Author
Twelveblossom
Cast
Sehun, Luhan, Nara (OC), Krystal (Fx), etc
Rating PG-17
Genre
Romance, little bit Crime, and Family
Length Series
Inspired by Fifty Shades of Grey
Please don’t copy paste
-oOo-
When you want to kill your past.
When you always haunted by your past.
When you can’t forgive your past.
.
.
.
Hari ini malam Natal. Ada pohon cemara dengan lampu berkerlap-kerlip telah dimasukkan ke ruang tamu. Terdapat setumpuk ayam goreng kesukaanku. Tidak ketinggalan, kue tart super besar yang dihiasi krim coklat terletak di meja. Daddy menyiapkan semua hal yang menyenangkan untuk malam Natal. Kata daddy itu hadiah dari Santa karena aku sudah jadi anak baik.
Daddy pakai topi Santa. Aku tahu kalau daddy adalah Santa. Aku sayang Santa daddy.
Aku sekarang dipangkuan daddy, bertepuk tangan sambil menonton acara kartun spesial malam Natal. Aku suka malam Natal karena daddy menemani dan memelukku sepanjang malam. Daddy hangat, lebih hangat dari selimut Chocho.
Waktu aku tergelak mendengar daddy yang sedang menirukan hohoho suara Santa, tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu apartemen. Aku benci ketukan pintu. Aku benci orang yang mengetuk pintu karena daddy berhenti menirukan Santa dan daddy menurunkan aku dari pangkuannya.
Daddy mengintip melalui lubang kecil, sebelum membukakan pintu. Aku tidak peduli, mungkin teman daddy yang bekunjung. Aku kembali menonton Snowman di TV.
“Daddy kenapa dimatikan,” rengekku ketika Daddy mematikan TV. Ia tidak menjawab dengan tergesa-gesa malah menggendongku ke kamar.
“Sehun, tunggu disini. Jangan keluar sebelum daddy memanggilmu, okay?” Kata daddy, saat menurunkanku di tempat tidur. Aku ngambek pada daddy sebab melarangku menonton Santa, tapi aku tetep mengangguk tanda mengerti.
Kaki ku bergoyang-goyang menunggu daddy memanggil. Daddy sangat lama. Aku hanya bisa mendengar suara daddy yang sedang berbicara dengan suara lain, sepertinya suara laki-laki dan perempuan.
Aku bosan. Akhirnya, aku turun dari ranjang kemudian mengintip. Sebelum aku membuka pintu tiba-tiba lampu kamarku mati. Gelap. Aku tidak takut gelap, biasanya aku tidur bersama daddy dengan lampu dimatikan.
“ARGH, Brengsek!” Ada suara teriakan daddy. Aku tidak jadi membuka pintu. Aku takut.
Tidak lama setelah itu daddy menjerit kesakitan diikuti hantaman. Sepertinya suara vas pecah. Aku tau itu suara vas pecah. Aku pernah memecahkan satu dan tanganku langsung berdarah. Untung, waktu itu ada daddy yang menolongku jadi darahnya bisa berhenti. Aku mengerjap-ngerjap panik.
Bagaimana kalau tidak ada yang menolong daddy?
Aku ingin menolong daddy.
Aku masih mendengar suara-suara aneh dari percakapan daddy dengan temannya. Aku takut sekali. Aku memeluk boneka beruangku. Aku ingin melihat daddy, tapi daddy bilang aku tidak boleh keluar.
“ARGH!” Suara daddy lagi.
Tanganku bergetar hebat saat meraih knop pintu. Aku harus menolong daddy. Aku dan beruang coklatku adalah anak laki-laki pemberani, daddy sering berkata begitu.
Hanya saja, saat aku membuka pintu. Ruang tamu gelap. Aku tidak membuka pintu blak-blakan, hanya membukanya sedikit agar kepalaku bisa menyembul. Walaupun gelap, masih ada seberkas cahaya yang masuk lewat jendela.
Aku melihat daddy tidur di lantai lalu ada tubuh besar yang menendanginya. Satu orang lagi sedang menekan-nekan perut daddy dengan benda runcing.
Aku ingin berteriak memanggil daddy. Daddy harus bangun agar mereka tidak menjahati daddy. Aku hanya mencengkram kuat beruang.
Tendangan keras membuat daddy menjerit. Aku juga menjerit, “Jangan sakiti daddy!” Akhirnya, suaraku keluar. Dua orang yang menyiksa daddy berhenti.
Suara cklek pelan terdengar. Lalu, lampu kembali menyala. Mataku sakit karena terang tiba-tiba. Aku melihat orang yang menyakiti daddy. Seorang laki-laki dengan tubuh besar sekali dan seorang perempuan yang memegang pisau. Itu mommy! Pisau mommy menetes-neteskan cairan merah di lantai.
Aku berlari mendekati daddy. Aku tidak peduli dengan tatapan jahat si laki-laki besar. Aku memeluk daddy yang tidur di lantai. “Daddy, bangun mommy pulang.” Aku menggoyang-goyangkan lengan daddy.
Tidak lama setelah itu. Aku merasakan si laki-laki besar melemparku dengan dua tangannya. Aku jatuh menabrak dinding. Kepalaku sakit sekali. Aku menangis keras.
“Tidak, Jared! Jangan sentuh anakku!” Ujar mommy marah.
“Terserahlah, Jess.” Jawab laki-laki besar.
Aku terus menangis, mommy pasti akan menolongku. Tapi tidak, mommy melempariku dengan boneka beruang. Mommy tidak menggendongku, padahal aku sudah merentangkan tangan.
Mommy, melihatku sebentar kemudian kembali menusuk perut daddy dengan pisau. Daddy tidak lagi berteriak. Daddy tidur.
Mommy-mommy jangan sakiti daddy. Aku terus berseru. Mommy tidak peduli padaku ia menginjak-injak daddy bersama pria besar itu.
Aku masih menangis saat merasakan lemparan vas lain yang lebih kecil ke arahku. Kepalaku semakin sakit dan tiba-tiba semuanya gelap.
“Fuck you, Jared. Jangan bunuh anakku.” Aku mendengar mommy kembali marah sebelum aku ikut tertidur.
.
.
.
Aku membenci mommy. Aku bilang begitu pada daddy yang sedang tidur di lantai. Mommy sudah pergi.
Aku baru saja bangun, kepalaku sakit kalau dipegang jadi aku tidak memegangnya. Lantai dingin. Aku berlari ke kamar mengambil selimut Chocho lalu menyelimuti daddy. Baju daddy kotor, ada bercak merah. Ruang tamu juga banyak pecahan vas, jadi aku diam di samping daddy. Kata daddy, kalau ada pecahan vas aku tidak boleh banyak bergerak.
Aku memijat daddy. Aku berkidik waktu merasakan kulit daddy yang dingin. Tidak lagi memijat, aku menggosok tangan daddy yang dingin. Biasanya, daddy menggosok tanganku kalau aku kedinginan. Daddy bangun. Daddy bangun. Daddy…. Sudah pagi.
Daddy tidak menjawab. Tidur daddy nyenyak sekali. Aku mau ikut tidur di samping daddy tapi aku lelah tidur. Akhirnya, aku mengambil robot dan bermain di samping daddy.
Daddy, baterai robotnya habis. Aku mengeluh. Daddy tetap tidur. Aku melempar robot jelek itu.
Perutku lapar. Aku tidak bisa membuat roti panggang sendiri. Aku menunggu daddy bangun sampai ketiduran di samping daddy.
Rasanya perutku semakin perih. Sudah dua kali aku terbangun, namun daddy tidak juga bangun. Aku melangkah ke dapur. Rotinya ada di lemari atas. Aku tidak bisa meraihnya.
Daddy aku lapar, kataku sambil menangis. Biasanya, daddy akan menuruti kalau aku menangis. Seperti mommy, daddy tidak peduli padaku. Aku meranggeh gelas yang ada airnya di meja makan.
Aku meminum air itu rasanya sangat asam. Perutku semakin sakit.
Perutku sakit, daddy tidur sepanjang hari. Ini semua gara-gara mommy. Mommy jahat, aku benci mommy. Mommy jahat pada daddy dan sekarang daddy tidak mau bangun.
Aku menangis mengingat mommy. Aku menangis sambil memeluk daddy. Daddy dingin. Daddy tidak hangat, tapi aku lagi-lagi tidur di pelukan daddy.
.
.
.
“Ditemukan jasad pria dan anak laki-laki yang tertidur di sampingnya.”
Aku mendengar suara ribut itu. Suara seorang perempuan dan aku takut. Aku tidak lagi dipelukan daddy. Sekarang aku bersembunyi di bawah meja.
Ternyata, tidak hanya perempuan, banyak laki-laki berbaju hitam sedang memegang daddy. Jangan sakiti daddy, lagi.
Perempuan itu tidak seperti mommy. Ia tersenyum ke arah ku sembari memberikan beruang. “Ini milikmu bukan? Jangan bersembunyi.”
Aku diam. Takut sekali. Nanti dia menendangku atau memukulku… Aku takut dilempar vas. Ternyata tidak. Perempuan itu merayu, lalu menggendongku. Jangan sentuh aku. Aku tidak suka dipegang. Aku berteriak tapi, suaraku tidak keluar.
“Tim penyelidik sudah datang. Polisi sudah memeriksa CCTV.” Seorang laki-laki berbicara dengan perempuan itu. Aku tidak peduli. Aku menangis.
Daddy aku takut. Daddy tidak menolong dia hanya diam. Orang-orang itu menyelimuti daddy dengan selimut lebih besar dari Chocho.
“Jangan takut sayang,” kata perempuan itu. Aku tidak percaya. Aku semakin takut. Perempuan itu punya rambut coklat panjang seperti mommy. Aku tidak suka mommy. Aku benci mommy. Dan, perempuan.
.
.
.
Mimpi itu lagi.
Sehun terbangun dari tidur dengan peluh. Terengah-engah ia berusah menstabilkan napasnya. “Daddy,” gumam Sehun. Ia meraba-raba gelas air yang ada di nakas samping tempat tidur, kemudian meneguknya. Tidak ada rasa asam disana. Itu hanya air putih. Namun, asamnya kenangan yang melekat, tak dapat hilang. Sehun melempar gelas itu ke udara kosong.
“Apa yang kau lakukan tengah malam begini?” Tanya seseorang yang menjadi teman tidur Sehun.
Sehun benar-benar lupa jika ia tidak sendirian di kamar. Partner in crime-nya tadi sedang tidur pulas dengan selimut yang menutupi tubuh telanjangnya.
“Mimpi buruk,” jawab Sehun acuh. Pria itu memijat pelipis. Sampai kapan ia harus menanggung kenangan brengsek ini. Tidak terhitung berapa kali Sehun melakukan terapi kejiwaan, tetapi tak ada hasil.
Sehun berhenti menautkan alis saat, teman tidurnya mengelus puncak kepalanya.
“Akhir-akhir ini kau sering mimpi buruk. Apa sudah menceritakannya pada Kris?”
Sehun menggeleng. Ia belum ada waktu mengunjungi psikiater. Tidak enggan sebenarnya, Kris sudah seperti teman dan kakak laki-laki.
“Aku jadi tidak tega meninggalkanmu.” Teman bercinta Sehun itu bersuara sembari ikut terduduk.
Sehun memasang raut bosan. “Demi Tuhan, jangan pernah berpikir mengagalkan pernikahanmu.”
“Tapi kau—”
“—Kau hanya menikah, tidak sedang berencana mengunjungi neraka. Jadi, jangan berkata yang macam-macam.”
Teman Sehun itu menatap lawan bicaranya dalam-dalam. “Krystal akan mengerti, jika aku menunda pernikahan kami.”
“Stop, Luhan. Berhenti bicara soal kau gagal menikah. Aku tidak bisa melihat gadis itu menangis sepanjang hidup, hanya karena melihat kekasihnya terus bercinta dengan ku.” Seloroh Sehun. Mata pria itu memindai sex toys yang berserakan di lantai. Mainan yang ia gunakan bersama Luhan sepanjang malam.
Luhan menarik napas berat. Yeah, semua orang mengira mereka sahabat dekat. Memang, akrab. Namun, dibalik keakrabannya, ada simbiosis lain yang menguntungkan.
Hubungan tidak lazim itu, entah siapa yang memulai terlebih dahulu. Sehun, pria penuh luka lama yang memiliki gairah, tetapi engganan bercinta dengan wanita. Luhan pria biseksual yang memiliki kecenderungan hardsex.
Kemesraan mereka hanya sebatas master dan slave. Tidak ada rasa cinta pria-wanita. Well, mereka sama-sama pria, kalau kau ingat. Ditambah, Luhan merasa cukup dengan mencintai Krystal—calon istrinya. Hanya, beberapa kali pria itu memerlukan Sehun untuk menyalurkan hasrat—tidak sudi menyalurkan pada Krystal, takut melukai gadisnya.
Luhan mengangkat bahu, “Baiklah kalau itu maumu. Toh, Krystal sudah mengerti soal hubungan kita,” ujar Luhan santai sembari melorot kembari untuk tidur.
“Kapan kau memberitahunya?”
“Sebelum aku melamarnya.” Luhan menjawab dengan suara mengantuk.
Sehun memutar bola mata. “Dan dia tidak kaget?”
“Kau sudah mengenal dengan baik bagaimana Krystal. Ada hantu di depannya pun, aku yakin gadis itu tidak akan—”
“—Dia tidak terkejut,” potong Sehun menyimpulkan.
Luhan mengangguk di dalam selimut, “Dia malah berniat menjodohkamu dengan keponakannya. Katanya, merasa bersalah sudah merebutku darimu.” Luhan memberikan penjelasan sembari terkekeh.
“Lucu sekali. Krystal harus menemui Kris sesegera mungkin.”
Luhan tersenyum, “Kau bisa mengajaknya besok. Sudah, aku mau tidur. Lelah sekali. Kita bermain terlalu lama tadi.”
.
.
.
Bugatti Veyron berhenti di depan gedung bernuansa biru. Luhan dan Sehun turun dari kendaraan mereka. Seorang gadis keturunan Amerika menyilangkan dada sembari menatap tajam ke arah dua pria itu. Yeah, sementara semua orang yang memasuki gedung membungkuk memberi salam, gadis itu malah terlihat berkilat-kilat kesal.
“Apa sangat sibuk dengan pesta lajang, tuan-tuan muda? Ponsel kalian non-aktif 24 jam,” kata gadis itu dengan nada marah yang tidak sungguh-sungguh.
Luhan menarik pinggang Krystal, lalu mengecup bibirnya sekilas. “Tidak seberapa menyenangkan. Aku terus saja memikirkanmu.”
“Krystal, dia berbohong telak.” Sambut Sehun. Pria itu melangkah menjauh. Risih melihat pasangan itu mengobral kemesraan dimana-mana.
Krystal menggeleng-geleng pelan, melihat Sehun pergi. “Apa dia benar-benar tidak bisa sembuh?” Lantaran menjawab, Luhan malah menarik Krystal agar berjalan cepat menyusul Sehun.
“Besok keponakanku datang. Kau sudah bilang pada Sehun kan tentang slot magang untuk Nara?” Tanya Krystal saat mereka berjalan menuju lift—Sehun berjalan cepat di depan.
Luhan menepuk dahinya. “Aku lupa.”
Krystal cemberut. “Aku benar-benar membenci sifat pelupamu itu Luhan.” Ia melepaskan apitan tangannya pada lengan Luhan, kemudian berlari kecil masuk ke dalam lift bersama Sehun.
“Tutup saja, pintunya.” Perintah Krystal cuek pada asisten Sehun yang menekan tombol agar lift tidak tertutup. Menunggu Luhan.
“Masih pagi dan kalian sudah bertengkar,” gumam Sehun. Pria itu memasukkan tangan ke dalam saku celana panjang hitam. Pakaian kasual sangat cocok untuk ketampanan Sehun. Andai saja, Krystal mengenal Sehun lebih dulu. Pasti ia telah jatuh cinta pada pria itu.
Luhan berhasil memasuki ruang besi dengan gayanya yang santai. Ia berusaha memeluk Krystal, namun gadis itu menjauh.
“Kalian ini, kenapa?” Tanya Sehun kesal, jengah dengan kelakuan keduanya.
“Dia melupakan permintaanku,” jawab Krystal sembari menyisir rambut blondenya.
“Tinggal menanyakan sekarang, sama saja.” Luhan nampak membela diri.
Sehun mengernyitkan dahi. “Jangan membuatku bingung.”
“Keponakanku, dia butuh uang dan tempat magang. Apa boleh dia bekerja di perusahaan kalian?”
Sehun nampak berpikir, “Kenapa dia tidak bekerja di galerimu saja?”
Luhan tertawa pelan. Ia tidak ingin ikut-ikut.
Krystal menatap tombol lift. “Eum, dia lebih suka bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang elektronik.” Gadis itu menjawab asal.
“Kalau begitu, bisa dimasukkan ke devisi Luhan. Seharusnya, kau berkonsultasi pada Luhan.”
Luhan akhirnya mencampurkan diri ke perbincangan mereka, “Seperti yang ku katan tadi malam. Krystal ingin menjodohkan—”
“—Cukup membongkar rahasia, Luhan! Pokoknya, besok Nara akan datang ke sini untuk wawancara kerja denganmu, Oh Sehun dan dia harus diterima.” Seru Krystal sembari berkacak pinggang, galak.
Sehun dan Luhan menghembuskan napas keras-keras. Tidak berubah.
Satu-satunya gadis yang mengacaukan semuanya dan harus dituruti, hanya Krystal yang mampu melakukan secara bersamaan.
“Okay,” jawab Sehun dengan enggan.
.
.
.
Krystal merajut langkahnya memasuki Starbucks sembari menelengkan kepala. Ia mencari seseorang. Gadis itu benar-benar tidak sadar jika kehadirannya menyita perhatian banyak pria. Terlalu menarik.
Apalagi saat Krystal menemukan yang ia cari. Senyum tersungging, kemudian memekik gembira. “Nara!”
Gadis lain yang mengenakan terusan bunga-bunga dan bersurai coklat itu, menolehkan kepala. Berkebalikan dari Krystal, Nara mematut raut cemberut.
“Bibi, gila.” Sapa Nara, kurang ajar.
Lantaran marah, Krystal malah memeluk keponakannya yang sedang duduk. “Aku merindukanmu, young lady.”
“Yeah, aku tidak.” Nara menjawab terlampau jujur, sembari menyesap latte.
Krystal melepaskan pelukannya, lalu duduk di kursi berhadapan dengan Nara.
“Aku senang melihat tubuhmu masih lengkap. Kabarnya kau sedang patah hati. Putus cinta gara-gara seorang berandalan?” Tanya Krystal dengan nada mengejek.
Nara tidak tertarik menimbrung topik yang berusaha ia lenyapkan dari muka bumi. Tujuannya kabur dari London ke Seoul untuk melupakan segalanya. Sekarang, bibinya yang kelewat seenaknya malah mengintrupsi.
“Ibumu sangat mengkhawatirkanmu. Takut kau kehabisan uang.” Krystal tidak menyerah.
Nara menaruh minat pada topik baru yang diumpankan bibinya. Itu juga alasan utama ia bersedia menemui Krystal, setelah tiga minggu berada di Seoul. Nara terjerat masalah finansial. Ia resmi kehabisan uang dan terlalu gengsi jika harus meminta-minta.
“Aku memang kehabisan uang dan sudah diusir dari hotel,” ujar Nara. Ia menatap koper merah yang super besar, tergeletak di sampingnya.
Mata Krystal melebar, “Kau benar-benar diusir?”
“Tidak, aku disuruh pindah!” Seru Nara putus asa.
Krystal tersenyum dengan sangat manis, menampilkan lesung pipi. “Bagus, kau bisa tinggal di apartemenku.”
Nara memicingkan mata. Biasanya, ekspresi seperti itu muncul jika Krystal menginginkan sesuatu. “Well, baik sekali.”
“Jangan terlalu gembira. Kau harus membayar biaya sewa.”
Ucapan Krystal itu membuat Nara membulatkan matanya yang kecil. “Aku keponakanmu!”
“Usiamu sudah 22 tahun. Harga dewasa, kau harus tetap membayar,” kata Krystal tegas.
Bibinya benar-benar tidak sehat. Nara jelas-jelas kehabisan uang. Harus membayar dengan apa? Seingatnya Nara punya lima uang koin di sakunya.
“Aku tidak punya uang. Oh, punya tapi hanya lima koin. Apa itu cukup?” Tanya Nara memelas.
Krystal mengernyit, sepertinya ucapan Nara tadi tidak masuk ke dalam akal sehat. “Kau pikir apartemen bibimu ini losmen murahan?”
Nara mendengus. “Mangkanya itu, jangan minta bayaran atau hal lain—kecuali kau bisa memberiku pekerjaan.”
Krystal tidak menanggapi ucapan keponakannya. Ia merogoh tas yang sedari tadi tergeletak di meja. Mencari sesuatu. “Ah, datang ke kantor ini. Kau tinggal melakakukan wawancara sebagai formalitas,” ujar Krystal sembari menyodorkan kartu nama eksklusif.
Nara menerimanya dengan bingung. Pasti bukan orang sembarangan. Terlihat sekali melalui kartu namanya. “Oh Sehun?”
“Dia bos Luhan dan menyediakan slot kosong untuk karyawan magang,” ucap gadis berusia 27 tahun itu sambil mengedipkan mata.
Nara mencurigai sesuatu, Bibinya tidak pernah sebaik ini. “Aku yakin ada alasan lain. Kau mau menjebak dan menyeretku pulang, ya?”
Krystal menggeleng, “Aku sibuk mempersiapkan pernikahan. Lagi pula, beberapa hari lagi ibumu akan kemari.”
“Demi Tuhan, aku tidak akan hadir di pernikahanmu. Ibu akan sangat berlebihan kalau melihat aku disana.” Ada kepanikan di mata Nara.
“Tentu saja, tidak. Ibumu akan membiarkanmu di Seoul kalau kau punya kehidupan yang layak. Bukannya mabuk-mabukan di bar.”
Nara tersentak, “Bibi menguntitku!” Gadis itu mengerucutkan bibir. Yeah, dia awalnya gadis baik-baik, tetapi akhir-akhir ini agak ketagihan dengan bau alkohol. Setidaknya, alkohol dapat membuat Nara melupakan mantan kekasihnya yang kelewat ia cintai.
“Tidak. Aku hanya meminta orang kepercayaan Luhan menjamin keamananmu.”
Nara menggerutu ketika menanggapi pembelaan bibinya. “Dasar penguntit.”
Gadis itu masih terus merajuk saat Krystal mengulangi penawarannya. “Bagaimana?”
“Apanya yang bagaimana?”
Krystal memutar bola mata, “Kau bekerja dan hidup normal. Lalu, aku menjamin ibumu tidak memaksamu kembali ke London—”
“—sungguh privasiku benar-benar diinjak-injak.” Nara memotong ucapan Krystal.
“Aku hanya ingin menepati janjiku pada ibumu. Kau tahu, putus cinta membuatmu jadi berandalan kecil. Ibumu khawatir akan itu. Apalagi, kebiasaan minum alkohol tidak bisa ditolerir—”
“—bisa kita mengakhiri sesi menasehati, bibi. Telingaku panas sekali. Langsung saja pada poin utama. Apa yang harus aku lakukan?”
Krystal menghembuskan napas lega saat Nara memotong perdebatan konyol yang ia yakin akan berujung pada hal-hal bijak. Nara tidak suka itu, begitupun dengan Krystal.
Krystal nampak berpikir. Sebenarnya, ia sudah menyiapkan beberapa hal untuk rencana sederhana ini. Cukup sederhana, namun menguntungkan banyak pihak.
“Bekerja di kantor Sehun—”
“—setuju, lagi pula aku butuh uang.” Nara berseloroh tanpa berpikir panjang.
“Jangan memotong, Jung Nara.
“Oke, lanjutkan.”
Krystal bersedakap, “Kau tidak hanya bekerja disana. Tapi, harus bisa membuat Sehun jatuh cinta.”
Nara tersedak mendengar kalimat terakhir yang meluncur dari bibinya. “Jangan bercanda.”
Krystal tersenyum puas, “Tentu saja tidak. Banyak keuntungan disini. Kau bisa tetap tinggal di Seoul dengan pekerjaan itu dan aku bisa menyelesaikan masalah ibumu yang khawatir sekali karena kau gila gara-gara baru putus.”
“Oh, benar-benar pebisnis sejati.”
Krystal mengerling gembira, “Setuju?”
Nara menatap Krystal dalam-dalam, mencari keganjilan lain yang mungkin akan merugikannya. “Hanya membuatnya jatuh cinta?”
“Benar,” jawab Krystal cepat.
“Kau yakin, aku dapat melakukannya? Dia kan pengusaha, tentu banyak wanita yang lebih baik—”
“—Dia tidak pernah menjalin hubungan dengan wanita manapun. Aku jamin itu,” potong Krystal tidak sabaran.
Nara hendak mengutarakan alasan lain, tetapi bibirnya kembali bungkam. Mungkin dia terkena sindrom putus cinta atau penyakit lain yang disebabkan terlalu banyak mengkonsumsi alkohol akhir-akhir ini. Tanpa disadari, kepalanya mengangguk setuju. “Aku setuju.”
Krystal tertawa penuh kemenangan, “Awalnya sedikit sukar. Sehun orang yang cuek dan tidak peduli pada wanita. Baiklah, baca ini.”
Nara menerima beberapa lembar kertas yang diberikan oleh Krystal. Tertulis profil lengkap Sehun disana. Mulai kelahiran Sehun sampai sejarah perusahaan.
“Untuk apa ini?”
Krystal menyisir surainya sekilas. “Paling tidak kau harus tahu siapa targetmu.”
Nara meletakkan kertas yang semula ia telusuri, kelihatan tidak tertarik. “Kalau data seperti ini, aku bisa mencari di toko kelontong. Beri aku informasi yang lebih privasi. Sesuatu yang tidak orang ketahui tentang pria itu.”
Krystal mengernyitkan ke dua alisnya. Ia masih menimbang-nimbang. Tentu saja, ada rahasia yang berdampak luar biasa tentang Sehun. Harus disimpan, akan tetapi Krystal tidak tega kalau-kalau keponakan kecilnya kecewa atau semacamnya. Krystal membayangkan, bagaimana Jessica—kakak perempuannya, tidak akan terima Nara tersakiti. Krystal membenci hal-hal melodramatis seperti ini, sungguh.
Nara masih menatap Krystal dengan tanda tanya besar yang menepel di dahi. “Pasti ada yang bibi sembunyikan,” gumam Nara keras-keras.
“Satu hal dan ini sebuah rahasia besar.”
“Katakan.”
Krystal meremas jemarinya, “Sehun memiliki trauma—khususnya pada wanita—dia tidak bisa bercinta dengan wanita.” Krystal berucap dengan suara yang amat pelan.
Mata Nara melebar setelah memahami informasi yabg baru saja ia dapat. “Jadi, maksud bibi—Sehun seorang gay,” pekik Nara sembari membungkam mulutnya.
“Bukan seperti itu, ia hanya—”
“—Bibi benar-benar gila! Kau menyuruhku untuk berkencan dengan penyuka sesama jenis. Astaga, sampai dunia kiamatpun ia tidak mungkin dapat jatuh cinta padaku,” sela Nara, kemudian bangkit dari kursinya.
Krystal mencegah Nara menyeret koper. “Tunggu, kita bisa mencobanya, Nara. Bibi mohon.”
“Tidak.”
“Pernikahanku terancam batal kalau Sehun tidak menemukan pengganti Luhan. Sebenarnya, bukan Sehun yang menginginkan mereka tetap bersama, tapi Luhan terlalu mencemaskan Sehun.”
Nara menangkap sesuatu yang konyol disini—jangan-jangan Luhan, tidak membayangkannya saja, Aslye sudah ngeri.
“Luhan pasangan Sehun bercinta?” Tanya Nara dalam bisikan. Ia mulai menyadari keberadaannya yang berisik, mencuri perhatian pengunjung galeri kopi itu.
Krystal mengangguk sedih. “Tapi, Luhan mencintaiku.” Gadis itu masih saja sempat membela calon suaminya.
“Dunia benar-benar sudah tidak waras.” Nara kembali duduk, melorot di kursinya. Fakta itu membuat lututnya lemas. Luhan, paman kesayangannya—penyuka sesama jenis. Itu hal yang tidak mudah untuk dinalar akal sehat.
“Tolong bibimu, Nara.”
Nara menghembuskan napas berat. “Aku akan berusaha semampuku dengan caraku.” Entah mengapa, Nara berkata seperti itu. Apa itu pengaruh hormon? Sikapnya yang selalu tergesa-gesa mengambil keputusan.
“Itu bagus—”
“—Aku tidak menjamin ini akan berhasil.”
Krystal mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya. “Aku yakin akan berhasil karena kau memiliki surai coklat,” kata Krystal bernada teka-teki, disertai seringaian gembira.
Nara hanya mencibir lelah saat menerima seringai Krystal—yang terlihat konyol di matanya. Hidupku akan semakin kacau setelah ini. Aku yakin. Nara mulai beropini.
-oOo-
a/n: Halo, FF ini bakal berserid dan sudah pernah aku posting di blog pribadiku twelveblossom.wordpress.com (bolehlah kalian sekedar main ke sana hehehe). Part selanjutnya sudah ada di blog pribadiku, pasti di posting di exofanfiction kok, tapi menunggu antrian. Salam kenal dan terima kasih J
