukankah itu adalah suara dari…
Eomma nampak gembira melihat sosok di belakangku dan bergegas menghampirinya. “Selamat datang! Aku sudah menunggumu dan Soyeon dari tadi. Apa kalian tidak pulang bersama?”
“Ah, kita memang pulang bersama. Tetapi di tengah jalan mobil Appa sempat bermasalah, jadi aku menyuruh Soyeon untuk pulang terlebih dahulu.”
Apa?! Sejak kapan ada cerita seperti itu?!
“Oh, begitu. Jadi tadi Soyeon hanya bercanda ya?” Eomma terkekeh lalu menoleh ke arahku yang tengah membelakanginya. “Soyeon-ah, sini. Kau pasti sudah tahu nama Oppa-mu kan?” tanya Eomma sambil menarik lenganku sehingga aku bisa berhadapan langsung dengan Oppa baruku. Dan, oh sial, dia benar-benar namja tanpa nama yang tadi kutemui di sekolah.
Oppa baruku—alias namja tanpa nama itu—tersenyum ke arahku dan berkata, “Tentu saja. Soyeon sudah tahu jika aku adalah Kim Jongin, Oppa barunya yang mulai hari ini akan tinggal bersama di rumah ini. Benar kan, Soyeon-ah?”
Ya Tuhan, mengapa dunia ini sangat SEMPIT sekali?!
To be continued
–
don’t forget to visit my blog http://hellosillo.wordpress.com ^^
