Dauntless One (Chapter 3)
Judul:
Dauntless One (Chapter 3)
Author :
isanyeo
Main Cast
Oh Sehun ; Lim Hansun
Genre:
Romance ; Angst
Rating :
PG13
–
Matanya hanya memandang pintu yang berada hanya beberapa jengkal darinya. Orang-orang memandangnya dengan tatapan aneh, Hansun tak menyalahkan mereka karena dirinya sendiri merasa demikian, aneh. Berdiri setidaknya sudah lebih dari 30 menit, memandang pintu toko furniture. Yang mungkin sudah tutup sebelum tengah malam tadi, Hansun melirik arlojinya. Jam 1 pagi.
Beberapa dari mereka yang melewati Hansun, berusaha bertanya mengapa dia berdiri di depan toko itu dan mengatakan bahwa toko sudah tutup. Namun, Hansun yang menganguk mengerti kepada mereka, karena pada dasarnya Hansun menunggu seseorang yang keluar dari toko tersebut.
Hansun mengejabkan matanya. Satu kali. Dua kali. Hingga seorang lelaki dewasa tua keluar melalui pintu yang sedari tadi ia pandang. Mendorong pintu kaca tersebut dengan perlahan. Hingga sampai mata keduanya bertemu, tatapan lelaki itu melembut. Sebuah senyum muncul, menciptakan kerutan tipis di kedua sudut matanya. Dan untuk kesekian kalinya, tatapan Hansun mengendurkan tatapan datarnya, menjadi begitu hangat dan membuat lelaki di depannya tersenyum lebih lebar.
“Hansun-ah?”
Hansun mendekatkan dirinya dan memeluk lelaki itu dengan erat. “Aku merindukanmu, Abeoji.”
Hansun melepaskan pelukannya. Lim Wonsoo, lelaki yang dipanggilnya ayah hanya tersenyum sebagai jawaban.
“Mengapa kau pulang larut malam?” tanya Wonsoo.
“Aku menunggumu untuk pulang bersama.” Hansun menundukkan kepalanya.
Wonsoo tahu akan jawaban Hansun yang sebenarnya. Meski ia tak bertanya sekalipun, ia cukup memahami anaknya dari cara dia berkata dan bersikap. Seorang ayah mampu mengetahuinya, karena putrinya hidup dengannya selama 18 tahun terakhir.
“Sudah lama sekali, aku melihatmu sebelum waktu tidurmu.” Wonsoo tertawa kecil mengingat keseharian mereka yang sama-sama sibuk.
Hansun yang harus sekolah dan Wonsoo yang harus mengurus toko furniturenya. Walaupun, Wonsoo pemiliknya, bukan berarti dia harus menyerahkan semuanya pada pegawainya. Tapi Hansun, tahu pasti mengapa ayahnya melakukan demikian meskipun dia ayahnya tahu dia tak harus mengerjakan semua perabotan.
“Ya. Sudah lama. Tahun lalu, mungkin?” Hansun mengingat kembali malam tahun baru yang ia lewati bersama ayahnya, satu-satunya malam setahun terakhir sebelum ini, dimana dia bertemu ayahnya sebelum dia terlelap.
Hansun meraih tangan ayahnya. Menggandengnya untuk jalan bersama ke Halte. Kasar. Tangan Wonsoo terasa kasar. Dengan hal itu Hansun tahu bahwa ayahnya bekerja terlalu keras dengan tumpukan kayu serta bahan lainnya.
“Setidaknya istirahatlah sebentar.”
Wonsoo tertawa kecil. Menjitak puncak kepala Hansun. “Lalu bagaimana dengan kau? Tengah malam sudah lewat, kau masih mengenakan seragam, lalu bangun terlalu pagi, tidakkah kau lelah? Setidaknya istirahat sebentar.”
Hansun tersenyum kemudian menyandarkan kepalanya ke lengan ayahnya. Merasakan kehangatan di sana. Mereka berjalan perlahan. Wonsoo tahu, bahwa dibalik tatapan lembut anaknya, dibalik senyum dan tawa kecilnya, Hansun menyimpan beban yang berat, namun Wonsoo tak ingin bertanya kenapa atau apa, dia percaya bahwa putrinya tunbuh dengan pribadi yang kuat, dan dia tak ingin meruntuhkan benteng itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya hanya akan membuatnya lemah.
“Abeoji? Apakah kau merasa 24 jam dalam sehari itu tak cukup? Karena aku merasa begitu. Aku lelah.” Suara Hansun bergetar, dan dengan satu kedipan mata, air mata jatuh lagi dari kedua sudut matanya.
Wonsoo menahan nafas sebentar merasakan getaran di lengan kanannya. “Kurasa itu juga tak cukup.”
Kenyataannya, Hansun meruntuhkan pertahanannya hanya kepada satu sosok di sampingnya. Satu sosok yang benar-benar dia cintai dibandingkan apapun yang pernah Hansun miliki.
–
Sehun mengendarai mobilnya perlahan. Melewati distrik-distrik dan menyadari bahwa dia melewatkan satu film hari ini. Hansun tiba-tiba pergi dan Sehun tak mengetahui dia ada di mana. Sehun mencoba untuk mencari Hansun di halte terdekat namun nihil.
Hansun tak mengenalimu.
Suara di kepalanya itu mengetuknya. Hansun tak mengerti siapa Sehun, namun di balik itu Sehun mengetahui siapa Hansun. 2 tahun terakhir merupakan waktu yang cukup untuk mengetahuinya, namun tak mengenalinya. Hingga malam di mana ia memutuskan untuk duduk di samping Hansun. Sehun harus mengakui bahwa duduk di sampingnya merupakan hal menegangkan untuknya dibandingkan selalu menatap punggungnya.
“Lim Hansun! Kau membuatku tegila-gila sejak pertama bertemu denganmu.”
Lalu matanya menangkap sosok perempuan dengan rambut disanggul kendur. Berdiri di toko yang sudah tutup. Sehun mengenali figur tersebut, Hansun. Sehun menghentikan mobilnya di pinggir jalan sepi dan mendekat ke arah Hansun. Belum sampai dia menghampiri Hansun, muncul seornag lelaki yang membuat kedua alis Sehun bergabung, bertanya-tanya iapa lelaki itu.
Sehun hanya terdiam mematung ketika melihat ekspresi Hansun yang melembut dan mata yang berbinar. Kedua tangan membentang dan merengkuh lelaki itu dan mengucapkan nama ‘ayah’. Sehun hanya diam menyadari bahwa lelaki itu adalah Ayahnya.
Kemudian, senyum kecil tercipta di wajah Sehun melihat ekspresi baru yang dilihatnya. Sosok Hansun tidak pernah berekspresi demikian, meskipun seorang Hansun tertawa, namun tak pernah dia melihat mata berbinar serta senyum yang lebar mencapai mata.
Sehun masih mengikuti mereka dari belakang. Meninggalkan mobil di dekat toko. Berjalan seirama dengan dua orang di depannya yang kini saling berbicara satu sama lain. Sehun hanya menangkap beberapa kata dari Hansun serta ayahnya. Hingga dilihatnya punggung Hansun terguncang dan diikuti dengan getaran kecil. Dengan itu Sehun bisa mengatakan bahwa Hansun tengah menangis.
Sehun menghentikan langkahnya. Membiarkan kedua orang tersebut pergi menjauh dari tempat di mana dia berdiri.
Hansun mungkin membutuhkan privasi dan tidak seharusnya aku mendengarkan.
–
Sehun masuk terlebih dahulu di kelas Bahasa Inggris. Hansun baru saja sampai di ambang pintu, dan Sehun tak tahu harus berkata apa untuk menyapa Hansun hari ini. Dengan kepergian Hansun yang tiba-tiba dan ekspresi Hansun yang dilihatnya kemarin malam. Sehun tak tahu harus bersikap bagaimana dan mengatakan apa kepada Hansun.
Seolah menjadi kebiasaan. Hansun duduk di samping Sehun, dia tak ada maksud tertentu untuk duduk di sampingnya, sedangkan untuk tak duduk bersamanya, Hansun juga tak memiliki alasan itu.
Sehun hanya diam hingga pelajaran dimulai, dan tak satupun kata keluar dari mulut Sehun untuk sekedar bertanya basa-basi kepada Hansun.
“Buatlah sebuah puisi, gunakan pengandaian.If.”
Hansun tengah menggoreskan tinta pada secarik kertas. Sedangkan Sehun mencoba untuk mencuri-curi pandang ke arah Hansun.
“Oh Sehun?”
Sehun menegakkan kepalanya menatap guru Kim di depan, menatapnya dengan tatapan tak suka. Sehun tahu bahwa guru Kim menagnkapnya tak mengerjakan apa yang ia katakan beberapa saat yang lalu.
“Majulah dan bacakan puisimu.”
Sehun hanya menganguk ragu dan Hansun meliriknya sekilas. Tanpa mengetahui mengapa Sehun dipanggil untuk membacakan puisi pertama kali. Sedangkan Sehun tengah berdiri di depan kelas, memilih untuk tak melihat ke arah Hansun, karena jika dia melakukannya, dia tak mengerti apa yang harus ia sampaikan dan guru Kim akan menghukumnya.
Pengandaian? Berkhayal? Batin Sehun.
If only.
If only I,
could see her.
If only I,
could enter her world.
If only I,
knock the door,
of her heart.
If only I,
got to know her first.
Then again, it was if only.
If only.
Sehun menggelengkan kepalanya beberapa kali. Merasa bahwa puisinya terlalu memalukan untuk dibaca, bahkan dia tak begitu mengingat apa kata pertama yang ia sampaikan. Ia hanya tahu bahwa puisi itu untuk Hansun. Lalu beberapa gadis yang bergerombol di pojok tersenyum dan menahan pekikan kagum pada Sehun. Guru Kim hanya menganguk dan menyuruh Sehun untuk duduk. Sehun melirik Hansun yang tak melihatnya sama sekali, raut kecewa nampak di wajah Sehun, mungkin Hansun tak mendengarkannya.
Satu per satu murid membacakan puisinya. Sehun tak begitu memperhatikan, pikirannya melayang pada saat ketika dia membacakan puisi beberapa saat yang lalu.
“Lim Hansun?”
Hansun menganguk dan menatap ke seluruh sudut kelas. Beberapa dari mereka tak memperhatikan Hansun, sibuk dengan gosip baru atau mungkin mencuri waktu untuk menyalakan ponsel.
Hope is an if.
If you could.
If you are able to.
Seems beautiful.
Seemed.
Someone lived in a hope,
in a dream,
insist to stay.
Yet, the reality await.
Until they never realize,
that they never woke up to realize,
that their dream was long gone.
That is how the ifs,
If.
Hansun kembali ke tempat duduknya. Menatap Sehun sekilas yang hanya menunduk dengan tatapan kosong. Hansun mencoba untuk tak memikirkannya dan mencoret-coret halaman terakhir catatannya dengan gambaran-gambaran tak jelas, hingga bel istirahat berbunyi.
–
Hansun tak bertemu Sehun di kantin, atau di depan kelas terakhirnya, atau di lobi seperti biasanya. Hansun sempat berpikir bahwa Sehun salah menunggunya di kelas yang lain. Namun, pikiran itu dibuangnya cepat-cepat dan segera keluar dari sekolah.
Hansun menunggu di halte untuk bis 22. Lalu perasaan aneh muncul pada diri Hansun, dia merasa sendiri. Sendiri merupakan hal yang biasa untuk Hansun, tapi tidak untuk sebulan terakhir, lelaki bernama Sehun itu selalu menemaninya. Kemudian Hansun mulai menyadari ada yang salah dengan Sehun hari ini, Sehun tak menyapanya, tak bertanya ketika pelajaran, tak ada di kantin, tak ada di depan kelas terakhirnya dan tak ada di lobi sekolah. Lyn juga sempat menanyakan kemana Sehun hari ini, ketika dia tak melihatnya di kantin.
Lalu, bis 22 datang. Hansun menaikinya dan menuju ke gedung bioskop. Hansun memilih tempat yang dekat dengan pintu. Tak lama ketika bis berjalan. Matanya menangkap sosok lelaki tinggi dengan kedua tangan di saku celana, menghadap ke seorang perempuan berambut panjang nan indah. Perempuan itu tersenyum ke arah lelaki itu.
Sehun?
Hansun masih menatap kedua orang yang berada di dekat gerbang sekolah mereka itu. Hansun menyadari bahwa perempuan itu bukan berasal dari sekolahnya.
Siapa gadis itu?
Hansun menggelengkan kepalanya. Menyadari pikirannya barusan, Hansun mengerutkan keningnya. “Bukan urusanmu, Hansun.”
–
Hansun melewatkan film di studio 5 hanya dengan pikiran-pikiran yang tak masuk akal. Memikirkan Sehun dengan gadis di dekat gerbang sekolah tadi. Hansun berpikir apa mungkin dia hanya terlalu percaya diri sehingga menganggap Sehun memiliki perasaan padanya.
Hansun keluar dari gedung bioskop dan berjalan pelan ke arah halte, menunggu bis 22. Hansun melirik arlojinya, masih belum tengah malam. Bis 22 datang namun Hansun tak memiliki minat untuk menaikinya. Ini masih terlalu awal untuknya untuk pulang ke rumah, lalu untuk pergi ke toko ayahnya, dia tak mungkin menganggu ayahnya yang sekarang mungkin sedang mengerjakan desain baru yang kemarin diceritakannya.
“Kau tak menaikinya?” sebuah suara muncul dan Hansun menoleh dengan cepat ke sumber suara.
Kedua alisnya bertemu, keningnya berkerut melihat sosok di sampingnya, berada agak jauh darinya.
“Kau melewatkan bismu, Hansun. Apa kau melamun?”
Hansun mendengus kecil, nafas panjang keluar dari hidungnya, kali ini sebuah kelegaan. Hansun akui, dia khawatir dengan lelaki itu, Sehun. Sehun tak bicara satu katapun padanya hari ini, tidak sampai ketika dia berada di sebelahnya saat ini.
“Kau cukup diam hari ini,” komentar Hansun.
Sehun tampak terkejut. Bukan karena Hansun tak menjawab pertanyaannya, namun karena Hansun menyadari bahwa Sehun tak bicara padanya hari ini.
Sehun memegang tengkuknya, menatap malu ke arah Hansun.“Aku hanya tak tahu apa yang akan kukatakan padamu, setelah kemarin lusa kau marah masalah Taeyong, lalu di bioskop.”
Sehun memang seperti itu. Dia mengatakan apa yang dia sebenarnya ia rasakan dan kejujuran-kejujuran lainnya. Hansun hanya menganguk, menyadari satu hal. Seorang lelaki tidak akan mudah berkata hal demikian dalam satu kali pertanyaan, kebanyakan dari mereka mengatakan kebalikannya seperti ‘aku memang seperti biasanya seperti ini’ atau ‘hanya perasaanmu saja’.
“Hansun?”
“Sehun?”
Mereka berdua menatap satu sama lain. Sehun diam menunggu kalimat apa yang akan dikatakan oleh Hansun, sedangkan Hansun mengerti akan sinyal dari Sehun membuka suara.
“Apakah kau akan pulang segera malam ini?”
Sehun menggeleng pelan. Diikuti dengan angukan Hansun.
“Mengapa?”
Hansun terdiam sejenak. Kemudian menggeleng. “Tidak. Aku hanya bertanya. Itu saja.”
“Hansun?”
“Ya?”
“Apakah kau mau pulang bersamaku? Maksudku, aku akan mengantarmu.”
Hansun menahan nafasnya sejenak. Entah mengapa, dadanya terasa berat, nada suara Sehun terdengar berbeda, biasanya dia akan mengatakan sesuatu dengan nada ringan dan menyebalkan, namun kali ini terdengar serius dan Hansun harus akui, Sehun lebih pantas dengan suara seperti itu. Namun, bukan hanya itu, ucapan Sehun mengingatkan Hansun akan sesuatu.
Kau mau pulang bersamaku? Maksudku, aku akan mengantarmu, Hansun.
Hansun memejamkan mata sejenak, menggelengkan kepalanya untuk mengusir suara-suara itu dari pikirannya. Sedangkan Sehun yang melihat itu, mengira bahwa Hansun menolak ajakannya. Sehun hanya tersenyum tipis, berusaha bersikap biasa, meskipun itu adalah jawaban Hansun setiap kali dia menawarkannya untuk diantar.
“Ah, baiklah. Aku akan menunggumu sampai kau dapat bis saja, kalau begitu.” Suara Sehun terdengar canggung tiba-tiba.
Hansun membuka matanya dan menyadari reaksinya baru saja. Menatap Sehun yang menghindari tatapan matanya.
“Bukan begitu,” ujar Hansun. Sehun menoleh, kali ini dengan tatapan yang melebar.
“Aku tak ingin pulang lebih dulu. Aku ingin menghabiskan waktu sebelum tengah malam.”
Seolah paham maksud pertanyaan Hansun di awal tadi. Sehun tersenyum dan berjalan mendekati Hansun dengan antusias.
“Kalau begitu, apakah kau mau ikut denganku? Setelah itu aku akan mengantarkanmu pulang.”
Sehun tersenyum lebar dan Hansun tersenyum tipis sebagai jawaban.
–
Hansun dan Sehun berakhir di sebuah game station. Hansun mengerutkan kening ketika Sehun terlihat begitu bersemangan melihat mesin-mesin yang terdengar begitu bising di telinga Hansun.
“Kau mau ikut bermain bersamaku, Hansun?”
Hansun menggeleng keras. Sedangkan Sehun terus menarik tangannya untuk memegang pistol hitam di depannya.
“Cobalah.”
Hansun tak memiliki pilihan lain. Dia juga masih memikirkan perasaan Sehun yang sudah membayarkannya untuk membeli soda sebelumnya, dan jika Hansun tetap menolaj, mungkin Sehun akan kecewa, Hansun tak bisa mengabaikan perasaan orang lain, apalagi jika itu adalah orang yang dikenalnya.
“Woaaa!” teriak Hansun.
Sehun terkejut dan menaikkan kedua alisnya melihat ke arah Hansun. Untuk pertama kalinya Sehun mendengar nada suara Hansun yang terdengar begitu bersemangat. Sehun melihat ekspresi Hansun yang bersemngat menembakkan pistolnya ke arah Layar.
“Aaaa!” Hansun terlihat begitu menikmati permainan di depannya.
Sehun tersenyum kecil melihat ekspresi Hansun. “Kukira kau adalah seseorang yang kaku dan pendiam, Hansun.”
Game over. Hansun melihat tulisan itu dan terdiam sejenak, mencerna ucapan Sehun. Hansun menyadari bahwa dirinya memang tak terlalu banyak bicara, tapi dia tak menyadari bahwa dia terlihat kaku di mata seseorang.
“Benarkah? Aku pasti banyak berubah,” guman Hansun.
Pikirannya kembali ke masa-masa sebelum kejadian-kejadian mulai menimpanya. Jika Sehun berpendapat demikian, bagaimana dengan Lyn? Batinnya.
Sehun menepuk pundak Hansun, menyadarkannya dari lamunannya. Seolah ingat akan komentar Sehun beberapa saat yang lalu, Hansun menggeleng kecil. “Kau saja yang banyak bicara, Sehun.”
Sehun tertawa dan Hansun ikut dalam tawa Sehun. Sehun menemukan bahwa itu merupakah hal yang langka. Hansun memang sering tertawa bersama teman-temannya. Namun tak seperti ini. Sehun merasa senang, setidaknya tawa itu karenanya.
Hansun memegang perutnya yang terasa kaku. Hingga figur seseorang dilihatnya di balik punggung Sehun, berada tak jauh darinya. Hansun mulai berhenti tertawa dan memfokuskan pandangannya. Hansun terdiam seketika, tubuhnya menegang dan kedua tangannya jatuh ke samping badannya. Matanya menatap takut.
Sehun yang menyadari berhentinya tawa Hansun, mengikuti arah pandangannya. Lelaki dengan rambut hitam kecoklatan berdiri tak jauh darinya. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling game station hingga pandagannya jatuh ke arah Hansun.
Lelaki itu memandang Hansun dengan tatapan kosong. Sekian lama hingga lelaki itu bersuara. “Hansun? Hansuni?”
Hansuni?
Hansuni?
Hansun membuka mulutnya, namun hanya pekikan kecil yang keluar. Sehun menyadari mata Hansun yang mulai berkaca-kaca.
Sehun menepuk pundak Hansun pelan, namun Hansun tak merespon.
“Hansuni?” lelaki yang tak dikenali Sehun itu mendekat perlahan ke arah Hansun.
Hansun semakin menegang dan tanpa sadar, dia menarik tangan Sehun mendekat ke arahnya, menariknya agar menutupi sebagian tubuhnya dari lelaki yang berjalan menghampirinya. Lelaki itu menyadari keberadaan Sehun, meliriknya sebentar kemudian tersenyum remeh.
Tatapan kosong itu tergantikan dengan tatapan mengejek. Bibirnya membentuk seringai tipis ke arah Sehun dan Hansun.
“Kukira kau tak akan bisa melupakanku, Hansuni?” ujar lelaki itu.
Hansun mendengar jelas apa yang dikatannya, sedang Sehun hanya bisa mengerutkan kening tak mengetahui apa-apa.
“Bukankah kau sendiri yang bilang, kau tak akan bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik dari aku? Bahwa kau tidak bisa bersama lelaki lain selain aku?” lelaki itu menaikkan nada suaranya.
Hansun semakin mengeratkan genggamannya di tangan Sehun. Sehun bisa merasakan tubuh Hansun yang bergetar kemudian melirik Hansun dan menyadari bahwa matanya memancarkan ketakutan.
–
Well, gimana? Terlalu cepat kah? Maafkan untuk typos bertebaran dimana-mana
