「Ten Years Forwarded」
A fanfiction by marceryn
Rating : PG-15
Length : Multichapter
Genre : AU, Soft-romance, (little bit) fantasy, married-life(?)
Casts : EXO’s Chanyeol, Ryu Danbi [OC], supporting by EXO’s members and others OCs
Disclaimer :: Except the storyline, OCs, and cover, I don’t own anything.
Note : Terima kasih banyak untuk review di FF Since Forever. Tadinya aku pingin bikin FF oneshot lainnya, tapi entah kenapa muncul ide untuk FF multichaps ini. Mungkin hasilnya bakal rada absurd haha. Dan update berikutnya-nya mungkin akan makan waktu bertahun-tahun cahaya(?). Maaf jika ada typo(s) dan sebagainya. Kritik dan saran selalu ditunggu!
(fanfiksi ini dipublikasikan juga di akun wattpad pribadi)
~Ten Years Forwarded~
Hanya Ryu Danbi yang tidak ikut menyanyikan Party In The USA bersama dua puluh orang lainnya yang juga duduk dengannya membentuk lingkaran mengitari api unggun. Ia kehilangan semangat untuk bernyanyi—apalagi berpesta, meskipun ini adalah acara reuni-berkemah SMAnya yang pertama, langit malam ini cerah berbintang, dan Park Chanyeol—secara kebetulan duduk tepat di hadapannya dalam lingkaran ini—yang memetik gitar mengiringi lagu. Tidak, Danbi sedikit pun tidak tertarik untuk membuka mulutnya.
Karena ia baru saja disodori pemandangan Baek Jinhye mengalungkan kedua tangannya ke leher Chanyeol dan menggelayut manja di bahu laki-laki itu.
Hubungan kedua orang itu bukan rahasia. Danbi—begitu juga semua orang yang ada di sini—melihat sendiri aksi norak Chanyeol ketika menyatakan cinta pada Jinhye, dengan buket mawar merah bodoh dan lagu cinta yang menjijikkan, di lapangan sekolah pada tahun terakhir mereka di SMA. Otak Park Chanyeol memang bermasalah (bagi Danbi keadaan ini tidak berubah sama sekali), tapi masalah perasaan, ia benar-benar berpendirian. Setahun lagi mereka semua akan menjadi sarjana, dan Chanyeol dan Jinhye masih juga bersama.
Danbi mengingatkan diri bahwa seharusnya ia sudah terbiasa. Di antara mantan teman-teman sekelasnya ini, hanya ia, Chanyeol, dan Jinhye yang masuk di universitas yang sama. Danbi mau tidak mau melihat mereka berdua menempel satu sama lain setidaknya tiga kali sehari di berbagai tempat. Sudah seperti minum obat saja.
Danbi mengedarkan pandang dengan getir. Memandang dua lagi ‘pasangan kelas’ yang saling merangkul juga tidak membantu.
Acara ini sungguh menggelikan.
Sampai umurnya menjelang dua puluh tiga saat ini, Danbi belum pernah pacaran. Tepatnya, belum ada laki-laki yang mengajaknya berkencan. Bukannya Danbi akan menerima, jika memang ada. Ia sudah menyukai seseorang sejak lama. Walaupun ia tahu benar orang itu hanya menyukai satu orang, dan itu jelas bukan dirinya.
“Ja, ja!” Chanyeol meletakkan gitarnya dan berdiri, lalu menepuk tangan meminta perhatian dengan lagak sok penting. “Tadi Jongdae mengusulkan main Truth Or Dare. Semua mau?”
Sebagian besar bersorak setuju. Sisanya yang tidak antusias—tentu saja hanya Danbi.
Karena tidak mungkin bermain dengan memutar botol, mereka mengestafet botolnya dengan diiringi lagu Gom Se Mari (Tiga Ekor Beruang) dimulai dari Jongdae—karena botol yang dipakai botol air mineral miliknya—dan bergerak ke kanan. Botol itu sampai di tangan Danbi pada bagian anak beruang dan ia mengopernya dengan tampang datar. Tidak ada yang memerhatikan kalau ia tidak ikut bernyanyi.
Setelah tiga putaran, botol itu berhenti di tangan Chanyeol. Laki-laki itu kegirangan—padahal apa menariknya permainan ini.
“Truth or dare?” tanya Jieun, yang tadi terakhir menerima botol.
“Dare, dare!” seru Chanyeol semangat.
“Cium Jinhye!”
Bukan hanya Jinhye yang terlihat terkejut. Danbi merasa seakan wajahnya disambar api unggun.
Chanyeol menangkupkan sepasang tangannya pada wajah Jinhye dan mengecup bibir gadis itu cepat-cepat. Jinhye tersenyum malu-malu, tapi kentara tampak senang. Semua berseru heboh. Semua, kecuali satu.
“Oh, yang benar saja,” Danbi mengerang dengan rahang terkatup rapat.
“Estafet seperti ini kurang seru,” Chanyeol mengusulkan, mengacungkan botol di tangannya. “Sekarang, kita melemparnya saja. Lempar secara acak, tapi jangan terlalu keras. Oke, aku mulai.”
Belum sempat yang lain mencerna cara baru ini dan bersiap-siap, botol itu melambung dari tangan Chanyeol menyeberangi api unggun. Dua orang di kiri-kanan Danbi berlindung dengan tangan di atas kepala. Seharusnya tidak perlu. Karena sebelum Danbi menyadari apa yang terjadi, botol itu menghantam dahinya.
“Astaga. Mian, Danbi-ya!” Chanyeol berkata sambil tertawa-tawa bersama yang lainnya. Tidak terlihat menyesal sama sekali. “Jinjja mian. Nah, truth or dare?”
Danbi ingin sekali melemparkan botol ini langsung ke hidung Chanyeol. Sudah menimpuk dahinya, masih saja melanjutkan permainan bodoh ini. “Dare,” jawab Danbi asal.
“Nyanyikan Gom Se Mari sambil menari!”
“Oke, truth,” ralat Danbi.
Teman-temannya protes, tapi Chanyeol tidak tampak keberatan. “Baiklah.”
Ketika Chanyeol menatap mata Danbi dengan tatapan jenakanya, dada Danbi tanpa sadar berdebar lebih keras. Tapi ia mempertahankan wajah datarnya dengan baik. “Apa?”
“Berapa tinggimu yang sebenarnya?”
Danbi melongo dan pastinya tampak bodoh. Ia bahkan tidak menyadari Jongdae tertawa sampai menunduk-nunduk memegangi perut. “Hah?”
“Waktu SMA, kau selalu menulis tinggimu seratus enam puluh senti di data siswa. Itu bohong, kan? Tinggimu tidak sampai sebahuku.”
Chanyeol masih menatap Danbi dengan mata berbinar-binar geli. Danbi tahu laki-laki itu hanya bercanda. Teman-teman yang lain juga tertawa. Mereka sedang bersenang-senang saat ini. Tapi Danbi merasa bodoh dan bebal, duduk di sini, ditertawai.
“Oke, tinggiku seratus lima puluh lima,” Danbi terkejut mendapati dirinya dapat menjawab tanpa nada tersinggung. “Nih.” Lalu ia melempar botol bodoh itu asal. Peduli apa dengan permainan, dengan Chanyeol. Semua menyebalkan.
***
“Oh, Danbi-ya. Kukira kau sudah tidur.”
Danbi menoleh pada Jieun yang merangkak keluar dari tendanya yang setengah tertutup. Acara api unggun sudah selesai setengah jam yang lalu. Karena Danbi belum mengantuk, ia memutuskan berjalan sebentar memutari area perkemahan. Barusan ia mengecek, tiga teman satu tendanya sudah mengorok ke langit ke tujuh. Jadi Danbi sudah pasti tidak akan tidur malam ini.
“Kau belum tidur?” balas Danbi.
“Belum. Menunggu Jinhye.”
“Oh.” Danbi tidak akan bertanya ke mana gadis itu.
“Omong-omong, apakah kau tahu di dekat sini ada minimarket atau apa?” tanya Jieun. “Aku lapar. Makanan kecilku diambil Sehun semua. Cih.”
Danbi tersenyum kecil. “Aku belum keluar ke jalan, nanti akan kulihat. Kau mau beli apa?”
“Dua roti, keripik kentang, hmm, dan tiga botol air mineral. Uangnya—”
“Nanti saja,” sela Danbi. Lagipula ia belum tahu minimarketnya ada atau tidak.
Jieun berterima kasih sebelum kembali ke dalam tendanya. Danbi kembali berjalan menjauh, menyusuri jalan setapak menuju jalan besar. Di sekelilingnya banyak pohon-pohon tinggi yang ditanam rapat. Bayangannya memberikan efek seram. Apakah itu hanya perasaannya, atau memang ada suara srak-srak dari dalam pepohonan sana? Danbi mempercepat langkah. Ia tidak percaya hantu, tapi penculik kan…
“Dan—”
“HUA!” Danbi tersandung dan jatuh ketika kakinya yang tergesa-gesa tidak sengaja tersandung sesuatu. Sebuah tangan baru saja menepuk pundak kanannya.
“Hati-hati, ada dahan pohon melintang di situ. Memangnya kau tidak lihat waktu kita lewat sini tadi siang?”
Oh, suara itu sama sekali tidak asing. Danbi mendongak, dan menemukan tangan yang barusan mengejutkannya, juga telah menimpuk dahinya dengan botol tadi, kini terulur untuk membantunya berdiri.
“Apa yang kaulakukan di sini?” Danbi bertanya sambil mengibaskan daun-daun kering dari pakaiannya, bersamaan dengan Chanyeol yang bertanya sambil menepuk-nepuk tangannya yang kotor gara-gara Danbi.
“Aku mencari Jinhye,” Chanyeol memutuskan menjawab duluan.
“Aku mencari minimarket,” jawab Danbi kemudian.
Sebelah alis Chanyeol terangkat. “Ada, tapi lumayan jauh dari sini.”
“Tidak masalah.” Danbi berdeham pendek. “Bye bye.”
Ternyata Chanyeol malah mengikutinya.
“Apa lagi?” tanya Danbi ketus.
“Aku ikut saja, daripada nanti kau tersasar. Sekarang sudah hampir tengah malam.”
“Aku bisa menjaga diri sendiri, terima kasih,” jawab Danbi defensif.
“Mengingat caramu jatuh barusan, jangan terlalu yakin,” balas Chanyeol ringan. Ia menjejalkan kedua tangan ke dalam saku jins longgarnya dan mereka berdua kembali berjalan berjauh-jauhan. “Omong-omong, apa kau melihat Jinhye?”
Danbi tanpa sadar mendengus seraya menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Seingatku kau yang pacaran dengannya, bukan aku.”
“Malam ini kau galak sekali, tahu tidak?” kata Chanyeol. “Kenapa? Kau marah soal tinggi badan tadi? Atau karena aku melemparmu dengan botol air? Itu kan tidak sengaja.”
Danbi mencibir seraya mempercepat langkahnya. Pikiran laki-laki sungguh sederhana.
Kaki panjang Chanyeol dengan mudah mengimbangi kecepatan Danbi. “Ya, Ryu Danbi, apa kau punya pacar?”
Seandainya mulut Danbi sedang terisi, ia pasti akan mati tersedak. “Kenapa memang?” tanyanya galak.
“Tidak kenapa-kenapa. Aku hanya tanya, memangnya tidak boleh?”
“Tidak.”
“Kau sungguh ganas.”
Entah kenapa Danbi ingin tertawa. Ia membuang muka ke arah lain sambil pura-pura membersihkan hidung dengan punggung tangan, sementara kenyataannya sedang tersenyum. Mendadak ia terpikir bahwa ini pertama kalinya ia mengobrol dengan Chanyeol lebih dari sepuluh menit. Perubahan yang lumayan.
“Apa kau punya saudara?” Chanyeol bertanya lagi.
“Tidak ada.”
“Aku punya seorang nuna,” Chanyeol memberitahu tanpa diminta.
“Oh.” Danbi sebenarnya sudah tahu, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. “Pasti menyenangkan, ya.”
Chanyeol menyengir. “Dia kadang menyusahkan, tapi aku sangat menyayanginya.”
“Mana yang lebih kau sukai, nuna-mu atau Jinhye?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Danbi tanpa diproses otaknya. Wajahnya seketika merona dalam kegelapan.
“Wah, itu sulit,” jawab Chanyeol dan tertawa renyah.
Danbi tidak ikut tertawa. “Sudah berapa lama, kau dan Jinhye?”
“Hmm, hampir empat tahun? Sekitar segitu,” jawab Chanyeol setelah menghitung sejenak.
“Apa yang membuatmu tertarik padanya?” Danbi dalam hati merutuki mulutnya yang tidak terkontrol. Tidak bisakah ia diam saja?
“Selain karena dia cantik?” gurau Chanyeol. Ia menggumam-gumam sesaat sebelum menjawab, “Jinhye… suka tersenyum. Dia gadis yang ceria, dan dia baik. Aku tidak yakin apa tepatnya alasanku tertarik padanya. Yang kutahu hanya Jinhye adalah Jinhye, dan aku menyukainya.”
“Geurae,” Danbi menggumam. Tekanan udara sepertinya menurun, karena tiba-tiba ia merasa sulit bernapas. Mungkin hidung besar Chanyeol menghisap semua pasokan oksigen.
Ketika Danbi sedang memikirkan cara-cara kejam untuk menyumpal hidung Chanyeol selamanya, laki-laki itu mendadak beringsut menempel di punggungnya dan berbisik keras dengan suara beratnya, “Astaga. Itu, itu…”
“Apa? Ada apa?” tanya Danbi panik.
“Apa itu? Itu, di depan sana.”
Danbi memaksakan diri mengangkat kepala ke arah pandang Chanyeol. Sesuatu yang tampak seperti siluet pria bungkuk berdiri beberapa meter di depan mereka. “A-aku tidak tahu,” jawab Danbi, rahangnya terkatup rapat.
“Hantu?” bisik Chanyeol.
Kalau saja kaki Danbi tidak segemetar ini, ia pasti akan menertawakan Chanyeol, tapi nyatanya ia sendiri juga ketakutan. Sekarang praktis sudah tengah malam. Mereka hanya berdua di antara pepohonan menyeramkan ini. “B-bukan. Itu manusia. Kakek-kakek.”
“Jangan sok tahu.”
“Memangnya kau berharap itu apa?” desis Danbi kesal.
Tepat saat itu, mereka melihat kepala sosok itu menoleh, dan ada sepasang mata yang menatap ke arah mereka. Chanyeol dan Danbi bersamaan melirik kakinya. Menapak tanah. Baiklah, aman. Maka mereka memutuskan maju—dengan langkah takut-takut yang diseret.
Dugaan Danbi ternyata tepat. Setelah dilihat lebih jelas, sosok itu memang seorang kakek bertubuh gempal dan berambut putih lebat. Kakek itu memakai kemeja hitam dan celana hitam, jadi wajar jika ia tidak tampak dari jauh.
“Berjalan-jalan malam, muda-mudi?” sapa kakek itu ramah.
“Annyeong haseyo.” Setelah terbukti tidak ada hantu, Chanyeol mendapatkan kembali kesadarannya dan membungkuk memberi salam pada kakek itu. “Kami mau ke, eh, minimarket.”
“Kebetulan sekali, aku juga perlu membeli sesuatu,” kata kakek itu. “Tapi kakiku tidak seimbang. Jika boleh merepotkan, maukah kalian berjalan bersama orang tua ini?”
“Tentu saja,” Chanyeol menyanggupi tanpa berpikir, kemudian meraih lengan kanan si kakek dengan sigap. Danbi mau tidak mau berpikir bahwa Chanyeol mudah akrab dengan siapa pun tidak hanya karena ia suka melucu dan banyak bicara, tapi juga karena ia berhati malaikat.
Memikirkan perumpamaan itu saja membuat Danbi mual.
“Danbi-ya?” Suara Chanyeol menyadarkan Danbi. Gadis itu segera memapah si kakek di sebelah kirinya, dan mereka bertiga mulai berjalan saling menopang.
“Aku sudah benar-benar tua,” kekeh kakeh itu. “Berjalan saja harus minta bantuan.”
“Itulah gunanya sesama, Kakek,” kata Chanyeol. “Untuk saling membantu.”
Danbi memakinya dalam hati. Siapa yang semenit lalu ketakutan sampai pucat pasi, mengira kakek ini hantu? Siapa sih yang zaman sekarang masih percaya hantu?
“Anak baik, anak baik.” Kakek itu mendesah senang, lalu matanya menerawang ke depan. “Siapa namamu?”
“Aku? Namaku Park Chanyeol. Dan gadis ini Ryu Danbi,” Chanyeol seenaknya memperkenalkan Danbi.
Kakek itu hanya melirik Danbi sambil tersenyum sekilas sebelum mengalihkan perhatiannya kembali pada Chanyeol. “Semangatmu mengingatkanku pada masa mudaku. Dulu, aku suka mendaki gunung dan menjelajah dunia, melihat banyak hal-hal menarik.”
Chanyeol tersenyum lebar. “Jeongmalyo?”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Kau tahu, aku bahkan pernah berkencan dengan seorang gadis Rusia. Masa muda sungguh menyenangkan. Alangkah bagusnya jika waktu dapat berputar kembali, ya?”
Obrolan mereka berlanjut seru seakan-akan tidak ada lagi orang di sana. Danbi tidak keberatan. Ia baru saja menguap lebar dan tidak ada yang memerhatikan.
Sekitar lima belas menit kemudian, mereka tiba di depan sebuah minimarket yang terlihat sama sepi seperti jalan besar yang mereka lalui.
“Nah, gadis muda,” untuk pertama kalinya kakek itu tampak menyadari kehadiran Danbi. Ia mengulurkan selembar uang sepuluh ribu won dengan tangannya yang penuh keriput. “Tolong belikan aku sebuah palu di dalam. Aku akan menunggu di sini saja, menikmati angin malam.”
Danbi menerima uang itu dan menjejalkannya ke dalam saku belakang jinsnya. “Baiklah.”
“Kakek mau kutemani?” Chanyeol menawarkan. Jelas ia lebih tertarik mengobrol dengan orang asing ini daripada mengikuti Danbi ke dalam.
“Tidak, tidak, kau ikutlah dengannya. Aku akan ada di sini saat kalian keluar.”
***
“Orang yang menarik, ya,” komentar Chanyeol saat Danbi sedang berdiri di depan barisan botol air mineral. Gadis itu lupa, berapa yang dipesan Jieun tadi?
“Hmm. Yeah,” sahut Danbi acuh dan memasukkan dua botol air ke dalam keranjang belanjaannya. “Kalau tidak salah tadi Jieun mau roti…”
“Dia bukan kakek-kakek biasa,” kata Chanyeol lagi, mengikuti Danbi ke rak penuh roti. “Ceritanya tentang paragliding tadi, aku jadi ingin mencoba juga.”
Danbi sedang berusaha mengingat-ingat dengan dua roti di tangannya. Berapa yang Jieun minta tadi? Akhirnya ia mengambil tiga buah, untuk jaga-jaga. “Ayo, sekarang keripik kentang.”
“Aku mau yang rasa barbeque, Danbi-ya. Oh ya, aku jadi memikirkan kata-katanya tentang memutar waktu tadi. Bagaimana denganmu? Apakah kau ingin kembali ke masa lalu, jika ada kesempatan?”
Chanyeol benar-benar cerewet, tapi sambil menyambar dua bungkus besar keripik kentang—satu untuk Chanyeol agar laki-laki itu tutup mulut—Danbi mau tidak mau berhenti sejenak untuk berpikir. Kembali ke masa lalu…
“Entahlah,” Danbi berbohong. “Kau sendiri?”
“Aku, sejujurnya, lebih tertarik dengan masa depan.” Chanyeol memiringkan kepalanya sedikit, mulai berimajinasi. “Aku sudah merencanakan kehidupanku selama sepuluh tahun ke depan. Aku akan lulus, setelah itu, aku ingin bekerja di perusahaan rekaman, menjadi komposer lagu. Selain itu, aku ingin mencoba ikut audisi di agensi artis. Aku selalu bermimpi ingin menjadi aktor. Lucu, ya? Aku belum terlalu terlambat untuk itu, kan? Kemudian, aku akan menikah dengan Jinhye.”
Danbi tersandung kakinya sendiri dan nyaris terpeleset kalau tidak sigap menahan tubuhnya. Chanyeol sepertinya tidak menyadarinya. Laki-laki itu hanya tersenyum bahagia, seakan khayalan di kepalanya itu sudah pasti akan jadi kenyataan besok.
“Aku ingin punya dua anak,” lanjut Chanyeol. “Laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki akan rajin seperti Jinhye. Yang perempuan akan periang, sepertiku.” Lalu ia terkekeh. “Bagaimana denganmu? Apa yang ingin kau lakukan setelah lulus kuliah?”
“Pindah ke luar negeri,” Danbi menjawab malas-malasan.
“Oh, ya? Ke mana?”
“Entahlah. Amerika, mungkin.”
“Itu juga bagus,” kata Chanyeol ceria. “Apa kau ingin menikah dengan orang asing juga?”
“Aku akan menikah dengan siapa pun yang tidak punya masalah dengan tinggi seratus lima puluh senti.”
Chanyeol menyadari bahwa gadis itu masih marah padanya. “Aku minta maaf soal tadi,” katanya, secara mengejutkan terdengar serius. “Aku benar-benar hanya bermaksud bercanda.”
“Lupakan saja,” jawab Danbi dan membuang muka.
Chanyeol tahu Danbi tidak benar-benar memaafkannya, jadi ia berusaha memperbaiki keadaan, “Kau tahu, aku selalu berpikir gadis pendek terlihat manis.”
Danbi memutar bola matanya dan berjalan mendahului Chanyeol. “Tapi tidak lebih manis daripada Baek Jinhye,” gumamnya pada diri sendiri.
Chanyeol mengekor di belakangnya, lantas melirik isi keranjang belanjaan. “Sudah semua?”
Danbi mengangguk, dan detik berikutnya menyadari sesuatu. “Tunggu. Apa tadi yang kakek itu minta?” tanyanya dengan nada heran. “Palu. Memangnya di sini jual palu?”
Chanyeol mengerjap, sepertinya juga baru sadar. Mereka berdua melewati setiap rak sekali lagi, dan memang tidak ada palu di mana-mana. “Sudahlah, nanti bilang saja kalau tidak ada,” kata Chanyeol akhirnya.
Mereka berjalan ke kasir. Danbi mengeluarkan dompet dari saku belakang jinsnya dan teringat kalau tadi ia menyimpan uang titipan si kakek di saku yang sama. Uang itu tidak ada.
“Ada apa?” tanya Chanyeol ketika melihat Danbi merogoh-rogoh semua saku jinsnya, bahkan saku jaket juga.
“Uang kakek hilang.”
“Jinjja?” Mata Chanyeol membulat. “Apakah jatuh?”
Danbi mengangkat bahunya bingung. “Tadi jelas-jelas kusimpan bersama dompet. Sekarang tidak ada.”
“Nanti kuganti dengan uangku saja,” kata Chanyeol, dan Danbi mengangguk.
Tapi ketika mereka keluar dari minimarket, kakek itu juga tidak ada.
Sepanjang jalan kembali ke kemah, Chanyeol berjalan begitu cepat seolah-olah ada roda tambahan yang dipasang pada dasar sepatunya.
***
Sekarang, Danbi berbaring telentang di dalam kantong tidurnya dan menatap puncak tenda dengan pandangan menerawang. Sisa malam yang tinggal beberapa jam lagi, dan ia sama sekali tidak mengantuk. Pikirannya disibukkan oleh obrolannya dengan Chanyeol tadi. Tentang masa depan. Laki-laki itu punya rencana yang jelas tentang apa yang ingin ia lakukan, juga dengan siapa ia ingin mewujudkan segalanya…
Danbi? Ia tidak punya rencana selain pergi sejauh mungkin, memulai hidup baru di tempat lain, menghilangkan Park Chanyeol selamanya…
Dengan dada sesak, Danbi memutar tubuhnya menyamping dan meringkuk seperti janin. Mendadak suhu menurun drastis, atau mungkin ini hanya dirinya yang merasa begitu kesepian.
Samar-samar Danbi mendengar suara berat Chanyeol jauh di luar sana. Ia tidak dapat mendengar apa yang Chanyeol katakan, tapi nada bicaranya terdengar mendesak. Mungkin Jinhye hilang sungguhan. Apa peduli Danbi? Sudah cukup ia terlibat dengan laki-laki itu selama sehari, jadi ia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Suara dan imaji Chanyeol perlahan menghilang dari benaknya, seiring kantuk menarik kesadarannya.
Lima menit.
Rasanya Danbi baru memejamkan matanya selama lima menit, tapi sinar matahari sudah menusuk ke balik kelopak matanya. Danbi membuka mata pelan-pelan dan mengerjap beberapa kali untuk membiasakan diri dengan cahaya.
Ia terbangun dalam sebuah kamar persegi yang bersih dengan nuansa putih. Tubuhnya berbaring di atas ranjang besar yang empuk menghadap sebuah kaca jendela besar yang menggantikan salah satu dinding, sinar matahari menembus tirainya yang tipis. Selimut putih tebal yang hangat dan tangan kurus namun kokoh memeluk pinggang Danbi dari belakang.
Di atas nakas di dekat tempat tidurnya, jam digital yang terletak di dekat lampu tidur menunjukkan angka 07:27.
Ada yang salah di sini. Kenapa Danbi tidak berada di dalam tenda?
Dan tangan siapa ini?
Danbi berbalik dengan dada berdebar-debar… dan ia menemukan wajah tertidur Park Chanyeol.
=to be continued=
