Road to The Skies
// Main Cast: Do Kyungsoo //
//Other Cast: Park Chanyeol, EXO, etc //
// Genre: Life, Angst //
// Rating: PG // Lenght: Ficlet //
Back Sound:
Calvin Harris –Summer–
Written by Luwinaa
.
.
.
Warning’s for this fanfic because any typo :p
Ini satu lagi untuk mengisi wkt luang membaca fic kalian, dan selingan aku utk nyelesain beberapa fic, aku jg merasa suntuk klo hrs namatin fic itu terus-terusan._.
Dan aku paling suka lagu itu >//<
.
Summary:
Beberapa kertas dan pensil cukup menghiburnya di langit sore. Tapi sebuah gambaran tidak cukup baginya untuk menyelesaikan permasalahan hidup. Jadi ia hanya berkeliling waktu.
.
.
27 Maret 2009
Kyungsoo terduduk di bangku putih itu dengan selembar surat berada di tangannya yang bergetar. Ia menatap lantai cukup lama sebelum ia bangkit dan berjalan menjauh dari lorong tersebut. Bisa dibilang ia terlambat dan bahkan nyaris di ujung akhir. Tapi ia tidak terlalu menitikberatkan akibatnya. Ia hanya merasa bosan. Kyungsoo merasa bosan dan lelah dengan semua ini.
Kyungsoo terjungkal ke belakang ketika ia berada di lobby, seorang lelaki muda yang memiliki mata menawan tak sengaja menabraknya. Dan dia meminta maaf berkali-kali, padahal Kyungsoo tidak mengurusinya dan hanya menatap datar lelaki muda itu. Lantas kembali berjalan, mengacuhkan lelaki muda itu yang nampak terkejut.
▲
7 Juli 2017
Dia sedang berdiri di samping teropong pada menara Eiffel. Dia terdiam memandangi kota paling romantis tersebut yang sedikit berkabut dan berangin. Lalu jemarinya mulai meraih teropong, meneliti bangunan kuno di sudut-sudut kota Paris.
Ia lantas mengambil buku sketsanya dan mulai membuat garis-garis abstrak tipis yang membentuk pola geometris, menumpuknya lagi dengan garis yang lebih tebal dan tegas.
▲
29 Maret 2009
Kyungsoo datang tidak lebih dari pukul enam pagi, duduk di depan komputernya dan mulai mengetik beberapa patah kata sebelum seorang perempuan, yang ia kenal sebagai sekretaris atasan dari segala atasan di kantornya, menyuruh Kyungsoo untuk mendatangi ruang kerja atasannya tersebut.
Lantas ia meninggalkan beberapa lembar kertas serta tumpukan berkas yang baru saja datang, dibawa oleh teman kerjanya–Minseok.
Sejujurnya, ia tidak grogi atau apapun tingkah aneh lainnya, tapi ketika ia masuk dan duduk di hadapan atasannya yang menyodorkan sebuah surat, membuatnya diam tak berkutik. Detik jam berbunyi senada dan membuat suara statis yang terdengar di dalam ruangan tersebut.
“Kau boleh membukanya,” dia mengucapkannya dengan nada datar.
Kyungsoo mendongak dan menyembunyikan kedua tangannya di bawah meja, menghela napas dan mulai mengambilnya.
▲
15 Desember 2020
Kyungsoo menangis tanpa suara di bangku taman yang sepenuhnya tertutupi oleh salju. Hujan salju mulai turun, angin berhembus lebih kencang. Tapi Kyungsoo masih ingin untuk menangis. Terdiam dalam waktu yang cukup lama tidak membuat tubuhnya menggigil.
Binar cahaya lampu jalanan yang meredup karena tertutupi salju pada kota Melbourne menjadi salah satu hal yang Kyungsoo senang untuk diamati. Sebuah kehangatan melingkupi beberapa daerah pada lampu itu.
Ia mulai bangkit dan berjalan menjauh, badannya mulai mengecil dan menghilang.
▲
31 Maret 2009
Ini hari Selasa, dan Kyungsoo tidak berangkat bekerja.
Ia mengendarai mobil Mercedes M-Classnya menuju sebuah kafe sederhana di pinggiran Seoul, untuk menemukan sebuah kehangatan.
Kyungsoo duduk di sudut kafe, menatapi seluruh pengunjung dan menikmati semua kejadian yang ada. Seperti, gelak tawa wanita, asap mengepul dari cerutu pria di ujung tempat duduk Kyungsoo, pelayan kafe yang tersenyum pada pelanggan, hembusan angin pendingin, bunyi-bunyi mesin di bagian kasir serta dentingan beberapa benda kaca di pantry kafe tersebut.
Matanya bergerak untuk mendongak ketika seorang wanita yang sedang membaca majalah menatapnya lekat. Kyungsoo mengacuhkannya dan kembali meminum kopinya. Ia membiarkan beberapa detik, sebelum wanita itu berbisik-bisik kepada tiga teman wanitanya di sampingnya.
“Astaga, itu Do Kyungsoo..! Anak dari Presdir Do yang korupsi itu!”
“Benarkah?! Kenapa dia bisa berkeliaran bebas dengan menggunakan uang korupsi ayahnya?”
“Apa itu memang dia?”
Mata-mata kelam itu melirik Kyungsoo dari kejauhan, membuat Kyungsoo salah tingkah sekaligus memancing gemuruh amarah dari Kyungsoo. Dengan segera ia meminum kopinya tapi ia tersedak. Kepalanya pening ketika mengingat dimana waktu ayahnya pulang ke rumah pada tengah malam, dia berteriak ketakutan dan mengemasi barang-barangnya secara cepat dan berlari tergesa-gesa menuju garasinya.
Hingga kini ayahnya masih menjadi tersangka yang bebas.
“Kau, pria tanpa harapan itu kan?”
Sebuah suara mengejutkan Kyungsoo, tiba-tiba dia duduk di depan Kyungsoo. Membawa sebuah nampan yang berisikan mie dengan asap mengepul di atasnya.
Kyungsoo tetap diam. Memandangnya seperti satu titik yang tidak dapat bergerak.
“Oh,ya, aku Chanyeol, Park Chanyeol.”
Dan dari sini, Kyungsoo mendapat sebuah titik yang setiap kalinya akan bertambah titik dan menjadi titik-titik yang saling berhubungan, membuat garis yang panjang dan naik. Titik itu semakin dekat dengan yang namanya harapan bagi Kyungsoo.
▲
02 April 2009
Kyungsoo tidak sengaja bertemu Chanyeol di peron, ia berdiri di samping mesin minuman dan ketika mendongak, tiba-tiba saja Chanyeol ada di hadapannya dengan senyum serta sebuah kaleng minuman yang menjulur ke depan dada Kyungsoo.
Mulanya, Chanyeol mengajak Kyungsoo untuk berjalan-jalan sebentar, menyusuri jalan trotoar pada malam musim semi di Seoul.
Chanyeol berjalan di samping kanan Kyungsoo, dia sibuk dengan minumannya dan sesekali mendesah enak ketika minuman itu mengalir di kerongkongannya. Kyungsoo bahkan menoleh dan memandangnya aneh, alisnya turun satu dan matanya menatap tajam ke arah Chanyeol.
“Apa? Aku bahkan bersyukur dengan minuman kaleng ini.” Chanyeol kembali meneguk minumannya.
Kyungsoo menunduk, memperhatikan bayangan kaki-kakinya di antara kilatan cahaya pertokoan pinggir jalan tersebut. “Kau seperti, ya, melebih-lebihkan sesuatu.” katanya tanpa nada.
Chanyeol awalnya ingin balas menjawab, tapi saat melihat Kyungsoo yang berwajah pucat dan tatapan kosong itu, dia terdiam.
Chanyeol kembali meneguk, mendesah, dan memandang jalanan beraspal yang ramai dengan kendaraan mewah, “Hey, Kyungsoo, aku kenal kau, aku tahu permasalahanmu, dan aku tahu jika kau putus harapan dari tatapanmu itu.”
“Jangan bahas itu, semua orang tahu.”
▲
Beberapa bulan lebih, mereka berteman dan bercerita tentang kebiasaan masing-masing, kehidupan mereka, dan terkadang lelucon yang kembali membuat Kyungsoo merasa lebih hidup.
Tapi setelah tiga hari ayahnya berhasil tertangkap, Kyungsoo menangis di pundak Chanyeol dengan sebuah surat digenggamnya erat. Dan mulai detik itu juga, Chanyeol tahu sebuah rahasia besar Kyungsoo.
▲
27 September 2009
Gemerisik bunyi dedaunan yang mereka injak memenuhi setiap langkah mereka. Chanyeol berjalan di depan Kyungsoo, langkahnya lebih cepat. Kyungsoo juga bingung, ketika ia tiba di taman, Chanyeol menyambutnya dengan alis yang bertautan dan bibirnya berkedut–menahan untaian kata.
“Kyungsoo,” dia masih berjalan, tapi langkah Kyungsoo mulai mengecil. “Hentikan permainanmu dengan waktu, kematian tidak dapat kau hindarkan.” Chanyeol berbalik dengan sebuah senyum tipis.
“Caramu yang melompati tahun-tahun di masa depan tidak akan menghambat kematianmu. Kau hanya perlu sebuah kesenangan untuk melepaskan permasalahanmu itu.”
Kyungsoo terdiam. Ia merasa di dalam tubuhnya seperti terhentak dan berhenti tiba-tiba.
“Aku akan pergi,”
“Tunggu, kau mau kemana, ha?”
“Aku juga sama sepertimu, berpenyakit dan aku akan pergi untuk mencari kesenangan di hari-hari terakhirku.”
▲
25 Desember 2021
Tidak ada yang berubah dari jalanan berliku di perbukitan di New Zealand. Kyungsoo mengemudikan mobilnya dengan kencang, ia kembali menangis.
Titik-titiknya yang menjadi garis panjang itu luruh dan menjadi sebuah serpihan tak berarti. Mulai dari titik dimana ia di pecat, ayahnya menjadi tersangka korupsi, dan ketika ia di vonis mengidap sebuah penyakit dengan beberapa waktu yang terhitung.
Di tikungan, Kyungsoo mengerem mendadak dan memutar setirnya ke arah berlawanan, ban belakangnya berderit kencang, dan ia menarik persenelingnya, kembali menginjak gasnya dengan dalam.
Ia hanya perlu sebuah kesenangan, tapi ia tidak dapat merasakan kembali kesenangan jika semua orang menjauhinya. Menghindarinya dan mencelanya.
▲
11 November 2009
Kyungsoo berdiam diri di lantai tertinggi di rumahnya, menatap hamparan atap yang memenuhi seluk beluk kota Seoul. Dan saat detik berjalan melewati angka tiga, Kyungsoo memiliki sebuah rencana.
Ia bergegas mengambil kopernya dan sebuah ransel berwarna merah hangat. Mengambil semuanya yang menurutnya penting dan berharga untuk dibuang, karena setelah ia berpikir dari perkataan Chanyeol, semua yang ada hanya bersifat duniawi.
Sebelum benar-benar pergi, ia mengendarai mobil menuju kafe saat bertemu Chanyeol, lalu menuju taman, peron, dan tempat-tempat yang pernah ia kunjungi, sesekali ia menorehkan garis-garis tipis pada buku sketsanya.
Ia menggambar sebuah jalanan panjang dengan bayangan hitam yang ia anggap sebuah sinar matahari yang hangat, dengan rerumputan perdu di sepanjang mata memandang. Dan ketika detik berhenti di angka dua belas, Kyungsoo menginjak gasnya, dan pergi.
▲
Juli.
Yang ia ketahui setelah tiba di tempat impiannya, ia tidak mengenal tanggal, tahun, bahkan waktu yang berdetak sekalipun. Ia mengendarai mobilnya secara cepat di jalanan beraspal yang panjang dan sepi itu, ia membuka atap mobilnya.
Menikmati sinar matahari di musim panas. Karena menurut Kyungsoo dan titik-titik tujuannya, kesenangan adalah sesuatu yang muncul secara hangat di dalam tubuh manusia, dan semua itu ia bayangkan pada musim panas.
Ia yang memakai kacamata hitam itu, membuang semua jam tangan mahalnya, semua sepatu, pakaian di sepanjang jalan. Ia juga membuang semua uang yang ada di rekeningnya ke jalanan, semua uang itu kini menghampar bebas di jalanan terik itu.
Lalu ia merobek surat kesehatannya, tertawa dan kemudian, membuangnya ke atas. Lembaran kertas sketsanya yang bagus ia buang dengan senyum lebar. Ia hanya mengikuti titik-titik selanjutnya dan melanjutkannya menjadi sebuah kesatuan dan membentuk garis awalnya lagi.
Ia hanya perlu mengendarai mobil mewahnya, hingga bahan bakarnya habis, ia bahkan bisa meninggalkannya, dan ia bisa berjalan.
Kyungsoo bisa berjalan menyusuri jalanan beraspal pada musim panas yang hangat. Ia bisa bebas, dan merasa kelegaan yang berarti memenuhi rongga-rongga tubuhnya. Dan sampai dimanapun titik itu berakhir, Kyungsoo berhenti dan menatap langit biru yang hangat dengan senyum, dan menghamparkan dirinya, membiarkan tubuhnya terbenam dalam rerumputan halus itu.
THE END
Luwinaa’s Note
Sebenarnya ini langsung semalam aku ketik dan langsung buat posternya pula, aku gak tahu ini apa an karena ini benar-benar mengganjal setiap saat waktu mendengar lagunya.
Jadi, di sini yang ia butuhkan bukan sebuah kejadian melankolis, melainkan sebuah kejadian yang lepas dari kenyataan. Kyungsoo di sini kyk penjelajah waktu untuk menghindar dari waktu kematiannya, dan ia bisa berkeliling dari gambaran sketsanya itu. /jadi pengen menjelajah cmn lewat gambar doang deh-_-/
Maaaf ya yg merasa alurnya ngebut, memang, awalnya aku pingin buat lbh byk narasinya tp gak tahu jadi seperti ini ‘-‘ okay luwinaa in the house jadi saya butuh isi pemikiran anda untuk penyegaran diri saya.
Bagian ini, aku nggak ngedit, ya jadi mungkin ada typo-lah..
