Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Leap of Time Chapter 2 (end)

$
0
0

Leap of Time |Chapter 2|

Author: naylittle_gem | Cast: Park Chan Yeol, Yoon Ye Joo, and all of supporting casts | Genre: Find it by yourself | Length: Doubleshot | Rating: PG-15

Desclaimer: Park Chan Yeol is EXO’s and Yoon Ye Joo is an actress. This story’s mine.

***

Chan Yeol PoV

Perasaan buruk itu pelan-pelan hilang ketika kutahu apa yang terjadi selanjutnya. Padamu. Ibumu adalah korban tidak bernyawa terakhir yang ditemukan dalam peristiwa itu, benar kan? Aku melihat kau pingsan dan orang-orang menolongmu. Aku sempat terpaku memikirkan peristiwa hari itu. Kebakaran itu. Orangtuaku. Dong Woo dan ibunya. Lalu entah bagaimana kau dan Dong Woo, kita bertemu sepuluh bulan kemudian dan kita melihat bagaimanan kecelakaan itu membawa pergi nyawa Dong Woo.

Aku ingin kau tahu, aku merasa sangat bersalah setahun yang lalu dan menyesal sepuluh bulan kemudian. Kau dan kejadian-kejadian itu tidak pernah bisa kuhilangkan dari pikiranku. Sampai saat ini. Kadang aku merasa yakin bahwa waktu mempertemukan kita melalui kejadian yang selalu melibatkan kita berdua dan membuatku merasakan perasaan yang baru. Kau mungkin mengerti apa yang kumaksud dengan perasaan yang baru itu.

Chan Yeol PoV ends

***

“Sekarang bicaralah,” Chan Yeol mengakhiri cerita.

Ye Joo mengalihkan mata sejenak dari Chan Yeol, mencoba menerima setiap kata yang didengarnya dan mungkin sedikit menata hati untuk mempersiapkan gilirannya bicara.

“Ye Joo,” Chan Yeol kembali memperhatikan mata Ye Joo. “Bicaralah,” lanjut Chan Yeol.

“Hal yang ingin kukatakan padamu adalah tentang ibuku. Pertama kali peristiwa itu terjadi, sama sepertimu aku panik dan berkali-kali mencoba menghubungi ibuku namun tidak bisa. Hari itu ibuku juga ada di tempat itu sementara aku di rumah sakit. Keadaan saat orang-orang berhamburan ketakutan dan cemas, aku ingin mereka tahu bahwa aku juga merasakan hal yang sama seperti mereka. Bahkan aku belum mengetahui kabar pasti apakah ibuku selamat atau tidak dari peristiwa itu.

Aku hanya terus berdoa sambil berlarian dengan pasien yang datang silih berganti. Lalu tentang orangtuamu, terutama ayahmu, aku minta maaf. Aku sungguh minta maaf,” Ye Joo berhenti bicara. Cukup lama.

“Sudah?” Chan Yeol memastikan.

Ye Joo mengangguk tidak menjawab.

“Sekarang, bolehkah aku bertanya satu hal padamu, Ye Joo?”

“Apa yang mau kau tanyakan?”

“Bagaimana bisa Dong Woo dan kau, datang bersama sepuluh bulan yang lalu?”

“Kalau tentang itu, aku akan menceritakannya nanti. Aku membutuhkan waktu untuk bisa memaafkan diriku sendiri. Memaafkan kesalahan kecil terburuk sepanjang hidupku.”

“Baiklah, aku mengerti.”

Chan Yeol berdiri membuat Ye Joo mendongakkan kepala.

“Apakah kita jadi pergi?” tanya Chan Yeol.

“Kurasa aku telah kehilangan selera makanku,” balas Ye Joo tidak bersemangat.

“Kalau begitu, aku akan pulang.”

“Ah, tunggu. Giliranku bertanya,” Ye Joo pun bangkit.

“Apa yang kau maksud dengan . . . perasaan baru itu?”

“Kau sungguh-sungguh tidak mengerti denganku yang bahkan sampai mencari alamat apartemenmu?”

Ye Joo berpikir. “Apa? Jangan berkata . . .  kalau kau tertarik padaku. Apakah aku benar?”

“Lalu apakah aku terlihat bercanda sepanjang cerita yang telah kukatakan tadi? Kau memang tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti? Sudah kubilang. Menikahlah denganku. Itulah jawaban dari pertanyaanmu tentang perasaan baru itu, Yoon Ye Joo.”

Ye Joo menyingkir dari hadapan Chan Yeol.

“Kita baru bertemu beberapa kali dan kau memintaku menikah denganmu seperti ini? Konyol sekali.”

Chan Yeol mendekati Ye Joo. “Kita lihat sampai kapan kekonyolan yang kau pikirkan itu akan bertahan jika aku tidak bisa berhenti mengejarmu. Aku pergi,” Chan Yeol menepuk pundak Ye Joo sebelum dia pergi.

Ye Joo hanya tidak habis pikir dengan lelaki itu.

“Lelaki itu cukup aneh,” desis Ye Joo. Untuk beberapa saat, dia menyadari bagaimana bisa mereka berdua seperti sudah dekat sementara pertemuan yang, ya memang diakuinya adalah kebetulan yang tidak terduga, baru terjadi beberapa kali. Mengapa pembicaraan tadi mengalir tanpa henti dan Ye Joo sendiri merasa heran bila memikirkanya lagi.

“Apakah dia itu memiliki semacam photographic memory atau apa? Bagaimana bisa dia mengingat wajahku sementara kami bertemu sudah setahun yang lalu?”

***

“Halo?” Ye Joo menerima telpon dari seseorang.

“Halo, Ye Joo? Kau siap?”

“Oh, Bibi Jung. Ya, aku akan ke sana. Tunggu aku.”

“Ya, berhati-hatilah.”

Ye Joo mengambil tas dan bersiap pergi. Dia sigap memakai sepatu lalu menarik gagang pintu. Tepat ketika pintu membuka, Ye Joo membelalak karena seseorang yang sudah mematung di luar apartemennya. Park Chan Yeol.

Annyeong,” sapa Chan Yeol berlagak lugu.

“Apa yang kau lakukan di sini?” Ye Joo bertanya datar tanpa basa-basi.

“Kau tidak membaca pesanku?”

“Apa?” Ye Joo memandang bingung dan mengeluarkan smartphone dari dalam tas.

“Kau tidak ingin bertemu denganku? Aku sedang dalam mood yang baik untuk mendengarkan cerita tentang Dong Woo.”

Ye Joo selesai membaca pesan yang dimaksud oleh Chan Yeol.

“Kukira akan lebih menarik jika aku datang sendiri ke sini,” Chan Yeol tersenyum setelah mengatakannya.

Ye Joo ke luar dan menutup pintu. “Sayang sekali aku harus pergi. Kau ingat aku mengatakan akan pergi ke suatu tempat akhir pekan ini bukan? Mungkin aku akan menceritakannya lain kali.”

“Apa kau mau kuantar? Kurasa aku serius pernah mengatakan akan mengantarmu.”

Ye Joo melirik sekilas jam tangan dan Chan Yeol mampu menangkapnya sebagai sinyal yang baik.

“Baiklah,” Ye Joo menerima tawaran Chan Yeol.

Mereka meluncur ke satu tempat yang dituju Ye Joo dengan mobil Chan Yeol.

“Boleh aku bertanya?” perbincangan di dalam mobil dimulai oleh Ye Joo.

“Katakan,” jawab Chan Yeol menoleh sekilas.

“Sebenarnya apa pekerjaanmu? Apakah di hari libur seperti ini kau juga tidak punya sesuatu untuk dikerjakan selain datang ke apartemenku?”

“Kenapa? Kau ingin tahu apa pekerjaanku? Sepertinya pembicaraan di antara kita akan semakin serius jika kau bertanya tentang pekerjaanku.”

“Apa salahnya memastikan pekerjaan seorang lelaki yang tertarik padaku?”

“Wah, kau sudah memikirkannya lebih cepat dari yang kukira. Kau takut aku tidak memiliki pekerjaan yang baik untuk masa depanmu?”

“Apa? Masa depan?”

Ye Joo seperti sedang bersusah payah menjaga sikapnya di depan Chan Yeol.

“Bodoh. Kenapa kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku?” rutuk Ye Joo dalam hati.

“Lupakan saja. Anggap aku tidak pernah bertanya apapun,” lanjut Ye Joo berusaha terlihat tenang.

“Bukankah kau bisa menebak dengan penampilanku ketika sepuluh bulan yang lalu kita bertemu?”

Ye Joo tidak sampai memikirkan kalau Chan Yeol tiba-tiba mengatakan itu.

“Kenapa aku sering mendengar kau mengatakan sepuluh bulan yang lalu? Membuatku semakin merasa buruk.”

“Ah maaf. Maafkan aku,” sesal Chan Yeol. Dia menoleh dan memastikan Ye Joo benar-benar tidak merasa tersinggung dengan kalimatnya.

“Ye Joo,” panggil Chan Yeol. Ye Joo menoleh ke arahnya. “Kau baik-baik saja?”

“Sudahlah. Fokuslah menyetir. Awas kalau kau sampai membuat tubuhku terluka sedikit saja,” Ye Joo kembali menatap lurus ke depan.

“Kenapa? Kau mau memintaku bertanggungjawab? Akan kulakukan. Itulah mengapa menikahlah . .”

“Hei hentikan,” Ye Joo memutus perkataan Chan Yeol cepat.

Chan Yeol lagi-lagi tersenyum.

***

Chan Yeol berjalan di belakang Ye Joo dan mereka menjadi perhatian hampir seluruh anak-anak di panti asuhan.

“Kau datang,” Bibi Jung menyambut kedatangan Ye Joo.

“Iya,” Ye Joo tersenyum.

“Siapa?” Bibi Jung melirik ke arah Chan Yeol penasaran.

“Teman,” jawab Ye Joo singkat. Chan Yeol mencibir.

Annyeonghaseyo, namaku Park Chan Yeol,” Chan Yeol memberi salam.

Bibi Jung dengan ramah menunjukkan senyumnya. “Park Chan Yeol? Tunggu, Park . . .”

“Ya. Park Chan Yeol,” ulang Chan Yeol.

“Park Chan Yeol?” Bibi Jung menekankan nada bicaranya. Ye Joo bergantian menatap Bibi Jung dan Chan Yeol.

“Ya,” Chan Yeol tersenyum ganjil karena Bibi Jung memandangnya seperti tidak percaya.

“Ada apa, Bibi?” Ye Joo bertanya penasaran dengan ekspresi Bibi Jung.

“Ah, tidak,” Bibi Jung menggeleng. “Ayo, masuklah. Anak-anak menunggumu dari tadi,” Bibi Jung terlihat seolah-olah mengalihkan perhatian. Ye Joo menangkapnya jelas dari sorot mata wanita itu.

“Ya,” namun Ye Joo tidak berusaha bertanya lagi lalu berjalan disusul Chan Yeol masih berada di belakangnya seperti pengekor.

Mereka masuk ke dalam bangunan panti asuhan bersama anak-anak yang sepertinya terus memperhatikan Chan Yeol sejak kedatangannya.

“Eonni, siapa?” Min Young, gadis berkuncir pita merapatkan langkah di sebelah Ye Joo. Matanya berbinar ingin tahu.

Ye Joo merendahkan tubuh lalu berbisik di telinga Min Young. “Teman,” desah Ye Joo.

“Benarkah? Apakah dia bukan pacarmu?” wajah Min Young terlihat polos namun pertanyaannya terdengar menggoda.

Ye Joo sekilas melotot. Buru-buru dia menggeleng sambil tersenyum mencoba tenang.

“Noona, Hyung ini adalah pacarmu?!” suara nyaring anak laki-laki menyeruak di antara mereka dan spontan menghentikan semua langkah. Termasuk Bibi Jung.

Ye Joo menoleh ke belakang dari mana suara itu berasal. Anak-anak lain menggerakan mata ke arah yang sama seperti Ye Joo.

“Jae Hyun,” batin Ye Joo memandang anak itu.

Chan Yeol menahan senyum. Ye Joo melihat itu.

“Ini pasti ulahnya,” batin Ye Joo lagi.

“Siapa yang mengatakannya?” Ye Joo memandang tidak terima ke arah Jae Hyun.

“Hyung ini sendiri yang bilang,” terang Jae Hyun polos. Bibi Jung justru tersenyum-senyum menyaksikan.

“Tidak. Dia bukan pacarku,” elak Ye Joo. Anak-anak menjadi penonton yang baik. Mereka hanya diam tanpa ekspresi yang macam-macam. Mungkin ada yang bingung dan mungkin ada yang justru tidak mengerti.

“Tapi Hyung bilang akan menikahimu minggu depan,” Jae Hyun jelas sekali mengucapkan kata-katanya.

Ye Joo tidak habis pikir dan menatap jengkel pada Chan Yeol.

“Wah, Eonni akan menikah. Hore. . .” Min Young tiba-tiba menyahut seraya bertepuk tangan. Anak-anak lain bahkan bersorak gara-gara Min Young yang memancing.

Ye Joo cukup merasa bahwa hari itu anak-anak sangat menyebalkan. Terutama satu orang yang menjadi provokator paling membuat Ye Joo kesal. Park Chan Yeol, lelaki itu tidak sedikitpun sadar dengan ulahnya dan tetap tenang menikmati keadaan. Ye Joo pura-pura tidak menghiraukan karena dia terlalu malu dan lebih memilih meneruskan langkah lagi. Bibi Jung, Chan Yeol dan semua anak saling tertawa.

***

Anak-anak mengadakan sendiri acara mereka. Ye Joo hadir menjadi undangan satu-satunya. Namun karena Chan Yeol tanpa ada rencana bahkan undangan sekalipun untuknya, ikut menjadi tamu baru bagi mereka. Beberapa anak menampilkan drama, bermain musik, dance dan bernyanyi. Pertunjukan panggung setiap dua minggu sekali. Bibi Jung yang berpikir menciptakan ide itu. Mungkin lain kali Ye Joo akan mengusulkan tamu-tamu undangan baru sehingga acara bersenang-senang itu menjadi lebih meriah.

Ye Joo menikmatinya sampai selesai. Menjelang sore hari baru benar-benar berakhir ketika mereka semua membersihkan segala sesuatunya usai pertunjukan. Ye Joo berbincang sebentar dengan Bibi Jung sebelum dia pulang di ruang baca sementara Chan Yeol menunggu Ye Joo sambil menemani beberapa anak yang tertarik menginterogasinya. Ye Joo berlagak tidak peduli pada lelaki itu dengan tingkahnya mendekati anak-anak.

“Jangan berpura-pura memasang wajah yang tidak suka seperti itu. Nanti kau akan menyukainya sungguhan,” ledek Bibi Jung.

“Asal Bibi tahu, dia hanya mencoba menarik perhatianku dengan mendekati anak-anak, Bibi,” Ye Joo membela diri, mengembalikan muka masamnya seperti kejadian sebelum pertunjukan tadi.

“Tapi dia berhasil kan? Lihatlah dirimu. Kejengkelanmu adalah sumber perhatian itu,” Bibi Jung tersenyum.

“Apa? Apa maksud Bibi? Perhatian apa?”

“Kalau kau merasa marah pada ulahnya berarti dia berhasil menggodamu,” terang Bibi Jung. “Kau menghiraukan tingkah usilnya padamu, Ye Joo.”

“Bibi . . .” rengek Ye Joo. “Sebenarnya Bibi di pihak siapa?”

“Hei, kau sudah tidak pantas merengek seperti itu. Sudah, menikahlah saja dengannya. Dia akan menjadi pendamping yang lebih baik dari semua anak di sini,” Bibi Jung mulai mengarahkan pembicaraan terdengar lebih serius. Tapi Ye Joo selalu menghargainya karena Bibi Jung dianggap sebagai ibu kedua setelah ibu kandungnya.

“Kenapa Bibi jadi bicara seperti itu? Aku kan tidak pernah mengatakan kalau dia akan menikahiku. Dia hanya seorang teman, Bibi,” Ye Joo mencoba menjelaskan.

“Ye Joo, lama tidak melihatmu terlihat seperti ini. Kau sangat menikmati pertunjukan beberapa kali aku memperhatikanmu tadi. Pria itu pun, aku tidak menduga hari ini kau datang bersamanya dan kejadian saat Jae Hyun membuatmu merasa sebal, semuanya tidak pernah terjadi sebelumnya. Ekspresimu berbeda hari ini, Ye Joo.”

“Ada apa dengan Bibi ini? Bukankah aku selalu terlihat senang saat bertemu dengan mereka?” Ye Joo menyentuh punggung tangan Bibi Jung.

“Tapi aku bisa mengetahui perbedaan itu, Ye Joo. Meskipun samar, aku melihatnya.”

“Bibi . .”

“Ye Joo, sungguh. Aku tidak bercanda. Jika benar pria itu ingin menikahimu, menikahlah. Lupakan sejenak aku dan anak-anak. Bahkan Dong Woo. Mungkin dengan menikah kebahagiaanmu akan lebih baik. Kau tidak akan hidup sendiri lagi jika memiliki seorang pria di sampingmu sebagai suami, Ye Joo.”

“Aku tahu, Bibi. Tapi aku baru mengenalnya dan tidak semudah itu mengatakan untuk menikah. Aku masih harus mengetahui dirinya lebih jauh lagi, Bibi.”

“Baguslah kalau seperti itu. Bibi selalu berdoa yang terbaik untukmu, Ye Joo.”

“Terima kasih, Bibi.”

“Oh iya, siapa namanya tadi? Park . .”

“Park Chan Yeol, Bibi. Park Chan Yeol.”

“Park Chan Yeol. .”

“Kenapa? Apakah dia adalah orang yang Bibi kenal?”

“Tunggu. Tunggu sebentar,” Bibi Jung terlihat berpikir. Ye Joo menunggunya penasaran.

“Ada apa, Bibi?”

“Rasanya aku pernah mendengar nama itu dari ibumu.”

“Apa?”

“Mungkin memang benar. Kau tidak pernah tahu kalau ibumu bercerita padaku tentang keinginannya agar kau segera menikah. Kurasa benar kalau dia menyebutkan nama pria itu. Park Chan Yeol. Dia pernah mengatakannya padaku.”

“Benarkah?”

“Iya, aku yakin. Tapi apakah mungkin dia adalah pria itu?”

“Jadi apakah memang benar yang diceritakan oleh Chan Yeol mengenai rencana pertemuan untuk kami berdua? Kenapa semua kebetulan ini . . .”

Ye Joo menunduk. “Mungkin saja. Aku hanya tahu kalau ibu berencana mengenalkanku dengan seorang laki-laki.”

“Lalu? Apakah dia memberitahumu siapa namanya?”

“Tidak. Ibu tidak memberitahuku siapa namanya. Bahkan belum sempat rencana itu tercapai, Ibu sudah pergi meninggalkanku.”

“Benar, semuanya terjadi tanpa terduga. Tapi Ye Joo, itu berarti kau belum pernah sama sekali bertemu dengan orang itu?”

“Belum. Semenjak Ibu meninggal aku tidak terlalu memikirkan tentang itu.”

“Bagaimana kalau pria bernama Park Chan Yeol itu adalah orangnya?”

“Entahlah, Bibi,” Ye Joo hanya tersenyum tipis menanggapi Bibi Jung.

“Kalau benar, apakah kau percaya pada ibumu Ye Joo?”

“Maksud Bibi?”

“Mustahil ibumu berencana mengenalkanmu dengan pria itu jika dia tidak mengetahui latar belakangnya. Dari yang kudengar ketika ibumu bercerita, pria itu adalah pria yang baik, Ye Joo.”

“Ibuku. .  mengatakannya?”

“Ya.”

Ye Joo untuk beberapa detik terdiam.

“Jika yang terbaik adalah memikirkannya lagi, maka pikirkanlah Ye Joo. Bukankah kau bilang harus mengenalnya lebih jauh lagi?”

“Apakah benar yang dikatakan oleh Bibi Jung? Apakah seharusnya aku percaya pada ibuku?”

Ye Joo perlahan memeluk Bibi Jung, membayangkan kalau wanita itu adalah ibu kandungnya. Ketika dia merasa sudah cukup lalu melepaskan tubuh Bibi Jung, Ye Joo memohon diri untuk pergi.

Ye Joo meninggalkan panti asuhan saat senja telah digeser oleh malam. Sehari yang bagi Chan Yeol adalah pertama sepanjang hidupnya. Ini hanya masalah menunggu waktu sampai Ye Joo menjadi miliknya.

“Jadi Dong Woo, anak itu juga tinggal di sana?” Chan Yeol meluncurkan pertanyaan seraya mulai menjalankan mobil.

“Ya,” jawab Ye Joo yang selesai memasang seat belt. “Apakah aku memang harus menganggapnya sebagai takdir? Suatu saat Dong Woo dibawa oleh neneknya ke sana. Menyedihkan karena saat Bibi Jung bermaksud mengantarkan Dong Woo buang air kecil ke kamar mandi, entah ke mana nenek itu begitu saja menghilang. Dong Woo ditinggalkan.”

“Benarkah?”

“Ya. Tidakkah menurutmu kami diikat oleh satu tali yang sama hingga mengalami pertemuan seperti itu?”

“Bila itu pertanyaanmu, aku sependapat. Kalau begitu sama halnya dengan tali lain yang mengikat kita sampai pertemuan ini,” tatapan Chan Yeol lurus menyusuri jalan di depan. Dia menyadari Ye Joo menoleh ke arahnya.

“Apakah kau seyakin itu, Park Chan Yeol?”

“Mengapa tidak jika memang itu adalah bagaimana cara kita diperlakukan dalam kenyataan?”

Ye Joo merasa dirinya diliputi perenungan dari setiap pembicaraan berharga hari ini. Oleh Chan Yeol dan Bibi Jung.

Ye Joo membiarkan telunjuknya menekan tombol untuk membuka jendela mobil. Chan Yeol seketika mematikan AC.

Ye Joo ingin sekali melongokkan kepala ke luar jendela jika jalan malam ini adalah miliknya sendiri.

“Ibu, apakah lelaki yang sedang bersamaku ini adalah Park Chan Yeol yang benar-benar Ibu inginkan aku bertemu dengannya?”

Chan Yeol tertegun mendadak.

“Ibu, apakah dia orang yang baik? Apakah sebelumnya Ibu sudah mengenalnya dengan baik?” suara Ye Joo menyeruak bersama udara malam dan Chan Yeol entah mengapa merasakan irama napasnya berubah.

“Kalau Ibu yakin bahwa dia adalah orang yang baik, maka aku akan mencoba mempercayaimu, Ibu,” mata Ye Joo menyoroti langit yang gelap dengan sebaran titik berwarna putih, saling berpendar dalam jarah tidak beraturan.

“Iya, Ibu. Aku akan mencobanya. Mengenalnya seperti melihat bintang-bintang kecil itu malam ini. Mungkin banyak hal yang belum kutahu darinya karena aku harus mengerti terlebih dahulu bagaimana cara yang benar untuk bisa tahu. Sama dengan bintang-bintang kecil yang tak kutemukan di pagi hari karena memang  yang seharusnya ada adalah matahari.”

“Ye Joo,” ada yang menggetarkan bibir Chan Yeol saat dia mendengarkan semua yang dikatakan oleh Ye Joo baru saja.

Ye Joo merespon dengan gerakan kepala yang kembali berhenti pada pemilik suara yang memanggilnya itu.

“Mengapa kau mengatakan semua itu?” Chan Yeol bertanya sedikit ragu.

“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin bertanya pada ibuku,” jawab Ye Joo diselingi semburat samar dari bibirnya yang ingin tersenyum karena entah mengapa dia merasakan hatinya sangat lega.

“Tapi, pertanyaan-pertanyaan itu, apakah yang kau maksud itu adalah aku?”

“Kau tidak mendengar aku menyebut namamu dengan sangat jelas? Atau kau sengaja berpura-pura tidak mendengarkanku berbicara?”

Chan Yeol tiba-tiba ingin menepikan mobil. Saat kakinya berhenti setelah menginjak rem dan mobil telah benar-benar berhenti, dia mengatur posisi duduknya senyaman mungkin untuk menghadap Ye Joo yang duduk di sebelahnya.

“Bisakah aku mendengarkannya lagi? Kata-kata yang kau katakan tadi?”

Ye Joo terbelalak.

“Kau menghentikan mobil hanya untuk mengatakannya?” sungut Ye Joo heran.

“Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas karena kepalamu mengarah ke luar jendela,” Chan Yeol mencari alasan.

“Sudah, ayo jalan lagi,” Ye Joo tidak menghiraukan permintaan Chan Yeol.

“Baiklah kalau begitu jawab aku kali ini. Apakah yang aku dengar itu adalah sungguh-sungguh dari hatimu?”

“Ya, ya, benar. Puas sekarang?” Ye Joo menyerah. “Sudah, jalan lagi.”

Chan Yeol tidak berlebihan karena jujur hatinya merasakan ketenangan dan keharuan karena satu perempuan ini.

Mobil kembali melaju dan sepanjang sisa jalan yang mereka lalui, Chan Yeol hanya terus tersenyum pada dirinya sendiri.

“Oh iya, ada yang ingin kutanyakan padamu, Ye Joo.”

“Apa lagi?”

“Bagaimana kau tahu tentang panti asuhan itu pada awalnya?”

“Itu adalah karena ibuku. Ibuku adalah teman baik Bibi Jung. Sementara ayahku, yang telah lama meninggal sejak aku masih kecil, dulunya juga mengenal pemilik yayasan tempat itu. Begitulah.”

“Jadi seperti itu.”

“Ah, tunggu sebentar,” Ye Joo membuka tasnya mencari smartphone yang berbunyi karena ada pesan masuk.

“Dokter Yoon, sepertinya kau harus mengecek emailmu. Kurasa pengajuan penelitianmu diterima.”

“Ada apa?” celetuk Chan Yeol sambil melirik Ye Joo sepintas.

“Ah tidak. Temanku memberitahu kalau pengajuan penelitianku diterima.”

“Wah, itu hal yang bagus.”

“Chan Yeol, akankah tali yang membuatmu yakin itu masih berlaku sekalipun aku pergi ke luar negeri?”

“Apa?”

“Perasaanmu padaku, apakah masih berlaku meskipun aku pergi ke luar negeri?”

“Yoon Ye Joo . .” Chan Yeol dalam sekejap termangu.

***

 Dua tahun berikutnya.

Turun dari mobil Chan Yeol, Ye Joo berlari tidak sabar ke arah Bibi Jung dan anak-anak yang menyambut kedatangannya di rumah mewah Chan Yeol.

“Ye Joo,” Bibi Jung mendekap erat tubuh Ye Joo dengan bahagia.

“Bagaimana kabar Bibi?” Ye Joo meluapkan segenap kerinduannya selama dua tahun terakhir.

“Aku baik-baik saja,” Bibi Jung perlahan merenggangkan pelukannya.

“Bagaimana kabar kalian?” Ye Joo menenggelamkan diri dalam kerumunan anak-anak yang riang menggerombolinya.

Chan Yeol hanya menunjukkan senyum menyaksikan pemandangan yang ada di depan mata. Ye Joo perlu melepaskan rasa rindunya pada orang-orang berharga itu dan Chan Yeol menunggu kebersamaan mereka. Chan Yeol mengerti bahwa kebahagiaan terpenting Ye Joo lainnya adalah Bibi Jung dan anak-anak. Dia memahami bagaimana perasaan Ye Joo yang harus meninggalkan mereka untuk sementara waktu kemudian bertemu kembali seperti sekarang.

“Kau sudah memberitahunya?” Bibi Jung menyanding Chan Yeol yang berdiri tidak jauh dari ruang tengah di mana Ye Joo dan anak-anak saling berkumpul.

“Masih belum,” jawab Chan Yeol pelan.

“Apakah kau yakin kalau Ye Joo akan setuju dengan keputusanmu?”

“Kuharap dia setuju, Bibi. Aku akan meyakinkannya,” tegas Chan Yeol.

Beberapa jam kemudian setelah Ye Joo merasa sudah cukup dengan banyak hal yang diceritakannya bersama anak-anak, dia beranjak menghampiri Chan Yeol.

“Apa kita tidak pergi ke tempat lain?”

“Kita? Sudah dua tahun lamanya tidak mendengar Ye Joo mengatakannya.”

Chan Yeol tersenyum dan mengelus lembut kepala Ye Joo.

“Aku akan mengajakmu ke suatu tempat,” ucap Chan Yeol lalu menarik tangan Ye Joo dan bergegas menaiki mobil meninggalkan rumah Chan Yeol.

***

Ye Joo terheran saat Chan Yeol mengarahkan ke mana mobilnya diparkirkan.

“Kenapa kita ke sini?” tanya Ye Joo tidak mengerti.

Chan Yeol tidak menjawab sambil kemudian melepaskan seatbelt-nya lalu turun dari mobil. Ye Joo pun segera melakukan hal yang sama.

“Hei, jawab pertanyaanku,” seru Ye Joo, berjalan di belakang Chan Yeol yang masih tidak menghiraukannya.

“Hei!!!” Ye Joo, karena tidak tahan akhirnya meledak dengan teriakannya.

Seketika Chan Yeol menghentikan langkah dan berbalik. Tanpa berbasa-basi, Chan Yeol begitu saja menggandeng Ye Joo dan mereka kembali berjalan.

Ye Joo menyesal juga meneriaki Chan Yeol, sehingga dirinya tidak berani melakukan apapun sekarang. Selanjutnya Ye Joo hanya memasrahkan diri dan diam.

Ternyata Chan Yeol membawanya ke apartemen tempat tinggal Ye Joo. Ye Joo mengamati wajah Chan Yeol dengan perasaan bingung. Terlebih melihat Chan Yeol sigap memasukkan kode pintu dengan angka-angka yang menurut Ye Joo sudah berbeda dengan yang dulu terakhir kali dipakainya.

“Sejak kapan dia mengubah sandinya?” pikir Ye Joo.

Chan Yeol membuka pintu dan Ye Joo ditariknya masuk. Pintu dikunci lalu Chan Yeol membiarkan Ye Joo berjalan di depannya. Sesaat, Ye Joo mengedarkan pandangan secara bergantian ke seluruh penjuru apartemennya yang berubah tatanannya karena Chan Yeol yang melakukan itu.

Ye Joo berjalan ke kamarnya, mengamati semua yang dilihatnya.

“Tunggu,” Ye Joo tercekat. “Itu milik siapa?” tunjuknya pada koper biru gelap tergeletak di dekat lemari pakaian.

“Itu milikku. Baru beberapa hari ini aku pindah jadi masih malas untuk membereskannya,” terang Chan Yeol santai lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur.

“Apa? Kau pindah ke sini?” Ye Joo mendudukkan diri di kasur yang sama.

“Ya,” Chan Yeol telentang dan menyilangkan kedua tangannya di bawah kepala.

“Kenapa?” Ye Joo memandang Chan Yeol.

“Aku ingin kita tinggal bersama di sini.”

Ye Joo terdiam setelah menyimak perkataan Chan Yeol baru saja.

“Ye Joo,” Chan Yeol bangun dan duduk bersila menatap Ye Joo lekat.

“Tidak apa-apa kan kalau anak-anak tinggal di rumahku saja?”

“Maksudmu tinggal untuk seterusnya?”

Chan Yeol mengangguk.

“Jadi bukan hanya karena menyambutku di rumahmu, namun mereka akan tinggal di sana?” duga Ye Joo.

“Benar. Bagaimana? Tidak apa-apa kan?”

“Tapi mengapa kau ingin mereka tingal di sana?”

“Rumah itu terlalu besar untuk kita berdua.”

Ye Joo seketika tersenyum lebar mendengar ucapan Chan Yeol.

“Dasar kau ini,” Ye Joo menduga itu hanya cara Chan Yeol agar ada alasan untuknya bisa tinggal dengan Ye Joo di apartemen Ye Joo.

“Kau tersenyum?” Chan Yeol tidak membayangkan kalau ternyata reaksi Ye Joo seperti yang disaksikannya sekarang. “Itu berarti kau tidak keberatan?”

Ye Joo menggeleng. “Bagaimana mungkin aku keberatan jika itu adalah keinginan baikmu?”

Chan Yeol merasa sangat lega. Senyum menariknya terkembang dengan lesung pipit di kedua pipinya.

“Memangnya sejak kapan anak-anak . . . AH!” Ye Joo terkejut luar biasa sampai berhenti dengan kalimatnya karena Chan Yeol bergerak sangat cepat dari yang diduga.

Kini Ye Joo merasakan detak jantung Chan Yeol.

“ Lupakan sebentar tentang anak-anak. Kau tahu betapa sulitnya menahan diri sejak tadi,” Chan Yeol terbaring dengan tubuh Ye Joo dalam rengkuhannya. Lengan kanannya mendekap punggung Ye Joo sementara lengan kiri membelai rambut Ye Joo.

“Aku merindukanmu, Ye Joo,” Chan Yeol berbisik.

Ye Joo memejamkan mata, membiarkan kepalanya jatuh di dada Chan Yeol.

“Aku juga,” balas Ye Joo lirih.

“Kenapa baru sekarang kau kembali?”

“Entahlah. Kau tahu sendiri kalau penelitianku selesai baru-baru ini,” ucap Ye Joo masih dengan mata terpejam.

“Seharusnya kau bisa melakukannya lebih cepat.”

“Aku juga ingin seperti itu, tapi tak bisa.”

“Kau kan pintar, bukankah seharusnya bisa?”

“Sudahlah, yang penting aku sudah kembali sekarang.”

“Dasar kau. Bagaimana bisa kau meninggalkan bintang kecil yang paling tampan ini?”

Ye Joo tidak kuat menahan senyum.

“Ya, ya. Aku tahu, kau ini memang bintang kecil yang paling tampan,” Ye Joo serasa memuji sendiri anak-anak di panti asuhan.

“Tapi sebentar!” Ye Joo tiba-tiba mengangkat kepalanya untuk menatap Chan Yeol.

“Kenapa?” Chan Yeol otomatis membebaskan lengannya dari tubuh Ye Joo.

Ye Joo duduk lagi. Chan Yeol ikut bangkit.

“Waktu itu kau sama sekali tidak berniat untuk menemuiku padahal kau bilang kau sedang melakukan perjalanan bisnis di sana,” sekarang Ye Joo justru kelihatan mengambek seperti anak kecil.

“Ah waktu itu?” Chan Yeol ingat. “Maaf aku lupa memberitahumu kalau aku harus cepat-cepat kembali ke sini karena ada jadwal lain yang menunggu.”

“Benar?”

“Benar. Mana mungkin aku membohongimu?”

“Padahal saat itu aku sangat berharap kau bisa menemuiku.”

Chan Yeol dibuat gemas dengan muka Ye Joo.

“Sudahlah, kau bilang yang penting kau sudah kembali,” Chan Yeol mengulang perkataan Ye Joo. Ye Joo mengerucutkan bibirnya sambil menarik napas.

“Oh ya. Tunggu sebentar,” Ye Joo berdiri.

“Ke mana?” Chan Yeol menarik pergelangan tangan Ye Joo.

“Sebentar,” Ye Joo menyingkirkan pelan pegangan Chan Yeol. Dia berjalan menuju pintu.

Chan Yeol tidak peduli dan begitu saja mengikuti Ye Joo ingin mencegahnya.

“Kau mau ke mana?” Chan Yeol sangat cepat meraih lagi lengan kiri Ye Joo tepat saat Ye Joo memegang gagang pintu dengan tangan yang lain. Ye Joo menoleh lantas menarik pintu hingga tertutup.

“Aku hanya ingin menutup pintu,” ungkap Ye Joo polos. Sepasang matanya berkedip dan Chan Yeol tiba-tiba saja diam.

“Kenapa? Aku tidak akan ke mana . . .” dan Chan Yeol dalam hitungan detik mendorong halus tubuh Ye Joo sampai menyandar dinding di sebelah pintu. Ye Joo terkejut. Dia terkepung oleh dua lengan Chan Yeol.

Mereka beradu pandang. Ye Joo berkedip canggung. Chan Yeol berusaha memperpendek jarak mata mereka. Perlahan, Ye Joo mulai mengerti keadaan. Matanya tertutup saat bibir Chan Yeol terasa menyentuh bibirnya.

Telapak tangan Chan Yeol yang semula merapat pada dinding pelan-pelan digerakkannya untuk meraba pipi Ye Joo. Kini dia mencoba memegang wajah perempuan itu. Sementara Ye Joo melingkarkan kedua lengannya ke leher Chan Yeol. Mereka berdua tenggelam menikmati apa yang sedang dilakukan. Hingga beberapa menit lamanya.

Lantas ketika hembusan napas yang kemudian bisa saling dirasakan satu sama lain, dan jantung yang berdetak lebih cepat. Ye Joo melepas bibirnya lebih dulu dari bibir Chan Yeol, dan Chan Yeol yang juga mulai melepas sentuhannya dari pipi Ye Joo, maka saat itulah mereka berdua menghentikannya.

Chan Yeol dan Ye Joo membuka mata bersamaan dan saling tersenyum.

“Terima kasih, Ye Joo,” desis Chan Yeol.

Ye Joo berjinjit berniat mengecup kening Chan Yeol namun spontan Chan Yeol mencegahnya dan justru membekap bibir Ye Joo.

“Biar aku yang lakukan,” ucap Chan Yeol lalu mencium kening Ye Joo, istri mungil yang paling dirindukannya setelah dua tahun tidak saling bertemu.

***END 1/2/2015 [tw: @naylittle_gem]



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles