Title : Warm Memories at Han River
Author : shi-young
Main Cast : Kim JongIn(EXO), Han BoMi(OC)
Support Cast : Jung DaeHyun(B.A.P), Han RiMi(OC), and other
Length : Oneshot
Genre : School Life, Romance, Friendship, Hurt/Comfort
Rating : PG-13
Summary : Kisah ini sudah lama. Basi. Itu yang ada di pikiran JongIn. Dia pasti bisa move on. Pasti bisa. Berbagai hal―yang dikiranya ‘cinta’― sudah banyak terjadi di kehidupannya. Sudah beberapa keturunan Hawa mengisi relung hati yang dulu pernah tercabik. JongIn pikir cinta pertama akan jadi cinta pertama saja. Namun, takdir berkata lain.
Disclaimer : Seluruh karakter yang bukan OC adalah real, nyata, bukan khayalan(walaupun nyatanya memang kadang disangkut-pautkan). Plot dan seluruh cerita terbit secara nyata dari alam pikiran penulis/author. DON’T PLAGIARISM. RCL yaa J.. Gomawo.. Kamsahamnida. Maaf bila banyak kesalahan kata dan cerita yang kurang memuaskan. Happy reading :*
===
***
Suara gesekan meja dan kursi kayu menggema dalam rumah sederhana itu. Sinar mentari yang mulai menyingsing, menyelusup melewati jendela rumah yang dibuka serta ventilasi-ventilasi udara di dinding bagian atas.
“JongIn! Cepat kemari!,” seru seorang wanita paruh baya masih dengan celemek krem yang menempel di tubuhnya.
Di seberang ruangan, nampak seorang pria berwajah ‘ingin tidur’ berdiri linglung di depan toilet. Kedua matanya separuh terpejam(walaupun aslinya memang sudah sipit). “Hm? Nee..,” gumamnya tak jelas. Ia berjalan menuju ruang dapur yang merangkap jadi ruang makan.
“Dasar pemalas,” seorang gadis yang terlihat lebih tua dari JongIn berkomentar dengan wajah sengit.
JongIn yang sudah duduk di sampingnya hanya melihat tak suka. Lalu mulai memasukkan setangkup sandwich ke dalam mulut. Setelah menelannya, ia membalas. “Noona, lebih baik kau diam saja. Pacar saja tak punya, padahal sebentar lagi ‘kan usiamu usia menikah.”
“Heh, Kim JongIn-ssi. Biar kuberi tahu ya, jika kita mengejar impian atau cita-cita kita, jodoh kita otomatis akan mengikuti. Menemui kita! Makanya, kau jangan hanya baca majalah playboy! Byuntae-nim!”
Mendengar cerocosan noona-nya, JongIn baru saja hendak melempar garpu plastik ke wajahnya. Namun, “Sudah-sudah. Aigoo..Jjinjjayo~. kalian ini sudah dewasa,” Ibu menatap HwaIn, “sudah kuliah,” kemudian ia menatap JongIn, “dan high school”.
JongIn kembali berkutat dengan sandwich-nya. Enak saja noona-nya mengatainya byuntae(mesum). Majalah playboy? Itu’kan gara-gara noona-nya melihat ia sedang tidur di kursi depan rumah dengan wajah tertutupi majalah itu. Lagipula itu majalah Chen, teman sekelasnya.
Byuntae?
Alis JongIn mengkerut memikirkannya. Seingatnya, ia ini namja baik-baik. Pacaran pun ia jaga jangan sampai mencium bibir. Ah, entah kenapa, rasanya belum ingin saja. Bahkan, terkadang teman-temannya menertawakannya. Apa salahnya memang? Apa ada di konstitusi Republik Korea Selatan kalau berpacaran harus mencium bibir kekasih? Michyeosseo!
“Ya, JongInnie~. Cepatlah mandi, kau ingin dihukum memutari komplek sekolah lagi?”
Kata-kata noona-nya menyadarkannya. Setelah gigitan terakhir sandwich, ia bergegas ke kamar mandi lantai atas.
“Hati-hati HwaIn chagi,” kata Ibu pelan sembari tangannya dikecup HwaIn. HwaIn mengangguk menatap Ibunya lembut. “Jangan kau pikirkan ucapan JongIn tadi. Kurasa dia memang belum bisa mengontrol kata-katanya dengan baik.”
Ibunya menghela napas pelan, begitu juga HwaIn. Saat mata mereka bertemu, keduanya sontak tertawa. Mereka tahu mereka memikirkan persoalan yang sama. Beberapa tahun yang lalu, dimana JongIn remaja masih begitu polos dan bahagia. Juga, seorang lagi yang dulu bagai musim panas dan langit biru cerah dengan JongIn. Han BoMi.
***
JongIn menaiki sepedanya dengan santai ke high school. Saat melewati sebuah kedai kopi di pertigaan sebelum sekolahnya, ia menatapnya lamat-lamat. Seperti sebuah film berwarna sepia berputar di otaknya.
TRING.
Tiba-tiba, pintu toko buku kecil di samping kedai kopi terbuka. Menampakkan sosok bermantel tosca bersepatu all star dan topi koboi. JongIn mengernyit melihatnya. Sungguh tidak harmonis, orang ini tak punya sense of fashion yang baik.
“Guk..guk!”
Anjing Cyberian Hawski di seberang kedai kopi tiba-tiba saja menggonggong keras. Seperti menyuruh JongIn untuk hati-hati.
Benar saja.
BRUK.
Sepedanya ternyata sedari tadi tidak berjalan lurus. Melainkan ke kiri. Mantap menabrak kotak surat. Untung bukan tempat sampah.
“Aissh! Jinjja!,” semprotJongIn sambil mengusap-usap seragam sekolahnya. Ia melirik jam tangannya, pukul 08.56!
“Hei, ada apa? Apa ada yang menyakitimu?”
Anjing yang tadi meneriakinya sekarang sedang ditemani perempuan tak kenal style tadi. Seharusnya ‘kan JongIn yang ditanyai seperti itu. Ah, masa bodoh. Anjing bodoh, yeoja bodoh. JongIn segera menaiki sepedanya sembari mendengus keras. Kemudian melaju ke sekolah sebelum ia harus memutari komplek sekolah seperti kemarin.
***
Kim JongIn’s POV
“Sudah kubilang kau harus cepat.”
Jung DaeHyun dan aku berjalan cepat sepanjang koridor menuju kantin. Ya, aku memang harus cepat dalam mencari pasangan―minimal partner― untuk pergi ke prom night tiga hari lagi. Mengapa? Hhh.. tentu bukan karena aku takut seseorang yang kuincar akan diambil orang lain sebelum aku. Melainkan, karena Son YoungHee. YoungHee selalu mengejarku dan mengikutiku seperti sasaeng fans. Baru saja dia menemuiku di kelas dan mengajakku ke festival bersama.
“Yeoja gila itu mungkin tak mau tahu apapun tentang dirimu. Dia―”
“Bukan mungkin. Tapi memang tak mau tahu.” Aku menyela ucapan DaeHyun.
DaeHyun menghela napas. “Heoh, ada saja yeoja seperti itu. Dia benar-benar sasaeng.”
Aku hanya diam. Kantin tinggal dua langkah lagi. Tiba-tiba seorang yeoja menerobos dari samping kiri DaeHyun. DaeHyun yang melangkah di kiriku tersentak ke kanan. Yeoja yang ternyata hoobae itu menatapku. Matanya menyiratkan bahwa dia seperti pernah melihatku entah dimana. Tapi, jujur saja, aku tak pernah melihatnya. Mungkin dia fansku? Haha.-_-
“Aish! Ada-ada saja para hoobae itu,” DaeHyun menatap kesal ke arah lima yeoja yang baru saja menyusul yeoja pertama tadi.
Akhirnya kami duduk di meja yang berada di bagian tengah. Memang sedikit tidak nyaman. Tapi, semua meja penuh. “Hey, itu ada NamRin.” Saat baru saja sampai di meja sambil membawa makanan, DaeHyun menyambut dengan menunjuk seseorang di arah belakangku. Aku tak ambil pusing dan langsung duduk. “Ya, kau sudah melupakannya?”
Aku mengangguk.
“Bagaimana bisa? Maksudku, secepat itu? Baru dua hari yang lalu kau putus dengannya kan?”
Aku mengangguk lagi.
“Aigoo.. Kau ini manusia bukan, Kim JongIn-ssi? Sudah enam yeoja yang kauputuskan selama delapan bulan ini. Tambah NamRin berarti tujuh.” Sedetik setelah jadi umma-umma, DaeHyun berubah santai dan mulai memakan ramyun-nya.
“Mereka yang memutuskan, aku menerima saja.”
“Bagaimana mungkin kau menerima saja? Kudengar kau selalu menembak mereka dengan romantis. Berarti kau benar-benar menaruh harapan pada mereka bukan?”
“Mm…mungkin?”
Sluurrp.. DaeHyun masih menyeruput ramyun-nya banyak-banyak. “Terserah padamu lah,” tepat saat DaeHyun mengucapkannya aku melihat yeoja hoobae tadi. Dia menatapku penuh selidik sembari melihat satu-dua detik ke kertas yang ada di tangan kirinya. Kemudian dia mengangguk, tanpa sadar aku telah melihatnya. Pikiranku mulai menerka-nerka. Siapa hoobae itu sebenarnya? Apa yang dia inginkan dariku?
“JongIn, cepat habiskan kimchi-mu! Ayo kita ke perpustakaan.” Oh tidak, jiwa kutu bukunya mulai bangkit. Dasar DaeHyun.
“Tidak, kau saja. Aku akan ke kelas.”
DaeHyun mengibaskan poninya kasar. “Kau ini lupa hah? YoungHee? YoungHee sasaeng-mu, dia tepat satu meja di belakangmu.”
Hah, oke. Aku tak punya pilihan lain. “Ne, Jung-nim.”
Kim JongIn’s POV end
***
Suasana perpustakaan ternyata sedang sepi-sepinya. JongIn memutuskan untuk membaca majalah-majalah olahraga. Berbeda dengan sahabatnya yang langsung terpekur di area history. Memang manusia maniak masa lalu.
Hanya detak jarum jam yang dapat ia dengar. Suasana sepi begini memang tak disukainya. Tapi, masih lebih baik ketimbang dikejar dan digelayuti oleh Son YoungHee.
“Haah.”JongIn menghela napas. Tiba-tiba saja otaknya memutar beberapa memori masa lampau yang sudah dua tahun terlewati.
“JongIn! Kau lihat ini? Negara ini luaas sekali, namun terpisah oleh lautan. Kudengar orang-orangnya juga berbeda-beda. Apakah mungkin satu negara bisa terdiri dari berbagai macam bahasa dan budaya?”
JongIn yang asyik dengan ponselnya hanya menggumam tak jelas. “Kenapa tiba-tiba berbicara tentang negara itu?”
Temannya itu menoleh. Wajahnya berubah sedikit sendu, kontras dengan bandananya yang berwarna pink. “Aku..akan kesana.”
Sontak JongIn mendongak. Menatap sahabat dari kecilnya, yang sedang berdiri, tak percaya. “Han BoMi. Kau serius?”
BoMi mengangguk pasti sambil menatap JongIn ragu.
“Jangan bercanda.”
“Ya! Kau pikir aku bercanda? Ayahku sudah mengirim peralatan kerjanya ke negara itu! Tiket pesawat juga sudah di tangan.” Wajah BoMi memerah sedikit menahan napas. Rautnya sangat kesal.
JongIn hanya menatap kaget. Sebegini mendadaknyakah?
Tiba-tiba saja tongkat kayu kecil menyentuh puncak kepala mereka keras.
“Auw!”
“Appo ya!”
Seorang ahjussi terlihat di hadapan mereka saat kepala mereka terangkat. “Tolong jangan berisik. Bisa?”
Ok. Mereka lupa kalau ini perpustakaan junior high school-nya.
JongIn menutup matanya rapat. Bagaimana ia masih bisa mengingatnya? Itu sudah dua tahun yang lalu. Seharusnya dia sudah melupakannya. Bukankah cukup banyak gadis yang sudah ia kencani? Bukankah masih ada yang mengejarnya? Tapi kenapa JongIn masih memikirkan gadis kecilnya itu? Sahabat perempuan satu-satunya.
Tak seharusnya aku begini, ia bangkit dan mengembalikan majalah pinjamannya ke rak semula.
Tepat saat JongIn keluar dari area baca itu, sebuah kepala berbandana kuning menyembul dari rak buku fiksi yang berada di samping kanan tempat duduk JongIn.
Senyum yeoja itu muncul. Yeoja yang tadi menabrak JongIn dan DaeHyun. Kacamata besarnya menampakkan kedua bola mata yang bersinar layaknya lampu di iklan-iklan TV. “Akhirnya aku mendapatkannya. Sebuah gambar jelas dari seorang Kim JongIn-sunbae. Hihi.”
“Ya!” seseorang tiba-tiba menepuk pundak yeoja itu. Yeoja itu menoleh, kaget. “Kembalikan kacamataku. Aku sulit melihat, Han RiMi.”
RiMi terkekeh dan segera melepas kacamata minus tiga per empat tersebut. “Gomawo, HaRin-ah. Ini sangat membantu. Em, walau sepertinya tidak juga. Hehe.”
***
Burung-burung sudah kembali ke sarangnya. Langit petang dan awan yang mulai membiru terhampar. “Annyeong, JongIn-ah,” laki-laki putih jangkung berhidung mancung melambaikan tangannya.
“Annyeong, SeHun-ah,” JongIn membalas salam SeHun.
Baru saja mereka selesai latihan basket bersama anggota ekskul basket. JongIn yang masih mengenakan seragam basketnya hanya menutupi tubuh bagian atasnya dengan jaket. Ia mulai mengayuh sepedanya pulang.
Tapi entah kenapa, saat melintasi kedai kopi dekat sekolahnya ia ingin mampir.
TRING
“Satu moccachino hangat.”
Mulut JongIn bergerak begitu saja. Seperti ketika ia masih kelas tiga junior high school awal. Seperti saat dia belum pergi. Meninggalkannya.
“Ahjumma, satu moccachino hangat ya. JongIn tidak usah diberi. Ahaha.”
“Ya, neo! Dasar.”
“Aduh. Kalian berdua ini, selalu saja membuat kedaiku ricuh. Hahaha.”
“Ani.” JongIn menggeleng-gelengkan kepalanya. Mengusir kenangan yang tak diundang.
“Ya, JongInnie. BoMi belum kembali juga ya? Sejak ia pergi, aku melihatmu seperti kau kekurangan semangat hidup saja.” Ahjumma pemilik kedai kopi ini berkata sembari memberikan kertas order ke baristanya.
JongIn hanya tersenyum hambar. “Tunggu sebentar, JongInnie. Ne?,” ucap ahjumma.
Sembari menunggu pesanannya, ia duduk di bangku dekat jendela. Ketika ia menatap luar, ingatannya kembali pada yeoja tak kenal style tadi pagi.
Seperti pernah mellihatnya, tapi..dimana?
Tiba-tiba handphone-nya berbunyi. “Yoboseyo.”
“Ne?..Mwo? Waeyo?…Geurae, arasseo…Annyeong, DaeHyun-ah.”
JongIn mengakhiri sambungannya. Entahlah apa yang mau dilakukan Daehyun. “Ini pesanannya.”
“Eum..ahjumma, bisakah moccachino itu dibungkus saja?”
“Ah…ne. Tolong tunggu sebentar.”
***
Udara malam serasa menusuk setiap inci kulit JongIn yang menaiki sepeda. Ia akan mampir ke rumah Daehyun dulu. Entah apa yang ingin dilakukan sahabat maniak Joseon-nya itu. Semilir angin dari pepohonan rindang sepanjang jalan menuju kompleks Daehyun menerbangkan helaian rambut JongIn.
Tiba-tiba matanya menangkap gemerlap lampu di depan sana. Ah ya! Ini perayaan kelulusan kakak DaeHyun. Astaga! Kenapa ia bisa sampai lupa?
CKIIT
JongIn menghentikan sepedanya dan memarkirnya di halaman depan rumah DaeHyun. Ketika ia hendak masuk ke dalam, ia berpapasan dengan hoobae yeoja yang tadi ditemuinya di kantin. “Ya, neo..”
Baru saja JongIn berkata, yeoja itu sudah lari terbirit-birit ke rumah seberang. Apa itu rumahnya? Jadi, dia tetangga DaeHyun?
JongIn berbalik dan hendak melangkah masuk saat seorang namja berjaket kulit berdiri di depan pintu. “JongIn-ah!,” serunya.
Wajah JongIn berubah sumringah. “DaeSung-hyung!”
Mereka berpelukan, seperti biasa. Keluarga JongIn dan DaeHyun memang sudah seperti saudara. JongIn juga yakin kalau ayah, ibu, dan noona-nya sudah duduk-duduk di dalam.
“Hyung, selamat atas kelulusanmu.” JongIn menepuk punggung DaeSung berkali-kali dengan keras.
“Aah, jeongmal gomawo JongIn-ah. Ayo masuk.”
Saat mereka berdua masuk ke dalam ruangan, JongIn dikagetkan dengan meja makan rendah yang sudah penuh dengan makanan. Tapi, ada beberapa makanan yang ia belum pernah lihat sebelum ini. Siapa yang memasak?
“Yo, JongIn!” Tiba-tiba saja DaeHyun memeluk lehernya dari belakang hingga JongIn hampir jatuh.
“Yak, neo! Aiish..,” umpat JongIn sembari memukul cukup keras kepala DaeHyun.
“Sudah-sudah, kalian berdua. Bisakah kalian duduk sejenak dan tak membuat kericuhan?,” HwaIn-noona sudah angkat bicara, jinjja.
Sudah lima belas menit berlalu sejak berakhirnya pertikaian Jong-Dae. Mereka yang berada di dalam ruangan, yaitu appa, umma, dan sunbae dari JongIn dan DaeHyun. JongIn lupa kalau tadi ia sempat penasaran terhadap masakan yang belum pernah dilihatnya itu. Tahu-tahu saja..
“DaeJoon-ah, tahukah apa nama masakan ini? Rasanya begitu lezat.”
Pertanyaan appa-nya baru saja membangkitkan rasa penasaran JongIn. Ia menatap serius ayah DaeHyun itu. “Itu bakpiya, JongWoon-ah. Itu dari Indonesia.”
“Indonesia? Itu negara dimana Bali berada bukan?” JiHye-ahjumma, eomma JongIn bertanya ragu.
DaeHyun justru yang mengangguk. “Ne. Saudara RiMi yang membawanya. Dia baru saja pulang dari sana, eommoni.”
“Aah, berarti dia disini kan? Aku ingin bertemu dengannya.”
“Tentu saja, DaeSung bawalah yeoja-mu kemari.”
“Mwo? Yeoja-mu? Jadi, DaeSung sudah punya..”
“Aaihh, betapa beruntungnya, HwaIn belum punya juga hingga sekarang.”
Selama percakapan tadi JongIn hanya mendengar hingga kata Indonesia. Indonesia katanya. BoMi..
“Ini dia..,” suara keras DaeSung menyita perhatian seluruh manusia di ruangan itu.
“DaeSung-ah, yeoja-mu benar-benar cantik,” puji JongWoon.
“Neo..Kau..Bukankah kau Han BoMi?”
JongIn langsung mendongak begitu mendengar suara noona-nya. Mwo? Diakah Han BoMi? Sahabat karibnya dulu? Dirinya terpaku sejenak. Seolah dunianya mengalami perlambatan waktu.
“Ah? HwaIn-eonni! Bogoshipeoyo~” BoMi segera menghambur ke pelukan HwaIn.
“Aigoo, kau benar-benar BoMi-ya?” Kini ganti eomma JongIn yang mendekap BoMi.
“Kalian sudah kenal rupanya?” Appa DaeHyun keget melihat respon yang tak terduga ini.
“Ya, BoMi-ah, kau benar-benar jadian dengan DaeSung?,” tanya HwaIn memastikan.
Tanpa disangka, BoMi menggeleng tegas. “Anni, HwaIn-eonni. Dia hanya bercanda, seperti biasa.”
“BoMi-ya, kenapa tidak pernah bercerita kalau kau akan pulang?,” Appa JongIn mendekat dan mengelus puncak kepala BoMi yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.
BoMi membungkuk hormat lalu menjawab, “Ah, aku takut kalau nanti malah hanya merepotkan.”
Kata-katanya membuat ramai seluruh ruangan itu. “Ngomong-ngomong, dimana JongIn? Aku tak melihatnya.”
Setelah kalimat BoMi tadi, orang-orang dalam rumah entah kenapa jadi tidak memperhatikannya. BoMi jadi merasa sendiri di ruangan ini. Setiap orang bercengkerama dengan yang lain. Ia yang penasaran akan keberadaan JongIn akhirnya memutuskan untuk keluar.
***
“Aku bodoh ya.”
JongIn bersandar di sepedanya sambil menatap bulan yang sedang purnama. Suasana di luar rumah keluarga Jung ternyata tak begitu dingin. “Kau tidak bodoh, Bolt-san.”
Dipanggil ‘Bolt-san’ ia langsung tahu siapa yang menyebut namanya. Sekejap hatinya pecah, lalu mekar, dan menggumpal tak jelas. Ia berbalik bersiap menghadapi kenyataan pahit. BoMi sudah menjadi milik orang lain.
“BoMi..,” ucapJongIn hambar. Matanya tak fokus, malah terihat kosong.
BoMi mengerutkan alisnya. “Jadi, ini balasannya? Inikah kata-katamu untuk menyambutku? Setelah sekian lamaa kita tidak bertemu? Huh?”
JongIn seperti disembur api panas dari mulut naga. “Ya, maksudku..”
Tiba-tiba JongIn mendekat hingga tersisa setengah meter jarak ia dan BoMi. “Selamat datang. Sarada-chan.” Ia memukul dahi BoMi dengan jari telunjuk dan jari tengahnya yang disatukan.
Mungkin sampai saat ini saja JongIn mengutarakan apa yang selama ini dipendamnya. Mungkin hanya sampai adegan ini yang seharusnya terjadi. Hanya sebagai sahabat. Bagi JongIn, itu sudah lebih dari cukup. Ya, memang mungkin BoMi, cinta pertamanya, tidak akan pernah kembali padanya.
***
Han BoMi’s POV
“Seoul sedikit berubah. Kau setuju?”
Angin malam yang tak terlalu kencang meniup-niup helaian rambut panjangku. Karena merasa tak diperhatikan di rumah DaeHyun, aku dan JongIn memutuskan untuk berjalan-jalan saja di tepi Sungai Han yang jaraknya tak jauh dari rumah DaeHyun.
“Itu karena kau pergi cukup lama. Bagiku, Seoul tak berubah.”
Aku menatap JongIn yang memutuskan untuk membawa sepedanya. Astaga, wajahnya yang sekarang.. lebih tegas dan dewasa. Namun entah kenapa aku melihat guratan kepedihan disana. Terutama di matanya. JongIn juga tak langsung menjawab pertanyaanku, dia menunggu beberapa saat untuk menjawabnya. “Eum, hei! Aku, bolehkah aku bertanya?”
JongIn menoleh sekejap. “Katakan saja.”
“Apa, kau melihat hoobae yeoja yang sedikit ‘aneh’ akhir-akhir ini?”
Ia terlihat berpikir sejenak, “Ya. Ada satu. Memang apa hubungannya denganmu?”
Aku terkikik geli, “Sebenarnya, hihi, karena aku begitu penasaran denganmu yang sekarang, aku meminta bantuan RiMi─tetangga DaeHyun yang sekaligus saudara jauhku─ untuk memotretmu.” Tawaku buncah seketika. Entah mengapa fakta ini terdengar begitu lucu di telingaku.
Kali ini aku boleh berbahagia, karena JongIn menoleh seutuhnya padaku. “Mwoya? Jinjjayo?,” ia menunjukkan seringainya yang khas, “Kau masih seperti dulu, masih seperti anak kecil.”
“Apa kau bilang?,” balasku tak terima. “Huh! Terserah lah. Yang jelas, tadi pagi aku melihatmu menabrak kotak surat. Haha. Kau lucu sekali, sungguh!”
“Mwoya?! Jadi, seseorang yang berada di depan kedai kopi pagi tadi, dengan style yang aneh itu..kau?”
“Style aneh? Maksudmu? Itu gaya seorang mata-mata tahu!”
“Tentu saja aneh. Mata-mata mana yang bersikap mencurigakan dengan lebih khawatir pada anjing daripada dengan manusia, huh?”
Tiba-tiba sisi Sungai Han ini dipenuhi dengan dua suara tawa kami. Tuhan, aku bersyukur kau mempertemukan kami lagi.
“BoMi-ah, kau sudah punya DaeSung-hyung ya?”
Apa? Aku menoleh menatap JongIn yang menyeka ujung matanya yang basah karena baru saja tertawa terbahak-bahak. “Hah..kau tidak dengar ya tadi?,” aku tak terima.
“Apa? Aku dengar. Sangat jelas.” Yang benar saja.
“Dengar apa?”
“Kau pacaran dengan DaeSung-hyung.” Mwoya?! Dasar sok tahu.
“Aiigoo, kau ini. Makannya jangan langsung keluar lain kali. Biar kuberitahu..”
“Tunggu!” JongIn tiba-tiba mengehentikan langkahnya.
“Apa?” Aku ikut-ikutan berhenti.
“Lihat ini.”
JongIn menyenderkan sepedanya pada pagar pembatas dengan sungai. Lalu kedua tangannya membentuk..segitiga? “Apa? Segitiga?,” tanyaku bingung.
“Bukan!”
“Lalu?,” aku mengernyit tak paham.
“Ini sarang.”
M-mwo? Sarang? Mataku membulat menatapnya. JongIn tidak sedang bercanda kan? “Ka-kau..”
“Eo.” JongIn menunduk. “Jeongmal mianhae.”
Astaga Ya Tuhan, dia menganggapku kekasih DaeSung-oppa? Ahaha. “Kau benar-benar bermasalah.” Kupukul lengannya.
“Sudah kubi─”
“Sst! Diam!” Aku berjinjit agar tinggiku menyamai JongIn, namun tetap saja tak bisa sejajar. Aku masih mendongak untuk menatap matanya. Jari telunjuk kananku kutempelkan di bibirnya.
“Mwo?” Ia melepas jariku yang baru saja menempel di bibirnya.
“Kuberi tahu, bahwa aku..” Sengaja aku gantungkan agar aku tahu apa reaksinya.
“Hm?”
“Juga menyukaimu. JongBoruto-san.”
Han BoMi’s POV end
***
Bintang gemintang sudah sempurna menggantung di langit malam saat BoMi selesai mengatakannya. Mata JongIn membulat. Walaupun hatinya bersorak gembira, pikirannya membuatnya kembali tersadar, bahwa BoMi telah dimiliki DaeSung.
“Kau gila? Kau akan memutuskannya, BoMi-ah?”
“W-wae? Memutuskan siapa?” Tawa BoMi lepas lagi. “JongIn, aku dan DaeSung-oppa tak punya hubungan apapun. Tadi dia hanya bercanda.”
Dan untuk saat ini, JongIn tak punya kata lain lagi yang ingin diucapkannya selain.. “Bo-Sarada-chan! Saranghaeeee!”
Yah, biarlah Sungai Han yang menjadi saksi peristiwa bahagia tapi aneh ini. Hm, entahlah.
END
